*

*

Ads

FB

Minggu, 28 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 154

“Suheng....... ah, Suheng......!"

Yan Cu jalan sambil menangis. Air matanya bercucuran deras sekali di sepanjang kedua pipinya. Semenjak kecil gadis ini ikut dengan subonya belajar ilmu, belum pernah merasakan kegembiraan dan kebahagian seperti ketika ia berada di samping Keng Hong. Ia merasa amat suka kepada suhengnya itu, menganggapnya seperti kakaknya sendiri.

Gadis ini yang memiliki watak periang dan jenaka sama sekali tidak merasa cemburu atau pun iri hati mendapat kenyataan bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng. Bahkan sebaliknya. Dia akan merasa girang sekali andaikata Biauw Eng membalas cinta kasih Keng Hong.

Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Keng Hong dijadikan tawanan dan pemuda itu menurut saja! Ia menjadi gelisah dan berduka sekali, merasa amat kasihan kepada suhengnya. Ia tahu bahwa di tangan Biauw Eng yang cintanya bercampur rasa benci yang hebat, dan di tangan suci Biauw Eng yang gila itu, tentu Keng Hong akan celaka. Lebih celaka lagi, Keng Hong agaknya menyerahkan mati hidupnya dengan rela kepada mereka berdua!

Makin diingat makin gelisah dan makin sedih hati Yan Cu, membuat tubuhnya lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar dan menangis tersedu-sedu memikirkan nasib Keng Hong. Apakah dayanya? Untuk menolong, tak mungkin. Selain kedua orang gadis itu lihai bukan main, juga Keng Hong sendiri tidak mau ditolong.

Setelah berpisah dari Keng Hong, hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan. Kembali kepada subonya? Selain akan mendapat marah, juga ia tentu tidak akan betah lagi tinggal di puncak gunung yang sunyi, setelah mencicipi kesenangan merantau bersama Keng Hong.

Melaksanakan tugas mewakili Keng Hong dan menyampaikan pusaka-pusaka itu? Selain tidak menarik, juga hal itu malah akan terus-menerus mengingatkan dia kepada Keng Hong sehingga hatinya akan selalu tersiksa. Ah, suheng, mengapa engkau begitu bodoh? Mengapa hendak memaksakan cinta kasih seseorang? Kalau memang Biauw Eng sudah membenci setengah mati, mengapa mengorbankan diri dan nyawa secara sia-sia?

Yan Cu berduka sekali. Selama hidupnya, yaitu selama dia ikut dengan gurunya sejak kecil, belum pernah Yan Cu mengalami duka nestapa seperti ini. Dan memanglah hal ini sudah sewajarnya dan sudah semestinya. Hidup ini merupakan perimbangan dua kekuatan. Dahulu Yan Cu hidup bersama gurunya bersunyi diri di gunung, tidak mengalami kesenangan terlalu besar, karenanya pun tidak mengalami kesusahan terlalu besar. Setelah bertemu dengan Keng Hong dan merantau bersama suhengnya ia menikmati kesenangan, oleh karena itu sekali kesenangan direnggut darinya, muncullah kesusahan hati karena kehilangan!

Memang senang dan susah merupakan perimbangan yang adil, dibentuk oleh hati si manusia sendiri. Suka akan sesuatu itu sudah pasti berekor duka karena sesuatu yang disukainya itu sekali amat sedih kalau barangnya yang disayang sekali itu hilang. Sebaliknya, barang yang tidak disayang apabila hilang pun tidak akan menimbulkan kesedihan yang besar.

Mereka adalah orang-orang kasar yang hidup liar, dan menggagahi wanita-wanita muda cantik merupakan satu di antara kesukaan mereka. Sudah gatal-gatal tangan mereka untuk menjamah tubuh yang rebah terlentang di bawah pohon itu dan mereka seperti sekumpulan kucing yang hendak berlomba menubruk seekror tikus.

Akan tetapi gerakan tangan pemimpin mereka membuat mereka itu menahan nafsu dan wajah mereka menjadi kecewa. Mereka sudah tahu bahwa sekali ini mereka tidak akan kebagian! Tahu bahwa pemimpin mereka yang bertubuh tinggi kurus bermuka pucat, tergila-gila kepada gadis yang tidur itu dan menghendaki gadis itu untuk dirinya sendiri! Kalau sudah terjadi begini, terpaksa anak buah perampok yang berjumlah dua belas orang itu hanya dapat menelan ludah dan bersabar menanti sampai sang kepala menjadi bosan dan melemparkan wanita itu kepada mereka untuk dijadikan pesta-pora sampai mati seperti yang sering kali terjadi!






Sambil menyeringai kepala perampok yang tinggi kurus itu keluar dari tempat persembunyian, berindap-indap menghampiri Yan Cu yang tertidur pulas, dipandang oleh anak buahnya yang ketawa cekikikan, seolah-olah mereka menyaksikan pertunjukan yang lucu dan menyenangkan hati. Memang, orang-orang kasar ini sudah berdebar-debar ingin menyaksikan kepala mereka menubruk gadis itu, seperti seekor harimau menubruk seekor domba.

Selain dua belas pasang mata anak buah perampok itu, juga sepasang mata orang yang sejak tadi membayangi Yan Cu, ikut pula memandang dan sepasang mata ini mengeluarkan sinar berapi saking marahnya. Akan tetapi pemilik mata ini dapat menduga bahwa dara jelita yang melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan itu tentulah seorang dara yang memiliki kepandaian, maka dia tidak tergesa-gesa meloncat keluar menolong, hanya bersiap-siap untuk menolong apabila dara itu terancam bahaya.

Yan Cu yang sedang tidur pulas itu berkali-kali menarik napas panjang dan bahkan terisak. Ia bermimpi melihat Keng Hong disiksa oleh dua orang gadis yang menawannya, kemudian ia melihat Keng Hong merangkak mendekatinya, mengulur tangan seperti orang meminta pertolongan. Tangan suhengnya itu menyentuh jari tangannya dan ia pun cepat memegang tangan suhengnya yang minta tolong itu dan bibirnya mengeluarkan seruan penuh rasa kasihan,

"Suheng Cia Keng Hong......!!"

Yan Cu tersentak kaget ketika mendengar suara orang ketawa. Ia terbangun, membuka matanya dan betapa kagetnya ketika melihat bahwa yang memegang tangannya adalah seorang laki-laki yang mukanya pucat, matanya bersinar liar dan mulutnya menyeringai kurang ajar, tertawa-tawa dan sama sekali bukan Keng Hong!

"Ihhh! Siapa engkau.....?"

Bentaknya dan sekali renggut saja ia sudah dapat melepaskan tangannya sambil melompat berdiri. Kepala perampok itu tertawa-tawa dan bangkit berdiri pula. Kini dia terbelalak kagum. Selama dia menjadi kepala perampok, entah sudah berapa pula orang wanita menjadi korbannya dan korban anak buahnya, akan tetapi selama itu belum pernah dia bertemu dengan seorang dara yang secantik ini!

"Ha-ha-ha-ha-ha, bidadari yang cantik jelita! Sungguh pantas sekali engkau menjadi ratuku. Ketahuilah, aku adalah raja di hutan ini. Ha--ha-ha!"

Yan Cu mengerutkan keningnya, akan tetapi keheranannya mengatasi kemarahannya sehingga tak dapat ditahannya lagi ia bertanya,

"Engkau raja hutan? Aku mendengar bahwa raja hutan adalah harimau........."

"Ha-ha-ha-ha-ha!"

Suara ketawa ini tidak hanya keluar dari mulut si kepala rampok, melainkan juga dari mulut para anak buah perampok yang kini sudah muncul keluar dari tempat persembunyian mereka.

Yan Cu memandang sekeliling dan ia dapat menduga bahwa orang-orang itu tentulah bukan orang baik-baik.

"Nona manis! Memang nama julukanku adalah Tiat-jiauw-houw (Harimau Cakar Besi), akulah harimau hutan ini dan mereka ini adalah anak buahku."

"Hemmmm, jadi engkau ini perampok-perampok? Mau apakah menggangguku? Aku tidak mempunyai barang berharga."

Kepala perampok itu tertawa bergelak dan menoleh kepada para anak buahnya sambil berkata,

"Dia bilang tidak mempunyai barang berharga! Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Nona manis, tubuhmu merupakan barang yang paling berharga di dunia ini! Marilah, Nona... kalau engkau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang........"

"Apa.......?" Yan Cu terbelalak, mukanya berubah merah, sebagian kecil karena jengah dan sebagian besar karena marah. "Aku menjadi isterimu? Eh, kepala perampok, apakah engkau sudah bosan hidup?"

Kini giliran si kepala rampok yang terbelalak. Gadis ini bertanya dengan sikap begitu wajar, seperti orang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, pertanyaan yang tidak seperti ejekan atau ancaman. Tentu saja dia menjadi heran dan menjawab,

"Wah, tentu saja belum, Nona! Kalau aku bosan hidup tentu harus mati, dan kalau mati mana bisa menikmati hidup senang di sampingmu? Ha-ha-ha!"

Yan Cu sedang berduka hatinya, dia kehilangan kegembiraan. Andaikata dia tidak sedang berduka, tentu dia ingin mempermainkan perampok-perampok ini. Sekarang ia menarik napas panjang, dan berkata jengkel,

“Kepala rampok, kau ajaklah anak buahmu pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi. Kalau kau nekat dan membuat aku marah, kalian semua akan mampus. Padahal aku tidak suka membunuh orang. Pergilah!"

Yan Cu memang terlalu cantik dan terlalu halus sikapnya sehingga ucapannya itu pun tidak kelihatan seperti ancaman, lebih lucu kedengarannya daripada menyeramkan hati para perampok yang kasar itu. Tentu saja mereka itu tertawa geli mendengar ini. Kepala perampok itu pun tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha-ha, wanita yang cantik seperti bidadari! Tidur pun manis, sadar lebih cantik, dan marah-marah makin denok! Ha-ha-ha, nona manis calon isteriku, tidak usah kau turun tangan membunuhku, kecantikanmu sudah membuat aku setengah mati! Marilah, manis, kau obati aku, kalau tidak aku bisa mati di depan kakimu karena rindu. Ha-ha-ha!"

Kepala perampok itu menubruk maju seperti seekor harimau kelaparan, karena nafsunya membuat dia ingin sekali menerkam dara jelita ini.

Kini Yan Cu menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul dari kedukaan hatinya. Di dalam kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang telah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya ia menahan kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegah mereka menawan Keng Hong.

Kini semua kemarahannya mendapat jalan keluar dan ditumpahkan kepada para perampok yang kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil itu melayang.

"Krakkk!"

"Wadouhhhhhh..... aaahhhhh.....!"

Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah dimana dia menggunakan kedua tangan menekan-nekan dadanya dan berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga dada!

Melihat peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan bagaikan segerombolan anjing srigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu menerjang maju.

Mungkin karena hati dan pikirannya masih penuh dengan bayangan Keng Hong dijadikan tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu makin menjadi-jadi. Mulutnya mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali, tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh pula dua belas orang itu satu demi satu, tak kuasa bangkit kembali karena dalam kemarahannya Yan Cu telah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!

Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya, matany mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan. Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.

Ia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan tak terasa begitu teringat kepada Keng Hong ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong, kiranya dia tidak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, sungguhpun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.

"Keng Hong suheng....! Mengapa engkau mau saja ditawan......? Suheng..... Keng Hong.......... mengapa engkau begitu lemah..........?"

Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam segebrakan saja merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali membunuh tiga belas orang perampok kasar!

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: