*

*

Ads

FB

Minggu, 24 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 082

"Sim-enghiong.... kau .... kau manusia paling mulia yang pernah kujumpai... Dapatkah engkau mengangkat batu di sana itu dan meletakkannya di depan kuburan ibuku?"

Lai Sek menengok memandang batu besar itu dan menganguk.
"Ilmu silatku tidak seberapa tinggi, Nona, akan tetapi tenagaku besar. Agaknya batu itu akan terangkat olehku."

Ia menghampiri batu itu, ketika membaca huruf-huruf terukir di atas batu, dia mengerutkan kening dan berkata,

"Perlukah batu buatan iblis betina ini dipasang di depan kuburan ibu, Nona? Dia sombong sekali. Engkau belum... mati dia sudah menulisnya begini pasti...."

"Dia benar, aku tentu akan mati. Biarlah kau pasang batu itu agar kelak.... kalau Tuhan menghendaki, Keng Hong melihat batu itu dan mungkin dia masih.... ingat akan .... ah, terserahlah... Harap kau pindahkan batu itu.."

Lai Sek tidak membantah lagi, lalu menghampiri batu besar itu, menyingsingkan lengan baju lalu memeluk dan mengerahkan tenaga. Dengan susah payah dapatlah dia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan Lam-hai Sin-ni. Kemudian dia menghampiri Biauw Eng dan berlutut lagi.

Nona itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh rasa syukur dan terima kasih, bahkan bibir yang mengerut karena menahan sakit itu tersenyum.

"Aihhh... Apa saja yang dapat kulakukan untuk membalas budimu, Sim-enghiong... Sayang... Aku hanya dapat membawa namamu ke alam baka...." Mata itu masih memandang terbelalak dan air matanya mengalir dari pelupuk mata membasahi kedua pipinya yang pucat. "Selamat berpisah, sahabat terbaik Sim Lai Sek... Namamu terukir di sanubariku, kubawa mati... Pergilah sekarang dan biarkan aku dengan tenang menghadapi siksaan yang akan membawaku pergi menyusul ibu...."

Sim Lai Sek merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk.
"Tidak ....! Tidak....! Tidak....! Engkau tidak boleh mati begini saja, Nona! Seorang semuda engkau, secantik engkau..ah, tidak mungkin aku dapat membiarkan kau mati begini saja....!"

Gadis yang tadinya sudah memejamkan mata itu kini membuka matanya dan memandang heran. Saking herannya ia sampai lupa untuk sementara rasa nyeri yang makin menghebat.

"Sim-enghiong... Kau...., kenapakah? Mengapa kau bersikap seperti ini... Mengapa... Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...?"






"Lima tahun lamanya setiap hari aku menyumpahimu, mengutukmu, menganggap engkau sejahat-jahatnya orang berhati keji telah membunuh ciciku yang tak berdosa. Agaknya... Siapa tahu... Karena kutukan dan sumpahku itu engkau mengalami malapetaka sehebat ini, dan ternyata engkau...., tidak berdosa! Dengan begini maka akulah yang berdosa kepadamu, Nona, aku harus menebus dosaku kepadamu ini. Akan tetapi bagaimana? Engkau terluka, hampir mati.... terluka jarum beracun? Mungkin tidak ada obat penawarnya, akan tetapi kalau racunnya dikeluarkan...."

"Jangan...!!!" Biauw Eng menjerit.

"Mengapa jangan? Engkau akan selamat! Kalau racun itu kusedot keluar...ya, begitulah cara pengobatannya!"

Sim Lai Sek mengulur tangannya hendak mencabut jarum merah yang menancap di tengkuk Biauw Eng itu.

"Sim-enghiong, jangan lakukan itu!" Biauw Eng menjerit, suaranya melengking penuh kengerian. "Engkau akan celaka....!!"

Sim Lai Sek tersenyum dan tidak menghentikan usahanya, kini jari tangannya menjepit jarum merah itu dan dicabutnya dengan tiba-tiba. Darah menghitam keluar dari luka di tengkuk itu.

"Nona, jangan menakut-nakuti aku. Biar celaka sekalipun, untuk menolongmu dan untuk menebus dosa, aku rela!"

Setelah berkata demikian Sim Lai Sek membungkuk dan mendekatkan mulutnya pada tengkuk yang berkulit putih halus, akan tetapi di sekitar luka kecil itu membengkak merah.

"Tunggu dulu..., Sim-enghiong, ini tidak boleh... tunggu sebentar dan dengarkan kata-kataku."

Biauw Eng di dalam hatinya meronta-ronta dan suaranya terdengar penuh permohonan sehingga Lai Sek mengangkat lagi mukanya.

"Ada apa lagi, Nona?"

"Dengar, Sim-enghiong. Aku tahu betul kedashyatan racun Ang-tok-cia ini. Dia itu bekas suciku sendiri, aku tahu bahwa luka jarum ini sama sekali tidak boleh disedot."

"Apakah takkan sembuh? Boleh coba-coba daripada tidak ditolong sama sekali."

"Bukan begitu!" Biauw Eng gugup. “Mungkin sembuh, akan tetapi penyedotnya.... dia akan celaka, akan menjadi buta matanya! Jangan kau lakukan itu...."

Lai Sek kelihatan terkejut, kemudian dia menatap wajah Biauw Eng dan tersenyum.
"Biar celaka, atau buta, bahkan mati sekalipun aku rela melakukannya untukmu, Nona." Ia menunduk kembali, akan tetapi Biauw Eng menjerit.

"Nanti dulu! Sim Lai Sek... Katakanlah terus terang, mengapa.... kau melakukan ini untukku? Kalau hanya untuk menebus rasa penyesalanmu telah salah menuduh saja, tidak mungkin. Katakanlah, mengapa....? Mengapa....??" .

Sim Lai Sek memandang wajah gadis itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu dan bertaut. Kemudian pemuda itu berkata, suaranya seret dan sukar keluar, namun dipaksa juga.

"Baiklah, Nona. Mengingat bahwa keadaan kita ini gawat sekali, kalau kau tidak kutolong engkau mati, kalau kutolong mungkin aku yang mati, biarlah kau mendengar sejelasnya, mendengar apa yang selama ini berada di dalam hatiku sebagai rahasia pribadiku yang tak diketahui siapapun juga. Kau mau tahu mengapa aku hendak nekat menolongmu dengan taruhan nyawaku? Baiklah, karena .... karena aku cinta kepadamu, Nona!"

Terbelalak mata Biauw Eng. Dugaan yang tepat namun ia tetap tidak tahu mengapa pemuda itu mencintainya.

"Akan tetapi.... ah, mana mungkin? Engkau selamanya mendendam, menyumpah dan mengutuk aku yang tadinya kau anggap membunuh cicimu!"

Sim Lai Sek menundukkan kepalanya.
"Itulah yang merusak hatiku selama bertahun-tahun ini. Semenjak aku melihatmu di Kun-lun-san, aku .... ah, si lemah ini, aku jatuh cinta kepadamu, Nona. Kemudian ketika mendengar engkau adalah pembunuh ciciku, hatiku sakit dan rusak, cintaku berubah kebencian dan penyesalan, kusumpahi dan kukutuk engkau. Kini, ternyata engkau tak berdosa, maka anehkah kalau cintaku tumbuh kembali, bahkan makin mendalam? Aku telah berdosa kepada orang yang kucinta sepenuh hatiku, dan kini untuk menebus dosa terhadapmu, Nona, jangankan hanya berkorban mata yang masih belum kupercaya, biar berkorban nyawa aku rela!"

Sinar mata Biauw Eng menjadi sayu, air matanya turun membanjir. Ia tidak kuasa berkata apa-apa lagi, maklum bahwa apa pun juga yang ia katakan, ia tidak akan berhasil mencegah pria yang begini cinta kasihnya. Bibirnya hanya bergerak dan terdengarlah bisikannya lirih,

"Ouhhhhh.... biarkan aku mati.... biarkan aku mati..."

Ia memejamkan mata dan menggigit bibir ketika merasa betapa mulut yang basah hangat dari pemuda itu mengecup tengkuknya lalu menyedot, betapa napas yang panas dari hidung pemuda itu menghembus-hembus anak rambut ditengkuknya. Ia tersedu dan merasa semangatnya terbang, hampir pingsan saking gelisah dan cemas hatinya terhadap pemuda itu.

Tanpa sedikit pun mengingat akan dirinya sendiri, Lai Sek sudah mengecup, menyedot, dan meludahkan darah hitam yang berbau amis. Hampir dia tidak kuat menahan akan tetapi dia mengeraskan hati dan menahan kepalanya yang menjadi pening. Ia menyedot lagi, meludah, menyedot, meludah, sampai akhirnya setelah hampir kehabisan napas dan hampir tidak dapat menahan rasa pening kepalanya, Lai Sek menyedot darah merah!

Ia menjadi girang sekali, akan tetapi masih terus menyedot dan meludah sehingga darah merah secawan keluar yang berarti bahwa kini racun telah dikeluarkan semua. Lai Sek tertawa-tawa kemudian roboh terguling.

"Lai Sek....!"

Biauw Eng menjerit lemah. Dia sudah terhindar bahaya racun, akan tetapi tubuhnya lemas dan totokannya belum punah, maka ia hanya dapat memanggil-manggil Lai Sek sambil menangis.

Totokan jari tangan Cui Im memang hebat sekali. Seperti juga jalannya racun jarum merahnya, totokannnya itu setelah lewat dua belas jam barulah dapat punah dengan sendirinya. Hari telah lewat senja dan hujan turun rintik-rintik di pantai laut selatan itu. Selama itu, Biauw Eng menanti tubuhnya terbebas totokan, rebah miring di samping tubuh Lai Sek yang pingsan di situ pula.

Setelah ia dapat bergerak, pertama-tama yang ia lakukan adalah menubruk tubuh Lai Sek dan menangis tersedu-sedu, mengangkat muka pemuda itu untuk diperiksa, dan di dalam cuaca suram hampir gelap itu ia melihat betapa kedua mata pemuda itu membengkak merah! Ia menjerit dan mendekap muka itu ke dadanya, menempelkankan mukanya pada dahi pemuda itu sehingga air matanya membasahi muka Lai Sek sambil merintih,

"Lai Sek.. ohhh, Lai Sek....!"

Hujan sudah berhenti, malam pun tibalah. Biauw Eng tidak bergerak pindah dari tempat dia duduk, kepala Lai Sek berada di atas pangkuannya. Jari-jari tangan gadis itu sejak tadi mengelus-elus rambut kepala Lai Sek, hatinya penuh keharuan dan ada rasa aman di hatinya. Kini hidupnya yang tadinya kosong karena Keng Hong kemudian karena kematian ibunya, terisi lagi oleh kewajiban baru. Ia hidup untuk pemuda ini! Untuk membalas budi pemuda ini yang tiada taranya.

Sim Lai Sek bergerak perlahan.
"Uuuhhh, gelapnya....!" Ia mengeluh, kepalanya bergerak-gerak di atas pangkuan Biauw Eng.

Ucapan itu memancing keluar air mata yang bercucuran dari mata gadis itu.
"Malam telah tiba, Lai Sek," katanya lirih menahan isak.

"Heh, apa? Siapa? Malam..? Eh, engkaukah ini, Nona? Mengapa..., mengapa engkau memangku aku....? Eh, mataku.... tak dapat melihat apa-apa...."

Biauw Eng menangis, menunduk dan merangkul leher Lai Sek, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Lai Sek terheran-heran, lalu meraba kedua matanya, jari-jari tangannya meraba sepasang mata yang bengkak dan tertutup, tak dapat dibuka dan teringatlah dia.

"Ah, aku.... aku telah menjadi buta..."

"Lai Sek.... mengapa engkau nekat....? Sudah kukatakan..." Biauw Eng tak dapat berkata lagi, terus menangis.

"Mataku buta? Biarlah! Akan tetapi engkau, sudah sembuh,benarkah, Nona? Engkau sudah dapat bergerak, sudah duduk. Bagus engkau sudah sembuh!"

Lai Sek meraba-raba pundak dan tengkuk gadis itu, suaranya mengandung kelegaan hati dan kegirangan besar yang tak dibuat-buat, kegirangan yang membuat dia lupa akan keadaan matanya yang buta. Kegirangan yang terkandung dalam suara pemuda ini membikin Biauw Eng menjerit dan tangisnya makin menjadi.

"Kau kenapa, Nona?" Lai Sek meraba-raba dan jari-jarinya bertemu dengan air mata di pipi Biauw Eng. "Kau menangis, Mengapa? Engkau menangisi aku, benarkah, Nona?"

"Lai Sek.., Lai Sek... Betapa aku tidak akan menangisi engkau? Hatiku hancur melihat penderitaanmu karena aku..."

Cinta memang perasaan yang aneh, mengatasi segala macam penderitaan hidup. Biarpun kedua matanya menjadi buta, kini merasa betapa gadis itu memeluknya, bahkan menciumi mukanya, menangis untuknya, Lai Sek menjadi girang dan merasa bahagia sekali!

"Ohhh, terima kasih, Nona. Terima kasih....! Engkau menangis karena mataku buta? Ah, aku mau seribu kali buta kalau engkau menaruh perhatian seperti ini, Nona! Engkau sudah sembuh, sungguh besar hatiku dan masih murah kesembuhanmu kalau hanya ditebus dengan kedua mataku! Aku girang, aku bersyukur kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa aku dapat menebus dosaku kepadamu, bahwa aku masih ada gunanya, terutama sekali untukmu. Nona, kau tolonglah bawa aku ke kota Liok-kun dan antarkan aku ke rumah pamanku di kota itu, kemudian boleh kau tingggalkan aku, Nona. Akan tetapi berhati-hatilah jangan sampai engkau bertemu dengan dua manusia iblis itu lagi, mereka amat berbahaya dan lihai."

"Lai Sek, kau kira aku ini orang macam apa? Tidak, aku merawatmu, mendampingimu dan takkan pernah meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama sampai...., sampai kematian memisahkan kita," kata Biauw Eng penuh keharuan sambil memegang kedua tangan pemuda itu.

Lai Sek mencengkeram kedua tangan yang kecil itu dan suaranya tergetar.
"Apa kau bilang, Nona? Engkau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, berilmu tinggi, engkau hendak menyia-nyiakan hidupmu di samping seorang seperti aku, yang sekarang telah menjadi seorang buta tiada guna? Tidak! Engkau tidak perlu mengorbankan dirimu hanya karena perbuatanku tadi, Nona. Sudah kukatakan bahwa aku hendak menebus dosa, dengan kedua mataku masih murah!"

"Sim Lai sek, aku sudah mengambil keputusan hidupku. Kecuali kalau engkau tidak sudi bersamaku, aku takkan pernah meninggalkanmu. Ataukah.... engkau tidak cinta lagi kepadaku?"

Genggaman tangan Lai Sek makin kencang.
"Engkau tahu bahwa aku mencintamu, Nona. Aku mencintamu melebihi jiwa ragaku! Akan tetapi, karena cintaku itulah maka aku tidak ingin engkau menyia-nyiakan hidupmu, menderita dan mengorbankan hidup untukku. Cintaku tidaklah sedangkal itu, Nona. Aku mencintamu, akan tetapi engkau tentu tidak mencin...."

"Hushhh, aku pun cinta kepadamu, Lai Sek.."

"Kau....? Kau..? Betapa mungkin ini? Biauw Eng, jangan mempermainkan aku, jangan.. sekejam itu....."

Akan tetapi Biauw Eng sudah menutup ucapan Lai Sek dengan mencium mesra pada mulut pemuda itu sehingga membuat Lai Sek gelalapan. Setelah melepaskan ciumannya, Biauw Eng berbisik,

"Nah, masih ragukah engkau? Adakah seorang gadis suci mencium mulut seorang pria kalau dia tidak mencinta pria itu?"

"Kau mencintaku? Ya Tuhan, sukar untuk dipercaya! Mengapa kau mencintaiku? Karena aku telah menyelamatkan nyawamu?"

"Bukan, Lai Sek, karena kemuliaan hatimu. Kalau orang seluruh dunia ini semulia engkau, aku pun akan mencinta seluruh manusia di dunia ini."

"Biauw Eng....!" Lai Sek memeluk, merangkul, mendekap dan menangis tersedu-sedu. "Biauw Eng.... terima kasih.... terima kasih...." Dan keduanya berpelukan dan bertangisan.

**** 082 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: