*

*

Ads

FB

Selasa, 09 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 097

Bagi orang muda di dunia ini tidak ada penyakit yang lebih menyiksa daripada sakit asmara gagal yang membuat patah hati. Tidak ada bagian tertentu dari tubuh rasanya tak nyaman, tidur tidak nyenyak, makan tidak sedap, segala keindahan di dunia lenyap berubah menjadi membosankan, hati seperti kosong, hati terasa sunyi sungguhpun berada di tengah kota ramai misalnya, dan tidak ada keinginan apa-apa lagi di hati. Tubuh yang lemas hanya ingin tidur, kalau mungkin tidur terus tidak usah bangun kembali karena begitu bangun, hati tersiksa lagi teringat akan pacar direbut orang.

Semenjak meninggalkan Biauw Eng dan Lai Sek, keadaan Keng Hong seperti orang linglung, wajah pucat seperti mayat, sinar matanya redup seperti lampu kehabisan minyak. Ia berlari asal lari saja, berjalan asal jalan saja, semua kemauan lenyap dari hatinya yang kosong melompong. Sepekan lamanya dia berjalan saja siang-malam. Lupa makan lupa tidur, yang terbayang di depan mata hanya bayangan Biauw Eng dan Lai Sek.

Akhirnya dia terkulai lemas pada suatu pagi di bawah sebatang pohon dan perutnya menuntut isi menyadarkan bahwa dia seorang manusia hidup, bukan patung berjalan. Begitu kesadarannya datang, Keng Hong cepat menguasai dirinya, maklum bahwa penderitaan yang dia buatnya sendiri ini dibiarkannya berlarut-larut, berarti dia menyia-nyiakan hidup dan percuma menjadi seorang manusia terutama seorang laki-laki. Ia lalu mencari buah-buahan pengisi perut setelah makan buah dan minum air, dia duduk mengaso di bawah pohon menjalankan pikirannya.

Ia tahu bahkan yakin, bahwa Biauw Eng mencintanya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa Biauw Eng memaksa diri memilih Lai Sek. Begitu dangkal dan tipiskah cinta kasih gadis kepadanya? Ataukah karena bertahun-tahun tidak muncul gadis itu hilang harapan dan cintanya membalik kepada laki-laki lain? Seorang laki-laki yang biarpun tampan dan gagah perkasa namun buta, apakah dia kalah nilainya oleh seorang buta? Ah., mengapa Lai Sek buta? Ia meloncat bangun lalu duduk kembali.

Baru sekarang dia teringat akan hal ini. Lai Sek dahulu tidak buta dan kalau dia kini buta, tentu ada sebabnya agaknya sebab kebutaan Lai Sek ini ada sangkut pautnya dengan "pemindahan" cinta dari hati Biauw Eng! Ia menganguk-angguk dan rasa penasaran di hatinya agak terhibur. Agaknya tidak semata-mata gadis itu memindahkan cintanya kalau tidak ada alasan yang kuat.

Biarlah, dia mengalah dan dia kini teringat betapa besar penderitaan pemuda itu. Encinya tewas dibunuh orang, belum sempat membalas dendam, sekarang menjadi buta matanya! Ah, kalau dia pikir-pikir dengan hati dan kepala dingin kini dia dapat melihat bahwa awal kesengsaraan pemuda yang kehilangan encinya itu adalah karena dia! Kalau dia tidak menerima pencurahan cinta kasih Ciang Bi, agaknya gadis itu tidak akan terbunuh oleh Cui Im dan belum tentu pemuda itu akan menjadi buta, belum tentu pula akan menjadi kekasih baru Biauw Eng!

Dia harus pergi ke Hoa-san-pai! Hoa-san-pai mempunyai "perhitungan" yang belum beres dengan suhunya, yaitu ketika suhunya bermain cinta dengan seorang murid wanita Hoa-san-pai, kemudian suhunya mencuri pedang pusaka yang kini dilarikan Cui Im pula. Bahkan perhitungan antara gurunya dan Hoa-san-pai itu ditambah perhitungan baru lagi karena kematian Sim Ciang Bi yang sebab-sebabnya ditimpakan kepadanya. Dia harus ke Hoa-san-pai untuk menjelaskan kesemuanya itu dan untuk mendinginkan hati para pimpinan Hoa-san-pai, menghapus permusuhan dan berjanji akan mengembalikan pusaka yang dilarikan Cui Im.






Pada waktu ini, Hoa-san-pai diketuai oleh seorang tosu yang sudah amat tua usianya, tidak kurang dari seratus tahun, dan berjuluk Bun Hoat Tosu. Karena amat tua dan tosu ini lebih banyak bersamadhi dan tidak suka lagi mengurus urusan duniawi maka segala urusan dunia terutama yang mengenai urusan Hoa-san-pai dia serahkan kepada dua orang muridnya yang paling dapat diandalkan, yaitu kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu, yang terkenal dengan julukan Hoa-san-Siang-sin-kiam.

Kedua orang murid tertua ini dibantu oleh murid-muridnya yang lain yang jumlahnya semua ada sembilan orang. Pada waktu itu, Hoa-san Kiu-lojin (Sembilan Kakek Hoa-san), yaitu murid ketua Hoa-san-pai ini terkenal dan merekalah yang boleh dibilang menjadi "tiang" Hoa-san-pai. Tentu saja tokoh-tokoh muda yang menjadi anak murid kesembilan orang kakek ini banyak sekali jumlahnya, diantara mereka ada yang menjadi tosu, ada pula yang menjadi orang biasa, namun kepandaian mereka juga terkenal karena memang ilmu silat Hoa-san-pai termasuk ilmu silat yang lihai, terutama sekali ilmu pedangnya.

Ketika pada pagi hari itu seorang pemuda yang tidak dikenal mendaki lereng Hoa-san-pai menuju ke puncak, gerakan-gerakannya telah dilihat oleh para murid Hoa-san-pai yang kebetulan berada di bagian lereng bawah puncak itu.

Segera terdengar suara seorang di antara mereka yang melengking tinggi memberi tanda kepada saudara-saudaranya. Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan khikang dan terdengar bergema sampai jauh. Beberapa detik kemudian terdengarlah lengking-lengking yang sama dari beberapa jurusan sebagai jawaban.

Pemuda itu adalah Keng Hong. Begitu dia mendengar lengking pertama tadi, dia telah menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa dia berada di daerah kekuasaan Hoa-san-pai, maka dia tidak berani bersikap sembrono dan begitu mendengar lengking yang membuktikan kekuatan sinkang itu dia berhenti untuk duduk di bawah pohon, di atas sebuah batu gunung yang hitam sambil menanti perkembangannya karena dia dapat menduga bahwa tentu kehadirannya telah dilihat oleh orang-orang Hoa-san-pai.

Ketika dia mendengar lengking-lengking yang menjawab, dia menghitung. Ada dua belas kali lengking yang menjawab lengking pertama. Diam-diam dia merasa kagum dan tahu bahwa Hoa-san-pai adalah partai persilatan besar yang mempunyai banyak murid pandai.

Keng Hong yang menanti di bawah pohon, bersikap tenang. Tidak lama dia karena segera muncul tiga belas orang yang gerakan-gerakannya gesit turun dari puncak di depan menuju ke tempat dia duduk. Mereka terdiri dari tiga orang wanita berusia tiga puluhan tahun dan sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih empat puluhan tahun. Sikap mereka amat gagah dan di punggung mereka tampak terselip sebatang pedang. Melihat mereka sudah datang dekat, Keng Hong berdiri menanti sampai mereka tiba di depannya. Ia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dadanya sambil menjura dan berkata,

"Siauwte Cia Keng Hong mohon diperkenankan menghadap ketua Hoa-san-pai atau para pemimpinnya. Kedua locianpwe Hoa-san Siang-sin-kiam sudah mengenal siauwte."

"Cia Keng Hong.....?!"

"Srat-srat-sing-singgggg…..!"

Hampir semua mulut menyebut nama itu dan seperti komando, tiga belas batang pedang telah terlolos dari sarungnya, berkilauan di tangan ketiga belas orang murid Hoa-san-pai itu. Dengan gerakan lincah namun teratur mereka itu bergerak mengurung dengan sikap mengancam sekali.

Keng Hong masih tenang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata,

"Harap cu-wi yang gagah perkasa tidak salah sangka. Siauwte datang bukan dengan niat hati buruk, melainkan siauwte sengaja datang untuk menemui para pemimpin Hoa-san-pai dan membersihkan semua urusan gelap yang dahulu timbul. Percayalah, siauwe datang dengan niat hati baik."

"Niat baik pulakah dalam hatimu dahulu yang menyebabkan kematian Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai?" tiba-tiba seorang di antara tiga orang wanita gagah itu betanya, nadanya mengejek dan marah.

"Sama baiknyakah dengan niat hati gurumu yang melarikan anak murid Hoa-san-pai pula, juga mencuri pedang pusaka dan ramuan obat?' seorang murid pria bertanya, nadanya marah.

"Guru dan muridnya sama saja! bahkan menurut Coa-twa-supek, muridnya lebih berbahaya. Tidak boleh dipercaya!" teriakan-teriakan ini dengan kacau terdengar dari banyak mulut dan pedang di tangan mereka yang tadi melintang di depan dada kini telah menodong ke depan, ke arah Keng Hong.

Perlahan-lahan tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai itu melangkah miring ke kanan, kaki bersilang, terbuka lagi, bersilang lagi dan dengan demikian mereka mengitari Keng Hong perlahan-lahan dalam jarak tiga meter dari pemuda yang berada di tengah-tengah lingkaran itu.

Keng Hong yang masih berdiri biasa, tidak menggerakkan tubuh dan dia menghela napas panjang. Kembali niat baiknya jatuh di tempat yang salah, datang-datang dia disambut tiga belas batang pedang telanjang yang menodongnya!

"Cu-wi adalah murid-murid gagah dari sebuah perkumpulan besar. Kalau siauwte diam tak bergerak, tidak melawan sama sekali, apakah cu-wi tetap akan menyerangku dengan senjata cu-wi itu?"

Seorang di antara mereka yang tertua, seorang tosu berjenggot panjang, menjawab,
"Tentu saja! Engkau adalah musuh besar Hoa-san-pai dan kami seluruh anak murid Hoa-san-pai dapat dicuci dengan darahmu!"

Keng Hong menggelengkan kepalanya. Jelas bahwa mereka ini adalah orang-orang yang memiliki watak gagah. Buktinya sejak tadi mereka hanya mengurung dan mengancam saja karena dia tidak pernah bergerak melawan.

Akan tetapi, dendam membuat orang gagah menjadi gelap akal budinya, nafsu telah menguasai kesadaran mereka. Kiranya tidak akan ada gunanya kalau dia berusaha untuk bicara dengan mereka yang hanya memenuhi tugas dan dikuasai nafsu dendam itu. Maka dia lalu berkata,

"Kalau siuwte diam saja cu-wi tetap akan membunuhku. Hemmm, padahal kalau siauwte menghendaki, dengan mudah siauwte dapat bersikap seperti cu-wi dan dalam waktu singkat siauwte dapat membunuh cu-wi sekalian. Akan tetapi kedatanganku ini mengandung niat hati yang baik, maka kalau cu-wi memaksa hendak membunuh siauwte terpaksa siauwte akan melucuti senjata cu-wi sekalian. Kalau siauwte berhasil, siauwte tentu akan menyerahkan diri dan harap cu-wi sudi membawa siauwte menghadap ketua Hoa-san-pai. Bagaimana?"

Wajah ketiga belas orang itu menjadi merah karena marah dan penasaran. Tosu berjenggot panjang itu mengerutkan kening. Boleh jadi mereka semua bukanlah orang yang terlalu lihai, akan tetapi kedudukan mereka di Hoa-san-pai adalah murid-murid tingkat dua, jadi menduduki tingkat pertama sesudah ketua Hoa-san-pai yang sudah tua. Masa kini dengan tiga belas orang menghadapi pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini, dalam waktu singkat pemuda ini akan mampu melucuti senjata mereka?

"Baiklah, pemuda yang sombong! Kami berjanji, kalau engkau dapat melucuti senjata kami, kami akan membawamu menghadap guru-guru kami."

Keng Hong mencurahkan perhatiannya, kedua kakinya masih berdiri biasa, dan dia berkata,

"Kalau begitu, majulah dan seranglah saya!"

Akan tetapi tiga belas orang itu tidak ada yang bergerak menyerangnya, hanya kembali melanjutkan gerakan kaki mereka melangkah miring yang tadi dihentikan ketika mereka bicara. Hanya pedang yang menodongnya kini ditarik kembali melintang di depan dada.

Keng Hong kagum bukan main. Ternyata murid-murid Hoa-san-pai ini amat hati-hati dan agaknya terlatih baik. Kini mereka bersikap untuk bertahan atau mempertahankan senjata mereka agar tidak terampas, dan mereka menanti dia melakukan gerakan lebih dulu! Dari sikap mereka, tahulah dia bahwa tiga belas orang ini memiliki ilmu pedang yang lebih lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Agak berbahaya kalau dia melucuti mereka dengan tangan kosong, kalau dia menggunakan Siang-bhok-kiam yang tersembunyi di balik bajunya tentu akan lebih mudah.

Akan tetapi dia harus dapat menundukkan hati mereka, maka akan lebih mengesankan kalau dia dapat melucuti mereka dengan tangan kosong. Kiranya hanya ilmu pedang mereka yang lihai dan kalau dia menggunakan kekuatan sinkang tentu akan berhasil!

"Cu-wi, awas seranganku!"

Tiba-tiba tubuhnya membalik ke kiri melakukan pukulan dengan tangan ke arah seorang laki-laki tinggi besar dan yang cepat mengelebatkan pedang membacok lengannya, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga membacok lengan itu. Mereka bertiga ini bekerja sama, sekaligus menangkis dan mengancam untuk membabat putus lengannya. Akan tetapi tiba-tiba Keng Hong membalikkan tubuh secepat kilat sehingga tidak tersangka-sangka oleh semua penggeroyoknya dan benar saja dugaannya.

Pada saat tiga orang yang berada di depannya itu menangkis, yang sepuluh orang di belakangnya telah menggerakkan pedang, ada yang menusuk dan ada yang membacok. Sambil membalikkan tubuhnya itu, kedua tangannya mendorong ke depan mengeluarkan sinkang yang amat kuat.

Angin dorongan kedua tangannya seperti angin taufan meniup dan sepuluh orang itu terhuyung ke belakang sambil mengeluarkan seruan kaget. Karena keadaan mereka kacau balau karena kaget ini, mereka menjadi makin panik ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebatan di depan mereka.

Seorang demi seorang merasa lengan kanan mereka lumpuh dan tahu-tahu pedang mereka telah terampas oleh Keng Hong. Pemuda lihai ini cepat membalik ketiga orang yang kini berada dibelakangnya itu berseru keras sambil menyerang nekat melihat saudara-saudaranya sudah dirampas pedangnya. Keng Hong menggunakan sebuah pedang rampasan, yang sembilan buah dipondong di lengan kiri, menangkis sambil mengerahkan tenaga.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: