*

*

Ads

FB

Selasa, 30 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 166

Akan tetapi, pada saat itu, kebutan di tangan Pat-jiu Sian-ong sudah melepaskan belitan dan menyambar kepala Hun Bwee. Gadis ini sudah membuang tubuh ke belakang berjungkir balik, pedangnya diputar.

"Cringgg...! Tranggggg...!"

Tongkat Gu Coan Kok dan tangan yang berselubung cakar besi Hok Ku ditangkisnya dengan tepat. Karena kedudukan tubuhnya sedang berjungkir-balik sambil menangkis, maka datangnya hudtim dari Pat-jiu Sian-ong tak mampu lagi ia mengelaknya.

Ujung kebutan meledak dan menotok punggungnya. Untung Hun Bwee masih dapat mengerahkan sinkang yang aneh, yang membuat jalan darah yang tertotok itu seolah-olah "mati" sehingga ketika totokan mengenai sasaran, ia hanya roboh terguling dengan bantingan cukup keras.

Cakar besi Hok Ku menyambar dan biarpun ia sudah menggulingkan tubuh di atas tanah, tetap saja bahunya robek berikut kulit dan daging terkena cakaran, sedangkan tongkat Gu Coan Kok menghantam pundak kirinya sehingga tulang pundak kirinya patah!

Hun Bwee menjerit lalu tertawa bergelak, tiba-tiba ia berlutut di depan Pat-jiu Sian-ong seperti orang minta ampun! Melihat ini, kakek yang merupakan seorang di antara datuk-datuk golongan sesat ini tertegun. Hanya beberapa detik tertegun namun cukuplah bagi Hun Bwee. Tangan kiri yang pundaknya sudah patah itu masih dapat bergerak dan tanah berdebu menyembur ke atas.

"Celaka...!"

Pat-jiu Sian-ong yang tadi menunduk, cepat mengelak tanpa berani memejamkan mata karena memejamkan mata menghadapi lawan merupakan pantangan besar. Hal inilah yang membuat matanya kemasukan debu. Sambil berseru keras hudtimnya menyambar ke depan dan tubuhnya sendiri mencelat ke belakang, matanya untuk sementara tak dapat melihat. Namun Hun Bwee sudah mengelak, meloncat jauh dan lari sambil terkekeh-kekeh.

Di antara para pengeroyoknya yang hebat kepandaiannya adalah Pat-jiu Sian-ong, akan tetapi dalam keadaan terluka seperti itu satu-satunya jalan baginya untuk dapat melarikan diri haruslah membuat kakek lihai itu tidak berdaya lebih dulu.

Benar saja, karena Pat-jiu Sian-ong membersihkan kedua matanya yang kelilipan debu, hanya tiga orang jagoan Tembok Besar yang melakukan pengejaran. Akan tetapi Cou Seng mengejar sambil terpincang-pincang, dan mereka bertiga tidak mampu menandingi ginkang Hun Bwee yang sudah menghilang ditelan bayang-bayang pohon yang gelap.

Selama terjadinya pertempuran itu, Sian Ti Sengjin hanya menonton saja, berulang-ulang dia menarik napas panjang dan ketika Hun Bwee melarikan diri, dia tidak ikut mengejar melainkan berlutut menghadapi ceceran daging-daging bekas tubuh sutenya.

"Biar dia lari! Jangan khawatir, dia tidak akan mampu keluar dari benteng ini!"

Pat-jiu Sian-ong berkata penuh kemarahan ketika kedua matanya sudah dapat dibuka lagi. Ia merasa malu dan penasaran mengapa dia sebagai seorang datuk kenamaan sampai dapat diakali oleh seorang bocah gila. Justeru karena gila, maka akal yang dilakukan Hun Bwee tadi sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga dia kena ditipu. Dengan hati penasaran, Pat-jiu Sian-ong lalu mengeluarkan perintah untuk melakukan penjagaan ketat dan meronda agar gadis gila itu tidak sampai dapat lolos dari dalam benteng itu.






Ketika Cui Im mendengar laporan tentang peristiwa terbunuhnya Lian Ci Sengjin dan larinya Hun Bwee, dia menerima dengan sikap dingin dan tidak peduli. Lian Ci Sengjin bukan merupakan seorang pembantu yang terlalu kuat, bahkan lenyapnya tokoh ini malah meringankan gangguan terhadap dirinya, hanya dia menyayangkan Hun Bwee yang ia tahu memiliki kepandaian aneh dan hebat, terutama sekali terjadinya peristiwa itu melenyapkan harapan mereka semua untuk dapat menarik tenaga Bo-bi thai-houw sebagai sekutu.

"Sian-ong, kalau dia sudah membunuh Lian Ci Sengjin, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita karena mereka itu mempunyai urusan pribadi sendiri. Lebih baik biarkan dia lari dari sini, karena kalau sampai kita membunuhnya dan kelak hal ini didengar oleh gurunya kita malah akan menanam bibit permusuhan dengan lawan yang tidak lemah."

Ucapan ini dapat diterima oleh semua orang dan Cui Im sengaja melirik ke arah Sian Ti Sengjin, akan tetapi bekas tokoh Kun-lun-pai ini kelihatan diam saja, agaknya belum lenyap rasa kaget dan dukanya atas kematian sutenya.

Pak-san Kwi-ong juga menerima berita ini sambil tertawa-tawa saja, sama sekali tidak memperdulikannya. Karena sikap dua orang sekutu inilah maka Pat-jiu Sian-ong tidak turun tangan sendiri dalam mengejar Hun Bwee sehingga seolah-olah membiarkan gadis yang sudah terluka itu meloloskan diri, kalau masih memiliki kemampuan untuk menerobos garis penjagaan anak buahnya.

Namun larinya Hun Bwee ini membuat Cui Im berhati-hati dan cepat ia mengatur rencana yang telah ia persiapkan untuk menghadapi empat orang tawanannya yang ia tahu merupakan orang-orang yang amat berbahaya karena mereka berempat itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Keng Hong.

Hun bwee yang berhasil lolos dari kepungan, lari di dalam gelap sambil menangis dan kadang-kadang tertawa. Kalau ia teringat betapa ia telah menemukan orang yang telah memperkosanya, kemudian melampiaskan dendamnya, ia sendiri tidak tahu harus menangis atau tertawa.

Kelegaan hati telah dapat membunuh orang yang telah merusak hidupnya membuat ia ingin tertawa bergelak sampai mati, akan tetapi kalau teringat lagi bahwa yang memperkosanya bukanlah Keng Hong seperti yang selama ini diduganya, bahkan diharapkannya karena dia mencinta pemuda itu, membuat ia ingin menangisi nasibnya yang amat buruk.

Kini dia tidak kumat lagi. Otaknya benar-benar waras dan kini ia menggunakan segala kecerdikanya untuk dapat lolos dari tempat berbahaya ini. Dia harus bebas! Untuk dirinya sendiri? Tidak! Dia harus lolos karena kalau tidak, tentu empat orang muda yang tertawan itu akan celaka nasibnya. Terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng! Dia harus lolos dan mencari daya upaya untuk menolong mereka dari cengkeraman Bhe Cui Im yang amat lihai.

Tiba-tiba Hun Bwee menyelinap di dalam gerombolan pohon yang gelap ketika mendengar suara para penjaga yang siap melakukan penjagaan ketat sesuai dengan perintah Pat-jiu Sian-ong. Dari balik pohon ia dapat melihat kegiatan mereka. Setiap pintu benteng dijaga ketat, bahkan di sepanjang tembok benteng itu dijaga dengan penjaga-penjaga dalam jarak kurang sepuluh meter. Dia telah dikurung rapat! Dan lapat-lapat ia mendengar suara anjing-anjing menggonggong. Bukan hanya para penjaga anak buah Pat-jiu Sian-ong, juga anjing-anjing ikut mengurungnya. Hun Bwee menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya.

Gadis ini berindap-indap mencari bagian tembok benteng yang paling gelap. Dengan hati-hati ia merayap melalui semak-semak sampai berada tidak jauh lagi dari tembok benteng itu. Pandang matanya berusaha menembus keadaan remang-remang di bawah sinar bulan untuk meninjau keadaan

Tembok itu terlalu tinggi bagi tubuhnya yang sudah terluka. Akan gagallah kalau dia berusaha meloncati tembok setelah merobohkan beberapa orang penjaga yang tentu saja dipandangnya rendah. Pundak kirinya yang patah tulangnya itu akan menjadi penghalang besar. Jalan satu-satunya hanyalah menerjang pintu gerbang yang terjaga oleh kurang lebih dua losin orang itu. Tidak ada jalan lain. Biar pundaknya telah terluka, dengan pedangnya ia masih sanggup untuk membuka jalan darah melalui pintu gerbang itu, pikirnya.

Akan tetapi sebelum ia bergerak, tiba-tiba ia mendengar suara anjing menggereng tak jauh dari tempat ia bersembunyi dari arah belakangnya. Hun Bwee terkejut dan cepat menengok, akan tetapi pada saat itu, seekor anjing berbulu hitam sebesar anak kerbau telah meloncat menerkamnya dengan gerengan dahsyat.

Hun Bwee sedang bertiarap, menelengkup dan pedangnya masih tergantung di punggung. Melihat binatang buas ini menerkamnya. Hun Bwee cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri sampai lima kali. Dia harus dapat membunuh binatang ini sebelum para penajga mendengar dan datang mengeroyok sehingga pintu gerbang akan terjaga lebih ketat sebelum ia dapat menerjangnya.

Tubrukan anjing itu luput dan sebelum binatang itu dapat melakukan penyerangan susulan, tangan kanan Hun Bwee sudah melayang dengan hantaman kuat. Akan tetapi, anjing itu agaknya lebih awas di tempat gelap. Pukulan itu dapat ia elakkan sehingga bukan kepala anjing yang terpukul, melainkan lehernya yang amat kuat.

"Bukkk!"

Anjing itu terlempar ke samping, akan tetapi dia mengeluarkan pekik yang bukan menandakan dia takut, melainkan meloncat bangun dan menubruk lagi, moncongnya yang bergigi besar-besar dan runcing itu menyerbu ke arah tenggorokan Hun Bwee.

Gadis ini melihat berkilaunya gigi tertimpa sinar bulan yang menembus dari celah-celah daun pohon, cepat membuang diri ke samping dan kakinya melayang, menendang perut anjing itu kembali terdengar suara berdebuk keras dan tubuh anjing itu terlempar ke belakang.

Ternyata anjing itu tubuhnya kuat sekali karena kini ia sudah menubruk lagi. Hun Bwee sudah siap dengan pedangnya sekali Hek-sin-kiam menyambar leher binatang itu terbacok hampir putus! Pada saat itu terdengar gerengan keras dan tiga ekor anjing sekaligus menubruk ke arah Hun Bwee! Gadis ini menjadi marah.

"Bedebah!"

Ia memaki dan pedangnya berkelebatan. Sepandai-pandainya anjing, binatang ini kurang akal dan melihat sinar hitam, agaknya binatang-binatang ini tidak mengerti bahaya dan terus menubruk. Seekor anjing berbulu coklat roboh tak berkutik dengan leher putus, anjing kedua mengeluarkan suara menguik keras, akan tetapi karena gerakan tiga ekor anjing yang nekat ini membuat Hun Bwee agak gugup sehingga ketika pedangnya menusuk ke dada anjing ke dua, pedang itu menyelip dan terjepit di antara tulang iga.

Belum sempat ia menarik pedangnya, anjing ke tiga telah menubruknya sedemikian keras sehingga ia roboh terguling tertindih badan anjing yang berat. Dengan ganas dan mengeluarkan suara menggeram mengerikan anjing itu membuka lebar moncongnya dan menggigit ke arah leher.

Hun Bwee cepat menggunakan tangan menampar mocong itu, akan tetapi karena ia terbanting dengan pundak kiri di bawah, tadinya terlupa akan luka di pundaknya, ia merasakan nyeri hebat yang membuat tenaganya berkurang. Moncong anjing itu menyeleweng dan masih berhasil menggigit punggungnya!

"Auhhh...!"

Gadis itu menjerit perlahan, daging dan kulit punggungnya terasa nyeri. Ia cepat menggulingkan tubuhnya, berusaha melepaskan gigitan namun tidak berhasil. Anjing itu seperti seekor lintah besar yang terus menempel di belakang tubuhnya. Hun Bwee hampir tidak kuat menahan rasa nyeri, pedangnya masih tertinggal di dada anjing kedua yang berkelojotan, maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, menagkap kaki belakang anjing dari belakang pinggungnya, membawa bagian belakang anjing itu ke depan, kemudian sambil mengerahkan tenaga dan menahan rasa nyeri ia menusukkan jari-jari tangan kananya ke dalam perut anjing.

“Crottt!"

Lima buah jari tangan kanannya amblas memasuki perut anjing. Ia mencengkeram dan meremas isi perut anjing, menariknya keluar. Anjing itu mengeluarkan suara aneh, gigitannya terlepas dan terjatuh ke atas tanah, berkelojotan. Hun Bwee terhuyung menghampiri anjing yang "merampas" pedangnya, mencabut pedang itu. Tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang tentu saja makin parah karena dipakai bergumul tadi, dan punggungnya yang terasa perih dan panas. Kulit punggungnya yang halus putih itu robek dan darah banyak keluar.

Suara perkelahiannya melawan empat ekor anjing tadi agaknya menarik perhatian para penjaga. Dari balik semak-semak Hun Bwee melihat bahwa para penjaga siap dengan senjata di tangan, menjaga pintu gerbang. Sekarang, pikirnya, atau terlambat!

Kenekatan ini timbul dari harapan untuk dapat keluar agar dia dapat berdaya upaya menolong empat orang yang tertawan. Dengan lengking menyeramkan, gadis yang sudah koyak-koyak pakaiannya dan terkoyak kulit punggungnya itu lalu meloncat dan lari ke arah pintu gerbang.

Para penjaga sudah siap dan begitu melihat munculnya gadis ini yang mereka anggap kumat gilanya, mereka segera menerjang maju. Hujan tombak dan golok melayang ke arah tubuh Hun Bwee, namun gadis ini sudah memutar pedangnya. Gulungan sinar hitam membentuk lingkaran dan terdengar suara nyaring ketika tombak-tombak dan golok-golok itu patah dan terlepas beterbangan ke kanan kiri, disusul jerit kesakitan ketika lima orang pengeroyok roboh terkena sambaran Hek-sin-kiam! Menyaksikan keganasan Hun Bwee, para pengerotok lainnya menjadi gentar.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Hun Bwee untuk mengeluarkan suara melengking, setengah tertawa setengah menangis yang membuat bulu tengkuk para pengeroyok berdiri, kemudian tahu-tahu gadis itu sudah meloncat ke dekat pintu gerbang!

"Tangkap! Bunuh...!"

Teriakan-teriakan itu lebih gencar daripada datangnya pengeroyokan karena para penjaga benar-benar merasa ngeri dan jerih. Kembali di depan pintu gerbang, Hun Bwee di keroyok oleh belasan orang penjaga.

Para penjaga itu rata-rata memiliki kepandaian ilmu silat, namun mereka bukanlah lawan berat bagi Hun Bwee. Biarpun gadis ini sudah terluka parah dan telah kehilangan setengah bagian kecepatannya, namun gerakannya masih terlalu hebat bagi para pengeroyok itu sehingga setelah bertanding hebat selama beberapa menit, kembali ada enam orang pengeroyok roboh binasa.

Orang terakhir yang roboh adalah penjaga palang pintu gerbang. Hun Bwee cepat menggigit pedangnya yang berlumuran darah, karena kini tangan kirinya sama sekali tidak dapat ia pergunakan dan sudah lumpuh, kemudian dengan tangan kanannya, sekali renggut palang pintu dari besi itu terlepas dan sekali tendang, daun pintu terkuak lebar.

Dua orang penjaga mempergunakan kesempatan selagi gadis itu menggigit pedang dan menggunakan tangan merenggut palang pintu, menyerang dari belakang dengan bacokan golok mereka. Hun Bwee mendengar datangnya sambaran dua batang golok. Cepat ia mengelak dengan menarik tubuh ke belakang. Dua batang golok menghantam daun pintu.

**** 166 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: