*

*

Ads

FB

Selasa, 30 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 165

"Hi-hi-hik! Bagus sekali...!" Tiba-tiba pedang menyambar ke bawah pusar Lian Ci Sengjin.

"Auggghhhhrrrrr...!"

Jeritan terakhir yang keluar dari kerongkongan Lian Ci Sengjin amat nyaring, juga amat mengerikan karena itu adalah pekik kematian yang mungkin dibarengi dengan melayangnya nyawa dari tubuhnya.

Lian Ci Sengjin sudah mati setelah disiksa selama hampir setengah jam, akan tetapi Hun Bwee belum puas agaknya, pedangnya masih terus menyambar-nyambar membacoki tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan tubuh itu kini terpotong-potong dicacah-cacah sampai tidak ada potongan yang lebih besar dari setengah kaki panjangnya.

Kepalanya dibelah menjadi empat potong dan anggauta tubuh yang paling dibenci Hun Bwee dan paling membuatnya jijik itu telah dicacah-cacah seperti daging bahan bakso! Dan sekarang Hun Bwee tidak tertawa-tawa lagi melainkan menjerit-jerit menangis diselingi tawa sambil membacoki terus! Pakaian merahnya penuh dengan percikan darah tak dipedulikan. Pedang hitamnya juga sudah basah oleh darah.

Dalam keadaan seperti itulah lima orang anak buah Pat-liu Sian-ong yang kebetulan meronda di taman mendapatkan gadis itu. Lima orang anak buah ini cepat lari mendekati dan mereka terbelalak penuh kengerian ketika melihat gadis itu membacoki mayat yang sudah menjadi onggokan daging berceceran. Hanya ketika mereka melihat pakaian Lian Ci Sengjin di atas rumput saja yang membuat mereka sadar bahwa yang dibacoki itu adalah bekas tubuh Lian Ci Sengjin!

"Celaka...!"

Seorang di antara mereka berseru kaget. Mendengar ini, Hun Bwee menengok dan sambil berteriak ganas ia menerjang ke depan, menggerakkan pedangnya. Lima orang itu cepat menggunakan senjata menangkis, akan tetapi dalam sekejap mata saja, empat orang di antara mereka roboh dengan nyawa melayang, dan hanya seorang yang terluka di pundaknya masih sempat lari sambil berteriak-teriak sekerasnya.

Han Bwee mengejarnya. Dua bayangan orang berkelabat dan muncullah Si Iblis Cebol Gu Coan Kok dan si raksasa Kerait yang bernama Hok Ku. Melihat keadaan Hun Bwee, dua orang di antara iblis-iblis Tembok Besar ini cepat menyerangnya. Gu Coan Kok menyerang dengan tongkatnya yang panjang, gerakannya cepat dan aneh sekali, menyodokkan tongkatnya ke arah perut Hun Bwee.

Pada saat itu juga, Hok Ku si raksasa tinggi besar bongkok sudah menggerakkan senjatanya berbentuk cakar besi yang beracun dan yang disambung dengan kedua tangannya, menyerangnya dengan Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dengan tangan kanan ke arah dada Hun Bwee.

Hun Bwee menjadi marah sekali. Mulutnya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang sekaligus menangkis tongkat yang menyodok perut dan cakar yang mencengkeram dada, sedangkan tangan kirinya dengan berani menyampok cakar yang mencengkeram kepalanya.

"Cring! Tranggg! Plakkk!"






Dua orang jagoan Tembok Besar terkejut sekali karena tangkisan pedang itu membuat senjata mereka terpental, sedangkan cakar besi beracun itu ketika disampok tangan kiri Hun Bwee, membuat Hok Ku hampir terguling! Padahal raksasa bongkok ini memiliki tenaga yang amat besar.

Tahulah mereka bahwa wanita gila ini ternyata lihai luar biasa. Mereka bersilat dengan hati-hati sekali apalagi ketika Hun Bwee kini membalas dengan serangan yang bertubi-tubi dan gerakannya seperti gerakan ngawur, asal bacok dan tusuk saja bukan seperti gerakan seorang ahli pedang. Justru gerakan ngawur inilah yang menyembunyikan kelihaian ilmu pedang ajaran Gobi Thai-houw si nenek gila.

Gerakan penyerangan yang ngawur ini benar-benar mengacaukan dua orang jagoan Tembok Besar. Kelihatannya ngawur, akan tetapi dari gerakan itu memancar keluar bahaya-bahaya maut sehingga mereka tidak berani memandang ringan dan cepat menggerakkan senjata untuk menangkis.

"Hi-hi-hik!"

Hun Bwee terkekeh dan tiba-tiba tubuhnya jatuh terpelanting sendiri karena kakinya yang kacau itu membuat ia kehilangan keseimbangan tubuh!

Melihat wanita baju merah itu terguling miring, pedangnya terhimpit tubuhnya sendiri, tentu saja dua orang jagoan Tembok Besar menjadi girang bukan main. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi dan melihat keadaan lawan, mereka tahu bahwa kini mereka tentu akan dapat menundukkan lawan aneh itu. Cepat mereka berdua menubruk, seperti berlumba, menggerakkan senjata. Betapapun juga, karena mereka ingin menawan wanita gila ini hidup-hidup, senjata tongkat bergerak menotok jalan darah sedangkan kedua cakar besi mencengkeram pundak. Mereka berdua tidak mengirim pukulan maut karena keadaan lawan yang sudah tidak berdaya seperti tiu, dengan penyerangan mereka itu pun pasti mereka akan berhasil.

Kedua orang jagoan Tembok Besar itu boleh jadi memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman bertanding yang matang, akan tetapi tentu saja mereka belum pernah bertemu dengan lawan yang memiliki ilmu dari Go-bi Thai-houw yang luar biasa, ilmu yang diciptakan oleh orang yang miring otaknya sehingga akal-akal yang terdapat dalam ilmu silatnya kiranya hanya akan diduga dan diperhitungkan oleh orang sinting pula. Jatuhnya tubuh Hun Bwee sehingga rebah sendiri bukanlah sewajarnya, sungguhpun tampaknya demikian, melainkan gerak tipu yang berbahaya sekali!

Ketika ujung senjata kedua orang sudah hampir berhasil, secara tak tersangka-sangka dan tiba-tiba tubuh gadis itu terguling menelungkup dan kedua kakinya bergerak menendang, bukan menendang seperti biasa, melainkan "menyepak" ke belakang seperti kaki belakang kuda mengarah anggota rahasia pusar kedua orang lawan!

Bukan main kagetnya Gu Coan Kok dan Hok Ku! Kalau serangan mereka itu dilanjutkan, tentu akan mengenai lawan, akan tetapi tidak menimbulkan kematian. Sebaliknya, sepakan gadis itu pun akan mengenai sasaran dan tentu akibatnya amat hebat. Namun, untuk menarik kembali serangan mereka, sudah tidak keburu lagi maka mereka berusaha mengelak. Masih untung bahwa mereka adalah dua orang yang amat pandai, sehingga dalam keadaan tubuh sudah condong ke depan dan menyerang itu mereka masih sempat meloncat ke belakang sehingga sepakan yang cepat dan kuat itu tidak mengenai sasaran secara tepat dan hanya mengenai paha mereka.

Dua orang itu berteriak dan masih dapat meloncat terus ke belakang, paha mereka terasa panas kena dicium belakang kaki Hun Bwee, dan serangan mereka yang tadi hanya menyentuh tubuh Hun Bwee sama sekali tidak mendatangkan kerugian apa-apa.

Sambil terkekeh girang Hun Bwee sudah meloncat bangun, kemudian memutar pedangnya, mendesak dengan tikaman-tikaman berantai ke arah kedua lawannya. Terpaksa dua orang jagoan Tembok Besar ini menggerakkan senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh sehingga terdengar suara nyaring berkali-kali bertemunya pedang dengan tongkat dan cakar besi. Dalam belasan jurus saja dua orang itu terdesak hebat oleh gulungan sinar pedang hitam.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras,
"Perempuan gila! Engkau telah membunuh lian Ci Sengjin?"

Bentakan ini disusul dengan meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar dan ternyata kini di tempat itu telah muncul Pat-jiu Sian-ong sendiri, bersama Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang menggerakkan pecut bajanya sehingga menibulkan suara halilintar itu.

Selain mereka berdua, juga Sian Ti Sengjin ikut datang karena mendengar bahwa sutenya terbunuh orang. Kini bekas tokoh Kun-lun-pai itu berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak memandang bekas tubuh sutenya yang sudah menjadi cacahan daging berceceran tidak karuan. Tak terasa lagi air mata menetes-netes turun membasahi pipinya yang mulai kisut.

"Sute. Ahhh, Sute...!"

Ia mengeluh dan terbayanglah segala pengalamannya bersama sutenya. Lian Ci Sengjin merupakan sutenya yang paling dicintanya, bahkan akhir-akhir ini menjadi sekutunya, ketika mereka menentang Kian Tojin, suheng mereka. Melihat sutenya telah menjadi daging berceceran seperti itu, hati Sian Ti Sengjin menjadi ngeri dan dia mengingat-ingat, dosa apa gerangan yang dilakukan sutenya sehingga kini menemui kematian yang demikian mengenaskan.

Kini pertandingan dilanjutkan dengan amat hebat, akan tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong muncul di situ, keadaan Hun Bwee terdesak hebat sekali. Tentu saja kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sian-ong kakek kate kecil berkepala besar yang menjadi seorang di antara Bu-tek Su-kwi, Hun Bwee kalah jauh.

Betapapun juga, andaikata dia hanya menghadapi kakek ini satu sama satu, belum tentu Pat-jiu Sian-ong akan dapat merobohkannya karena gadis ini memiliki ilmu yang amat aneh sehingga Pat-jiu Sian-ong sendiri menjadi bingung dibuatnya. Dan andaikata gadis itu hanya dikeroyok ketiga orang jagoan Tembok Besar, yaitu Gu Coan Kok yang bersenjata tongkat, Hok Ku yang bersenjata pecut baja, kiranya Hun Bwee masih akan dpat mengalahkan mereka dengan akal-akalan yang aneh.

Akan tetapi kini dia dikeroyok empat dan terutama sekali senjata kebutan hudtim dari Pat-jiu Sian-ong dibarengi pukulan-pukulan sinkang tangan kiri kakek ini yang amat ampuh membuat Hun Bwee kewalahan.

Setelah lewat lima puluh jurus di mana Hun Bwee membela diri mati-matian, tiba-tiba ujung hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong berhasil membelit pedang Hek-sin-kiam sehingga kedua orang ini berkutetan mengadu tenaga untuk mempertahankan senjata masing-masing.

Saat itu dipergunakan oleh Cou Seng untuk menyambar pecut bajanya ke arah kepala Hun Bwee dan dari depan tongkat Gu Coan Kok menyodok dada sedangkan cakar baja Hok Ku mencengkeram muka!

Hun Bwee yang masih berkutetan mempertahankan pedang, cepat berjongkok sehingga pecut baja Cou Seng bertemu dengan cakar besi, adapun tongkat Gu Coan Kok yang menyodok telah ditangkis oleh tangan kirinya. Akan tetapi pada saat itu, tahu-tahu tubuh Cou Seng yang bulat besar telah menubruknya dari belakang dan telah memeluk dengan kedua lengannya yang besar berbulu sehingga Hun Bwee tidak mampu berkutik!

Cou Seng ini selain merupakan seorang ahli bermain pecut baja, juga berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar), tenaganya hebat bukan main seperti tenaga seekor gajah, dan dia pun merasa ahli gulat maka pelukannya bukanlah sembarang pelukan. Kedua lengannya yang besar kuat itu menelikung Hun Bwee melalui bawah ketiak gadis itu dan terus membelit ke belakang leher di mana jari-jari tangannya yang kuat saling membelit. Pelukan maut!

"Ahhhhh...! Uuhhh...!"

Gadis itu meronta-ronta namun percuma saja, sedikit pun ia tidak mampu melepaskan diri. Melihat keadaan gadis yang sudah tidak berdaya ini, Pat-jiu Sian-ong mengerahkan tenaganya membetot hudtim, akan tetapi dia menjadi kaget dan kagum sekali karena gadis itu tetap mampu mempertahankan pedangnya. Dua orang jagoan Tembok Besar yang lain kini tertawa saja melihat bahwa lawan yang lihai itu telah kena ditelikung.

Tiba-tiba Coa Seng mengeluarkan teriakan memaki secara tidak terduga-duga sama sekali, Hun Bwee menundukkan muka dan menggigit lengan yang melingkari lehernya melalui bawah ketiak, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari lurus dan mengeras penuh tenaga sinkang ditusukkan ke belakang melalui pundak ke arah mata Cou Seng yang berada di belakangnya!

Cou Seng yang merasa lengannya sakit karena kulit lengan robek dihunjam gigi putih kecil yang kuat, menarik kepala ke belakang untuk menyelamatkan mata, akan tetapi kiranya jari-jari tangan kiri itu tidak jadi menusuk mata, melainkan menusuk jalan darah di lehernya!

Kaget sekali hati Thai-lek Sin-mo dan karena kaget, lingkaran lengannya mengendor dan dia miringkan tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hun Bwee yang tiba-tiba menggerakkan kaki kanan, kembali seperti seekor kuda "menyepak" ke belakang, tungkak (tumit) kakinya mengancam anggota tubuh paling lemah dari setiap pria, yaitu dibawah pusar!

"Celaka...!"

Cou Seng cepat merenggangkan tubuh dan detik itulah yang dinanti Hun Bwee yang seperti seekor belut saja tiba-tiba menggeliat dan melempar tubuh ke bawah sehingga lingkaran lengan yang merupakan pelukan maut itu terlepas. Hun Bwee membalik dan menendang. Cou Seng mengelak, namun tetap saja tulang keringnya kena ditendang.

"Wadouuuwwwww...!"

Raksasa ini meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil memegang kaki kirinya. Berdenyut-denyut rasanya saking nyerinya. Kalau tulang kering kakinya itu patah, tidaklah akan sedemikian nyerinya. Akan tetapi patah tidak, utuh pun tidak, mendekati retak-retak, bukan main nyerinya sampai terasa menembus jantung!

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: