*

*

Ads

FB

Selasa, 09 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 098

"Trang-trang-trang!"

Tiga batang pedang di tangan tiga orang murid Hoa-san-apai itu terlempar ke atas. Keng Hong meloncat ke atas, memutar pedang rampasan yang dipakai menangkis tadi, terus diputar menerima tiga batang pedang yang melayang turun dan.....pedang-pedang itu seperti melekat pada pedangnya, ikut berputar, kemudian dia ambil dengan cara melepaskan empat batang pedang itu semua kini telah berada dalam pondongan lengan kirinya!

Tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai memandangnya dengan muka pucat dan mata terbelalak, mulut ternganga. Bagi mereka, sungguh merupakan keajaiban betapa pemuda itu sedemikian mudahnya merampas pedang mereka tanpa mereka sangka, dan bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana tiba-tiba lengan mereka menjadi lumpuh dan pedang mereka terlepas!

Sesungguhnya, ilmu pedang ketiga belas orang ini sudah hebat, dan andaikata Keng Hong hanya mengandalkan ilmu silat, sungguhpun dia telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat tinggi peninggalan suhunya dan disempurnakan dengan ilmu dalam kitab Thai-kek Sin-kun kiranya tidak akan mudah baginya untuk menangkan pengeroyokan itu dalam waktu singkat. Bahkan agaknya dia baru akan dapat merampas pedang setelah merobohkan mereka, sedikitnya melukai mereka.

Akan tetapi pemuda yang cerdik ini mempergunakan sinkangnya yang amat hebat itu dapat membuat lawannya terhuyung dan kacau, kemudian mempergunakan kecepatan gerakan yang didasari ginkang tinggi, merampas pedang dan menotok pundak!

"Telah siauwte katakan bahwa siauwte tidak datang untuk bermusuhan, maka siauwte persilakan Cu-wi menerima kembali pedang masing-masing dan sudilah mengantarkan siauwte naik menghadap ketua Hoa-san-pai."

Lengannya tidak bergerak, akan tetapi ketiga belas batang pedang itu mendadak seperti hidup dan terbang kepada ketiga belas orang murid Hoa-san-pai yang menjadi kaget dan cepat menangkap pedang-pedang itu. Sambil memandang penuh kaget, kagum dan jerih, mereka menyarungkan kembali pedang mereka dan tosu berjenggot panjang berkata,

"Baiklah, kami tidak akan melanggar janji, mari kami antar menghadap guru-guru kami."

Keng Hong menjura penuh hormat dan berkata dengan sikap merendah sehingga dengan sendirinya menghapus sebagian besar rasa penasaran dan kemarahan mereka yang menyangka pemuda yang sudah menang itu tentu akan bersikap sombong,

"Silakan, cu-wi, kalau cu-wi meragukan niat baikku, biarlah siauwte berjalan di tengah sehingga menjadi orang tangkapan cu-wi."

Karena dia bicara dengan jujur, bukan mengejek, tiga belas orang itu tidak tersinggung dan beramai-ramai mereka lalu mengawal Keng Hong yang berjalan di tengah naik ke puncak.






Makin tinggi ke puncak, makin banyaklah anak murid Hoa-san-pai yang kini mengikuti rombongan ini dan ramai mereka membicarakan pemuda yang mereka kawal, pemuda yang semenjak dahulu di anggap musuh besar Hoa-san-pai, akan tetapi yang kini datang sendiri dengan "niat baik". Mereka ingin sekali melihat apakah yang akan terjadi kalau pemuda ini berhadapan dengan guru-guru mereka.

Seorang murid telah lebih dahulu melaporkan ke atas. Ketika kedua orang kakek Coa mendengar bahwa Cia Keng Hong datang minta menghadap, dan menundukkan tiga belas orang murid yang bersenjata pedang dengan tangan kosong, mereka berdua bersama tujuh orang sute mereka lalu siap mengadakan penyambutan di dalam ruangan lebar yang biasanya dipergunakan sebagai tempat berlatih.

Mengingat akan pentingnya persoalan yang mereka hadapi, yang menyangkut nama baik Hoa-san-pai, apalagi mengingat bahwa yang datang adalah murid Sin-jiu Kiam-ong yang dahulu ketika merampas pedang pernah mengalahkan guru mereka, maka kedua orang kakek she Coa ini memberitahukan pula kepada guru mereka yang sedang bersamadhi didalam kamarnya.

Mendengar laporan dua orang muridnya, Bun Hoat Tosu yang tua itu mengangguk-angguk dan berkata,

"Dia sudah datang, itu baik sekali, apa pun yang dikehendakinya, kita harus menyambutnya dan menyelesaikan segala urusan. Tidak baik hati mengandung dendam yang tidak terselesaikan, hal itu akan meracuni hati sendiri." Maka keluarlah kakek tua ini dengan bertongkat, menuju ke ruangan lian-bu-thia ini.

Keng Hong merasa hatinya gentar dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilngi pagar hidup berupa anak murid Hoa-san-pai yang berdiri dengan disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan semua mata ditujukan kepadanya. Jumlah anak murid yang berkumpul disitu dia taksir kurang dari seratus orang!

Ketika dia memandang ke dalam ruangan, dia melihat seorang kakek tua sekali duduk memegangi tongkat dari akar cendana berbentuk naga didampingi Hoa-san Siang-sin-kiam dan tujuh orang tosu lain yang kesemuanya bersikap gagah dan keren. Diam-diam Keng Hong berdoa dalam hatinya semoga dia akan berhasil dalam menyelesaikan urusan dengan Hoa-san-pai secara damai. Kalau dia gagal sangat boleh jadi dia akan tewas di tempat ini!

Para pengawalnya berhenti di luar ruangan dan menggabung dengan murid-murid lain yang berdiri mengelilingi ruangan itu diluar. Keng Hong melangkah maju dengan sikap hormat sampai terpisah kira-kira lima meter dari ketua Hoa-san-pai dan sembilan orang Hoa-san Kiu-lojin, kemudian dia menjura dan membungkuk sampai dalam sambil berkata,

"Boanpwe (saya yang rendah) Cia Keng Hong, menghaturkan hormat kepada Locianpwe yang mulia sebagai pimpinan Hoa-san-pai."

Suasana hening sekali setelah dia bicara itu sehingga andaikata ada sebatang jarum jatuh ke lantai tentu akan terdengar nyata.

"Cia Keng Hong, apakah kehendakmu mendatangi Hoa-san-pai?" terdengar suara Coa Kiu yang nyaring dan penuh wibawa.

Keng Hong mengarahkan pandang matanya kepada kakek itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Sinar mata kakek itu penuh selidik dan mengandung kemarahan, akan tetapi Keng Hong memandang dengan ramah dan tenang.

"Coa-locianpwe, saya sengaja menghadap untuk bicara dengan ketua Hoa-san-pai." Ia melirik ke arah kakek tua yang belum pernah dia kenal itu.

"Siancai.... bicaramu menarik seperti Sin-jiu Kiam-ong. Wajah dan sikapmu mengingatkan pinto akan Sie Cun Hong. Orang muda, pinto adalah ketua Hoa-san-pai, Engkau hendak bicara apa?"

"Maafkan saya, Locinpwe. Saya amat berterima kasih bahwa Locianpwe sudi menerima saya yang muda dan bodoh dan sudi memberi kesempatan kepada saya untuk bicara. Hati saya selamanya tidak akan tenteram kalau belum bicara urusan yang timbul antara mendiang suhu dan saya sendiri dengan Hoa-san-pai, dan besar harapan saya bahwa Locianpwe akan cukup bijaksana untuk membicarakan semua kesalah fahaman itu sehingga segala bentuk permusuhan dapat dihabiskan sampai disini saja.”

"Enak saja bicara! Dosa gurumu dan engkau sudah bertumpuk-tumpuk setinggi langit, minta didamaikan bagaimana?" bentak Coa Bu dengan suara marah.

Bun Hoat mengangkat tangan ke arah muridnya itu dan tersenyum, kemudian memandang kepada Keng Hong sambil mengangguk-angguk.

"Orang muda, engkau pandai bicara. Coba teruskan bicaramu. Bagaimana engkau akan mengusulkan tentang segala perbuatan yang telah dilakukan gurumu dan engkau sendiri?"

Keng Hong masih bersikap tenang. Ia maklum bahwa segala keputusan tergantung kepada kebijaksanaan kakek tua itu, maka dia harus dapat menundukkan kakek ini dengan kata-kata yang tepat karena kalau dia gagal, dia akan menghadapi ancaman maut di tempat ini.

"Locianpwe. Untuk menelaah urusan ini, sebaiknya kalau perkaranya sendiri dibicarakan. Maaf, bukan maksud saya untuk mendongkel-dongkel kembali urusan lama. Akan tetapi, karena yang menjadi mula-mula urusan ini adalah perbuatan guru saya terhadap Hoa-san-pai, maka sebaiknya kalau saya membicarakan urusan guruku itu. Kalau saya tidak salah mendengar cerita suhu dahulu, permusuhan antara suhu saya dan Hoa-san-pai terjadi karena seorang murid wanita Hoa-san-pai lari bersama suhu..."

"Dilarikan! Dicuri!" Coa Kiu memotong.

Keng Hong tersenyum memandang wajah ketua Hoa-san-pai.
"Benarkah dilarikan dengan paksa, Locianpwe? Menurut sepanjang pendengaran saya, suhu tidak pernah memaksa seorang wanita..."

Bun Hoat Tosu mengelus jenggotnya yang putih seperti benang perak.
"Memang lari bersama Sie Cun Hong karena dibujuk omongan manis, akan tetapi dilarikan secara paksa."

"Demikianlah, baik dilarikan maupun lari secara suka rela, akan tetapi seorang murid wanita Hoa-san-pai pergi bersama suhu. Dan urusan ke dua, suhu mengambil sebuah pedang Hoa-san-pai juga ramuan obat."

Kakek itu mengangguk-angguk.

"Locianpwe, semua perbuatan suhu memang bersalah, akan tetapi karena beliau telah meninggal dunia, apakah sepatutnya dia dikejar-kejar terus, dan apakah sudah semestinya kalau muridnya juga harus memikul dosanya?"

"Urusan murid wanita dan ramuan obat, karena murid itu sudah meninggal dan obat itu sudah habis, tidak perlu dibicarakan, orang muda. Akan tetapi pedang pusaka itu tidak bisa lenyap dan tentu jatuh ke tanganmu. Pedang itu harus dikembalikan kepada Hoa-san-pai."

Keng Hong mengangguk.
"Tepat dan adil sekali, dan sudah semestinya begitu, Locianpwe. Akan tetapi pedang pusaka Hoa-san-pai itu telah dicuri oleh Bhe Cui Im, murid Lam-hai Sin-ni!"

"Ahhhhh...!"

Seruan ini keluar dari mulut sembilan orang murid Hoa-san-pai, dan hanya ketua itu yang masih tenang sikapnya.

"Saya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong, merasa berkewajiban untuk menebus kesalahan suhu dan saya bersumpah untuk mencari dan merampas kembali pokiam itu, dikemudian hari pasti akan saya haturkan kepada Locianpwe di sini!"

"Apakah sumpahmu akan kau penuhi, orang muda?"

"Locianpwe, kalau saya tidak akan memenuhi sumpah saya, untuk apa saya datang menghadap Locianpwe untuk bersumpah? Kalau saya tidak memenuhi janji mengembalikan pedang, tentu saya tetap dianggap musuh besar Hoa-san-pai, padahal kedatangan saya menghadap Locianpwe ini justru hendak melenyapkan segala macam permusuhan."

Kembali kakek itu mengangguk-angguk dan hati Keng Hong merasa lega karena agaknya urusan yang menyangkut suhunya sudah dapat dia bereskan, sungguhpun belum lenyap, namun sedikitnya telah mendinginkan permusuhan itu dan meredakan kemarahan Hoa-san-pai terhadap suhunya.

"Sekarang bagaimana pertanggung jawabmu tentang perbuatanmu sendiri orang muda? Pinto mendengar laporan-laporan yang amat tidak menyenangkan hati, dan amat tidak baik."

Kini tosu tua itu memandangnya dan diam-diam Keng Hong terkejut melihat betapa sepasang mata tua di balik bulu mata yang putih itu menyorot seperti kilat menyambar. Ah, kakek ini amat hebat dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya, pikirnya dengan hati berdebar.

"Maaf, Locinpwe. Lebih baik saya bicara terus terang terhadap Locianpwe yang bijaksana. Saya mengaku bahwa memang saya telah melakukan hubungan cinta dengan mendiang Sim Ciang Bi murid wanita Hoa-san-pai. Akan tetapi hal ini merupakan urusan antara seorang pria dan seorang wanita yang melakukannya atas kehendak dan kerelaan sendiri tanpa ada yang memaksa, merupakan suatu kejadian wajar dan lumrah kalau terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang saling tertarik dan saling suka...."

"Hubungan gelap! Hubungan kotor, hubungan karena dorongan nafsu berahi!" Tiba-tiba Coa Bu tokoh Hoa-san Siang-sin-kiam yang lebih muda, membentak marah.

Dengan tenang dan sabar Keng Hong memandang kakek itu, tersenyum pahit dan berkata,

"Terserahlah apa yang Totiang katakan atas hubungan anak-anak manusia muda yang belum mampu mengendalikan dirinya itu. Akan tetapi, hubungan kotor atau bersih, gelap maupun terang, hal itu adalah urusan saya dan Sim Ciang Bi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pai sama sekali. Ataukah... ada peraturan istimewa di Hoa-san-pai yang mengikat sehingga setiap orang anak murid Hoa-san-pai tidak dapat bebas lagi dalam segala hal mengenai pribadinya, sehingga untuk memilih pacar sekalipun harus ditentukan oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang duduk di pimpinan seperti JI-wi Totiang dari Siang-sin-kiam?"

"Hemmm, Cia Keng Hong, hati-hati menjaga mulutmu!" Coa Kiu membentak dengan muka merah.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: