*

*

Ads

FB

Sabtu, 16 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 066

Keng Hong menggelengkan kepalanya,
"Cui Im, sesungguhnya engkau seorang gadis yang cantik jelita dan sekiranya engkau tidak begitu keji, telah menjadi biang keladi terjadinya semua kekacauan bahkan merusak hati seorang gadis seperti Biauw Eng, sekiranya engkau tidak begitu curang dan tidak menimbulkan rasa muak dan benci di hatiku, agaknya aku akan menerima cintamu dengan penuh kegembiraan."

"Keparat, laki-laki tak tahu dicinta! Kalau begitu mampuslah!"

Tiba-tiba gadis itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dan tampaklah sinar-sinar merah kecil berkeredepan menyambar ke arah tujuh jalan darah di tubuh depan Keng Hong!

Itulah jarum-jarum merah senjata rahasia Cui Im dan karena selama empat tahun ini ia telah mencapai kemajuan pesat dan tenaga sinkangnya sudah hebat sekali, maka sambitan jarum-jarumnya juga cepat sekali seperti kilat menyambar.

Keng Hong menggerakkan tangan kirinya ke depan dan angin pukulan tangannya sedemikian kuatnya sehingga jarum-jarum itu dalam jarak dua meter sebelum menyentuh tubuhnya sudah runtuh semua ke bawah, ke dasar jurang yang tidak tampak dari atas.

"Cui Im, apa yang kau lakukan ini..?"

Akan tetapi Keng Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu sambil tertawa Cui Im sudah menggerakkan tangan lagi dan kini sinar putih berkilau menyambar..bukan ke arah Keng Hong, melainkan ke bawah, ke arah tambang yang diinjak pemuda itu.

Keng Hong terkejut sekali, tidak berdaya menghindarkan ancaman bahaya ini karena sekali kena disambar senjata rahasia bola putih berduri, senjata rahasia Biauw Eng yang telah dicuri Cui Im, tambang itu putus di tengah-tengah dan tentu saja tubuh Keng Hong jatuh ke bawah!

Dalam detik itu Keng Hong maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut yang mengerikan. Cepat dia menyambar ujung tambang dan ketika tubuhnya meluncur ke bawah, dia menggerak-gerakkan tangan kakinya memukul dan menendang ke bawah sambil mengerahkan ginkang sehingga tenaga luncuran itu banyak berkurang.

Hal ini dia lakukan untuk mencegah tambang itu putus di bagian atas. Ketika tubuhnya terayun tambang ke arah dinding jurang, dia menggunakan tangan kirinya sehingga dia tidak terbanting keras dan tambang itu untungnya tidak putus, akan tetapi bajunya robek-robek dan kulitnya lecet-lecet mengeluarkan darah.






Keng Hong tidak kekurangan akal, lalu perlahan-lahan dia memanjat naik melalui tambang yang tinggal sepotong karena putus pada tengah-tengah tadi. Ia berhasil mencapai tepi jurang di seberang dan begitu dia meloncat dan berdiri dengan baju robek-robek berdarah muka pucat berkeringat dan napas agak terengah karena baru saja dia terlepas dari bahaya maut mengerikan, dia melihat Cui Im di seberang sana tertawa terkekeh, membuat dia menjadi makin marah dan membenci wanita curang dan kejam itu.

"Hi-hi-hik, diberi jalan sorga kau memilih neraka ! Ditawari kesenangan engkau memilih penderitaan. Engkau tidak mau menyambut cintaku, ya ? Baiklah, kalau begitu engkau boleh bermain cinta dengan bayanganmu sendiri di situ sampai engkau mati tua karena engkau tidak mungkin akan dapat meninggalkan tempat itu. Hi-hi-hik! Adapun kitab-kitab pusaka dan benda-benda berharga sekarang menjadi milikku semua dan akan kubawa pergi. Nah, selamat berpisah, Keng Hong bekas kekasihku. Aku akan hidup sebagai wanita tersakti di dunia ini menikmati pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan engkau boleh mampus sebagai pertapa kesunyian disitu. Hi-hi-hik!"

Cui Im membalikkan tubuhnya dan menghilang, meninggalkan Keng Hong di seberang yang berdiri mengepal tinju akan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu.

Keadaan Keng Hong amatlah buruknya dan kalau orang lain yang mengalami malapetaka seperti dia, tentu akan menjadi bingung, gelisah dan putus asa. Akan tetapi pemuda ini masih dapat mempertahankan ketenangannya. Ia memandang sepotong tambang yang sudah dia gulung naik. Tambang itu hanya setengah panjang jarak jurang antara kedua tepi. Biarpun tergesa-gesa mencari akal, takkan mungkin dapat mencegah Cui Im melarikan semua pusaka itu. Akan terlabat. Pula, bagaimana akalnya untuk dapat menyeberang? Ia berjalan perlahan memasuki lorong, dan untuk menghilangkan rasa panas karena kemarahannya terhadap Cui Im, dia lalu pergi ke air dan mencuci muka, dan tubuhnya yang lecet-lecet.

Biasanya, dia datang ke bagian ini hanya kalau membutuhkan makan minum, karena di seberang lebih enak di tinggali. Kini dia mendapat kesempatan amat luas untuk menyelidiki keadaan disitu sampai habis, dan dengan teliti mulailah dia melakukan penyelidikan. Di mulut lorong sebelah sana, tempat yang dihuni burung-burung walet, mempunyai dinding yang tidak mungkin dituruni. Siapa tahu kalau-kalau ada jalan atau lorong rahasia di bagian ini. Hasil karya seorang sakti seperti gurunya tak dapat di duga lebih dulu.

Dengan membawa Siang-bhok-kiam yang tak pernah terpisah dari tubuhnya sehingga tidak sampai terampas Cui Im, dia lalu mulai melakukan pemeriksaan dengan teliti sekali. Karena dia melakukan amat teliti, setiap dinding dan lantai batu dia periksa, sejengkal demi sejengkal, maka Keng Hong harus menggunakan waktu sampai tiga hari untuk dapat memeriksa tempat itu seluruhnya, dari tepi jurang sampai sepanjang lorong, kamar berisi makanan, sampai ujung lorong yang dihuni burung-burung walet.

Pada hari ke tiga, setelah kesabarannya hampir habis, setelah kepalanya mulai pening karena kegagalan dan tenaganya habis karena mencokel-cokel dan mendorong-dorong setiap bagian dinding dan batu, tiba-tiba dia tertarik akan bunyi nyaring ketika dia mengetuk-ngetuk dinding hitam di bagian belakang dengan pedangnya.

Bunyi nyaring ini menjadi tanda bahwa batu yang menjadi dinding itu kosong tidak berisi, atau di sebelah sana dinding merupakan ruangan kosong! Jantungnya berdebar dan mulailah dia meneliti. Bagian ini gelap karena dindingnya adalah batu-batu berwarna hitam. Ia menggunakan pedangnya menusuk-nusuk dan tiba-tiba pedang itu menusuk sebuah lubang sampai amblas ke gagangnya!

Keng Hong menahan seruannya, lalu memutar-mutar pedang Siang-bhok-kiam itu ke kanan kri. Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh di belakang diding batu itu. Keng Hong mencabut pedangnya dan bunyi gemuruh itu disusul dengan bunyi bergerit, kemudian dinding itu bergerak dan tampaklah sebuah lubang lima kaki persegi besarnya di dinding batu hitam itu!

"Terima kasih, Siang-bhok-kiam, lagi-lagi engkaulah yang menolongku!"

Keng Hong mencium Pedang Kayu Harum itu kemudian dia merangkak-rangkak memasuki lubang ini. Siapa tahu kalau di sebelah sana terdapat jalan yang akan membawanya kepada kebebasan, pikirnya.

Begitu dia menembus dinding batu hitam yang tebalnya ada dua meter itu, dia melihat sebuah kamar lain di balik dinding dan hatinya kecewa. Bukan jalan keluar, kamar ini pun merupakan jalan buntu!

Akan tetapi, kekecewaannya segera lenyap, tertutup oleh keheranan dan kengerian ketika melihat sebuah rangka manusia yang masih utuh sedang "nongkrong" duduk di atas sebuah kursi gading! Tengkorak dari rangka itu agak menunduk dan kelihatannya seperti sedang mentertawakannya!

Keng Hong bergidik dan menggoyang-goyang kepalanya. Mimpikah dia? Ataukah karena tiga hari bekerja terus tanpa makan membuat dia tak dapat lagi menggunakan mata dan pikirannya secara normal? Namun, betapapun dia menggoyang kepalanya, ketika memandang lagi, rangka itu tetap berada di situ, duduk di atas kursi gading dan di sebelah rangka itu terdapat sebuah kursi gading pula.

Meja yang kakinya terbuat daripada gading terukir itu, permukaannya dari batu putih halus dan diatas meja itu terletak sebuah kitab yang sudah kuning saking tuanya. Sejenak Keng Hong terpesona. Biarpun rangka itu hanyalah sekumpulan tulang manusia, akan tetapi sikap duduknya masih membayangkan sikap tegak dan wibawa, seperti sikap seorang raja atau seorang yang sudah biasa disembah-sembah orang.

Anehnya, bagi Keng Hong timbul perasaan seolah-olah rangka itu merupakan tuan rumah, pemilik ruangan-ruangan di dalam batu pedang ini dan dia sendiri sebagai tamu tak diundang. Ia merasa bersalah, dan tanpa disadarinya pula, Keng Hong menekuk kedua lututnya dan berbisik,

"Locinpwe, mohon maaf atas kelancanganku.."

Ia berlutut sambil menunduk dan begitu dia menunduk, tampak ukiran huruf-huruf kecil di atas batu lantai di depan lututnya. Huruf-huruf itu terukir amat kecilnya sehingga takkan dapat dilihatnya kalau dia tidak berlutut dan menundukkan muka. Jantungnya berdebar apalagi ketika dia mengenal ukiran huruf -huruf ini serupa benar dengan ukiran-ukiran di gagang pedang Siang-bhok-kiam ! Jelas bahwa ukiran huruf-huruf di atas lantai itu dan di gagang pedang dibuat oleh satu orang, yaitu gurunya, Sin-jiu Kiam-ong!

"Terima kasih kepada Thai Kek Couwsu dan maaf bahwa teecu tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai."

Keng Hong menduga-duga. Tidak akan keliru kalau dia menduga bahwa rangka ini adalah rangka dari Thai Kek Couwsu, pendiri Kun-lun-pai yang dikabarkan bertapa di Kiam-kok-san dan lenyap bersama raganya sehingga batu pedang dianggap tepat keramat oleh Kun-lun-pai. Kiranya kakek yang dikabarkan sakti seperti dewa itu berada di sebelah dalam batu pedang dan meninggal dunia di tempat tersembunyi ini!

Dan rangkanya diketemukan suhunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia pun makin menghormat rangka itu dan menyembah delapan kali sambil berkata.

"Teecu Cia Keng Hong mohon maaf atas kelancangan teecu kepada Couwsu yang mulia."

Kemudian perhatiannya tertarik kepada kitab di atas meja. Tadinya dia ragu-ragu, karena merasa tidak berhak menyentuh kitab itu. Akan tetapi kemudian dia berpikir bahwa gurunya yang amat suka akan ilmu dan suka pula akan kitab-kitab pusaka, mustahil kalau tidak memeriksa kitab itu. Mungkin itukah sebabnya gurunya menghaturkan terima kasih kepada Thai Kek Couwsu? Tidak ada seorang ahli silat yang tidak akan tertarik untuk membaca kitab peninggalan seorang sakti! Maka diapun lalu bangkit dan menghampiri meja itu, dengan hati-hati sekali mengambil kitab dari atas meja.

Tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan rangka itu runtuh dari atas kursi mengeluarkan suara hiruk-pikuk! Keng Hong cepat meloncat ke samping, wajahnya pucat saking kagetnya. Akan tetapi dia segera mengerti bahwa tulang-tulang itu tentu runtuh karena sedikit pergerakan saja, karena memang tidak ada penyambungannya lagi. Kalau rangka itu masih dapat duduk sekian lamanya, hal ini adalah karena cara "duduk" tulang-tulang yang merupakan rangka itu amat tepat, sesuai dengan cara duduk bersamadhi yang dinamakan "keseimbangan". Ia makin kagum dan meletakkan kitab di atas meja untuk cepat menyempurnakan sisa-sisa raga Thai Kek Couwsu dengan cara membakar tulang-tulangnya itu.

Tulang-tulang itu sudah sedemikan keringnya sehingga mudah sekali dimakan api, dan sebentar saja raga pendiri Kun-lun-pai itu telah menjadi abu. Keng Hong mengumpulkan abu ini dan menaburkannya melalui jurang di ujung lorong yang dihuni burung-burung walet.

Abu tipis beterbangan tertiup angin memenuhi udara dan menjadi satu dengan alam di sekelilingnya! Keng Hong segera kembali lagi ke kamar rangka itu dan begitu mengambil kitab di atas meja, kini tampaklah huruf-huruf terukir di permukaan meja seperti digurat-gurat benda tajam. Huruf-huruf ini berbeda dengan gaya tulisan Sin-jiu Kiam-ong, maka dia menduga bahwa ini tentulah tulisan Thai Kek Couwsu. Dengan hormat dia membaca huruf-huruf terukir itu.

"Thai-kek Sin-kun ditinggalkan untuk dia yang berjodoh memasuki tempat ini dan diharapkan dia suka menjadi ketua Kun-lun-pai."

Keng Hong mengerutkan keningnya dan belum berani membuka kitab yang pada kulit luarnya tertulis namanya: THAI KEK SIN KUN. Ah, kini mengertilah dia akan maksud huruf-huruf di lantai, yang ditulis oleh Sin-jiu Kiam-ong. Tentu gurunya itu telah masuk kekamar ini dan mempelajari isi kitab maka dia menghaturkan terima kasih, kemudian minta maaf karena tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai seperti yang diharapkan oleh Thai Kek Couwsu. Dia sendiri pun telah masuk ke kamar ini, dan hal itu merupakan jodoh baginya, membuat dia berhak memiliki kitab.

Adapun tentang menjadi ketua Kun-lun-pai , dia sama sekali tidak mengkehendakinya seperti diharapkan pencipta kitab ini. Biarlah seperti suhu kupelajari kitab ini dan kelak akan kuserahkan kitab ini kepada ketua Kun-lun-pai, pikirnya.

Demikianlah, lupa bahwa agaknya tidak ada harapan lagi baginya untuk keluar dari tempat itu, Keng Hong mengambil kitab kemudian meneliti keadaan kamar itu. Ia melihat sebuah peti hitam di sudut dan ketika peti itu dibukanya didalamnya penuh dengan pakaian-pakaian sutera putih dan kitab-kitab tentang Agama To!

Sudah banyak dia membaca kitab-kitab Agama To ketika menjadi kacung di Kun-lun-pai, dan tentang pakaian itu, dia merasa berterima kasih sekali karena memang dia amat membutuhkan pakaian sebagai pengganti pakaiannya yang sudah empat tahun tidak diganti, dan kini robek-robek ketika dia berjuang melawan maut di tambang tadi.

Setelah makan dan minum untuk memulihkan tenaganya. Terkejut dan giranglah hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kitab tebal ini terisi petunjuk-petunjuk inti sari ilmu silat tinggi sekali, termasuk petunjuk tentang penggunaan sinkang, ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang yang berdasarkan ilmu sakti Thai-kek Sin-kun!

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: