*

*

Ads

FB

Selasa, 19 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 073

Malam hari itu hati Siauw Lek murung dan tidak puas. Ia gagal bersenang-senang dengan puteri The-ciangkun yang tidak mau melayaninya bahkan berani menjerit sehingga terpaksa dibunuhnya. Siauw Lek memang seorang Jai-hwa-ong (penjahat pemetik bunga), namun dia mempunyai kebiasaan aneh yang dia beritahukan kepada lima orang Pak-san Ngo-houw sebelum mereka dia bunuh, yaitu bahwa dia hanya mau memiliki wanita yang bersedia melayaninya! Kalau wanita itu menolak, tentu dibunuhnya!

Banyak wanita yang karena takut dibunuh, atau memang tertarik oleh wajahnya yang tampan dan tubuhnya tinggi besar, suka melayaninya dan setelah melayani, wanita-wanita itu menyimpannya sebagai rahasia besar dan tidak berani menceritakan keadaan penjahat itu kepada orang lain karena hal itu sama saja mengakui dia telah dinodai penjahat itu!

Mereka yang menolaknya pun tidak dapat menceritakan kepada orang lain karena mereka ini tentu dibunuh oleh Siauw Lek. Ada kalanya Siauw Lek berhasil mendapatkan pelayanan wanita yang memang tertarik kepadanya, akan tetapi ada pula yang harus dia dapatkan dengan cara mengancam.

Malam itu dia murung. Ia hanya berhasil membunuh banyak orang, namun dia makin ditekan dan dihimpit oleh nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan. Biasanya, sebelum mendatangi korbannya pada malam hari, siangnya dia sudah melihat-lihat dan mencari-cari. Malam ini dia tidak ada tujuan tertentu karena siang tadi dia mencurahkan perhatiannya kepada puteri panglima itu. Untuk mencari korban di malam hari seperti itu, amat sukar karena tak mungkin dia harus mengintai setiap rumah untuk mencari wanita yang disukainya.

"Bedebah!"

Ia menyumpahi nasibnya yang dianggapnya sial malam itu. Penjahat yang berilmu tinggi ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang amat gesit gerakannya, yang seolah-olah terbang saja ketika mengikutinya dari jauh.

Tiba-tiba Siauw Lek berhenti berlari dan bayangan di belakangnya pun cepat menyelinap dan bersembunyi di balik wuwungan rumah. Kiranya Siauw Lek berhenti bukan karena mengerti bahwa dia dibayangi orang, melainkan karena dia mendengar suara bayi menangis dari rumah di sebelah depan, sebuah rumah kecil terpencil.

Hatinya tergerak. Hemmm, ada bayinya tentu ada ibunya yang muda, pikir otaknya yang sudah terlalu kotor. Ia lalu melompat ke depan, ke atas genteng rumah di depan itu dan kini tangis bayi sudah tak terdengar lagi. Dari atas genteng, Jai-hwa-ong ini mengintai dengan jalan membuka genteng.

Di bawah tampak sebuah kamar yang sederhana namun bersih, diterangi lampu minyak yang cukup terang. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun tidur meringkuk di sudut ranjang dengan muka menghadap dinding. Di pinggir ranjang itu sendiri, seorang wanita muda sedang duduk menggendong bayinya yang baru berusia beberapa bulan.





Ibu ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya dan karena di dalam kamar, wanita ini tidak ragu-ragu menyusui anaknya.

Biasanya, biar mata laki-laki yang bagaimana jalang sekalipun, pemandangan ini, yaitu melihat seorang ibu menyusui anaknya, mendatangkan pemandangan yang mengharukan, yang menyentuh perasaan, sebuah pemandangan yang sama sekali jauh daripada daya nafsu.

Ibu muda itu memang cantik dan terutama sekali berkulit putih kuning dan halus, kini agaknya terbangun dari tidur, kelihatannya demikian penuh sifat kelembutan seorang wanita. Seketika lenyaplah kemurungan dan kekecewaannya, lenyaplah bayangan puteri Panglima The yang urung dia dapatkan dan terpaksa dia bunuh. Dengan gerakan tangannya yang kuat dia membuka beberapa buah genteng, kemudian tubuhnya menyelinap turun melalui lubang itu dan meloncat ke dalam kamar.

"Aihhhh....!"

Wanita itu berseru kaget ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing berdiri di depannya. Akan tetapi dia tidak sempat menjerit lagi karena jari tangan Siauw Lek telah bergerak cepat menotok leher wanita itu sehingga jeritannya tertahan di kerongkongan, tak dapat berteriak lagi.

"Manis, jangan takut. Aku telah melihatmu dan jatuh cinta kepadamu. Kalau engkau mau melayani aku dengan manis, engkau takkan kubunuh, akan tetapi kalau engkau menolak, suamimu ini akan kubunuh lebih dulu!"

Agaknya suami wanita itu mendengar suara ribut-ribut dan menggeliat lalu membalikkan tubuh, mengedipkan matanya yang menjadi terbelalak ketika dia melihat isterinya berdiri ketakutan dan seorang laki-laki asing berdiri di situ.

Akan tetapi dia tak dapat bergerak, hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan kekhawatiran karena pada saat itu, jari tangan Siauw Lek secepat kilat telah menotok jalan darahnya yang membuat laki-laki di atas ranjang itu lemas dan tak dapat bergerak.

"Jangan engkau berteriak, Manis, aku tidak akan menyusahkanmu, tidak akan menyakitimu."

Kembali Siauw Lek merayu dan tangannya bergerak menotok leher membebaskan jalan darah wanita itu sehingga dapat mengeluarkan suara lagi.

"Ampunkan saya...." Wanita itu berkata lemah.

Siauw Lek tersenyum penuh kemenangan.

"Engkau tidak bersalah apa-apa, Manis, kenapa minta ampun? Aku hanya akan mencintaimu, kau layanilah aku baik-baik, balaslah cintaku dan aku tidak akan menganggu selembar rambutmu yang halus ini."

"Ohhh, ampun jangan..."

Wanita itu mengeluh penuh kepanikan sambil melirik ke arah suaminya yang rebah miring tak dapat bergerak itu.

Siauw Lek mengikuti pandang mata wanita itu, menoleh ke arah laki-laki di atas ranjang lalu tersenyum.

"Ah, engkau takut kepada suamimu? Tak usah takut, dia takkan dapat berbuat sesuatu kecuali menonton!"

"Tidak.... lebih baik kau bunuh saja aku...!" Tiba-tiba ibu muda itu menangis terisak-isak sambil mendekap tubuh anaknya. "Aku tidak bisa... aku tidak mau...!"

Sinar bengis dan marah membayangi wajah Siauw Lek. Haruskah dia mengalami dua kali kegagalan dalam semalam? Apakah dia kini sudah terlalu tua dan kurang pandai merayu sehingga dalam satu malam ada dua orang wanita yang menolak cintanya?

"Hemmm, haruskah ku bunuh suamimu lebih dulu? Lihat, sekali tusuk suamimu akan mampus. Apakah engkau masih berani mengatakan tidak mau?"

Untuk menakut-nakuti, Siauw Lek sudah mencabut pedang hitamnya dan menodongkan pedang itu di leher suami wanita itu yang terbelalak penuh kengerian. Wanita itu memandang dengan muka pucat, hatinya bimbang. Manakah yang harus dia pilih? Melihat suaminya dibunuh ataukah membiarkan dirinya diperkosa di depan pandang mata suaminya? Ah, lebih baik mati, mati bersama suaminya. Ia tersedu menangis dan berkata.

"Bunuhlah kami berdua.... bunuhlah suamiku dan aku... Dan aku... Aku tidak dapat menuruti kehendakmu... Aku tidak mau....!"

Kini wajah Siauw Lek menjadi merah. Kalau menurutkan nafsu kemarahan hatinya, ingin dia mengelabatkan pedangnya membunuh wanita itu, suaminya dan anaknya. Akan tetapi dia tidak mau gagal untuk kedua kalinya malam ini, dan wanita yang baru tiga empat bulan melahirkan dan masih menyusui,

Tiba-tiba Siauw Lek tertawa dan ketika tangannya bergerak, tahu-tahu dia telah merampas bayi yang berada di dalam pelukan ibunya tadi. Anak itu menjerit, akan tetapi kalah oleh jeritan ibunya yang amat kaget melihat anaknya dirampas.

"Anakku.... kembalikan anakku!!"

"Hemmm, kau ingin anakmu hidup? Nah, pilihlah. Engkau melayani cintaku dengan baik-baik dan manis atau.. melihat perut anakmu kubelek dengan ujung pedang ini!"

"Ouuuhhh.... jangan... jangan....!"

Wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Siauw Lek sambil meratap-ratap minta agar anaknya jangan dibunuh.

"Manis, engkau ingin agar anakmu hidup dan tidak kubunuh?"

Siauw Lek bertanya penuh nada kemenangan dalam suaranya sambil menunduk dan melihat wajah ayu yang menengadah penuh permohonan itu.

"Ya.... ya....., mohon kau ampuni kami, jangan bunuh anakku."

"Hemmm, mudah saja, aku takkan membunuh anakmu akan tetapi engkau harus menuruti segala kehendakku!"

Sambil berkata demikian, Siauw Lek mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dan membuat gerakan seakan hendak membantingnya ke lantai.

Wanita itu tersedak, menelan ludah seperti ada sesuatu mengganjal kerongkongannya, dan mengangguk-angguk dengan mata terbelalak memandang anaknya.

"Ya.... ya... ya, apa saja perintahmu... Akan tetapi lepaskan anakku."

"Nah, Manis, bangkitlah."

Siauw Lek menggunakan sebelah tangannya menarik tubuh wanita itu berdiri dengan bayi masih diangkat tinggi-tinggi di tangan yang lain, dan bagaikan tak sadar diri wanita itu bangkit berdiri, matanya masih terbelalak melirik ke arah anaknya yang diangkat tinggi oleh tangan kiri Siauw Lek.

Baru setelah matanya mendapat kepastian bahwa anaknya tidak diapa-apakan ia sadar.

"Hemmm, kau melawan? Engkau tidak mau.?"

"Tidak.... oh, bukan... Aku... Aku tidak melawan"

Wanita itu menggagap kepalanya pening, matanya berkunang dan kedua kakinya menggigil karena setelah kini kepanikannya menghadapi ancaman terhadap anaknya lenyap, ia ngeri menghadapi hal yang mengancam dirinya sendiri.

"Bagus, engkau manis sekali."

Merasa gembira sekali menyaksikan betapa korbannya itu menggigil dan bingung oleh rasa takut dan malu.

Wanita itu benar-benar bingung, ia baru teringat betapa bajunya tadi dibukanya separuh ketika menyusui anaknya, kini kedua tangannya malah menutupkan baju ini. Mukanya sebentar pucat sebentar merah, pandang matanya jelilatan dan hanya lewat saja di muka suaminya, agaknya ia tidak berani bertemu pandang dengan suaminya.

"Eh, engkau ragu-ragu lagi? Hendak membangkang perintahku! Hemmm, kalau begitu, lebih baik kubunuh saja anakmu ini."

"Tidak! Oh, jangan...!"

Cepat sekali karena digerakkan oleh rasa ngeri dan khawatir akan keselamatan anaknya wanita itu merenggut lepas baju atasnya.

"Jangan bunuh anakku."

Siauw lek tersenyum, mengangguk-angguk puas.
"Kalau kau menuruti semua hasratku, kalau kau suka melayani cinta kasihku kepadamu, tentu aku takkan menganggu anakmu, Manis. Hayo, kesinilah...!"

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: