*

*

Ads

FB

Selasa, 09 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 095

Keng Hong menahan keharuan hatinya bertemu dengan gadis itu, dan kini dia menghadapi para hwesio dengan sikap hormat, menjura dan berkata halus,

"Maafkan kalau saya berani lancang tangan mencampuri urusan ini, Ngo-wi Lo-suhu. Akan tetapi, bukankah segala urusan dapat diselesaikan dengan cara dingin dan damai? Perlukah sesama manusia saling serang dan berbunuh-bunuhan? Losuhu sekalian yang bijaksana tentu maklum bahwa tidak ada kesalahan yang sedemikian besarnya sehingga yang bersalah perlu dibinasakan."

Thian Kek Hwesio dan para sutenya memandang dengan mata terbelalak, kalau tadi mereka kaget menyaksikan tenaga sinkang pemuda yang menengahi ucapan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Thian Kek Hwesio berseru,

"Haiiiii! Bukankah engkau bocah murid Sin-jiu Kiam-ong?"

Keng Hong mengangkat muka memandang Thian Kek Hwesio penuh perhatian. Baru sekarang dia teringat. Ia adalah seorang di antara dua orang hwesio yang memusuhi gurunya, bahkan hadir pula ketika dia diadili di Kun-lun-san! Cepat dia menjura dengan hormat dan berkata,

"Ah, kiranya Locianpwe dari Siauw-li-pai yang berada di sini? Maaf, maaf....! Benar Locianpwe, saya adalah Cia Keng Hong, murid suhu Sin-jiu Kiam-ong. Nona ini adalah nona Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni dan...."

"Yang dulu kau tuduh sejahat-jahatnya dan telah membunuh banyak orang bukan? Mengapa sekarang kau membelanya?"

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali.
"Ah, maaf, Locinpwe. Dahulu saya adalah seorang yang sebodoh-bodohnya, tidak dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, tidak dapat membedakan mana yang suci mana yang kotor! Sekarang baru terbuka mata saya bahwa nona Sie Biauw Eng adalah seorang gadis yang tidak berdosa. Saya berani menanggungnya, maka harap Locianpwe sudi memaafkan apabila dia bersalah."

"Omitohud....! Kalau ada yang lebih aneh dari ini, benar-benar pinceng masih kurang pengalaman! Gadis yang kau bela ini jahat, ibunya datuk hitam, dan sucinya... Si iblis betina itu telah membunuh suteku, Thian Ti Hwesio. Kalau ibunya seperti itu, sucinya seperti itu mana bisa diharapkan dia ini seorang yang baik? Suci murni katamu! Heh, Cia Keng Hong, dia harus mati di tangan kami yang selain bertugas menyebarkan ajaran tentang mencari kebenaran, juga bertugas membasmi segala kejahatan sampai ke akar-akarnya! Dan engkau sendiri, kalau engkau tidak bisa mengembalikan kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri suhumu, engkau pun harus pula dibasmi. Kami tidak berhasil membunuh Sin-jiu Kiam-ong yang jahat, kini kami dapat membunuh muridnya, hal itu sudah cukup baik!" suara Thian Kek Hwesio terdengar keren dan berwibawa.

Keng Hong tersenyum sabar biarpun hatinya merasa penasaran sekali.
"Locianpwe, bukankah ajaran yang Locianpwe sebarkan adalah pelajaran yang berdasarkan kasih yang luas? Cinta kasih barulah murni kalau diberikan tanpa dikehendaki balasan, tanpa pamrih. Contohnya, adalah cinta kasih dari Tuhan sehingga diberikannya hawa untuk kita isap, diberikannya sinar matahari untuk menghidupkan kita. Demikian suci murni cinta kasih Tuhan sehingga siapapun juga manusia maupun binatang, manusia yang disebut baik maupun yang jahat, yang berdosa maupun yang tidak, dapat mengecap kenikmatannya daripada cinta kasihNya. Adakah matahari kehilangan sinarnya kalau menimpa tubuh orang-orang berdosa dan dianggap jahat? Adakah hawa menjadi berkurang manfaatnya kalau terisap oleh manusia yang dianggap berdosa? Locianpwe, kalau Locianpwe menyebarkan pelajaran berdasarkan cinta kasih yang sejati, mengapa cinta kasih itu luntur menjadi berubah kebencian dan nafsu membunuh setelah Locinpwe bertemu dengan orang-orang seperti nona Sie Biauw Eng dan saya?"






Sejenak lima orang hwesio itu tercengang, akan tetapi kemudian Thian Kek Hwesio menjadi marah sekali. Ia melompat ke depan dan membentak,

"Bocah! Kau tahu apa tentang kasih Tuhan dan kasih manusia? Kalau ada manusia jahat, kita mengenyahkannya bukan karena kita membencinya, melainkan karena kita mengingat akan manusia-manusia lain yang terancam keselamatannya oleh si jahat itu, sehingga kita membunuh si jahat justeru berdasarkan cinta kasih kita kepada manusia!"

"Ha-ha-ha-ha-ha!"

Tiba-tiba Keng Hong tak dapat menahan dorongan hatinya dan dia tertawa bergelak. Lima orang hwesio itu kaget dan memandangnya dengan mata terbelalak.

"Sungguh amat lucu alasan yang kau kemukakan itu, Locianpwe! Aku tidak percaya bahwa dalam pelajaran sebuah agama terdapat pendirian seperti itu! Wewenang apakah yang ada dirimu maka Locianpwe boleh memutuskan siapa yang jahat dan siapa yang harus mati? Dari siapakah Locinpwe mendapatkan wewenang untuk membunuh dengan alasan demi untuk kasih. Mana mungkin menegakkan kasih dengan pembunuhan? Betapa palsunya! Betapa lucu dan menjemukan manusia yang mempergunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, mencapai kemuliaan duniawi. Betapa munafiknya manusia yang bahkan memaksa Tuhan agar bersekutu dengannya demi tercapainya nafsu pribadi. Ah, ha-ha-ha, benar ucapan suhu dahulu bahwa dunia ini merupakan panggung dan para manusia ini tiada lain hanyalah sekumpulan badut-badut yang menggelikan akan tetapi juga menjemukan, sekumpulan badut yang sebagian besar memakai topeng-topeng menutupi muka mereka. Ngo-wi Locianpwe, apakah Ngo-wi memakai topeng jubah pendeta dan kepala tanpa rabut? Ha-ha-ha!"

Tiba-tiba, Keng Hong berhenti terbawa dan baru sadarlah dia betapa dia telah tertawa dan bicara seolah-olah di luar kesadarannya. Rasa girang yang luar biasa sekali ketika Biauw Eng dalam keadaan selamat dan sehat membuat hatinya ringan dan dadanya lapang, dan sifatnya yang gembira seperti dulu kumat kembali. Dia sama sekali bukan bermaksud menghina para hwesio itu, melainkan bicara sesungguhnya seperti yang keluar dari hatinya karena memang dia merasa penasaran dan geli hatinya mendengar alasan yang dikemukakan Thian Kek Hwesio yang ingin membunuh Biauw Eng dan dia sendiri.

Thian Kek Hwesio menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Keng Hong lalu membentak,

"Bocah! Kiranya engkau malah lebih menyeleweng dan lebih jahat daripada gurumu senadiri! Engkau sudah patut dihukum mati agar rohmu dihukum dalam neraka tingkat paling rendah! Jangan mengira bahwa pinceng tukang membunuh dan suka membunuh! Akan tetapi, kalau dapat pinceng umpamakan, perempuan itu dan engkau adalah dua ekor ular yang berbisa dan berbahaya sekali bagi keselamatan umum. Demi untuk mengamankan manusia-manusia lain, pinceng berlima berusaha untuk membunuh dua ekor ular itu! Nah, kau bersiaplah, bocah yang sombong dan jahat, yang berani menghina agama!"

Thian Kek Hwesio yang sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya, menerjang maju dengan senjata jubahnya, dihantamkannya jubah itu ke arah kepala Keng Hong. Empat orang sutenya juga sudah mengurungnya dengan toya melintang di depan dada.

Sambaran jubah itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Keng Hong, akan tetapi ketika empat batang toya menyambar dari berbagai jurusan, pemuda ini menggerakkan kedua tangannya menangkis toya-toya itu dengan lengan.

"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!"

Empat orang hwesio itu terkejut dan melompat ke belakang. Toya mereka tadi membalik dan telapak tangan mereka terasa panas dan pedas, hampir saja mereka melepaskan toya mereka.

"Locianpwe sekalian adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan hendak mempergunakan kepandaian untuk membunuh orang. Akan tetapi aku pun memiliki kepandaian yang hendak ku pergunakan untuk membela diri! Dan hendaknya diingat bahwa aku bukanlah seorang lemah yang mudah saja dibunuh. Aku telah mempelajari ilmu-ilmu yang kiranya akan dapat mengatasi kepandaian Ngo-wi membatalkan niat buruk hendak membunuh orang dan kembali ke Siauw-liam-si, bertapa dan berdoa bagi keselamatan dan perdamaian di dunia."

Ucapan Keng Hong ini sungguh-sungguh, akan tetapi oleh kelima orang hwesio itu dianggap sebagai sindiran dan penghinaan. Thian Kek Hwesio berseru panjang dan menerjang lagi, diikuti empat orang sutenya yang merasa penasaran. Serangan mereka hebat sekali, datang bagaikan angin taufan mengamuk.

Sekali lagi Keng Hong menggerakkan kedua tangannya menangkis sambil memutar tubuh sehingga kedua lengannya merupakan sepasang toya dan sekaligus menangkis empat toya dan sebuah jubah yang menghantamnya. Kembali lima orang lawannya terpental ke belakang sambil berteriak kaget.

Kini Keng Hong bertolak pinggang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh, matanya bersinar-sinar dan keningnya berkerut,

"Losuhu, aku mengerti bahwa mendiang guruku berhutang dua buah kitab kepada Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab Seng-to-ci-keng dan I-kiong-hoan-hiat. Dan kuberitahukan kepada Losuhu bahwa kedua buah kitab itu telah dicuri orang. Akan tetapi aku bersumpah demi roh suhuku bahwa aku akan mencari pencuri itu, akan merampas kembali kedua buah kitab dan akan kuantarkan kembali ke Siauw-lim-si disertai maafku terhadap Siauw-lim-pai atas perbuatan suhu. Nah, kuharap Ngo-wi dapat mengerti dan suka menghabiskan pertandingan yang tidak ada manfaatnya ini."

"Siapa percaya ocehanmu?"

Thian Kek Hwesio menyerang lagi, dan empat orang sutenya juga menerjang maju, kini menggunakan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang dalam menggerakkan senjata mereka.

Tiba-tiba tubuh Keng Hong berkelebat, sedetik lenyap dari pandang mata lima orang penggeroyoknya saking cepatnya dan pada detik-detik berikutnya, terdengar seruan-seruan kaget Thian Kek Hwesio dan empat orang sutenya karena tiba-tiba saja ke dua lengan mereka menjadi lemas dan senjata-senjata mereka terampas dari tangan mereka. Ketika mereka membalik dan memandang, ternyata sebuah jubah dan empat batang toya itu kini telah berada di tangan pemuda itu!

"Sudah jelas bahwa Ngowi Losuhu tidak dapat menandingi aku, dan sudah kunyatakan dengan sumpah bahwa aku akan mencari dua buah kitab itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-pai, mengapa Ngo-wi masih berkeras saja? Beginikah sikap orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang terkenal di seluruh dunia?"

Keng Hong berkata dan sekali tangannya bergerak, jubah dan empat batang toya itu melayang kepada pemilik masing-masing. Lima orang hwesio itu cepat menyambar senjata mereka dan Thian Kek Hwesio yang menyambut jubahnya terhuyung dua langkah, sedangkan empat orang sutenya terhuyung-huyung sampai lima langkah ketika menyambut toya masing-masing.

Diam-diam Thian Kek Hwesio terkejut dan kagum bukan main. Pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini setelah lenyap di puncak Kiam-kok-san, kini telah menjadi seorang yang amat lihai, dan menurut penilaiannya biarpun hanya bertanding dua gebrakan saja, pemuda ini malah lebih lihai daripada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Maka dia lalu menjura dan berkata,

"Pinceng berlima tidak buta, dapat melihat lawan yang jauh lebih pandai. Pinceng mengaku kalah dan hendak melaporkan semua ini kepada ketua Siauw-lim-pai. Namun hendaknya kau ketahui orang muda, bahwa Siauw-li-pai bukan perkumpulan yang boleh kau permainkan begitu saja. Kalau kelak engkau tidak memenuhi janjimu, akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa engkau akan tewas di tangan kami!"

Setelah berkata demikian, Thian Kek Hwesio mengenakan jubah yang tadi dia pakai sebagai senjata, kemudian menghampiri kuda dan meloncat ke punggung kuda, pergi meninggalkan tempat itu diikuti empat orang sutenya yang juga sudah menunggang kuda masing-masing. Derap kaki kuda terdengar makin menjauh dan setelah bayangan mereka lenyap, barulah Keng Hong membalikkan tubuhnya, memandang Biauw Eng.

Biauw Eng semenjak tadi berdiri seperti kena pesona, tidak bergerak-gerak hanya memandang Keng Hong ketika pemuda ini menghadapi lima orang hwesio Siauw-lim-pai, lupa akan keadaan, lupa kepada Lai Sek yang juga berdiri dan agak miringkan kepala untuk dapat mendengar lebih seksama, dan keningnya berkerut ketika dia mengetahui bahwa yang datang adalah Cia Keng Hong, musuh besarnya, orang yang dia anggap telah membunuh cicinya!

Terbayanglah dia betapa ketika dia terbangun dari tidur dahulu, dia melihat cicinya berada dalam pelukan Keng Hong, bermain cinta dengan pemuda ini, dan kemudian betapa cicinya tewas dalam pelukan pemuda ini pula. Teringat akan hal ini, kebenciannya terhadap Keng Hong makin mendalam. Akan tetapi karena Keng Hong mengahadapi lima orang hwesio itu dan membela Biauw Eng, tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa, hanya mendengarkan penuh perhatian.

Keng Hong yang memandang Biauw Eng, tak terasa melangkah maju sehingga dia berdiri berhadapan dengan gadis itu, hanya terpisah tiga empat langkah lagi. Sejenak mereka saling berpandangan, dan hati Keng Hong penuh keharuan melihat gadis yang kini makin cantik jelita dalam pandangan matanya, agak kurus dan layu, seolah-olah kehilangan semangat hidup. Akan tetapi manik mata yang jeli itu kini memancarkan sinar kegairahan dan kebahagiaan ketika memandangnya.

"Biauw Eng....!"

Keng Hong berbisik penuh ragu, penuh harap dan penuh permohonan maaf. Kalau dia teringat akan sikapnya terhadap gadis ini di puncak Kun-lun, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu untuk minta ampun.

"Biauw Eng.... Kau .... Kau maafkan aku....??" Ucapan ini lirih dan menggetar.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: