*

*

Ads

FB

Selasa, 09 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 094

“Koko, diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak.

Gadis ini sementara dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui orang lain, Apalagi kalau kematian itu disebabkan tangan sucinya sendiri, murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara dia dan Cui Im, dan tidak perlu diketahui orang lain.

"Losuhu, pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan kalau Losuhu tidak percaya omonganku, terserah, Losuhu sekalian mau apa. Aku tidak takut!"

"Omitohud... Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio.

"Suheng, terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh."

Seorang di antara empat orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan mengurung Biauw Eng.

"Song-bun Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus turun tangan membasmi dari muka bumi!"

Sambil berkata demikian, Thian Kek Hwesio sudah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya sendiri!

"Para Losuhu tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakan kedua tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan! "Nona Sie Biauw Eng tidak bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling mulia di dunia ini.., harap jangan membunuh dia....!"

"Omitohud.... orang yang sudah terancun cinta, bukan hanya buta mata juga buta hatinya...." kata seorang di antara para hwesio itu sambil menggeleng-geleng kepala karena kasihan.

"Koko, kau duduklah ! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!"

Ia menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan itu.






Thian Kek Hwesio berseru keras dan jubah di tangannya sudah menyambar dengan kekuatan yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar.

Biauw Eng maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia mengelak ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang dahsyat. Pada detik selanjutnya, dua buah toya lagi menyambar, yang sebuah menyerampang kaki, yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil meloncat mundur agak tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan.

Thian Kek Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Adapun empat orang hwesio lainnya adalah sute-sutenya, dan sungguhpun kepandaian dan tenaga sinkang mereka tidak setinggi suheng mereka namun mereka inipun termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi ketika mereka mengeroyok Biauw Eng mereka yang maklum akan kelihaian gadis itu, telah menggunakan gerakan-gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seolah-olah lima orang lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.

Biauw Eng terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk menjaga diri. Ia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, kalau ia melawan mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat mengalahkannya.

Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar amat teratur sehingga ia tidak mampu menekan seorang saja untuk merobohkan mereka seorang demi seorang. Gadis itu kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu bagian tengah sehingga kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi banyak saking cepat gerakannya.

Kalau hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkangnya yang luar biasa untuk berloncatan kesana kemari, mengelak dan menangkis. Gerakan Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan dia laksana seekor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak ditangkap oleh lima orang anak-anak.

Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu takkan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini. Juga ia mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka ia mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Setidaknya ia harus dapat merobohkan seorang diantara mereka. Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara mereka.

Tiba-tiba jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Selain tubuhnya mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua toya menghantamnya dari kanan! Cepat ia menggunakan sehelai ujung sabuknya membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkangnya secara tiba-tiba menarik toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan.

Pada detik itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan perlahan.

Akan tetapi pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk jaraknya sudah terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan menangkis jubah itu dengan lengannya. Kalau jubah itu mengandung saluran sinkang menjadi kaku, tentu akan tertangkis menjadi lemas dan biarpun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk ke belakang dan ujung yang mengandung tenaga dasyat itu menghantam punggung Biauw Eng dengan kuatnya.

Biauw Eng mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya tusuk kode bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata Thian Kek Hwesio dan ulu hatinya! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga tiga buah senjata itu runtuh semua.

Thian Kek Hwesio menghampiri sutenya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu menotok punggung dan pundak sutenya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah sembuh kembali, sedangkan Biauw eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya sungguhpun ia merasa betapa dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia menerjang maju sambil berseru keras.

"Haaaiiiiiitttt!"

Sabuk sutera berubah menjadi sinar putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih berduri yang menyambar ke arah lima orang pengeroyoknya. Akan tetapi, kelima orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar putih panjang.

Thian Kek Hwesio yang berpemandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang hendak mengadu nyawa, maka dia memberi aba-aba kepada para sutenya untuk bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan pertahanan yang amat kuat.

Biauw Eng biarpun lihai, namun kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu marah dan terus mengamuk seperti harimau terluka. Namun semua serangannya gagal semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, dilemparkan ke arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, ia mengamuk dengan sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan.

Namun karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap dan dielakkan. Mereka kini mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa kalau tenaga gadis itu sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi dia dan sutenya untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini.

Sim Lai Sek yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang kaku, kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, jari-jari tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan matanya karena dia tidak dapat melihat jalannya pertempuran pertempuran atau lebih tepat lagi, dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh lima orang hwesio yang dia tahu tentu amat kosen itu. Bagi dia yang hanya dapat mendengarkan jalannya pertempuran itu, terasa bukan main lamanya dan ketegangan hatinya makin memuncak, apalagi ketika dia mendengar kekasihnya mengeluh lirih.

Tepat seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng makin menjadi lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya, kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biarpun masih menyambar-nyambar namun tidak sepanjang tadi.

Mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang amat kuat. Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi para sutenya untuk turun tangan menyerang. Serangan mereka tidak bertubi-tubi terlalu cepat seperti tadi, melainkan secara bergiliran. Akan tetapi karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali.

Sekali kali menangkis dengan sabuknya, ia merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin sekali sehingga setiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya, sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak melepaskan libatannya, tentu bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sendiri yang akan terampas lawan!

Kini bagi lima orang hwesio itu, tinggal tunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, melainkan hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula, mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju satu-satu, mereka tentu kalah. Dalam pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio, maka bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, adalah merupakan "kewajiban" untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi!

Karena Biauw Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai Sek mendengarkan gerakan kaki dan angin gerakan tubuh dan senjata mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu terancam bahaya maut.

Pada saat yang amat kritis bagi Biauw Eng itu, tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan sambaran angin dahsyat yang sangat luar biasa membuat lima orang hwesio itu melompat mundur. Tahu-tahu seperti datangnya setan saja, di tengah-tengah tempat itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sederhana.

Melihat pemuda ini, mata Biauw Eng terbelalak, mukanya yang sudah pucat menjadi makin pucat, napasnya yang biarpun tadi telah sesak akan tetapi masih bisa, kini menjadi terengah-engah dan hidungnya kembang-kempis, bibirnya yang pucat itu bergerak meneriakkan sesuatu yang tak ada suaranya. Mulutnya jelas menjerit "Keng Hong" akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya itu.

Pemuda itu memang Keng Hong. Dia pun datang dari kota Han-tiong dan tadinya dia berniat untuk menuju ke selatan dari kota ini mengambil jalan sungai, yaitu menurut sepanjang Sungai Han-sui, akan tetapi melihat Cin-ling-san dari jauh, tiba-tiba saja timbul keinginan hatinya untuk mendaki pegunungan itu.

Ketika dia tiba di dalam hutan di lerang itu, dari sebuah puncak dia melihat pertempuran. Hatinya tertarik dan dia cepat berlari menghampiri dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girang hatinya ketika melihat bahwa gadis yang dikeroyok oleh lima orang hwesio itu bukan lain adalah Biauw Eng, gadis idaman hatinya yang selama ini selalu dikenangnya dengan hati sedih. Ia hanya memandang heran sebentar saja kepada pemuda buta yang berdiri gelisah di bawah pohon.

Begitu melihat betapa Biauw Eng terdesak dan terhimpit, keadaannya berbahaya bukan main, dia cepat menerjang maju, menggunakan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan sinkang sehingga lima orang hwesio yang mengeroyok gadis itu berlompatan ke belakang.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: