*

*

Ads

FB

Senin, 20 Juni 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 005

Akan tetapi sekali ini, dia sadar dari siulannya (samadhi) karena mendengar tiupan suling yang amat merdu! Suara yang mengandung getaran mengharukan, yang amat halus seolah-olah hembusan angin pada ujung daun-daun bambu. Karena Sin-jiu Kiam-ong memang amat suka mendengar suara suling, maka suara suling penuh getaraan halus ini lebih kuat pengaruhnya daripada ledakan halilintar, menggugahnya dari samadhi dan membuat kakek ini ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang dapat meniup suling seindah itu!

Jantungnya berdebar. Kalau peniup suling ini seorang di antara lawan yang hari ini akan mendatanginya, berarti dia akan berhadapan dengan seorang yang amat sakti. Hanya orang sakti yang sudah tinggi tingkat kebatinannya saja yang akan mampu meniup seindah dan sebersih itu, dengan getaran-getaran aseli dari watak yang belum dikotori segala macam nafsu duniawi. Saking tertariknya, kakek ini bangkit berdiri, menyambar pedang kayunya lalu seringan burung terbang tubuhnya melayang ke arah luar hutan dari mana tiupan suling datang.

Ketika tiba di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah yang duduk diatas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian dan ketenangan, sejenak Sin-jiu Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia menghela napas panjang dan berbisik.

"Engkau telah menjadi pikun, terlalu tua! Dimana bisa terdapat orang begitu bersih hatinya sehingga tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah yang akan sanggup meniup suling seperti itu. Di dunia ini mana terdapat orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang bocah?"

Ia lalu melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-geleng kepala dan mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah duduk bersila lagi, akan tetapi sekali ini dia tidak bersamadhi, melainkan memasang pendengarannya menikmati alunan lagu yang terhembus keluar dari lubang-lubang suling.

Kakek ini tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang lalu telah mengunjunginya di Kiam-kok-san, akan tetapi dia tidak perduli, bahkan pura-pura tidak tahu dan masih menikmati alunan suara suling yang terdengar sayup sampai.

Ia seperti orang terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang kembali kepada masa mudanya dan diam-diam dia menyesali diri sendiri. Sungguh dia harus merasa malu bahwa diambang kematiannya, karena memang dia telah mangambil keputusan untuk menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada sembilan orang ini, belum pernah dia melakukan jasa sedikit pun selama hidupnya.

Bahkan sebaliknya, dia selalu hidup mengejar kesenangan, bergelimang dalam cinta kasihnya dengan banyak waita yang dibalasnya hanya karena dorongan nafsu berahi. Belum pernah selama hidupnya dia menjatuhkan hati, mencinta seorang wanita dengan murni. Betapa dia hidup secara berandalan, tidak mau membedakan antara baik dan buruk, ugal-ugalan, merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka, mendatangi jagaan-jagoan hanya untuk memuaskan nafsunya ingin menang, menyerbu partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya.

Sungguhpun dia semenjak dahulu selalu tidak mempunyai niat menjahati orang lain, namun wataknya yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak orang. Kini datanglah penyesalan dan makin dia perhatikan suara suling yang mengalun merdu itu makin terharulah haitnya. Perlahan-lahan suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah merasa bosan dan lelah, seperti dia yang merasa bosan untuk hidup lebih lama lagi, sudah lelah untuk berurusan dengan dunia yang lebih banyak deritanya daripada senangnya.





Setelah suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya menyapu para pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan siap siaga, dengan senjata di tangan masing-masing karena mereka itu kini datang untuk bertindak, bukan untuk bicara lagi. Semua mata sembilan orang itu ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam yang menjadi pusat perhatian dan yang sesungguhnya merupakan sebab utama kunjungan mereka.

"Ahhh, kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku tidak akan melawan dan kalau hendak bunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang membunuhku berhak memiliki Siang-bhok-kiam maka lebih dahulu hendak kujelaskan kegunaan pedang ini."

Kakek itu mengambil pedang kayu dari depannya. Pedang ini terbuat dari kayu yang jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah kayu harum yang terdapat di dekat Puncak Pegunungan Himalaya di dunia barat. Dalam perantauannya, Sin-jiu Kiam-ong mandapatkan pedang itu sebagai anugerah dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir.

Kayu dari sebatang pohon yang mungkin hanya ada beberapa batang saja di seluruh puncak Himalaya. Kayu yang amat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan tetapi selain harum juga kayu ini merupakan obat penolak segala pengaruh racun. Barang beracun apa saja apabila tersentuh kayu ini seolah-olah terhisap racunnya dan tidak berbahaya lagi.

"Siang-bhok-kiam ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik napas panjang dan mencium pedang itu dengan ujung hidungnya. "Bukan hanya merupakan pedang wasiat yang amat keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka rahasia tempat penyimpanan seluruh milikku, dari kitab-kitab pusaka berisi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga dan senjata-senjata mustika. Betapapun juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat memiliki semua itu melalui pedang ini.

Akan tetapi kalian harus ingat baik-baik, karena kalian semua menghendaki pedang ini, maka kurasa siapapun di antara kalian tidak akan mudah membunuhku sungguhpun aku berjanji takkan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap, siapa mau turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!"

Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya diatas tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum ikhlas, sama ikhlasnya dengan hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut.

"Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar teriakan Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang disusul bunyi "tar-tar-tar!" nyaring sekali.

Sinar-sinar hitam manyambar karena sembilan ujung cambuk yang mempunyai kaitan-kaitan itu telah menyambar ke arah pedang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.

"Trang-trang-trang....!" Bunga api berpijar dan kesembilan "ekor" cambuk terpental.

"Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah, matanya mendelik memandang ke arah delapan orang lain yang telah maju menangkis cambuknya.

"Hemmm, bukan engkau saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, KIu-bwe Toanio, kami pun memerlukannya!"

Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai dan secepat kilat Coa Kiu dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan pedang mereka menjadi sebuah sinar panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam dengan maksud mendahului dan merampas pedang kayu itu sebelum yang lain sempat bergerak.

"Trang-trang...!!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental karena ditankis oleh banyak senjata.

"Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh.........!" Thian Kek Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.

Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu mengerutkan kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang mengatakan bahwa siapapun di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biarpun si kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu sudah dapar menduga lebih dulu bahwa di antara sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!

Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya meniup suling diatas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup sulingnya perlahan-lahan. Setelah tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk menentramkan hatinya yang berdebar-debar dan dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan terbuka di hutan mawar itu.

Sambil menahan nafas dia menonton dan mendengarkan seluruh percakapan. Diam-diam timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang duduk bersila, apalagi setelah dia mendengar ucapan kakek itu seolah-olah telah menyerahkan nyawanya kepada sembilan orang yang sikapnya mengancam itu. Dan pada saat yang sama timbul rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang watak orang-orang budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik dan hina!

Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak seorangpun di antara mereka mengeluarkan kata-kata, namun pandang mata mereka sudah menyatakan perasaan mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang, siap menggempur lawan untuk memperebutkan pedang pusaka yang amat mereka inginkan itu.

Akhirnya Kok Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang dan berkata, suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa.

"Mencapai cita-cita tinggi tidaklah mudah, mendapatkan Siang-bhok-kiam benda pusaka tentu saja amat sukar. Memang patut ditempuh dengan mempertaruhkan nyawa. Baiklah, mari kita semua membuktikan, siapa di antara kita yang paling tepat dan berjodoh memiliki Siang-bhok-kiam."

Setelah berkata demikian, Kok Cin Cu meraba pinggangnya dan "singgg!" terdengar suara nyaring ketika tosu tua ini melolos sabuknya yang ternyata merupakan sabuk baja yang tipis dan halus. Kiranya sabuk ini merupakan senjata istimewa tosu itu, dimainkan seperti orang memegang sebuah pecut yang tajam. Sabuk ini mengeluarkan suara berdesing dan tampak sinarnya berkelebatan menyilaukan. Sambil memutar sabuk itu diatas kepala, lengan kiri tosu lihai ini mengeluarkan bunyi berkerotokan, terisi oleh Ilmu Ang-liong-jiauw-kang yang agaknya lebih mengerikan dan lihai daripada sabuk baja itu sendiri!

"Omitohud! Terpaksa kita melanggar pantangan membunuh, Sute!" kata Thian Ti Hwesio yang beralis putih kepada sutenya sambil memutar tongkat yang dibawanya.

Bukan tongkat sembarangan tongkat, karena tongkat itu adalah sebatang tongkat senjata yang disebut Liong-cu-pang (Tongkat Mustika Naga), tongkat yang ujungnya besar bulat seperti bola baja, dan beratnya tidak akan kurang dari dua ratus kati!

Sutenya, si tinggi besar berkulit hitam Thian Kek Hweiso sudah mengeluarkan suara gerengan dan begitu dia menggerakkan tangan kanan terdengar suara "Wuuuuttt....!" dan angin keras menyambar. Kiranya dia telah melolos jubah yang dipakainya tadi dan kini jubah itu telah dia pegang ujungnya. Jangan dianggap ringan senjata jubah ini, karena berada di tangan hwesio tinggi besar itu, jubah ini bisa berubah menjadi senjata yang kerasnya melebihi baja, lemasnya melebihi sutera dan tajamnya menandingi pedang!

Keng Hong memandang dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Ia melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu sama sekali tidak bergerak, masih memejamkan mata akan tetapi senyum di mulutnya jelas mengandung ejekan, seolah-olah kakek itu menahan rasa geli dan memaksa diri tidak tertawa bergelak.

Dia sendiri pun merasa geli dan ingin tertawa menyaksikan tingkah laku sembilan orang itu yang dianggapnya seperti badut-badut tak tahu malu atau seperti segerombolan anjing hendak memperebutkan tulang. Dari tempat dia sembunyi, pedang di depan kakek tua itu memang seperti sepotong tulang saja. Akan tetapi mana mungkin dia bisa tertawa menyaksikan sembilan orang itu kini telah mengeluarkan senjata semua?

Di lain saat, pandang Keng Hong menjadi silau dan kabur, telinganya seperti tuli ketika terdengar suara desing senjata yang hiruk pikuk, matanya melihat sinar-sinar berkelebatan. Dia ternganga keheranan dan hampir tak dapat mempercayai pandang matanya sendiri sembilan orang-orang tua itu telah lenyap tubuhnya dan yang tampak kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan dibungkus sinar bermacam-macam, ada merah, putih, hijau dan kuning.

Suaranya juga bising sekali, ada suara meledak-ledak seperti halilintar, suara mendesis seperti ular marah, suara bersuitan seperti angin badai, berkerosokan seperti angin mengamuk dan berdentangan, seperti disitu terdapat banyak pandai besi bekerja! Di tengah-tengah semua hiruk pikuk dan sinar berkelebatan itu, jelas tampak kakek tua renta masih duduk bersila dengan mulut tersenyum lebar. Pedang kayu itu masih menggeletak mati di depan kakinya.

Pertempuran yang kacau-balau itu amat serunya dan terutama sekali perhatian masing-masing ditujukan untuk mencegah lain orang merampas pedang maka sampai lama tidak ada korban yang jatuh, apalagi karena mereka itu terdiri dari orang-orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat. Tanpa mereka sadari , mereka itu saling bantu dalam pertempuran kacau-balau itu.

Biarpun kedua matanya dipejamkan, telinga Sin-jiu Kiam-ong dapat menangkap jalannya pertandingan dan hatinya terpingkal-pingkal, akan tetapi juga mata hatinya terbuka lebar. Beginilah watak manusia di seluruh jagat, pikirnya. Pertempuran antara tokoh besar ini mencerminkan keadaan di dunia, mencerminkan watak manusia yang amat bodoh dan lucu, seolah-olah manusia di dunia ini memainkan peran badut yang menggelikan!






Tidak ada komentar: