*

*

Ads

FB

Selasa, 19 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 080

"Tranggg....! Dess...! Crokkkk!!"

Amat cepat dan hebatnya benturan antara tiga orang itu, disusul teriakan kaget dan sakit dari mulut Siauw Lek yang roboh bergulingan dan rintihan perlahan Lam-hai Sin-ni yang roboh terlentang dengan kedua kaki buntung kena disambar pedang merah Cui Im!

Siauw Lek bergulingan dan cepat duduk bersila sambil memejamkan matanya untuk mengatur pernapasan agar luka di dalam tubuhnya tidak terlalu hebat akibat pukulan tangan Lam-hai Sin-ni yang mengenai dadanya itu.

Ketika ia tadi menangkis pedang Lam-hai Sin-ni, tangan kiri nenek itu otomatis menghantam dan mengenai dadanya membuat ia terpekik dan roboh bergulingan. Adapun Cui Im yang cerdik sudah menyerang kedua kaki Lam-hai Sin-ni tepat pada saat nenek itu memukul Siauw Lek sehingga ia berhasil membabat kedua kaki bekas gurunya itu sampai buntung sebatas lutut!

"Twako, kau tidak apa-apa...?"

Cui Im menghampiri Siauw Lek, meraba punggung sahabatnya itu dan membantu Siauw Lek dengan pengerahan sinkang melalui telapak tangannya. Tak lama kemudian Siauw Lek membuka matanya dan mukanya yang tadi amat pucat menjadi merah kembali, tanda bahwa bahaya telah lewat dan dia tidak terluka hebat.

Mereka lalu bangkit berdiri menghampiri Lam-hai Sin-ni yang masih rebah terlentang dengan mata mendelik dan tangan kanan tetap memegang pedang. Darah mengucur keluar seperi pancuran dari kedua kakinya yang buntung.

"Lam-hai Sin-ni, aku telah merobohkan engkau. Sekarang berikan Thi-khi-I-beng kepadaku dan aku akan mengingat hubungan antara kita dan tidak akan membunuhmu," Cui Im berkata dengan suara dingin.

Dengan mata mendelik nenek itu memandang Cui Im.
"Cui Im murid durhaka, manusia berhati iblis! Biar kau bunuh aku, jangan harap engkau akan dapat mempelajari Thi-khi-I-beng dariku!"

"Hemmm, nenek keras kepala!" Cui Im berkata gemas.

"Moi-moi, mengapa bingung? Biar dia melihat aku mempermainkan puterinya, apakah dia masih akan keras kepala atau tidak!"

Sambil berkata demikian Siauw Lek menghampiri Biauw Eng yang masih rebah tak bergerak, lemas karena ditotok jalan darahnya oleh Siauw Lek.






Lam-hai Sin-ni memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke arah puterinya. Ia maklum apa yang akan dilakukan murid Go-bi Chit-kwi itu. Hampir saja ia menyerah, akan tetapi hatinya sendiri yang penuh kekejaman dan kelicikan segera membuat ia berpikir dan berpendapat lain. Kalau dia membuka rahasia Thi-khi-I-beng, apakah murid Go-bi Chit-kwi itu akan melepaskan Biauw Eng? Tak mungkin! Masa dia begitu bodoh.

Dan apakah Cui Im benar-benar akan mengampuni nyawanya? Hal ini pun meragukan sekali. Lebih baik dia mati dan biarkan Biauw Eng dihina dan dicemarkan. Hal itu akan baik sekali malah bagi Biauw Eng! Akan mengguncang batin puterinya itu sehingga hatinya dipenuhi dendam, akan menimbulkan kembali semangatnya yang membeku karena cintanya kepada Keng Hong yang terputus. Biarlah! Kelak tentu Biauw Eng akan dapat membalaskan kematiannya.

"Cui Im perempuan rendah dan engkau murid Go-bi Chit-kwi yang hina! Lakukanlah apa yang kalian kehendaki akan tetapi jangan harap aku akan menyerahkan ilmu Thi-khi-I-beng kepada kalian!"

Cui Im menjadi marah sekali.
"Begitukah? Lam-hai Sin-ni, engkau tahu cara apa yang paling baik untuk menyiksa puterimu? Hi-hi-hik, ingatkah engkau betapa engkau sendiri yang mengajarkanku untuk menyiksa orang?"

"Perempuan keparat, apa pun yang kau lakukan, tidak akan menakutkan hatiku, tak usah banyak cerewet lagi!"

Cui Im menghampiri bekas gurunya itu dan Lam-hai Sin-ni yang kelihatannya sudah lelah sekali itu menggerakkan tangannya dan.... pedang di tangannya meluncur seperti anak panah ke arah dada Cui Im yang berdiri dalam jarak amat dekat.

"Iiiiihhhhh..!"

Cui Im menjerit dan cepat membuang diri ke belakang. Ia dapat menyelamatkan nyawanya, akan tetapi pedang itu tetap saja menyerempet pinggul kirinya ketika ia bergerak mengelak tadi sehingga bajunya robek dan juga kulit pinggulnya robek berdarah.

"Heh-heh-heh, apa bedanya hidup dan mati? Selisihnya sedikit sekali....!"

Lam-hai Sin-ni tertawa mengejek sambil memandang wajah Cui Im yang pucat sekali. Memang harus diakui bahwa nyaris ia tewas di tangan bekas gurunya itu, ia menerjang ke depan, pedangnya mengeluarkan sinar merah dan kedua lengan Lam-hai Sin-ni terlempar, buntung sebatas siku dan darah mengucur keluar.

Lam-hai sin-ni sudah buntung kedua kakinya itu secara mengagumkan sekali telah dapat mmenggerakkan tubuhnya sehingga ia duduk tegak dan meramkan kedua matanya. Darah masih mengucur keluar dengan deras melalui kedua lengannya yang buntung dan hanya menetes-netes saja dari kedua kakinya yang buntung. Tiada keluhan keluar dari mulutnya dan wanita tua ini memejamkan mata dan mukanya tidak membayangkan penderitaan.

"Ibu....!"

Biauw Eng menjerit. Baru sekarang ia berhasil mengeluarkan suara setelah sejak tadi ia hanya menjerit-jerit di dalam hatinya saja menyaksikan keadaan ibunya. Namun, biar sekarang ia sudah mampu mengeluarkan suara, ia masih belum dapat bergerak dan ia sudah merasa ngeri menghadapi Siauw Lek yang berlutut di dekatnya dan tak dapat di ragukan lagi apa yang hendak diperbuat orang itu terhadap dirinya.

Namun, menyaksikan keadaan ibunya, Biauw Eng lupa akan bahaya mengerikan yang mengancam dirinya sendiri dan ketika ia berhasil membuka kembali totokan yang membuatnya gagu, pertama kali ia berteriak adalah menyebut ibunya.

Cui Im berdiri memandang bekas gurunya. Ia maklum bahwa Lam-hai Sin-ni takkan hidup lebih lama lagi dan agaknya nenek itu pun tidak ingin hidup maka membiarkan darahnya mengucur keluar terus. Jeritan Biauw Eng menyebut ibunya membuat Cui Im menoleh dan sepasang alisnya berkerut ketika ia melihat Siauw Lek dengan pandang mata penuh berahi mulai meraba-raba pakaian Biauw Eng dan hendak menanggalkan pakaian gadis itu.

"Twako....!"

Jari-jari tangan yang penuh gairah itu terhenti dan Siauw Lek menoleh. Melihat pandang mata wanita itu, Siauw Lek melompat bangun dan tersenyum memandang Cui Im,

"Eh, bukankah kau menghendaki supaya aku..."

"Tidak, Twako, wanita ini harus di bunuh!"

Cui Im maju menghapiri Biauw Eng yang kini memandang kepadanya penuh kebencian yang meluap-luap.

"Setelah aku selesai, masih belum terlambat untuk membunuhnya, Moi-moi," Siauw Lek berkata dengan suara penuh harap.

Namun Cui Im mengelengkan kepalanya.
"Tidak, dia semenjak dahulu mencela aku yang dikatakannya menjadi hamba nafsu berahi. Dia jijik terhadap pemuas nafsu berahi dan menganggap dirinya suci. Kalau sekarang sebelum mati dia diberi kesempatan merasakan, apalagi mendapat seorang laki-laki sehebat engkau, benar-benar terlalu enak buat dia!"

Siauw Lek menarik napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi dia hanya menggerakkan pundak, tidak berani membantah. Melihat kekecewaan pemuda itu, Cui Im menghampirinya, merangkul lehernya dan memberi ciuman mesra sehingga mau tidak mau Siauw Lek tersenyum kembali dan membalas ciumannya. Mereka berciuman di depan Biauw Eng yang memandang penuh kebencian.

"Twako, kekasihku yang baik, jangan murung dan kecewa. Aku hanya ingin melihat dia yang kubenci ini mampus tanpa merasai kenikmatan hidup. Jangan khawatir, setelah selesai urusanku di sini kita pesta, aku akan mencarikan perawan-perawan jelita untukmu."

Siauw Lek tertawa girang. Dia tahu apa artinya pesta yang dimaksudkan Cui Im. Sudah beberapa kali mereka mengadakan pesta seperti itu dan selama dalam petualangannya belum pernah ia merasai kesenangan seperti pada saat-saat itu.

Cui Im lalu menghampiri Biauw Eng dan berlutut di dekat tubuh bekas sumoinya itu, wajahnya yang ayu tampak menyeramkan penuh kekejian.

"Engkau perempuan tak berjantung! Bunuh saja aku!" Biauw Eng marah sehingga hanya dapat mendesis ucapan singkat itu.

"Hi-hi-hik, tentu saja, akan tetapi tidak begitu enak bagimu. Ibumu masih terlalu enak, tidak terlalu lama menderita, akan tetapi engkau lain lagi. Aku harus membuatmu menderita sampai lama sebelum mati. Cukup dengan sebatang jarum saja, Biauw Eng. Engkau mengenal jarum-jarum merahku, tahu bahwa sekali ku tusukkan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) ke jalan darah tiong-cu-hiat ditengkukmu, racunnya akan perlahan-lahan menyiksamu dan baru setelah dua belas jam racun itu akan merusak jantungmu dan membunuhmu."

Setelah berkata demikian, Cui Im mengeluarkan sebatang jarum merah dan dengan muka penuh kegemasan ia menancapkan jarum itu pada tengkuk Biauw Eng, tepat pada jalan darah yang dikehendakinya.

Biauw Eng yang tak dapat bergerak itu tentu saja hanya dapat memejamkan mata menahan nyeri, dan begitu jarum ditusukkan, ia merasa betapa tengkuknya mulai gatal-gatal. Maklumlah ia bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Biauw Eng mengerti akan hal ini akan tetapi dia tidak takut, hanya penasaran.

"Cui Im, mengapa engkau begini membenci aku?"

"Mengapa? Karena engkau sudah lancang berani mencinta Keng Hong!" kata Cui Im sambil bangkit berdiri.

"Keng Hong.... ah apakah dia masih hidup? Di manakah dia..?"

Cui Im membanting kakinya.
"Huh, ternyata sampai detik ini engkau masih mencintanya! Hi-hi-hik, dengarlah, aku tidak hanya akan menyiksa batinmu sehingga sampai mati engkau akan menjadi setan penasaran! Dengar baik-baik. Sampai detik ini Keng Hong masih hidup, akan tetapi aku telah menjebaknya di sebuah tempat yang takkan dapat dikunjungi manusia lain dan dia sendiri selama hidupnya takkan dapat keluar! Dia akan mati kering di tempat itu, hi-hi-hik, dia akan mati merindukanmu!"

"Ooohhhhhh...!"

Biauw Eng yang tak mampu bergerak itu menangis. Dia sendiri menghadapi kematian dan menghadapi siksaan yang ia tahu akan amat sengsara sebelum ia mati, akan tetapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Keng Hong.

"Dan engkau tentu belum sadar, ya? Mengapa Keng Hong membencimu? Mengapa dia melontarkan segala tuduhan kepadamu di Kun-lun-san, di dalam sidang pengadilan Kun-lun-pai? Engkau dituduh membunuh murid-murid perempuan Hoa-san-pai, murid-murid partai lain? Hi-hi-hik, bekas sumoiku yang cerdik pandai, yang lihai ilmu silatnya, mengapa?" Biauw Eng sudah mulai merasakan akibat tusukan jarum merah pada tengkuknya.

Mulai terasa berdenyut-denyut pada tengkuknya yang menjalar ke dalam kepala, seolah-olah ada semut-semut menggigit tengkuk dan terus menggali ke dalam kepala! Akan tetapi ucapan bekas sucinya amat membangkitkan perhatian, maka dia bertanya lemah.

"Mengapa? Apakah engkau tahu mengapa?"

"Hi-hi-hik, tentu saja aku tahu. Aku telah mencuri beberapa buah senjata rahasiamu, aku mengenakan pakaian putih dan aku mengikuti Keng Hong secara diam-diam."

"Setan....! Kau... Kaukah yang melakukannnya menyamar seperti aku?" Biauw Eng membelalakkan matanya. "Mengapa? Mengapa kau lakukan itu?"

“Karena kau lancang berani mencinta Keng Hong. Biar dia marah kepadamu, biar kau dimusuhi dunia kang-ouw. Dan aku membunuh setiap wanita yang diterima cinta kasihnya oleh Keng Hong si laknat! Berani dia menolak cinta kasihku dan berani pula dia menerima cinta kasih wanita lain! Hi-hi-hik, aku membunuh murid Hoa-san-pai itu yang masih dalam pelukannya! Dan aku bunuh dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang masih merasai kehangatan cintanya. Dan sekarang kubunuh pula engkau...."

"Moi-moi, demikian besarkah cintamu terhadap Keng Hong itu?" Tiba-tiba Siauw Lek yang sejak tadi menonton dan mendengarkan saja bertanya.

Cui Im menggeleng kepala.
"Sekarang aku benci padanya. Kalau aku mencintainya, masa aku menjebaknya sehingga dia terkubur hidup-hidup?"

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: