*

*

Ads

FB

Selasa, 19 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 079

Biauw Eng maklum bahwa laki-laki murid Go-bi Chit-kwi itu lihai sekali dan tahu pula bahwa ucapannya itu adalah pancingan agar dia marah, maka dia menekan perasaannya dan tanpa menjawab tangan kanannya bergerak. Sinar-sinar putih berkerepan menyambar ke depan ketika sembilan buah senjata rahasia bola-bola putih berduri menyerang sembilan jalan darah di tubuh Siauw Lek dengan kecepatan luar biasa.

Jai-hwa-ong terkejut sekali, namun dia adalah seorang yang berilmu tinggi dan juga dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia, maka tentu saja dia tidak menjadi gugup. Karena tadi di tempat persembunyiaannya ia sudah menyaksikan cara gadis itu bertanding menggunakan sabuk sutera melawan Cui Im dan maklum bahwa biarpun tulang pundak kirinya patah namun gadis ini masih merupakan seorang lawan yang tak boleh dipandang ringan, maka dia tidak mau mengelak untuk membiarkan dia terdesak dan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya, dengan susulan senjata rahasia atau senjata sabuk sutera.

Cepat Siauw Lek memutar pedang hitamnya dan terdengar suara nyaring berkali-kali ketika semua senjata rahasia itu runtuh ke atas tanah. Kemudian melihat Biauw Eng sudah menggerakkan sabuk suteranya, dia tertawa dan mengangkat pedang menyambut.

Terjadilah pertandingan hebat antara kedua orang ini dan diam-diam Siauw Lek merasa kagum melihat gadis yang sudah patah tulang pundaknya itu ternyata masih dapat menyerang hebat dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Sebaliknya, di dalam hatinya Biauw Eng amat mengkhawatirkan ibunya karena ia sudah tahu betapa lihainya Cui Im sekarang. Akan tetapi, selain ia sendiri sudah terluka sehingga gerakannya tidak leluasa, juga ia mendapat kenyataan betapa murid Go-bi Chit-kwi ini juga lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau saja ia tidak terluka, agaknya ia akan dapat menandingi Siauw Lek dan biarpun ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat mengalahkan pria ini, namun ia yakin bahwa untuk merobohkan dia pun bukan merupakan hal mudah bagi lawannya.

Tulang pundaknya yang patah itu membuat gerakannya kaku dan tidak leluasa sekali dan gerakan-gerakannya membuat pundaknya terasa makin nyeri. Untung bagi Biauw Eng bahwa agaknya dalam pertandingan itu Siauw lek tidak berniat membunuhnya, karena kalau demikian halnya, agaknya Biauw Eng takkan dapat bertahan lama dan pedang hitam itu tentu dapat merobohkannya dalam waktu singkat.

Memang demikianlah, Siauw Lek yang berwatak mata keranjang itu ingin sekali mendapatkan Biauw Eng sebagai korbannya, pertama karena memang Biauw Eng amat cantik jelita, lebih cantik menarik daripada Cui Im sendiri, juga jauh lebih muda di samping kenyataan bahwa gadis ini adalah seorang perawan. Juga belum pernah selama dalam petualangannya Siauw Lek mendapatkan korban seorang gadis yang demikian tinggi ilmu silatnya, juga putri dari Lam-hai Sin-ni. Sekarang dia tidak akan gagal mendapatkan puterinya!

Kalau pertandingan antara Siauw Lek dan Biauw Eng seperti kucing mempermainkan tikus dan tidaklah sungguh-sungguh di fihak Siauw Lek biarpun Biauw Eng melawan mati-matian karena pria itu hendak menangkap Biauw Eng tanpa melukainya, lain lagi sifat pertempuran yang terjadi antara Lam-hai Sin-ni dan Cui Im.






Dua orang wanita bekas guru dan murid itu bertanding mati-matian dan makin lama Lam-hai Sin-ni menjadi makin terkejut dan heran menyaksikan gerakan-gerakan bekas muridnya ini yang luar biasa sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Cui Im dengan pedang merah itu amat dahsyat dan aneh, mengingatkan ia akan ilmu pedang Sin-jiu Kiam-ong!

Adapun ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang gadis ini pun memperoleh kemajuan yang mentakjubkan, bahkan sukar dapat dipercaya. Diam-diam ia menjadi curiga dan ketika mereka berdua mengadu pedang sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh mereka mencelat mundur beberapa meter jauhnya.

Lam-hai Sin-ni tidak dapat lagi menahan keinginan tahunya dan ia bertanya,
"Perempuan iblis! Engkau berhasil menemukan pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong?"

Cui Im tertawa mengejek.
"Pusaka-pusaka berharga menjadi ahli nomor satu di dunia. Lam-hai Sin-ni, aku memang telah mewarisi pusaka itu dan karenanya aku yang akan menjadi tokoh nomor satu!"

Biauw Eng yang sedang didesak oleh cengkeraman-cengkeraman tangan kiri Siauw lek sedangkan sabuk suteranya selalu ditahan oleh pedang hitam. Dengan mata bersinar-sinar ia meloncat mundur menjauhi Siauw Lek dan membalikkan tubuh menghadapi Cui Im sambil bertanya,

"Cui Im! Kalau begitu engkau bertemu dengan Keng Hong! Dimana dia??"

"Hi-hi-hik, engkau mau bertemu dengan Keng Hong? Harus kau cari di dasar neraka….!"

"Cui Im! Dia... Dia....?"

Wajah Biauw Eng menjadi pucat sekali dan kata-kata "mati" yang hendak ia tanyakan hanya terbisikkan di dalam hatinya saja.

"Cui Im, engkau harus mampus!"

Lam-hai Sin-ni membentak marah karena keterangan Cui Im tentang Keng Hong itu tentu akan menimbulkan malapetaka bagi puterinya. Ia menyerang dengan hebat sambil meloncat ke depan, pedangnya berubah menjadi sinar putih yang panjang.

"Trang-trang-cring...!"

Bunga api berpijar dan kembali sinar putih dan merah dari pedang kedua orang wanita itu sudah saling serang lagi dengan seru dan mati-matian, sungguhpun kini Lam-hai Sin-ni tidak lagi merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cui Im, bahkan mulai merasa ragu-ragu apakah ia akan mampu mengalahkan bekas muridnya yang telah mewarisi pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, kekasihnya juga ayah kandung Biauw Eng itu.

Adapun Biauw-Eng yang mendengar ucapan Cui Im tadi, seperti linglung dan berdiri bengong memandang bekas sucinya yang telah bertanding hebat melawan ibunya itu. Kalau mau mencari Keng Hong ke dasar neraka? Apakah artinya itu? Apakah Keng Hong telah mati?

Siauw Lek yang melihat betapa Biauw-Eng menjadi seperti kehilangan semangat, seperti telah berubah menjadi arca, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan dia segera menyimpan pedangnya dan menubruk ke arah Biauw Eng dari sebelah kiri gadis itu.

Sebagai seorang gadis yang semenjak kecil di gembleng ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan otomatis melindungi tubuhnya dari setiap serangan yang datang mengancam, biarpun dia sedang terlena dalam lamunan duka, Biauw Eng merasai serangan ini dan otomatis lengan kirinya bergerak memukul ke arah bayangan yang menubruknya dari kiri!

Akan tetapi keluhan lirih terdengar dari mulut gadis ini ketika pundaknya terasa nyeri sekali oleh gerakannya sendiri. Dia lupa akan tulang pundak kirinya yang patah, maka cepat ia memutar tubuh hendak menghadapi terjangan lawan dengan tangan kanan. Namun terlambat karena Siauw Lek cepat meringkusnya, dan dua kali menotok jalan darah di pungung dan pundaknya membuat Biauw Eng terguling roboh dengan tubuh lemas.

"Keparat jahanam! Jangan menganggu puteriku!"

Lam-hai Sin-ni melengking nyaring dan saking marahnya melihat puterinya dirobohkan, gerakan pedangnya menjadi ganas sekali. Tidaklah percuma nenek ini menjagoi di antara datuk-datuk hitam karena memang kepandaiannya hebat sekali. Selain pedangnya bergerak cepat dan sinarnya saja sudah cukup merobohkan lawan, juga setiap dorongan dan pukulan tangan kirinya merupakan sambaran maut yang mematikan.

Cui Im yang telah mewarisi ilmu-ilmu rahasia yang mujijat merasa kewalahan juga ketika Lam-hai Sin-ni mengamuk dengan nekat. Gadis ini tadinya mengharapkan bekas gurunya untuk mengeluarkan Thi-khi-I-beng, akan tetapi ternyata Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakan ilmu itu sehingga ia menjadi habis sabar dan tidak mau memancing-mancing lagi. Kini melihat Lam-hai Sin-ni mengamuk, melihat betapa Biauw Eng telah roboh, ia berseru,

"Twako, bantulah aku merobohkan monyet tua ini!"

Siauw Lek yang sedang memandang tubuh Biauw Eng dengan hati puas, tertawa dan cepat mencabut pedang hitamnya lalu menerjang maju pembantu Cui Im, mungkin ilmu pedang Siauw Lek tidak sehebat gadis itu, akan tetapi karena diapun sudah mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Chit-kwi dan pengalamannya sudah banyak, tentu saja ia merupakan tenaga bantuan yang hebat pula. Hal ini terasa sekali oleh Lam-Hai-Sinni hingga terdesak hebat setelah murid musuh besarnya itu maju membantu bekas muridnya.

Lam-hai Sin-ni sudah tua dan akhir-akhir ini ia menderita tekanan batin karena keadaan puterinya. Hal ini membuat tubuhnya menjadi lemah dan sering kali ia merasa jemu akan penghidupannya dan bertahun-tahun ia tidak pernah berlatih ilmu silat lagi. Kini ia harus menghadapi penggeroyokan dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tentu saja ia menjadi repot sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun tetap saja ia makin terdesak dan terhimpit, napasnya mulai memburu dan tubuhnya basah oleh keringat.

"Hi-hi-hik, Lam-hai Sin-ni, belum juga kau keluarkan Thi-khi-I-beng?"

Cui Im mengejek dan pedangnya meluncur seperti kilat menusuk ke arah leher bekas gurunya.

"Cringgggg...!"

Lam-hai Sin-ni berhasil menangkis akan tetapi ia terhuyung ke belakang dan tangan yang memegang pedang gemetar.

"Nenek tua, mampuslah!" Siauw Lek membacokkan pedang hitamnya dari samping mengarah lambung.

"Trangggggg....!"

Kembali Lam-hai Sin-ni yang terhuyung-huyung itu berhasil menangkis, akan tetapi karena keadaan tubuhnya sedang terhuyung, tangkisan ini hampir membuat ia roboh terguling kalau saja ia tidak cepat meloncat dan berjungkir balik.

Ia maklum apa yg diinginkan Cui-Im yaitu mengeluarkan Thi-khi-I-beng. Akan tetapi ia tidak sudi memperlihatkan ilmu itu, apalagi karena ia tahu bahwa ilmu itu tidak akan ada gunanya kalau ia pergunakan terhadap dua orang muda lihai yang tentu saja sudah mengadakan persiapan lebih dulu ini. Biar sampai mati, dia tidak akan memberikan ilmu Thi-khi-I-beng, kalau hal ini yang diinginkan Cui Im!

Ia melawan terus, akan tetapi napasnya makin memburu dan pandang matanya mulai berkunang, kepalanya terasa pening. Adapun dua orang muda itu yang melihat keadaan lawan makin lemah, terus mendesaknya. Cui Im mengenal akan kekerasan hati Lam-hai Sin-ni, maka ia tidak dapat mengharapkan akan berhasil membujuk bekas gurunya, dan pedangnya makin ganas saja menyambar-nyambar.

"Cui Im, biar aku mengadu nyawa denganmu!"

Tiba-tiba Lam-hai Sin-ni yang sudah pening dan sudah gelap pandang matanya itu mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya melayang naik terus meluncur seperti burung garuda menyambar ke arah Cui Im dengan pedang di depan.

Pedang ini menusuk ke arah tubuh bekas muridnya. Inilah jurusnya yang terakhir, jurus terlihai akan tetapi juga merupakan jurus bunuh diri atau mengajak lawan mati bersama. Jurus ini bernama Hui-seng-coan-in (Bintang Terbang Menembus Awan). Serangan yang dilakukan dengan tubuh melayang dengan luncuran kilat ini takkan dapat ditangkis atau dielakkan lagi oleh lawan, karena tangkisan lawan tentu akan dibarengi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan elakan tak mungkin dilakukan karena pedang dapat digerakkan mengejar tubuh lawan.

Kalau lawan berkepandaian tinggi, jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi dengan serangan balasan terhadap tubuh melayang yang tidak memperdulikan akan penjagaan diri melainkan sepenuhnya dicurahkan untuk menyerang itu.

Karena sifat jurus ini maka selama hidupnya Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakannya, maka kini ia benar-benar mengkehendaki mati bersama dengan bekas muridnya yang amat dibencinya itu.

Cui Im terkejut bukan main. Ia mengenal jurus ini dan tahu pula akan kehebatannya, maka cepat ia berkata kepada Siauw Lek,

"Twako, tangkis pedangnya!"

Siauw Lek tidak mengenal jurus nenek itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu serangan ini hebat sekali, maka dia cepat mentaati perintah Cui Im dan menggerakkan Hek-liong-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Adapun Cui Im yang percaya penuh akan kesetiaan dan bantuan Siauw Lek, cepat menyusup ke bawah dan menggerakkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah menyambar ke arah kedua kaki bekas gurunya.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: