*

*

Ads

FB

Jumat, 02 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 204

Terkejutlah Sin Beng Lama ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar hebat karena sentilan kuku jari tangan lawannya itu! Dengan seruan halus dia mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar api menyambar ke arah tubuh Kok Beng Lama!

Itulah penyerangan hio-hio membara yang amat luar biasa dan amat berbahaya pula karena biarpun hanya berupa hio, namun dilepas dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat ampuh sehingga kalau mengenai tubuh lawan dapat menancap dengan api masih membara!

“Keji, alat sembahyang dipakai membunuh!”

Kok Beng Lama berseru keras, menggerakkan kedua tangan bergantian didorongkan ke depan dengan telapak tangan terbuka. Menyambarlah hawa dingin dari kedua telapak tangannya dan itulah inti tenaga Im-kang yang amat dingin. Tampak asap mengepul dan lima batang hio itu padam apinya, bahkan runtuh semua ke atas tanah, masih mengepulkan asap putih yang harum baunya.

Tentu saja Sin Beng Lama menjadi makin marah. Bersama sutenya, Hun Beng Lama menerjang maju, menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali sehingga tubuhnya lenyap digulung sinar pedang yang merupakan gulungan sinar hijau menyilaukan mata yang kini bergulung-gulung menyelimuti tubuh Kok Beng Lama pula.

Di antara sinar hijau ini tampak sinar putih dari tasbih Hun Beng Lama yang mengeluarkan suara “trik-trik” makin lama makin nyaring. Maka terdengarlah paduan suara yang menyeramkan karena semua orang yang kurang kuat sin-kangnya merasa betapa jantung mereka seperti ditarik-tarik dan telinga seperti ditusuk-tusuk oleh suara berdetrik dari tasbih, bercampur dengan suara berdesingan dari pedang hijau, diseling geraman-geraman marah dari dada Kok Beng Lama yang bidang.

Pertempuran hebat dan mati-matian, dilakukan oleh tiga orang sakti, terjadi dengan serunya, membuat para Lama yang berada di situ tidak berani lagi turun tangan membantu karena mereka maklum bahwa bantuan mereka tidak akan menguntungkan pihak kawan juga tidak merugikan pihak lawan melainkan membahayakan nyawa sendiri.

Kalau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Kok Beng Lama dahulu pun setingkat dengan Sin Beng Lama. Akan tetapi semenjak dia menjalani hukuman selama sepuluh tahun, kepandaiannya bertambah hebat sedangkan Sin Beng Lama hanya mendapat kemajuan biasa saja.

Orang yang berada di dalam tahanan seperti Kok Beng Lama, kehilangan kebebasannya dan tidak melakukan suatu pekerjaan tertentu, lebih tekun dalam berlatih, apalagi karena memang dia mempunyai dendam. Sedangkan tingkat kepandaian Hun Beng Lama masih kalah setingkat dari Sin Beng Lama, maka pertempuran hebat itu lebih tepat dikatakan bahwa yang bertanding mati-matian adalah Sin Beng Lama melawan Kok Beng Lama, sedangkan Hun Beng Lama hanyalah merupakan tenaga pengacau saja yang mengacaukan pertahanan Kok Beng Lama.

Namun, biar dia bertangan kosong dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan bersenjatakan senjata-senjata pusaka ampuh pula, ternyata Kok Beng Lama memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Semua ini diperhebat lagi oleh kemarahannya karena dia mengkhawatirkan nasib puterinya, maka dia seolah-olah iblis sendiri yang mengamuk dan sukar ditandingi oleh dua orang pendeta Lama itu!

“Kalian bosan hidup! Kalian bosan hidup! Akan kubunuh semua...!” Demikian terdengar Kok Beng Lama menggereng.

“Brettt! Plakk! Aughh...! Aduhhh...!”






Para pendeta yang menonton tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata mereka apa yang telah terjadi karena yang tampak hanyalah sinar-sinar dan bayangan saja yang campur aduk menjadi satu. Tahu-tahu, tubuh Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama terlempar dan terbanting keras, sedangkan tubuh Kok Beng Lama terhuyung ke belakang, dadanya terluka pedang dan pakaian di pundaknya hancur oleh pukulan tasbih, akan tetapi kedua orang lawannya muntah darah terkena hawa pukulan kedua telapak tangan Kok Beng Lama.

Dengan muka buas Kok Beng Lama sudah hendak menerjang lagi dua orang bekas sutenya yang sudah terluka itu dan agaknya tidak akan dapat dihindarkan lagi dua orang Lama Jubah Merah itu tentu akan tewas karena mereka belum sempat bangun sedangkan para anggauta yang lain tidak ada yang berani menghadapi Kok Beng Lama.

“Pemberontak hina! Jangan bergerak atau puterimu akan pinceng bunuh di depan matamu!”

Kok Beng Lama tersentak kaget, menengok dan memandang dengan diam seperti patung. Lak Beng Lama telah berada di situ, tangan kanan memegang tongkat yang ditodongkan ke ubun-ubun seorang dara remaja yang dikempit dengan lengan kirinya. Gadis itu sama sekali tidak dapat bergerak, tanda bahwa dia telah menjadi korban totokan.

Kok Beng Lama mengenal gadis yang pernah ditolongnya di muara Sungai Huang-ho itu, dan kini nampak nyata olehnya betapa mirip wajah dara itu dengan wajah bekas kekasihnya yang telah tewas, Pek Cu Sian! Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan matanya seperti mengeluarkan api memandang kepada tiga orang pendeta itu. Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama telah memperoleh kesempatan menguasai diri mereka dan sudah berdiri di dekat Lak Beng Lama yang mengempit tubuh Pek Hong Ing.

“Kok Beng Lama, sebelum engkau bergerak, puterimu akan pinceng bunuh!”

Kok Beng Lama tidak mempedulikan ucapan itu, dengan suara gemetar seperti orang sakit demam dia berkata kepada Hong Ing yang sejak tadi dipandangnya tanpa berkejap mata,

“Nona muda, siapakah namamu?”

Hong Ing yang tidak dapat bergerak itu sejak tadipun memandang kepada Kok Beng Lama dengan wajah pucat. Dia pun meragukan apakah benar pendeta tua yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, yang sikapnya amat mengerikan ini, adalah ayah kandungnya? Mendengar pertanyaan itu, dia diam saja karena urat gagunya telah tertotok, membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara.

Tiba-tiba Sin Beng Lama menggerakkan ujung lengan bajunya, menyambar ke arah leher Hong Ing, dan terbebaslah dara itu dari totokan yang membuatnya gagu.

“Aku... namaku Pek Hong Ing...”

Hong Ing menjawab dengan suara agak kaku karena baru saja dia terbebas.

“Siapa gurumu?” Kembali Kok Beng Lama bertanya.

“Go-bi Sin-kouw...”

“Siapa nama ibumu?” Pertanyaan ini keluar dengan lirih dan parau.

“Nama ibu, Pek Cu Sian...”

“Cu Sian...!” pengulangan nama dari mulut Kok Beng Lama ini terdengar menyerupai keluhan. “Tahukah engkau siapa ayahmu?”

“Ibu tidak pernah sempat memberitahuku tapi... tapi... tiga orang Locianpwe itu mengaku para susiokku dan membawaku ke sini, katanya hendak dipertemukan dengan ayahku, ternyata aku diperlakukan sebagai tawanan. Kata mereka, ayahku bernama Kok Beng Lama...”

Kok Beng Lama menggereng dan tiga orang kakek itu sudah siap-siap melawan sedangkan Lak Beng Lama sudah menempelkan tongkatnya di ubun-ubun kepala hong Ing, juga para anggauta Lama sudah mengurung lagi tempat itu.

“Akulah Kok Beng Lama! Hong Ing, setidaknya sudah empat lima tahun ketika engkau masih kecil engkau tinggal di ruang dimana aku terhukum. Ingatkah engkau akan sesuatu di tempat itu?”

“Aku... aku hanya ingat berada di dalam ruangan yang luas bersama ibu dan seorang laki-laki yang selalu bersamadhi, yang tak dapat kulupakan adalah bahwa laki-laki itu seringkali menari-nari di sekeliling sebuah arca besar sebesar manusia...”

“Engkau anakku...!” Tiba-tiba Kok Beng Lama menggereng keras. “Akulah laki-laki itu...sedang berlatih silat, Hong Ing, engkau anakku...!” Seperti gila kakek itu lalu memandang ke sekelilingnya. “Hayo bebaskan dia! Kalau tidak, kubasmi kalian semua!”

“Kok Beng Lama, puterimu berada di dalam kekuasaan kami, sepantasnya kalau kami yang mengajukan usul, bukan engkau yang menuntut. Engkau telah membuat dosa besar dan untuk menjaga kehormatan dan wibawa perkumpulan, engkau sebagai seorang anggauta pimpinan yang menyeleweng haruslah dihukum. Menyerahlah dan engkau akan kami hukum sesuai dengan peraturan, dan puterimu yang memang tidak berdosa apa-apa tidak akan kami ganggu bahkan akan kami perlakukan sebagai murid keponakan kami yang tercinta. Sebaliknya kalau kau melawan, terpaksa kami akan membunuh dulu puterimu sebelum membunuhmu.”

Suara halus Sin Beng Lama itu terdengar jelas oleh semua orang karena keadaan di situ amat tegang dan sunyi.

Kok Beng Lama memandang ragu kepada Hong Ing, dan dara itu cepat berkata dengan suara lantang,

“Locianpwe, kalau benar engkau adalah ayah kandungku, jangan dengarkan bujukan mereka! Aku tidak takut mati, tidak perlu engkau menyerah kepada mereka dan berkorban untuk aku!”

Mendengar ini, sepasang mata yang tadinya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajah yang keruh dan merah itu berubah. Sinar matanya lembut memandang Hong Ing dan wajahnya berseri.

“Engkau adalah anakku, tak salah lagi! Keberanianmu, sikapmu, persis sikap ibumu Pek Cu Sian! Sin Beng Lama, ajukan usulmu agar kupertimbangkan!”

Sin Beng Lama kelihatan lega sekali. Dia dan Hun Beng Lama sudah terluka cukup parah dan kalau pertandingan dilanjutkan, bukan tidak mungkin akan terjadi seperti yang diancamkan oleh Kok Beng Lama, yaitu mereka semua akan terbasmi habis!

“Kok Beng Lama, betapa pun besar dosa-dosamu, akan tetapi mengingat engkau adalah bekas pimpinan dan telah banyak berjasa demi kemajuan perkumpulan kita puluhan tahun yang lalu, maka kami pun akan bertindak seadil-adilnya. Perbuatanmu itu akan menghancurkan kehormatan perkumpulan kalau engkau masih berkeliaran di dunia luar, seolah-olah perkumpulan kami tidak dapat bertindak terhadap dirimu. Oleh karena itu, engkau akan kami jatuhi hukuman bertapa di dalam sel penjara selama hidupmu. Usiamu sudah tinggi, maka hukumanmu tentu juga tidak berapa lamanya dan hukuman itu hanyalah untuk mencegah engkau merusak nama perkumpulan di luar Tibet.”

“Hemmm, kalau aku menerima hukuman itu, apa imbalannya?”

“Puterimu akan kami pelihara baik-baik, tinggal di sini sebagai keluarga dan sewaktu-waktu dapat menjengukmu di dalam penjara.”

Kok Beng Lama mengerutkan alisnya berpikir keras, kemudian mengangguk.
“Cukup adil... cukup adil... aku pun tidak ada niat berkelana, kalau aku dahulu pergi hanya untuk mencari Pek Cu Sian dan puterinya. Setelah Hong Ing berada di sini, perlu apa aku pergi? Akan tetapi, bagaimana kalau kalian mengkhianati dan kelak mengganggu anakku?”

“Kok Beng Lama!” Sin Beng Lama berteriak marah. “Engkau sendiri sudah tahu betapa Lama Jubah Merah lebih menghargai janji daripada nyawa! Pinceng sendiri berjanji takkan mengganggu Pek Hong Ing, tidak akan memaksanya melakukan sesuatu di luar kehendaknya kalau engkau suka menyerah dan menjalani hukuman itu!”

“Bagus! Aku percaya akan janjimu, Sin Beng Lama.”

“Akan tetapi, pinceng belum mendengar janjimu, Kok Beng Lama.”

“Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, Sute! Nah, dengarlah. Aku, Kok Beng Lama, berjanji tidak akan memberontak lagi selamanya dan akan mentaati perintah para pimpinan Lama Jubah Merah.”

“Omitohud...! Para dewa menjadi saksinya!” kata Sin Beng Lama dengan girang dan dia berkata kepada sutenya, “Lak Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing agar dia dapat bertemu dengan ayah kandungnya!”

Lak Beng Lama membebaskan totokan Hong Ing dan melepaskan gadis itu dari kempitannya. Begitu dia terlepas, dengan terhuyung-huyung Hong Ing lari menghampiri Kok Beng Lama, kemudian menjatuhkan diri di depan kakek itu sambil berseru penuh keharuan,

“Ayaaaahhh...!”

Kok Beng Lama menunduk, memandang kepada gadis yang berlutut itu, kemudian menengadah ke langit, kemudian tertawa bergelak, kedua tangannya meraih ke bawah dan tubuh Hong Ing terangkat dan sudah dirangkul dan dipeluknya.

“Ha-ha-ha-ha! Kau... anakku...! Ha-ha-ha, akhirnya kita berkumpul juga di tempat di mana kau dilahirkan. Biarlah engkau tetap memakai she Pek seperti ibumu, she yang amat bagus dan terhormat. Pek Hong Ing, kau maafkan ayahmu yang tidak becus membahagiakan ibumu, akan tetapi setidaknya, aku dapat melakukan sesuatu untuk anaknya, yaitu engkau, Anakku!” Lalu diciumnya ubun-ubun kepala Hong Ing dengan penuh kasih sayang.

Hong Ing sudah cepat menghapus air matanya dan sambil menyandarkan kepala di dada ayahnya yang amat bidang dan kuat itu, dia berbisik,

“Ayah, setelah aku dibebaskan, mari kita pergi saja dari sini. Aku...aku tidak akan betah tinggal di tempat ini, Ayah.”

Dia tidak berani bicara terus terang betapa dia merasa rindu kepada seorang pemuda yang dicintanya.

Ayahnya menggeleng kepala.
“Janji lebih penting daripada segalanya, Anakku. Kau tinggallah di sini, sebagai keluarga terhormat dan lebih dari itu lagi, setiap hari engkau dapat menjengukku di penjara dan aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu!”

Hong Ing merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia tertawa-tawa lagi.

“Kok Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau masih akan dapat bertemu. Sekarang, marilah kami antar engkau memasuki tempat hukumanmu!”

Karena hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa dia diantar ke tempat hukuman, dimana dahulu dia mendekam selama sepuluh tahun. Kalau dulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya, sekarang dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing.

**** 204 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: