*

*

Ads

FB

Jumat, 08 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 037

Peristiwa inilah yang mengakibatkan perang saudara karena Raja Muda Yung Lo, putera yang lain dari kaisar Thaicu dan yang pada waktu itu bertugas mempertahankan wilayah Beng-tiauw di bagian utara melawan penyerbuan bangsa mongol , menjadi marah dan tidak menerima pengangkatan kaisar baru itu.

Menurut pendapatnya, tidaklah adil kalau mahkota diwariskan kepada keponakannya itu, dan dia yang sudah banyak berjasa terhadap kerajaan, dia sebagai putera ke dua, merasa lebih berhak mewarisi mahkota. Demikianlah, Raja Muda Yung Lo yang berkedudukan di Peking ini lalu membawa bala tentara dan menyerbu ke Nan-king dan timbullah perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Beng-tiauw.

Telah menjadi kenyataan dalam catatan sejarah bahwa setiap kali terjadi perang, apalagi perang saudara sesama bangsa, rakyatlah yang menderita. Yang memperebutkan kekuasaan demi kemuliaan diri sendiri adalah beberapa gelintir orang besar, akan tetapi yang dijadikan makanan golok dan pedang adalah perajurit-perajurit, anak rakyat jelata.

Perang mendatangkan akibat yang lebih buruk lagi, yaitu kekacauan dan kejahatan merajalela, mempergunakan kesempatan selagi pemerintah mencurahkan kekuatan untuk berperang, di mana penjagaan keamanan untuk rayat menjadi kosong sehingga terjadilah perampokan-perampokan, pembakaran dusun-dusun, penculikan dan pemerkosaan semena-mena.

Tidak jarang pula terjadi pasukan-pasukan yang selalu hidup berhadapan dengan maut, yang oleh perang digembleng menjadi manusia-manusia haus darah yang selalu menderita karena tekanan-tekanan batin, karena tekanan-tekanan lahir, berubah menjadi manusia-manusia yang lebih ganas daripada para penjahat. Dengan dalih "berfihak kepada musuh" banyaklah rakyat jelata menjadi korban keganasan mereka, hanya karena mereka itu silau oleh harta dan silau oleh kecantikan wanita!

Keadaan yang kacau-balau di sepanjang jalan yang dilalui Keng Hong inilah sesungguhnya yang bahkan menolong Keng Hong, membuat para tokoh kang-ouw termasuk dua orang tosu Kun-lun-pai kehilangan jejaknya.

Setahun lebih Keng Hong merantau, tujuannya adalah kembali ke Kun-lun-san karena dia sudah mengambil keputusan untuk memperdalam ilmunya setelah mengalaman-pengalaman pahit yang dia derita. Ia harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi kalau dia tidak menghedaki gangguan-gangguan di masa depan. Akan tetapi, kekacauan yang terjadi dimana-mana membuat dia tersasar dan ada kalanya mengambil jalan memutar, ada kalanya harus kembali lagi kalau terhalang oleh perang yang dahsyat.

Pada suatu pagi dia memasuki dusun Ciang-cung yang terletak di kaki gunung Min-san, di lembah sungai Cia-liang. Karena sungai Cia-liang ini mengalirkan airnya ke sungai Yang-ce-kiang yang merupakan jalan perhubungan yang terbaik dan tercepat menuju ke pedalaman, maka dusun Ciang-cung ini cukup ramai. Tanpa diketahuinya secara tepat, Keng Hong sudah makin dekat dengan Kun-lun-san yang berada di sebelah barat Gunung Min-san.






Makin ke barat, makin berkuranglah perang, karena bala tentara kedua fihak memperebutkan daerah-daerah antara Peking-dan Nanking. Biarpun demikian, wilayah barat ini tak dapat dikatakan tenteram sama sekali dan akibat perang saudara melanda juga daerah yang jauh dari pusat tempat perang itu sendiri. Di sini timbul kekacauan-kekacauan dan para penjahat merajalela, berpesta-pora seolah-olah gerombolan tikus yang berada dirumah kosong, ditinggal pergi oleh kucing-kucing yang mereka takuti.

Ketika Keng Hong memasuki dusun Ciang-chung di pagi hari itu, segera dia melihat akibat kekacauan yang melanda di mana-mana. Sepagi itu telah ada orang berkelahi. Seperti biasa, dan Keng Hong akhir-akhir ini sering kali melihat orang bertempur, dia hendak mengambil jalan lain agar tidak terlibat dalam perkelahian itu. Terlalu banyak orang berkelahi bunuh-membunuh yang dijumpainya di mana-mana sehingga dia menjadi muak dan bosan. Tidak mungkin dia mencampuri urusan orang-orang lain itu yang semua diakibatkan oleh perang sehingga masing-masing membela fihak pilihannya sendiri.

Sekali ini pun dia tidak peduli dan tentu Keng Hong sudah meninggalkan dusun itu untuk melanjutkan perjalanannya kalau saja dia tidak mendengar bentakan-bentakan nyaring suara wanita. Yang berkelahi itu ternyata adalah seorang wanita yang dikeroyok banyak laki-laki! Hal ini menarik perhatian keng Hong dan menggerakan hatinya untuk menghampiri tempat pertempuran. Betapapun juga, kalau melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang laki-laki seperti itu, tak mungkin dia tinggal diam saja. Gurunya pasti akan memakinya kalau dapat melihat dia mendiamkan saja seorang wanita dikeroyok belasan orang laki-laki!

Setelah dekat dengan tempat pertempuran itu, dia melihat dua belas orang laki-laki mengeroyok seorang gadis berpakaian biru muda. Hatinya menjadi kagum sekali. Bukan hanya kagum akan kegesitan dan keindahan gadis itu bermain pedang melayani pengeroyokan belasan orang lawan yang kasar-kasar, kuat dan bersenjata golok itu, melainkan terutama sekali melihat wajah yang cantik jelita, mata yang bersinar-sinar seperti mata burung hong, mukanya yang putih kemerahan, tubuh yang padat ramping, pendeknya, seorang gadis yang amat cantik!

Yang membuat Keng Hong terheran-heran dan penasaran adalah ketika dia melihat bahwa di situ tidak ada orang yang berani mendekat, apalagi melerai perkelahian, bahkan rumah-rumah dan warung-warung terdekat sudah menutup pintu dengan tergesa-gesa. Tampak olehnya ada empat orang laki-laki tinggi besar yang sudah roboh berlumuran darah, juga seorang pemuda remaja terduduk di atas tanah memegang pundaknya yang terluka terkena bacokan.

Ilmu pedang gadis itu lihai, akan tapi menghadapi pengeroyokan dua belas orang laki-laki kasar itu, si gadis menjadi repot juga. Apalagi karena para pengeroyoknya mengeluarkan kata-kata yang kasar dan kotor, dengan ancaman-ancaman yang menjijikkan, membuat gadis itu makin merah mukanya dan makin kacau gerakan pedangnya.

"He, kawan, jangan sampai dia terluka!"

"Jangan membikin cacat wajahnya yang cantik halus!"

"Biarkan dia kehabisan tenaga, tentu akan menyerah sendiri, ha-ha-ha!"

"Wah, kalau tenaganya habis, bagaimana bisa melayani kita?"

"Jangan khawatir, gadis kang-ouw ini simpanan tenaganya kuat, heh-heh-heh!"

"Robek-robek dan tanggalkan semua pakaiannya, berikan padaku lebih dulu!"

"Aku dulu!"

"Aku dulu!"

"Eh, kawan-kawan. Mengapa ribut-ribut? Biar dia kita tangkap dulu , baru kita mengadakan undian siapa yang akan menikmatinya lebih dulu!"

Muka Keng Hong menjadi merah sekali. Dia hendak turun tangan membantu, akan tetapi dia masih belum tahu apa urusanya, dan apa yang menyebabkan mereka berkelahi. Kalau dia langsung membantu gadis itu, apakah itu adil namanya? Siapa tahu, gadis ini yang berada di fihak salah. Maka dia menanti dan memandang penuh perhatian.

Gadis baju biru itu sudah mulai lelah. Gerakannya lambat dan ketika tiga buah golok secara berbareng menangkis pedangnya dengan pengerahan tenaga kasar, gadis itu menjerit, pedangnya terlempar dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Banyak tangan menyambarnya dan.....

"brettt.... aihhh.....!!" sebagian bajunya terobek berikut baju dalamnya sehingga tampaklah leher, pundak dan sebagian dada kiri yang berkulit putih halus seperti susu.

Keng Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya. Ia meloncat maju dan membentak,
"Orang-orang kuang ajar! Mundur....!!"

Sekali tangkap dia telah mencengkeram dua orang laki-laki di bagian tengkuknya dan bagaikan melempar rumput kering saja, dia melontarkan dua orang itu ke belakang sehingga mereka terpental dan terlempar sejauh empat meter, terbanting dan bergulingan. Dia tidak berhenti sampai di situ, kaki tangannya bergerak dan kembali empat orang laki-laki terlempar jauh dan jatuh bangun!

Empat orang yang lain cepat mebalikkan diri dan golok-golok di tangan mereka menyambar. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan keberanian, tenaga kasar dan golok. Begitu Keng Hong menggerakan tangannya, angin dorongan tangan itu membuat keenam orang pengeroyok terhuyung mundur. Dua orang yang agaknya menjadi pimpinan mereka menjadi penasaran, berseru keras dan menerjang maju lagi dengan golok mereka. Keng Hong mendahului mereka, menyampok keras dan terdengar bunyi "krek-krek!" ketika tangan Keng Hong bertemu dengan pergelangan tangan mereka yang menjadi patah tulangnya. Mereka meringis kesakitan dan melompat mundur, tidak berani maju lagi.

"Masih tidak lekas minggir dari sini?"

Keng Hong menghardik, pandang matanya tajam menusuk. Dua belas orang itu tidak berani untuk mencoba-coba lagi, mereka lalu pergi membawa teman-teman yang terluka. Ternyata jumlah mereka semua ada enam belas orang, yang empat telah dirobohkan gadis cantik itu.

Setelah mereka semua kabur, Keng Hong menoleh dan melihat gadis itu tengah menolong pemuda remaja yang terluka pundaknya. Terdengar olehnya suara gadis itu halus,

"Bagaimana, adikku? Parahkah lukamu?"

Pemuda remaja itu mengigit bibirnya dan menggeleng kepala.
"Kurasa tulangnya patah....Cici, lekas haturkan terima kasih...."

Gadis baju biru itu agaknya seperti baru teringat, cepat ia membalikan tubuhnya menghadapi Keng Hong yang berdiri memandang mereka , kemudian ia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.

"Saya Sim Ciang Bi dan adik saya Sim Lai Sek menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap (Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan nyawa kami."

Dua macam perasaan memenuhi hati Keng Hong mendengar ucapan itu. Dia disebut taihiap! Dia merasa bangga dan juga jengah. Tentu gadis ini menganggap dia seorang pendekar yang berilmu tinggi karena dalam segebrakan saja mampu mengusir dua belas orang laki-laki kasar tadi. Padahal kalau mempergunakan ilmu silat, tanpa disertai tenaga sinkang yang luar biasa, belum tentu dia menang lihai daripada gadis itu sendiri. Bangga karena mulut yang manis dan mungil itu menyebutnya taihiap, namun jengah dan malu karena dia sendiri merasa amat tidak pantas disebut seorang pendekar besar.

"Ah, harap jangan sungkan, bangkitlah, Nona," katanya sambil mengangkat bangun gadis itu.

Ketika kedua telapak tangannya menyentuh pundak itu, terasa hawa yang hangat lunak keluar dari daging pangkal lengan yang halus itu dan berdebarlah jantung Keng Hong, apalagi ketika matanya bertemu pada sebagian dada yang telanjang itu. Pandang matanya seperti lekat pada kaki dan lereng bukit dada yang putih halus.

"Cici.... bajumu....!"

Pemuda remaja itu memperingatkan cicinya yang saat itu sedang memandang wajah Keng Hong. Gadis itu merintih perlahan dan mukanya menjadi merah sekali. Keng Hong cepat membuka jubahnya dan menyelimutkan jubah ini pada tubuh si gadis yang memandangnya dengan sinar mata berterima kasih. Hal ini membebaskannya dari rasa malu, apalagi kalau diingat bahwa kini banyak orang mendatangi tempat itu. Mereka ini adalah penduduk dusun yang baru berani keluar setelah perkelahian itu berakhir.

"Ah, masih untung Sam-wi dapat lolos dari pengeroyokan mereka. Harap Sam-wi segera pergi meninggalkan dusun ini, karena kalau tidak ..... mereka pasti datang lagi dan menyusahkan Sam-wi (Tuan bertiga)." Yang berkata demikian adalah seorang kakek, mukanya membayangkan kegelisahan.

Keng Hong mengerutkan alisnya. Dia sudah membantu dan dia tidak boleh kepalang tanggung membantu nona ini.

"Lopek, kami tidak takut menghadapi ancaman mereka. Biarkan mereka datang, akan kami hajar mereka semua! Saat ini kami perlu untuk merawat adik yang terluka ini. Siapakah di antara Cu-wi (Tuan sekalian) yang sudi menolong kami, meminjamkan tempat istirahat dan berobat?"

Akan tetapi, sekian banyaknya pasang mata hanya memandangnya dengan terbelalak, penuh kekhawatiran dan tak seorang pun menawarkan tempatnya. Kakek itu cepat berkata.

"Enghiong (Orang gagah) harap dapat memaklumi keadaan kami. Mereka itu adalah kawanan buaya darat yang tinggal di dusun tak jauh dari sini. Kalau mereka mendengar ada seorang di antara kami berani membantu Sam-wi, tentu yang membantu itu akan celaka.....!"

"Pengecut!" Tiba-tiba Sim Lai Sek yang terluka pundaknya itu berseru marah. "Apakah dikira kami tidak akan membela dia yang menolong kami? Dan kami bersedia membayar sewa kamar dan harga obat!"

Keng Hong hanya tersenyum dan maklum akan rasa penasaran pemuda remaja itu, yang ternyata tampan seperti cicinya, sepasang matanya lebar dan mukanya membayangkan keberanian.

"Maaf, Siauw-enghiong. Kami percaya akan kegagahan Sam-wi, akan tetapi maukah Sam-wi selamanya tinggal di dusun ini?"






Tidak ada komentar: