*

*

Ads

FB

Selasa, 16 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 102

Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya, dan berdiri seperti orang bingung.

Melihat ini, hampir saja kaisar bangkit dari kursinya saking herannya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya,

"Theng Kiu, bagaimana? Kenapa kau tidak menerima kitab itu?"

Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap,
"Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda...."

Sepasang mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab.

"Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?"

"Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar.

Pada saat itu, masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sabil melaporkan bahwa The-cai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata,

"Suruh dia cepat datang menghadap. Biarpun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!"

Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seolah-olah terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri.

Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum ditanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab.

Tak lama kemudian, masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk.

Ketika Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam ia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu demikian terang dan tajam seperti mata harimau di tempat gelap.

Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar, sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar, kemudian mereka berdua berlutut menyembah.

"The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang amat menarik hati. Biarlah urusan kita itu kita bicarakan nanti setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah.. pembantumu yang kau sebut dahulu itu?"

"Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam.

"Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba bersiap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dahulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda."

"Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar.






Pembesar itu adalah seorang panglima laksamana yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Adapun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisionil bahwa Ma Huan ini dikeral sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang).

Dua orang pembesar itu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki berpakaian sederhana yang seperti orang mengantuk itu lalu berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh.

"Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihat dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?"

The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Ketika Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika ia melirik ke arah Ma Huan, ia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang amat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya!

"Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya mentah isinya, Sri Baginda."

Jawab The Ho yang tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka? Mereka menjadi gentar dan berjanji dalam hati untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga memiliki banyak orang sakti itu.

"Ha-ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlalu mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal? Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?"

"Tergantung dari tingkat kepandaian mereka, Sri Baginda."

"Justeru itulah saat ini kami sedang mengujinya. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa dia selain datang untuk melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini mempersembahkan sebuah kitab Thai-yang-cin-keng kepadaku?"

The Ho tampak kaget dan tercengang mengerutkan keningnya.
"Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil."

"Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya” kata pula Sri Baginda sambil tersenyum.

"Benarkah? Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?"

"Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)? Bagus, cobalah!"

The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Tio Hok Gwan dengan sikap hormat memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, lalu menghampiri Cui Im dengan malas-malasan.

Cui Im maklum bahwa ia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau kini ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah? Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masa sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah. Ketika ia melihat si pengantuk itu mengulur tangan, ia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya.

Ia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka ia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu meiliki tenaga dahsyat. Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya sedangkan dalam hal sinkang, dia belumlah terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena ia diuji dalam tenaga, tentu saja ia tidak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkangnya dan seperti tadi ia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat.

Biarpun Tio Hok Gwan diam-diam kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab setelah disambar hawa dari tanganya, namun pada wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Ia melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, kemudian mengerahkan tenaga membetot.

Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa sekuat-kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak terlepas dari tangan Cui Im! Biarpun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri.

Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal. Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata tenaga bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan.

"Brettt....!"

Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah.

"Jangan merusakkan kitab....!"

Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasihat. Cui Im yang cerdik dapat mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,

"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu untuk menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan."

"Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia !" kata Cui Im dan ia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu.

Senyum dan kedipan matanya seolah-olah mengatakan bahwa betapapun juga, si pengantuk itu tidak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar.

Mereka bertiga kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum karena mengenal kitab itu benar-benar adalah peninggalan Jenghis Khan berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting.

"Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kata kaisar sambil menyerahkan kitab kepada The Ho.

The Ho menerima dan menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan. Pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk!

"Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek. Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!"

Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Adapun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggiran sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, demikian pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi.

Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampak sinar merah berkelebat dan dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas.

"Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat kepada junjungannya. "Wanita ini lihai dan dalam pertandingan senjata, hamba khawatir kalau-kalau ada fihak yang terluka atau tewas oleh senjata. Bagaimana kalau sampai hamba terlanjur menewaskannya?"

Kaisar menganguk-angguk.
"Dalam pertandingan mengadu silat, terluka atau mati bukanlah hal yang aneh."

Akan tetapi Cui Im berkata kepada kaisar sambil menyoja dengan kedua tangannya,
"Mohon ampun, Sri Baginda. Seorang yang benar-benar ahli dalam menggunakan senjata, akan dapat mengalahkan lawan tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya. Setiap detik senjata masih dapat ditarik kembali sebelum terlanjur."

The Ho mengelus jenggotnya dan berkata perlahan,
"Omongan yang hanya dikeluarkan seorang yang benar-benar ahli. Wanita ini sombong, akan tetapi ucapannya memang benar, Sri Baginda."

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: