*

*

Ads

FB

Selasa, 19 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 077

"Sumoi...., ah, betapa rinduku kepadamu, Sumoi...!"

Cui Im lari menghampiri adik seperguruan ini dan Biauw Eng melihat bahwa ketika berlari, gerakan Cui Im sama seperti dulu, tidak keliatan ada kemajuan. Hal ini memang karena kecerdikan Cui Im yang pada saat itu ingin menyembunyikan kepandaiannya dari sumoinya.

Mereka berangkulan sejenak, dan sesungguhnyalah bahwa pada detik itu, tidak hanya di hati Biauw Eng, juga di hati Cui Im terdapat keharuan dan kegirangan yang sejujurnya. Namun hanya beberapa detik saja bagi Cui Im karena ia segera dikuasai kembali oleh nafsu-nafsunya dan apa yang ia lakukan kembali menjadi palsu ketika ia melepaskan rangkulan dan berkata,

"Sumoi, bertahun-tahun kita tidak saling berjumpa. Di manakah subo? Aku tidak melihat beliau..."

"Ibu setiap hari berjalan-jalan mencari angin di sepanjang pantai. Suci, selama ini engkau kemana sajakah? Dan kini tiba-tiba engkau muncul disini, apakah ada keperluan penting?"

Cui Im tersenyum dan memandang wajah sumoinya yang kurus. Di dalam lubuk hatinya ia tertawa, mentertawakan sumoinya itu karena ia dapat menduga mengapa sumoinya begini kurus. Akan tetapi senyum yang membayang dibibirnya adalah senyum ramah dan manis.

"Sumoi, aku datang karena amat rindu kepada subo, dan terutama sekali kepadamu. Kulihat engkau makin hebat saja ilmu silatmu, aku melihat engkau berlatih dari jauh tadi. Sumoi, tentu engkau sudah mewarisi ilmu simpanan subo, bukan?"

"Ilmu simpanan yang manakah, Suci? Semua ilmu dari ibu telah diturunkan kepada kita berdua, ilmu simpanan apalagi yang belum kita pelajari, Suci? Soalnya hanya bakat dan ketekunan masing-masing yang menentukan kemajuan seseorang."

"Ah, adikku yang manis, adikku yang budiman, terhadap sucimu yang amat sayang kepadamu, tegakah engkau membohong? Yang kumaksudkan adalah ilmu rahasia subo, Thi-khi-I-beng. Tentu engkau sudah mewarisinya, bukan?"

Wajah Biauw Eng kehilangan kegembiraannya yang tadi timbul melihat munculnya Cui Im.

"Ah ... Itukah? Suci, engkau tentu masih ingat dan mengerti betapa ibu tidak suka kita bicara tentang ilmu itu. Ilmu itu adalah satu-satunya ilmu yang membuat ibu tidak puas karena ibu hanya dapat menguasai kulitnya saja. Karena merasa bahwa ilmu itu sama sekali belum sempurna, maka ibu tidak mengajarkannya kepada kita. Mengapa sekarang engkau menyangka yang bukan-bukan, Suci ? Ibu tidak pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku!"






"Hi-hi-hik, Sumoi, aku tidak tahu apakah engkau membohong atau tidak. Akan tetapi aku dapat membuktikan bohong tidaknya omonganmu ini."

Mendengar perubahan pada nada suara sucinya, Biauw Eng melangkah mundur, memandang tajam dan berkata dengan suara dingin,

"Suci, apa yang kau maksudkan?"

Biasanya kalau dia sudah mengeluarkan suara dingin seperti itu, sucinya selalu menjadi takut dan tunduk. Akan tetapi alangkah heran hati Biauw Eng ketika melihat sucinya itu tertawa mengejek dan berkata,

"Aku akan menyerangmu sehingga engkau terpaksa mengeluarkan Thi-khi-I-beng untuk menyelamatkan dirimu, Sumoi!"

Biauw Eng mengerutkan keningnya.
"Hemmm, jangan berbuat yang tidak-tidak, Suci. Aku tidak mempelajari ilmu itu, dan andaikan aku memilikinya pun untuk mengalahkanmu kiranya tidak perlu aku menggunakannya."

"Hi-hi-hik, begitukah pendapatmu, Sumoi? Alangkah lucunya! Kau kira aku masih berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li seperti dulu? Mungkin engkau dapat mengalahkan Ang-kiam Tok-sian-li, akan tetapi mana bisa engkau menang melawan Ang-kiam Bu-tek? Hi-hi-hik, Bu-tek Su-kwi sekalipun takkan menang melawanku, apalagi engkau. Lihat seranganku!"

Tiba-tiba tubuh Cui Im bergerak dan ia sudah mengirim pukulan yang dahsyat sekali ke dada sumoinya.

Melihat gerakan ini, Biauw Eng terkejut. Sekelebat saja ia mengerti betapa sucinya telah memperoleh kemajuan yang amat luar biasa. Cepat ia mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang. Semenjak dahulu ia dapat mengatasi ginkang sucinya dan mengandalkan ginkang ini saja ia dapat membuat sucinya tak berdaya.

Akan tetapi betapa kagetnya ketika tahu-tahu tubuh sucinya sudah berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu ia telah diserang lagi sebelum ia sempat menurunkan kedua kakinya, dibarengi dengan suara ketawa mengejek dari mulut Cui Im.

"Aihhh..!"

Biauw Eng terpaksa mengangkat tangan, mengerahkan sinkangnya untuk menangkis. Dahulu, selain menang dalam hal ginkang, juga sinkangnya jauh lebih kuat, maka sekali menangkis, ia mengerahkan sinkang untuk membuat tubuh sucinya terlempar ke belakang.

"Dukkk!"

Dua lengan yang berkulit halus bertemu dan akibatnya bukan tubuh Cui Im yang terlempar, melainkan tubuh Biauw Eng yang terguling roboh didahului teriakan kagetnya! Biauw Eng yang merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga mujijat dan lengannya seperti lumpuh, bergulingan dan terus meloncat bangun, memandang sucinya yang berdiri tertawa-tawa memandangnya.

"Hi-hi-hik, Sumoi, apakah engkau tidak cepat-cepat mengeluarkan ilmu Thi-khi-I-beng untuk mengalahkan aku?"

Hampir Biauw Eng tak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Sucinya ternyata lihai bukan main, tidak saja ginkangnya menjadi luar biasa cepatnya, juga ilmu silatnya aneh dan tenaga sinkangnya amat kuat! Mengertilah ia bahkan selama lima tahun tidak muncul ini, sucinya yang telah mempelajari ilmu-ilmu lain yang amat hebat.

Dengan kemarahan Biauw Eng lalu melolos sabuk suteranya, sabuk sutera putih yang dahulu amat ditakuti Cui Im karena gadis itu tak pernah dapat mengatasi sabuk sumoinya ini dalam latihan-latihan mereka. Akan tetapi kini Cui Im sama sekali tidak gentar melihat sabuk itu, malah tertawa mengejek.

"Sabuk suteramu itu hanya patut untuk dipakai menari, Sumoi, tiada gunanya kau pakai melawan aku. Kalau Thi-khi-I-beng, barulah mungkin dapat kau pergunakan untuk melawanku."

"Suci, engkau jahat sekali. Percayalah, aku tidak memiliki ilmu itu dan buang jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu sebelum aku atau ibuku turun tangan menghajarmu."

"Hi-hi-hik, engkau hendak menghajarku? Lucu sekali! Sedangkan ibumu sekalipun tak mungkin dapat mengganggu selembar rambutku!"

"Durhaka!"

Biauw Eng membentak dan sabuk suteranya sudah berkelebatan dan menyambar, menotok ke arah leher Cui Im. Namun gadis ini dengan mudahnya menyampok ujung sabuk itu dengan lengannya. Ketika Biauw Eng menggetarkan ujung sabuk untuk menangkap pergelangan tangan sucinya denngan belitan, ia terkejut sekali karena tiba-tiba ujung sabuknya itu terpental begitu bertemu dengan lengan Cui Im.

Ia maklum bahwa sekali ini ia tidak boleh main-main, apalagi ketika Cui Im membalas dengan pukulan maut pada lambungnya! Sucinya tidak main-main dan agaknya benar-benar hendak memaksanya memberi tahu tentang Thi-khi-I-beng yang sama sekali tidak dimengertinya!

Tahulah ia bahwa kini ia harus melawan mati-matian dan bahwa yang bertanding dengan dia bukanlah sucinya lagi, melainkan seorang musuh yang ganas dan amat lihai! Biauw Eng lalu mainkan sabuknya dengan cepat, mengeluarkan serangan-serangan yang paling dahsyat.

Pertandingan mati-matian bagi Biauw Eng yang makin lama menjadi makin kaget dan terheran-heran. Tidaklah mengherankan melihat sucinya itu memperoleh kemajuan, akan tetapi kemajuan yang disaksikan ini benar-benar sangat mustahil dan tak masuk akal. Kepandaian sucinya tidak saja jauh melampauinya, bahkan Biauw Eng merasa ragu-ragu apakah ibunya sendiri akan mampu menandingi kepandaian Cui Im!

Dia sudah mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya, sudah mainkan semua jurus-jurus paling hebat dari ilmu sabuknya, namun tetap saja ia tidak mampu mengenai tubuh Cui Im yang bersilat sambil tertawa-tawa mengejek, seolah-olah memamerkan kepandaiannya dan menggodanya.

"Lebih baik serang aku dengan ilmu Thi-khi-I-beng, mungkin saja berhasil!"

Cui Im mengejek. Memang itulah maksud kedatangannya, selain untuk menundukkan dan mengalahkan bekas gurunya Lam-hai Sin-ni orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, juga ia ingin sekali mendapatkan ilmu Thi-khi-I-beng itu.

Segala ilmu silat di dunia ini tidak ia takuti setelah ia mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi karena di dalam kitab-kitab itu ia tidak menemukan ilmu Thi-khi-I-beng dan melihat betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki Keng Hong dan juga oleh Lam-hai Sin-ni, ia merasa gentar sebelum dapat memiliki ilmu dahsyat itu.

Andaikata Biauw eng memiliki ilmu itu, tanpa diminta sekalipun tentu ia akan mempergunakannya terhadap lawan yang amat tangguh itu. Akan tetapi ia sesungguhnya tidak pernah mempelajari ilmu ini, maka kini sambil menggigit bibir saking penasaran, Biauw Eng menyerang terus dengan sabuk suteranya, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa nekat.

Di lain pihak, Cui Im menjadi gemas karena bekas adik seperguruannya ini tetap tidak mengeluarkan ilmu sedot yang ia inginkan, maka ia lalu berteriak keras dan mulailah tubuhnya bergerak-gerak aneh ketika membalas dengan serangan-serangan hebat, dengan totokan-totokan jari tangannya, dengan cengkeraman-cengkeraman.

Biauw Eng menjadi makin kaget menyaksikan betapa hebatnya gerakan bekas sucinya itu. Ia memutar sabuk suteranya melindungi diri dan karena memang ilmunya bukan silat pasaran melainkan ilmu yang amat hebat, tidaklah begitu mudah bagi Cui Im untuk dapat merobohkannya dalam waktu singkat. Biauw Eng terdesak hebat terutama sekali karena sucinya telah mengenal inti daripada semua ilmu silatnya, sebaliknya ia sama sekali tidak mengenal gerakan-gerakan Cui Im yang makin lama makin aneh itu.

Tiba-tiba ketika untuk ke sekian kalinya Biauw Eng menggerakkan pergelangan tangannya, membuat sabuk suteranya meluncur seperti seekor naga mematuk ke depan, ke arah leher Cui Im, bekas sucinya ini mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja rambut yang panjang hitam di kepala Cui Im meluncur pula ke depan dan menangkis sabuk sutera!

Kiranya, setelah mempelajari banyak ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab pusaka, Cui Im telah pula mempelajari penggunaan rambut kepalanya dengan dasar tenaga Iweekang dan kini rambutnya telah menangkis dan selanjutnya melibat sabuk sutera itu. Biauw Eng terkejut dan berusaha melepaskan sabuknya dari libatan rambut, namun sia-sia.

"Pergunakanlah Thi-khi-I-beng atau kau mampus!"

Cui Im berkata dan tangannya kini bergerak dengan jari-jari tangan lurus menusuk leher Biauw Eng dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga takkan mungkin dapat ditangkis atau dielakkan lagi! Dan memang, andaikata Biauw Eng memiliki ilmu sedot itu, tidak ada lain jalan untuk menyelamatkan nyawanya kecuali menerima tusukan ini dengan mengandalkan ilmu sedotnya.

Akan tetapi, karena memang Biauw Eng tidak memiliki ilmu itu, gadis ini yang maklum bahwa nyawanya terancam bahaya, cepat melepaskan sabuknya dan membuang diri ke samping untuk menghindarkan diri. Namun gerakannya kalah cepat dan biarpun ia dapat menyelamatkan lehernya, ia tidak mungkin lagi menyelamatkan pundaknya yang kena dihajar sehingga terdengar suara "krekkk!" dan tulang pundaknya yang kiri patah, tubuhnya terlempar dan roboh!

"Hemmm, menyebalkan! Kiranya kau benar-benar tidak mempelajari Thi-khi-I-beng!" kata Cui Im sambil melangkah maju mendekati sumoinya yang rebah miring dan menggigit bibir menahan sakit itu. "Ataukah engkau agaknya sengaja menyembunyikannya karena melihat bahwa engkau tidak mampu mengalahkan aku, biarpun dengan Thi-khi-I-beng sekali pun? Hemmm, kalau begitu, engkau tetap keras kepala, Sumoi?"

Sambil menahan rasa nyeri pada pundaknya, Biauw Eng bangkit duduk dan menggunakan jari tangan kanan untuk menotok pundak dan iga kirinya sendiri agar dapat mengurangi rasa nyeri, kemudian memandang sucinya penuh rasa kagum ketika bicara,

"Engkau hebat sekali, Suci! Benar-benar aku merasa kagum bukan main. Kepandaianmu luar biasa dan aku benar-benar mengaku kalah sekarang! Ibu sendiri tentu akan menjadi kagum sekali, Suci, siapakah gurumu yang tentu luar biasa sekali ilmu kepandaiannya? Dan sekarang setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa Suci datang hendak memusuhi ibu dan aku!”

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: