*

*

Ads

FB

Selasa, 19 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 078

Wajah Cui Im kini menjadi bengis sekali.
"Biauw Eng, bukalah telinga dan matamu baik-baik. Kenalilah ini Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kia Bu-tek! Baru tangan kosongku saja mampu mengalahkan sabuk suteramu, apalagi pedang merahku! Hemmm, kau mau tahu mengapa aku memusuhi ibumu? Bukan lain karena aku harus mengalahkan Bu-tek Su-kwi dan mereka tidak berhak lagi memakai julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) karena akulah satu-satunya Bu-tek di dunia ini!"

"Suci, tidak ingatkah engkau bahwa ibu adalah gurumu yang mendidikmu sejak kecil? Ibu sudah tua, kalau kita beri tahu tentu tanpa bertanding pun dia akan sudi mengalah kepadamu dan memberikan julukan kosong itu kepadamu."

"Huh, kalau dia mengalah berarti julukan itu benar kosong! Tidak, dia harus bertanding melawan aku, ingin aku merasai Thi-khi-I-beng yang tersohor itu! Kecuali kalau dia mau memberikan ilmu itu kepadaku, hemmm.... akan kupikir-pikir untuk mengampuni nyawa anjingnya!"

"Cui Im....!!"

Biauw Eng berseru keras, membentak dengan marah. Pada saat itu, pandang mata Biauw Eng beralih pada seorang pria yang tiba-tiba muncul dan dengan loncatan ringan sekali menghampiri tempat itu sambil tersenyum-senyum.

"Eh, inikah sumoinya itu, adik Cui Im? Hemmm, manis sekali, hampir semanis engkau sayang agak kurus."

"Hi-hi-hik, dia patah hati, Twako. Eh, Biauw Eng, tahukah engkau siapa pria yang ganteng ini?"

Cui Im merangkul pundak Siauw Lek dengan sikap manja dan mesra sekali, bahkan lalu mencium pipi laki-laki itu setelah ia berdiri di atas ujung kakinya karena tingginya hanya sampai ke pundak Siauw Lek.

Wajah Biauw Eng menjadi merah saking merasa malu dan jengah.
"Hemmm, sejak dulu masih belum sembuh engkau dari watakmu yang gila laki-laki, Cui Im. Siapa lagi dia ini kalau bukan pacarmu yang berganti sampai ratusan kali?"

"Hi-hi-hi, benar sekali, entah ke berapa ratus kalinya. Hemmm, sedap dan nikmat berganti-ganti pacar, sekali hidup pun sudah puas. Tidak seperti engkau sekali mempunyai pacar saja gagal!"

"Cui Im....!"

Biauw Eng menegur dengan hati terasa perih. Kini kedua orang wanita ini tidak lagi menyebut sumoi dan suci, melainkan menyebut nama masing-masing karena mereka sama-sama maklum bahwa kini tak mungkin lagi saling mengakui sebagai saudara seperguruan.






"Wah, Moi-moi, biarpun kurus, dia masih segar. Kalau kau berikan kepadaku untuk selingan dan penyegar, aku pun tidak menolak!" Siauw Lek berkata sambil tertawa.

Cui Im juga tertawa genit.
"Bagaimana, Biauw Eng. Dia tampan dan gagah juga, bukan? Biarpun tidak setampan Keng Hong, kurasa dia tidak kalah pandai dalam hal merayu...."

"Cui Im, tutup mulutmu yang kotor!"

Biauw Eng membentak marah, menahan keinginan hatinya untuk bertanya apakah bekas sucinya ini tahu dimana adanya Keng Hong dan yang terpenting apakah Keng Hong masih hidup. Akan tetapi mendengar Cui Im dan Siauw Lek bercakap-cakap seperti itu, ia menahan keinginan hatinya dan membuang muka.

"Hi-hi-hik, Biauw Eng, apakah engkau masih alim seperti dahulu? Apakah engkau masih perawan seperti dahulu? Kalau begitu kebetulan, kau lihat ini baik-baik. Dia adalah murid Go-bi Chit-kwi..."

"Ohhhh...?? Jadi engkau... Engkau malah bersekutu dengan musuh besar gurumu sendiri? Cui Im, engkau manusia rendah, murid durhaka!"

"Dia inilah yang bernama Siauw Lek, berjuluk Kim-lian Jai-hwa-ong! Dia malang melintang di dunia kang-ouw, dalam hal kekejaman dan kepandaian tidak usah malu dan kalah kalau dibandingkan dengan Bu-tek Su-kwi, namun dia adalah pembantuku!"

"Bagus sekali! Kiranya engkau sudah bersekutu dengan murid musuh-musuhku, Cui Im? Hemmm, sungguh memalukan dan baiknya engkau datang mengantar kematian!"

Suara ini keluar dari mulut Lam-hai Sin-ni dan diam-diam Cui Im harus mengakui bahwa biarpun sudah tua bekas gurunya ini memiliki ginkang yang luar biasa sehingga kedatangannya tidak ia ketahui.

Ia cepat membalikkan tubuhnya dan menekan perasaan hatinya yang berguncang. Biarpun ia telah merasa yakin akan kepandaiannya, namun menghadapi nenek bekas gurunya yang menjadi tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, hati Cui Im gentar juga. Akan tetapi selain merasa yakin akan kemampuannya sendiri, hatinya juga besar karena disitu ada Siauw Lek yang tentu akan membantunya, maka ia berkata dengan nada suara dingin.

"Lam-hai Sin-ni, aku datang bukan sebagai muridmu lagi, melainkan sebagai penantangmu! Aku adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, satu-satunya jago wanita tanpa tanding yang akan menjadi ratu di antara golongan hitam!"

"Phuahhh....! Cui Im, apakah engkau sudah menjadi gila?"

"Ibu, jangan lawan dia! Kalau dia mengkehendaki julukan kosong sebagai Bu-tek, serahkanlah saja!"

Lam-hai Sin-ni mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu memandang puterinya. Sekali pandang saja maklumlah nenek ini bahwa puterinya terluka pundaknya, maka ia berkata,

"Hemmm, engkau kalah oleh dia dan murid Go-bi Chit-kwi itu, Eng-ji? Kalah karena dikeroyok tidak mengherankan."

"Tidak, Ibu. Dia... Cui Im, sekarang lihai bukan main..."

Wajah nenek itu tampak tercengang. Dia merasa heran mendengar ini. Benarkah puterinya dikalahkan oleh Cui Im? Hampir ia tidak dapat percaya karena dahulu tingkat kepandaian Cui Im jauh dibawah tingkat Biauw Eng. Dan selama ini puterinya itu setiap hari berlatih sehingga tingkatnya telah mencapai kemajuan pesat sekali. Mungkinkah Cui Im sudah sedemikan lihainya sehingga mampu mengalahkan puterinya? Benarkah tidak dibantu oleh murid Go-bi Chit-kwi itu? Kini ia memandang bekas muridnya itu tajam-tajam lalu berkata,

"Cui Im, terus terang saja. Apa maksud kedatanganmu ini?"

"Lam-hai Sin-ni, sudah kukatakan bahwa aku hendak menjagoi dunia kang-ouw dan aku datang untuk menantangmu mengadu kepandaian. Hanya ada akibat dari pertandingan antara kita, yaitu engkau tewas di tanganku atau engkau dapat kuperingan dan tidak akan kubunuh akan tetapi engkau harus memenuhi permintaanku."

Biarpun ia sudah tua dan sudah pandai menguasai perasaanya, namun mendengar ucapan bekas muridnya ini, Lam-hai Sin-ni merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Dengan kekuatan batinnya saja ia masih mampu mengendalikan dirinya dan suaranya amat dingin ketika bertanya,

"Hemmm, Bhe Cui Im, permintaan apakah itu?"

Sambil mempermainkan mata dan bibirnya dengan sikap mengejek sekali Cui Im menjawab,

"La-hai Sin-ni, aku tidak takut menghadapi ilmu Thi-khi-I-beng, akan tetapi aku tertarik sekali akan ilmu itu dan ingin aku mengetahui rahasianya. Kalau engkau mengajarkan ilmu itu aku akan mengingat hubungan lama di antara kita dan aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya mengalahkanmu tanpa membunuh!"

"Bhe Cui Im, bocah keparat!" Lam-hai Sin-ni tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Engkau sungguh tekebur sekali! Belum juga mengalahkan aku sudah mengajukan syarat! Heh, Cui Im si sombong, jangan kira bahwa aku yang sudah tua ini akan mudah saja kau kalahkan. Kalau engkau mampu mengalahkan aku, jangankan baru Thi-khi-I-beng, bahkan nyawaku pun akan kuberikan kepadamu!"

Baru saja habis ucapan nenek itu, tubuhnya sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa sekali, bagaikan halilintar menyambar, dan dua buah pukulan beruntun menyambar ke arah ulu hati dan kepala Cui Im.

Biarpun Cui Im sudah yakin akan kepandaiannya, namun sikapnya tadi memang untuk memancing kemarahan dan untuk menyesuaikan sikap seorang "ratu" di dunia hitam, padahal dia sesungguhnya tidak berani memandang rendah bekas gurunya yang ia tahu lihai luar biasa itu.

Kini, melihat berkelebatnya tubuh gurunya, cepat ia sudah bergerak pula, miringkan tubuh mengurangi lowongan dan kedua tangannya bergerak menangkis.

"Plak-plak!"

Bagaikan disambar halilintar, tubuh dua orang wanita itu terpelanting ke belakang, namun dengan amat cepatnya keduanya sudah meloncat lagi saling terjang dan dalam detik selanjutnya terdengar lagi suara "plak-plak" bertemunya kedua lengan. Sampai lima kali mereka saling terjang dan beradu lengan, dan lima kali tubuh mereka terbanting ke belakang.

Lam-hai Sin-ni meloncat bangun, wajahnya merah sekali. Ia terheran-heran dan penasaran. Dalam mengadu tenaga sinkang melalui kedua tangan tadi, bekas muridnya ini membuktikan bahwa tenaga Cui Im tidak kalah kuat olehnya! Kalau nenek itu berdiri dengan muka merah dan tercengang, sebaliknya Cui Im berdiri dengan sikap tenang dan mulut tersenyum mengejek, hatinya gembira karena ia dapat membuktikan bahwa seperti yang diduganya, kini ia dapat mengimbangi tenaga sinkang bekas gurunya.

Dia tidak takut pada gurunya menggunakan Thi-khi-I-beng, karena selain ia tahu bahwa kepandaian gurunya dalam ilmu itu belum sempurna dan tidak sekuat tenaga sedot Keng Hong, juga ia sudah bersiap-siap dan tahu bagaimana caranya menghadapi ilmu yang belum kuat itu. Ia mengandalkan rambutnya yang akan dapat ia pergunakan untuk menotok bagian tubuh gurunya yang menyedot sinkangnya.

"Bagaimana, Lam-hai Sin-ni, apakah sedemikian saja kepandaiamu?"

Sepasang mata yang sudah tua itu seperti mengeluarkan api. Biauw Eng yang menyaksikan pertandingan itu, sudah bangkit berdiri menahan rasa nyeri di pundaknya, dan berkata,

"Ibu, sudahlah, hendaknya ibu mengalah dan memberikan Thi-khi-I-beng kepadanya. Ibu sudah tua, perlu apa memperebutkan ilmu itu? Berikan saja dan kita pergi dari sini, Ibu."

Ucapan puterinya ini menambah kemarahan hati Lam-hai Sin-ni.
"Pengecut! Apakah engkau sudah menjadi pengecut karena cinta? Lebih baik aku mati sekarang daripada tunduk terhadap setan cilik ini!" Ia lalu menghadapi bekas muridnya itu lagi sambil menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis berada di tangannya. "Bhe Cui Im, kenalkah engkau akan pedang ini? Ataukah matamu telah buta sehingga tidak lagi mengenal pedang ini?"

Cui Im menjebikan bibirnya mengejek.
"Pedang Liong-jiauw-kiam (Pedang Cakar Naga)?" Hemmm, pedang itu tidak menakutkan hatiku, Lam-hai Sin-ni!" kata Cui Im.

Dan tangannya bergerak lebih cepat lagi daripada gerakan nenek itu dan tampak sinar merah berkelebat. Pedang merahnya telah berada di tangannya.

"Bhe Cui Im, engkau tahu bahwa pedang ini tidak pernah kugunakan, karena memang pedang ini kusimpan untuk kupakai menghadapi Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi tujuh setan itu telah mampus dan kini muncul murid mereka yang menjadi sahabatmu. Nah, pedang ini sekarang akan membasmi engkau bersama murid Go-bi Chit-kwi!"

"Hi-hi-hik, engkau dengar nenek ini mengoceh, Twako. Katanya hendak menggunakan pedang itu untuk membunuh kita, hi-hi-hik!"

"Ha-ha-ha, sudah biasa itu, Moi-moi. Burung tua mau mampus ocehannya paling merdu dan nenek-nenek tua mau mati suaranya paling lantang, ha-ha-ha!" Tangan Siauw Lek bergerak pula dan sinar hitam berkelebat.

Melihat ini, Lam-hai Sin-ni memekik panjang dan tubuhnya berkelebat, didahului gulungan sinar pedangnya yang putih. Sinar pedang yang bergulung-gulung itu membentuk lingkaran-lingkaran lebar dan melayang ke arah dua orang lawannya yang sudah siap.

Siauw Lek dan Cui Im tertawa dan tampaklah gulungan sinar pedang hitam dan merah yang amat lebar dan panjang yang segera membuat gerakan menggunting dan menjepit sinar pedang putih dari Lam-hai Sin-ni.

Biarpun pundak kirinya terluka dan patah tulangnya, namun begitu melihat ibunya dikeroyok oleh dua orang itu yang gerakan pedangnya hebat sekali, Biauw Eng menjadi khawatir dan ia cepat menggerakkan sabuk suteranya dengan tangan kanan dan menerjang maju untuk membantu ibunya. Ia disambut oleh sinar pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tertawa mengejek.

"Nona muda, engkau cantik jelita sekali. Sayang engkau kurus merana dan dingin. Marilah dekat Siauw Lek, aku akan membuat engkau hangat panas dan membuatmu gembira, ha-ha-ha!"

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: