*

*

Ads

FB

Selasa, 09 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 096

"Keng Hong....!"

Biauw Eng juga menyebut nama yang selama ini terukir di hatinya. Hatinya menjeritkan nama ini akan tetapi bibirnya hanya berbisik lirih. Getaran hatinya membuat kedua lengannya terulur, seolah-olah ia hendak menyambut mustika yang selama ini hilang dan kini muncul kembali. Akan tetapi kedua lengannya itu lemas kembali. Kedua matanya menjadi basah ketika mulutnya melanjutkan bisikan,

"... Syukurlah...engkau.... engkau.... masih hidup...."

Melihat betapa kini dua butir air mata seperti butiran-butiran mutiara menitik turun dari balik bulu mata itu, kaki Keng Hong menggigil. Biauw Eng menangis? Gadis yang terkenal berdarah dingin, yang dijuluki Si Cantik Berkabung, yang berhati dingin seperti salju dan keras seperti baja, kini menitikkan air mata? Ah, tentu sakit rasa hati gadis ini teringat akan segala fitnah keji yang dia lontarkan dahulu itu di puncak Kun-lun-san! Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri berlutut sambil melangkah maju sehingga dia berlutut dekat sekali di depan kaki Biauw Eng.

"Maafkan aku.... Ampunkan aku, Biauw Eng ..... aku .... Aku mengaku bersalah kepadamu, Sudikah engkau memaafkan aku.....?"

"Jangan.... jangan berlutut, Keng Hong. Ah, Keng Hong..... Keng Hong....."

Tubuh gadis itu terhuyung hendak roboh. Keng Hong meloncat bangun dan cepat memeluk tubuh gadis itu. Biauw Eng terisak, merapatkan mukanya di dada orang yang semenjak dahulu dicintanya sepenuh hatinya ini. Diantara isaknya ia hanya dapat berbisik,

"Keng Hong..... Keng Hong.....!"

Seolah-olah bisikan itu merupakan jeritan hatinya yang penuh rindu dan duka. Ketika merasa betapa tubuh yang lemas itu menggetar dalam pelukannya, betapa dadanya terasa basah hangat oleh air mata yang menyerap masuk menembus bajunya, Keng Hong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menggunakan kedua lengannya mendekap kepala dan muka itu dengan erat, seolah-olah ia hendak memasukkan kepala itu ke dalam dadanya, dan dua butir air mata membasahi bulu matanya dan akhirnya menitik turun ke atas pipinya.

"Biauw Eng, betapa besar dosaku kepadamu. Betapa kejinya perbuatanku terhadapmu. Engkau telah menolongku berkali-kali dan aku membalasnya dengan lontaran fitnah keji yang tak tahu malu. Betapa bodohnya aku..."

"Keng Hong... Keng Hong.....!"

Biauw Eng terisak, hanya mampu memanggil nama yang dicintanya dan dirindukannya ini berkali-kali, kedua lengannya memeluk dan melingkari pinggang Keng Hong, didekapnya erat-erat seolah-olah ia takut kalau akan terpisah dan kehilangan pemuda ini lagi.






"Biauw Eng, maafkanlah aku akan segala kesalahanku dahulu. Aku dahulu seperti gila, seperti buta kedua mataku..."

Tiba-tiba Biauw Eng merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Keng Hong, wajahnya pucat dan matanya terbelalak mencari Lai Sek. Ketika melihat pemuda itu masih berdiri seperti patung di bawah pohon, ia lalu meloncat lari menghampiri dan berseru.

"Sim-koko.. ah, Koko....!"

Gadis yang mendengar Keng Hong mengatakan matanya seperti buta itu teringat akan Lai Sek dan kini ia menangis di pundak pemuda buta itu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.

Keng Hong seperti sadar dari sebuah mimpi. Kini dia memandang pemuda buta yang tadi dia lupakan. Mendengar Biauw Eng menyebut she pemuda itu, dan setelah dia memandang penuh perhatian, dengan hati yang tidak karuan rasanya, teringatlah dia bahwa pemuda itu adalah Sim Lai Sek, adik kandung mendiang Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai yang pernah berenang di lautan cinta bersamanya dan bahkan kemudian tewas dalam pelukannya karena senjata rahasia milik Biauw Eng yang dilepaskan oleh Cui Im.

"Engkau Sim Lai Sek....!"

"Bagus kalau engkau masih mengenalku, Cia Keng Hong manusia rendah budi, berwatak hina dan pengecut!" Sim Lai Sek melepaskan rangkulan Biauw Eng dan penuh amarah berjalan maju.

Akan tetapi kakinya tersandung akar pohon dan tubuhnya terguling. Cepat Biauw Eng menyambar lengannya sehingga pemuda buta ini tidak sampai hatuh, kemudian Lai Sek menudingkan telunjuknya kearah Keng Hong sambil berkata dengan sura nyaring penuh kebencian.

"Cia Keng Hong manusia terkutuk! Engkau telah merayu dan membujuk ciciku, menodainya dengan cintamu yang palsu, kemudian membunuhnya! Dan engkau laki-laki pengecut ketika di puncak Kun-lun-san melemparkan fitnah kepada nona Sie Biauw Eng! Sungguh manusia tak tahu malu, sekarang masih pura-pura membelanya dan minta maaf dengan rayuan lidahmu yang bercabang seperti lidah ular...!" Saking marahnya, napas pemuda buta ini terengah-engah.

"Koko...!" Biauw Eng berseru menahan isak.

Keng Hong tersenyum pahit.
"Sim Lai Sek, aku telah bersalah dan engkau boleh memakiku sesukamu, akan tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak membunuh encimu!"

"Apa? Tidak membunuhnya?" Pemuda itu saking marahnya melangkah maju lagi tiga tindak dan telunjuknya menuding. "Engkau tidak membunuhnya dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu! Tanganmu tidak berlumur darah enciku, akan tetapi hatimu berlepotan darahnya! Kalau engkau tidak membujuknya, tidak menodainya, apakah perempuan iblis Bhe Cui Im yang menjadi kekasihmu itu akan turun tangan membunuhnya karena cemburu? Karena engkaulah enciku mati! Engkau yang membunuhnya! Engkau....!"

Menghadapi pemuda buta yang menudingnya dan mengucapkan kata-kata keras itu. Keng Hong menjadi pucat mukanya dan melangkah mundur dua tindak. Ia merasa jantungnya seperti ditusuk karena tuduhan itu sama benar dengan rasa penyesalan hatinya. Secara tidak langsung dia telah membunuh Sim Ciang Bi dan gadis-gadis lainnya karena dialah yang menjadi sebab kematian mereka. Ia melirik ke arah Biauw Eng yang memandangnya dengan air mata bercucuran.

"Terserah kepadamu, Sim Lai Sek. Aku tidak akan membantah. Biauw Eng aku tahu bahwa engkau cinta kepadaku, seperti yang kau katakan di depan ibumu, di depan banyak orang di Kun-lun-san. Dahulu aku seperti buta, lebih buta dari pemuda gagah ini, buta oleh nafsu tetapi sekarang terbuka mata hatiku dan aku tahu pula dengan penuh keyakinan bahwa aku mencintamu, Biauw Eng...."

"Keparat jahanam!" Lai Sek meloncat maju dan memasang kuda-kuda pembukaan ilmu silat Hoa-san-pai. "Setelah membujuk dan membunuh enciku, kini engkau hendak membujuk Biauw Eng? Tidak boleh! Engkau harus membunuh aku lebih dulu. Hayo, kita sama-sama jantan dan biarpun aku buta, aku siap mempertaruhkan nyawaku mempertahankan gadis yang kucinta, mari bertanding sampai mati Keng Hong!"

Keng Hong terbelalak memandang. Melihat pemuda buta yang berjalan saja tersandung hampir jatuh itu kini memasang kuda-kuda menantangnya, sungguh menggelikan dan juga mengharukan sekali. Ia menghela napas panjang dan berkata kepada Biauw Eng yang memandang sambil menangis.

"Kini terserah kepadamu, Biauw Eng. Kalau engkau sudi mengampuni aku dan masih mencintaku, marilah engkau ikut bersamaku, menjauhkan diri daripada segala keruwetan dunia. Aku cinta padamu!"

Sejenak Biauw Eng bingung, memandang kuda-kuda itu, berganti-ganti. Kemudian lari menghampiri Lai Sek, memeluk pundaknya dan menangis.

"Koko... Aku... Aku... Tidak bisa meninggalkanmu…."

Lega hati Lai Sek dan dengan lengan kiri memeluk pinggang Biauw Eng yang ramping dia berkata kepada Keng Hong,

"Nah, laki-laki rendah budi. Engkau mendengar sendiri! Apa yang kau lakukan sekarang? Membunuhku kemudian memperkosa Biauw Eng seperti yang biasa kau lakukan kepada semua wanita muda dan cantik?"

Panas hati Keng Hong, akan tetapi dia menekan kemarahannya dengan kesadaran bahwa Lai Sek bersikap seperti itu kepadanya karena dorongan sakit hati atas kematian encinya. Ia menghela napas dan rasa panas di dadanya lenyap, kemudian dia tersenyum pahit mengelus hatinya yang sakit, dan berkata halus,

"Jangan khawatir, Sim Lai Sek. Aku tidak akan mengganggu engkau dan Biauw Eng. Biauw Eng telah bersikap bijaksana telah melakukan pilihan yang tepat sekali. Kuharap engkau akan hidup bahagia Biauw Eng. Pilihanmu tepat. Lai Sek adalah seorang pemuda gagah perkasa, murid Hoa-san-pai yang patut dibanggakan. Aku hanya bisa menghaturkan selamat, kalau saja doa seorang rendah budi dan pendosa macam aku ini ada harganya bagi kalian. Selamat tinggal..."

Keng Hong menahan air mata dari sepasang matanya yang panas, kemudian membalikkan tubuh secara tiba-tiba dan berkelebat pergi dari situ mempergunakan ilmu kepandaian berlari cepat.

"Keng Honggg....!"

Jerit yang melengking sekuatnya dari dasar hati Biauw Eng ini tidak mengeluarkan suara, melainkan menggema di rongga dada dan menghimpit jantung. Wajahnya seketika pucat, rangkulannya pada pundak Lai Sek terlepas dan gadis ini roboh terguling ke atas tanah!

Betapapun lihainya gadis ini, tidak kuat ia menahan tekanan batin yang amat hebatnya itu. Ketika terpaksa ia "memilih" Lai Sek, ia melakukan hal ini karena mana mungkin ia tidak mempunyai siapa-siapa dan telah menjadi buta karena dia itu? Akan tetapi ketika melihat pemuda yang dicintanya itu pergi dengan muka pucat, dengan air mata bertahan, dengan hati hancur dan hal ini diketahuinya betul, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Tadi ia telah menerima hantaman jubah di tangan Thian Kek Hwesio, sudah terluka di sebelah dalam dadanya. Kini himpitan batin itu membuat lukanya menghebat dan ketika ia menjeritkan nama Keng Hong, melainkan darah segar yang dimuntahkannya kemudian ia roboh pingsan!

"Biauw Eng....!"

Lai Sek menubruk tubuh yang pingsan itu. Ia menjadi bingung, mengguncang-guncang memanggil-manggil dan meraba-raba muka gadis yang dicintanya. Akan tetapi tubuh Biauw Eng lemas, napasnya lemah sekali.

"Biauw Eng... Biauw Eng....!" Lai Sek memanggil-manggil dan dia menduga-duga yang bukan-bukan. Jangan-jangan kekasihnya telah dibunuh orang seperti yang terjadi pada encinya! "Biauw Eng....!"

Biauw Eng membuka matanya perlahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah muka Lai Sek yang penuh kegelisahan kemudian pandang matanya bergerak memandang kedua tangan pemuda buta itu yang penuh darah, darah yang dimuntahkan tadi membasahi leher dan karena tangan Lai Sek mengguncang-guncang dan meraba-rabanya, diluar pengetahuan pemuda itu kedua tangannya menjadi berlepot darah.

Melihat ini, Biauw Eng teringat kepada Keng Hong dan ia merasa seolah-olah darah yang berlepotan di kedua tangan Lai Sek itu adalah darah Keng Hong. Darah yang mengucur keluar dari hati Kang Hong yang diremas-remas oleh kedua tangan Lai Sek.

"Engkau... Engkau kejam!" tiba-tiba ia berkata sambil bangkit duduk.

Lai Sek menjadi lega hatinya, mengira bahwa Biauw Eng memaki Keng Hong yang sudah pergi.

"Biauw Eng, engkau tidak apa-apa....?"

Biauw Eng seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Ia menatap wajah pemuda itu dan berkata lagi,

"Sim Lai Sek, engkau.... manusia kejam...!"

Kini Lai sek terkejut bukan main. Suara gadis itu menggetar setengah berbisik, penuh kedukaan yang hebat, akan tetapi amat dingin.

"Apa... Apa maksudmu...?" Ia bertanya penuh kekhawatiran dan hendak memegang pundak Biauw Eng.

"Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang berdarah. Berdarah dengan darah yang mengucur dari hati Keng Hong, Engkau kejam sekali!"

"Eh, Biauw Eng! Apa.... apa kesalahanku..?"

"Sim Lai Sek, engkau kejam sekali. Mengapa engkau memaki-maki seperti itu? Dia tidak bersalah, dia tidak berdosa, akan tetapi engkau menyerangnya dengan penghinaan dan maki-makian yang lebih tajam dari bacokan dan senjata pedang. Mengapa engkau menyiksa hatinya seperti itu?" Kini suara Biauw Eng mengandung kemarahan dan membuat Lai Sek lebih bingung lagi.

"Aku benci sekali padanya, Biauw Eng. Dia telah menyebabkan kematian enciku, satu-satunya orang yang kumiliki saaat itu, pengganti kedua orang tuaku. Aku benci sekali kepada Keng Hong dan andaikata aku tidak buta dan andaikata aku berkepandaian, aku tentu tidak akan memakinya, melainkan membunuhnya."

"Tapi dia tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh encimu, dan dia pun tidak memperkosa encimu. Kalau sampai terjadi hubungan cinta, tentu encimu yang tergila-gila kepadanya!"

Suara Biauw Eng makin marah karena hatinya penuh dengan rasa iba terhadap Keng Hong.

"Biauw Eng! Engkau malah menyalahkan enciku?"

"Aku hanya bicara sebenarnya!"

Keduanya sama panas hati dan sama marah. Sampai lama mereka terdiam, akhirnya Lai Sek mengeluarkan suara, kini tidak lagi mengandung rasa marah dan penasaran, kata-katanya halus dan lemah,

"Biauw Eng, engkau... Mencinta Keng Hong?"

"Sudah sejak dahulu aku mencinta Keng Hong dan engkau pun sudah tahu akan hal ini,"

Biauw Eng yang belum dapat mengenyahkan rasa kemarahannya karena sikap Lai Sek terhadap Keng Hong.

Lai Sek menundukkan mukanya, keningnya berkerut-kerut, garis tegak lurus membagi mukanya dari atas hidung sampai ke dalam mata yang buta itu dipejamkan rapat-rapat dan urat di kedua pelipis berdenyut-denyut, suaranya menggetar ketika dia berkata, halus penuh penerimaan dan penyerahan,

"Kalau begitu, Biauw Eng. Mengapa engkau tadi tidak pergi bersama Keng Hong? Aku seorang buta yang tak berharga, mengapa engkau menyiksa hati dan tidak meninggalkan aku saja? Aku akan rela kau tinggalkan, Biauw Eng. Aku tahu diri akan keadaanku yang tidak akan dapat membahagiakanmu...."

Biauw Eng memandang wajah itu dan keharuan membanjiri hatinya, mengusir semua kemarahan tadi. Sadarlah ia betapa sikapnya amat menyakitkan hati Lai Sek. Pemuda ini tidak pernah menuntut kebutaan matanya, tidak pernah membujuknya, sungguhpun pemuda ini menyatakan cintanya yang amat besar.

"Koko, maafkan aku, Koko...!" Ia menubruk dan merangkul pundak pemuda itu. "Aku bingung... Akan tetapi aku takkan dapat meninggalkanmu. Maafkan aku!"

Lai Sek tersenyum sedih dan mengelus-elus rambut kepala gadis yang dicintanya sepenuh jiwa raganya itu.

"Akan tetapi, engkau mencinta Keng Hong, tak mungkin engkau dapat membagi cinta kasihmu kepadaku, Biauw Eng."

"Aku tidak perlu berbohong kepadamu, Koko. Memang cinta kasih di hatiku kuserahkan kepada Keng Hong. Akan tetapi jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, Koko. Kalau engkau ragu-ragu, kuserahkan tubuhku kepadamu, kalau kau kehendaki sekarang juga!"

"Apa... Apa katamu....?" Lai Sek terkejut.

Biauw Eng menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda buta itu.
"Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ambillah sekarang juga. Aku rela dan agar kau percaya kepadaku!"

Lai Sek yang memeluk tubuh itu tersenyum duka, menggeleng kepala dan berkata halus,

"Aku bukan laki-laki macam itu, kekasihku. Cintaku kepadamu bukanlah semata-mata cinta berahi. Cintaku terhadap orang tuaku yang telah tiada, cintaku terhadap enciku yang terbunuh kini semua kubulatkan menjadi cintaku kepadamu. Aku tidak akan mempergunakan kesempatan akan kerelaan dan kepasrahanmu ini, Biauw Eng. Tidak! Dijauhkan Tuhan aku daripada perbuatan-perbuatan itu. Aku akan memiliki ragamu setelah hubungan kita disyahkan dalam pernikahan dan sebelum itu engkau bebas, kekasihku. Aku tidak mau menyalahgunakan kepercayaanmu."

**** 096 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: