*

*

Ads

FB

Minggu, 24 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jiid 083

Keng Hong menuruni puncak Kun-lun-san dengan wajah berseri gembira. Betapa hatinya tidak akan gembira oleh hasil yang dicapainya di Kun-lun-pai? Dia telah berhasil membersihkan namanya di Kun-lun-pai, telah berhasil mengubah rasa benci para tokoh Kun-lun-pai, terutama Kiang Tojin, menjadi rasa kagum berterima kasih dan bersahabat. Tentu saja ada yang berbalik membencinya karena sepak terjangnya di Kun-lun-pai, terutama sekali Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin akan tetapi hal ini sudah wajar.

Setiap perbuatan yang mendatangkan senang kepada sefihak, tentu mendatangkan rasa tidak senang kepada fihak yang bertentangan. Pokoknya, ia harus mendatangkan rasa senang kepada pihak yang benar dan baik, adapun rasa tidak senang di fihak yang salah dan jahat, bukanlah merupakan hal yang aneh.

Ia maklum bahwa tugas yang dihadapinya amat berat. Ia akan menghadapi banyak rintangan, akan menghadapi permusuhan dari orang-orang yang masih mendendam kepada gurunya, bahkan yang akhir-akhir ini mendendam kepada dirinya sendiri. Bagaimana caranya mengubah permusuhan menjadi persahabatan seperti yang dia hasilkan di Kun-lun-pai?

Tugas menebus semua permusuhan dari hati tokoh-tokoh kang-ouw terhadap gurunya dan dia sendiri sudah amat berat, masih ditambah lagi dengan tugasnya mencari Cui Im dan menundukkan wanita itu, minta secara halus maupun kasar agar wanita itu mengembalikan kitab-kitab yang dicurinya, karena sesungguhnya kitab-kitab itu merupakan syarat penting baginya untuk melenyapkan permusuhan yang ditimbulkan gurunya ketika gurunya mencuri atau merampas kitab-kitab itu dari partai-partai besar. Tanpa mengembalikan kitab-kitab itu kepada pemiliknya yang berhak, bagaimana mungkin dia dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan ?

Ketika melewati sebuah puncak dan melihat puncak Bayangkara di depan. Keng Hong berhenti dan memandang puncak Bayangkara dengan kening berkerut. Seperti puncak Bayangkara itulah tugasnya, menjulang tinggi dan puncaknya itu sendiri merupakan tugas pertama baginya.

Yaitu dia harus mengunjungi puncak itu dan berusaha melenyapkan permusuhan yang timbul dengan mereka yang berkuasa di puncak itu, ialah perkumpulan Tiat-ciang-pang. Memandang puncak Bayangkara, teringatlah dia akan semua pengalamannya ketika dia bentrok dengan perkumpulan Tiat-ciang-pang. Dan teringatlah dia akan Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang menjadi sebab pertama bentrokannya itu. Ia membantu Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek, ketika mereka berdua itu dikeroyok anak buah Tiat-ciang-pang sehingga bentrokan menjadi berlarut larut, ditambah pula oleh perbuatan Cui Im yang menyamar sebagai Biauw Eng dan diam-diam membantunya, bahkan telah membunuh Ciang Bi.

Keng Hong menghela napas panjang. Harus dia kunjungi perkumpulan itu agar dia dapat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban, ketua dan wakil ketua dari Tiat-ciang-pang. Dengan hati mantap Keng Hong melanjutkan perjalanannya, menuju ke puncak Bayangkara.

Ketika dia tiba di wilayah pegunungan ini dan berada di sebuah lereng yang agak tinggi, dia melihat dari jauh beberapa bayangan orang mendaki puncak, ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki. Ia berhenti memperhatikan. Dari gerakan mereka yang berjalan kaki dia dapat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian dan agaknya mereka hendak bertamu ke Tiat-ciang-pang. Ada apakah di Tiat-ciang-pang?






Selagi dia termangu-mangu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi, suaranya halus terbawa angin lalu.

"Kun-cu Song Ki Wi Ji Heng, Put Goan Houw Ki Gwee (Seorang budiman bersikap sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi bagiannya)"

Berseri wajahnya mendengar syair itu. Ia segera mengenal syair itu sebagai ujar-ujar Nabi Khong-cu dalam pelajaran Kitab Tiong-yong, dan dia mengenal atau dapat menduga pula siapa orangnya yang bernyanyi itu. Keng Hong tersenyum dan melangkah ke depan menuju ke arah datangnya suara nyanyian yang terbawa angin lalu.

Tepat seperti yang diduganya, dia melihat kakek bongkok berpunuk yang berpakaian selalu bersih berkaki telanjang, rambutnya panjang akan tetapi bagian atas kepalanya botak, duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon sambil bernyanyi dan diseling menenggak arak dari guci araknya.

Siauw-bin Kuncu, tokoh aneh yang dulu dia akali untuk memecahkan rahasia kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam! Tanpa disengaja kakek aneh inilah orangnya yang telah berjasa sehingga dia dapat menemukan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya. Kakek itu melanjutkan syair ujar-ujar di dalam kitab Tiong-yong, akan tetapi kini tidak dinyanyikan, melainkan diucapkan nyaring dengan gaya sedang memberi kuliah atau sedang berceramah di depan banyak murid, kedua lengannya dikembangkan, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama kata-kata yang seperti sajak dideklamasikan:

"Dalam keadaan kaya dan mulia dia berlaku sesuai dengan keadaannya, dalam keadaan miskin papa dia berlaku sesuai dengan keadaannya, berada di antara bangsa asing dia menyesuaikan diri dengan sekelilingnya, dalam keadaan duka dan sengasara, dia menyesuaikan diri dengan keadaannya, maka seorang budiman selalu merasa cukup dan terteram, biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga."

Keng Hong yang sudah sering kali membaca kitab Tiong-yong dan kini mendengar ayat ini dideklamasi dengan sungguh-sungguh, seolah-olah menjadi makian jelas maknanya bagi pemuda ini. Ujar -ujar itu mengandung inti sari pelajaran "MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEADAAN." Memang, seorang yang pandai menyesuaikan diri tanpa memaksa hati dan perasaan sendiri akan selalu merasa puas, tak pernah kekurangan dan tenang tenteram. Menginginkan sesuatu yang takkan dapat dijangkauannya bukanlah menyesuaikan diri namanya.

Bersikap tidak cocok dengan sekelingnya, ingin membawa kehendak sendiri, bukanlah menyesuaikan diri namanya! Ia mendengarkan terus, karena biarpun sudah sering kali membaca ayat-ayat itu, kini mendengar diucapkan kakek itu dia merasa amat tertarik.

"Dalam kedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya, dalam kedudukan rendah dia tidak menjilat atasannya Dia memperbaiki kekurangan sendiri tidak mengharapkan orang lain, maka ia tidak membenci atau mengutuk orang lain. Ke atas dia tidak mengutuk Tuhan, Kebawah tidak menyalahkan manusia."

Ujar-ujar itu adalah kelanjutan daripada ujar-ujar tadi dan inti sari pelajarannya adalah "MENERIMA KEADAAN PENUH KESADARAN." Jika seseorang dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya dengan kesadaran, maka dia akan selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan itu dan sama sekali dia tidak akan menyalahkan Tuhan maupun manusia lain.

Setiap kegagalan yang lajim disebut kesialan diterima dengan kesadaran penuh bahwa hal ini merupakan akibat daripada sebab, dan untuk mencari sebabnya tidak semetinya kalau melontarkan kesalahan kepada Malaikat maupun Setan. Orang bijaksana atau kuncu (budiman) akan menghadapi setiap kegagalan atau malapetaka yang menimpa diri dengan melakukan instropeksi (memeriksa diri sendiri) kemudian melakukan self-koreksi tanpa membenci atau menyalahkan siapapun juga. Keng Hong sudah mengerti akan semua ini dan dia mendengarkan terus.

"Seorang budiman selalu tenang dan tenteram menanti kurnia sewajarnya dari Tuhan. Adapun seorang yang rendah budi melakukan kejahatan Untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya."

Memanglah, tanpa adanya kesadaran tadi, seseorang yang sedang mengalai kegagalan akan mudah menjadi mata gelap, menipiskan kepercayaan kepada Tuhan yang dianggapnya tidak adil sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan jahat.

Keng Hong maklum bahwa yang sedang diucapkan kakek ini adalah pelajaran fasal ke empat belas dari kitab Tiong-yong dan bahwa masih ada satu ayat lagi sebagai penutup dan yang paling penting dalam fasal hal ini, maka dia masih belum mau menegur dan mendengarkan terus. Kini kakek itu kembali menyanyikan ayat terakhir yang pendek dengan gaya seorang penyanyi wayang, lagaknya lucu sekali:

"Nabi Khong Cu bersabda : Prilaku seorang budiman seperti ilmu memanah, Apabila memanah tidak mengenai sasaran Dia mencari sebab-sebab kegagalan Kepada diri sendiri!"

Karena ayat-ayat itu sudah habis diucapkan si kakek bongkok, Keng Hong hendak memperkenalkan diri, akan tetapi tidak sempat karena kini kakek itu berkata-kata keras penuh celaan seperti orang marah,

"Anak panah luput dari sasaran adalah karena tidak becus, mengapa mencak-mencak mencari kesalahan dengan mencela anak panahnya bengkok, gendewanya kaku, sasarannya tidak nyata, angin besar, cuaca terlalu buruk dan lain omong kosong lagi? Ha-ha-ha, benar-benar manusia ini badut-badut dunia yang tidak lucu dan menjemukan. Guru besar, semua pelajaranmu baik dan tepat belaka, hamba kagum dan tunduknya, betapa sukar melaksanakannya! Aduhai ...., makin baik pelajarannya, mengapa makin bobrok budi pekertinya manusia?"

Keng Hong terkejut mendengar ucapan terakhir ini dan lalu dia muncul keluar sambil menegur,

"Locinpwe, maafkan kalau saya mengganggu, Bukankah Locianpwe ini Siauw Kuncu?"

Kakek itu yang masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon, menoleh dan memandang Keng Hong, kemudian menenggak araknya dan berkata seperti orang mabuk,

"Memang benar, aku seorang di antara kuncu-kuncu yang memenuhi dunia ini! Betapa banyaknya kuncu macam aku sehingga sukar dihitung, seperti daun-daun kuning berserakan di musim rontok! Betapa sukarnya menerima setangkai bunga di musim rontok!"

"Apa pula artinya ucapan Locianpwe ini?"

"Artinya? Lihat saja, betapa kini banyak terdapat kuncu-kuncu berserakan! Setiap orang pelajar hafal akan seluruh kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu, dan mereka itu menganggap diri mereka sebagai kuncu-kuncu! Apakah kalau sudah hafal akan semua ujar-ujar kitab suci lalu menjadi budiman? Betapa mudahnya menghafal dan bicara ditambah lagak seorang kuncu, betapa mudahnya bicara tentang kebenaran, akan tetapi adakah yang dapat melaksanakannya dalam perbuatan? Mereka itu kuncu-kuncu dalam lagak dan kata-kata, dan karena itu aku menjadi seorang di antara mereka, berjuluk kuncu, aku pun seorang kuncu lagak dan kata, kuncu palsu!"

"Akan tetapi, Locianpwe, bukankah seseorang yang telah mengenal diri sendiri dan tahu akan kekurangan-kekurangannya, mempunyai harapan besar untuk memperbaiki dirinya dan hal ini sudah merupakan langkah seorang kuncu?"

"Engkau benar, akan tetapi betapa sukarnya mengalahkan diri sendiri! Betapa sukarnya menjadi kuncu bukan karena ingin disebut kuncu, betapa sukarnya melakukan perbuatan baik bukan karena ingin disebut baik! Betapa mungkin memisahkan malaikat dan setan kalau malaikat itu kita lekatkan di dada sedangkan setan melekat di punggung? Heeeiiiii...! Engkau ini seorang muda sudah pandai bicara tentang ayat-ayat suci. Engkau hendak menjadi kuncu, pula? Eh, aku pernah melihat mukamu! Oho, benar engkau ini!"

Kakek itu menepuk kepalanya yang botak lalu tubuhnya melayang turun ke depan Keng Hong. Semenjak dahulu Keng Hong kagum menyaksikan ginkang kakek itu, akan tetapi tentu saja kini dia melihat betapa ginkang kakek itu sebenarnya belum berapa tinggi. Hal ini adalah karena tingkat kepandaiannya sendiri telah melonjak secara luar biasa.

"Betapa senangnya bertemu dengan sahabat lama?" Kakek itu berkata seperti orang bernyanyi. "Bukankah engkau orang muda yang memiliki pukulan mujijat dan mengerikan itu? Engkau.... ah, murid Sin-jiu Kiam-ong yang menimbulkan geger di seluruh dunia kang-ouw dan dikabarkan lenyap di puncak Kiam-kok-san? Kabarnya engkau sudah mati!"

Keng Hong tersenyum.
"Thian masih melindungiku dan masih menganugerahi umur panjang padaku, Locianpwe. Berkat pertolongan Locinpwe, aku masih hidup sampai detik ini."

Siauw bin kuncu membelalakkan kedua matanya dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku? Pertolonganku yang mana? Eh, orang muda, jangan engkau ketularan watak Sin-jiu Kiam-ong yang suka menggoda dan mempermainkan orang. Aku sudah tua, tak baik mempermainkan orang tua."

"Saya tidak mempermainkan Locianpwe dan hanya menyatakan hal yang sesungguhnya. Ingatkah Locianpwe akan bantuan Locianpwe memecahkan rahasia tiga macam ujar-ujar dahulu itu? Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka! Nah, Locianpwe yang membantu saya memecahkan rahasianya!"

"Oh... Oh... Itukah? Dengan ukuran-ukuran itu...? Hemmm, kau hendak katakan bahwa rahasia itu adalah rahasia tempat penyimpanan peninggalan pusaka Sin-jiu Kiam-ong yang diperebutkan semua orang? Jadi engkau selama ini lenyap ke dalam tempat rahasia itu? Aihhh!" Kakek itu menampar kepalanya." Kalau aku tahu.. tentu..." Kakek itu terhenti dan kini menampar mulutnya.

"Nah-nah, inilah yang paling berbahaya, musuh manusia nomor satu, yaitu diri sendiri, nafsunya sendiri yang mendorongnya melakukan hal apa saja demi untuk kepentingan diri sendiri sehingga lenyaplah segala norma kebajikan, lenyap dan terlupakan semua ayat-ayat suci agama. Ah, orang muda, jadi rahasia penyimpanan pusaka gurumu itu tersembunyi di dalam tiga baris ujar-ujar itu? Sunggah mengagumkan!"

"Benar demikian, Locianpwe. Karena itu, saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang menyelamatkan saya ketika dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw lima enam tahun yang lalu."

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: