*

*

Ads

FB

Jumat, 08 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 038

"Apa....??"

Kini gadis cantik itu yang bertanya, matanya terbelalak heran dan Keng Hong terpaksa harus mengalihkan pandangnya karena mata itu amat indahnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akan melongo menikmati keindahan itu.

"Nona, dan Siauw-te, harap Ji-wi memaklumi kekhawatiran mereka ini. Lopek ini benar. Memang, selama kita masih berada di sini, penjahat-penjahat itu tidak berani datang mengganggu. Akan tetapi tidak mungkin kita tinggal selamanya di sini dan kalau kita sudah pergi lalu mereka datang mengamuk, membalas dendam kepada penduduk dusun ini, bukankah sama saja artinya dengan kita yang mencelakakan penduduk di sini?"

Enci dan adik itu tercengang dan mengangguk-angguk.
"Ah, kalau begitu apa gunanya ada penjaga keamanan? Apa gunanya ada pembesar setempat? Bukankah di sini ada kepala dusun wakil pemerintah?" Sim Lai Sek masih mencoba untuk menyatakan rasa penasarannya.

Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Siauw-enghiong, hal begini saja masa Eng-hiong masih belum tahu? Semenjak saya masih kanak-kanak sampai sekarang sudah kakek-kakek, mana ada jaminan keamanan dan keselamatan bagi rakyat jelata? Memang selalu ada penjaga keamanan, ada pembesar setempat, akan tetapi kenyataan pahit yang menyedihkan namun tak dapat disangkal adalah bahwa penjaga keamanan di sini hanya namanya saja penjaga keamanan, namun pada kenyataanya adalah pengacau keamanan. Mereka hanya menjadi pelindung-pelindung bayaran, dan mempergunakan kekuasaan untuk kesenangan sendiri. Adapun pembesar hanya namanya saja besar, akan tetapi, jiwanya kecil dan lalim. Sudahlah, harap Sam-wi memaklumi keadaan kami rakyat kecil yang melarat dan tidak menambah beban kami yang sudah berat."

"Mari kita keluar dari dusun ini, biarlah saya mencarikan tempat istirahat untuk Ji-wi," kata Keng Hong dan tanpa menanti lagi dia lalu membungkuk dan memondong tubuh Sim Lai Sek yang terluka.

Pemuda remaja ini sudah amat lemah, bukan hanya oleh lukanya di pundak yang mematahkan tulangnya , namun juga karena lemas kehilangan banyak darah.

"Di luar dusun, dalam hutan sebelah barat terdapat sebuah kuil yang kosong. Kiranya Sam-wi dapat beristirahat di sana. Sam-wi dapat membawa bekal obat dan bahan makanan," kata pula si kakek yang sesungguhnya menaruh rasa kagum dan simpati kepada tiga orang muda yang telah berani menentang para buaya darat yang semenjak dahulu merupakan gangguan di dusun itu.






Setelah Ciang Bi, gadis itu, membeli obat-obat dan bahan makanan, berangkatlah mereka bertiga keluar dari dusun memasuki hutan sebelah barat dan benar saja di tengah hutan itu mereka menemukan sebuah kuil tua yang kosong, akan tetapi lumayan untuk tempat berteduh dan mengaso. Keng Hong lalu merebahkan tubuh Lai Sek di atas lantai yang telah di bersihkan oleh Ciang Bi. Kemudian dia membantu gadis itu menggodok obat dan merawat Lai Sek.

Setelah pemuda remaja minum obat, makan bubur dan tertidur nyenyak, Ciang Bi dan Keng Hong duduk di ruang luar kuil, di atas batu-batu halus yang agaknya dahulu dipakai untuk bersamadhi para pendeta penghuni kuil. Sampai lama mereka berdiam diri dan setiap kali mereka bertemu pandang, gadis itu menundukan mukanya dan bibir yang merah dan segar selalu itu tersenyum malu-malu.

"Taihiap...."

"Ah, jangan menyebut aku taihiap, Nona. Aku seorang biasa saja yang kebetulan dapat membantumu. Namaku Keng Hong, Cia Keng Hong."

"Tapi..... kepandaianmu sunggguh amat luar biasa, Taihiap. Sungguh membuat hatiku kagum."

"Kepandaianmu bermain pedang pun hebat, Nona. Tidak bisa aku yang bodoh dibandingkan denganmu. Engkau masih muda sudah amat pandai bermain pedang, gerakanmu cekatan dan ringan, permainan pedangmu indah sekali seperti seorang bidadari menari dan kau...... kau cantik jelita sekali, Nona."

Gadis itu cepat menengok dan menatap wajah Keng Hong. Akan tetapi ia tidak melihat pandang mata kurang ajar, hanya melihat sinar kekaguman yang jujur terpancar keluar dari sepasang mata yang tajam itu sehingga ia tidak jadi marah, bahkan lalu menunduk dengan muka merah, bibirnya tersenyum, matanya mengerling dan jantungnya berdenyut, penuh kegembiraan. Wanita manakah di dunia ini yang takkan menjadi dak-dik-duk hatinya kalau menerima pujian-pujian yang begitu jujur dari seorang pemuda yang amat gagah perkasa dan tampan pula?

Sejenak mereka diam tak berkata-kata. Keadaan ini tidak mengganggu Keng Hong yang menikmati pemandangan indah di depannya, rambut yang hitam mulus dan halus panjang terurai itu, wajah yang cantik sekali sepasang mata seperti mata burung hong, hidung kecil mancung yang cupingnya dapat bergerak-gerak sedikit di waktu merasa malu dan merah, mulut yang indah bentuknya dengan sepasang bibir yang seolah-olah dicat merah, merah semringah dan lalu segar, sepasang pipinya kemerahan seperti buah tomat setengah matang, dagu kecil meruncing yang kalau digerakan menimbulkan lesung pipit di atasnya. Tubuh yang ramping padat dan biarpun kini tertutup jubah Keng Hong yang terlalu besar, masih tak dapat menyembunyikan bentuknya yang menggairahkan.

Biarpun mereka tak berkata-kata, Keng Hong tidak merasa kesepian. Akan tetapi gadis yang maklum betapa sepasang mata orang yang dikaguminya itu memandangnya penuh kekaguman, menjadi tak tenang dan akhirnya ia berkata lirih.

"Ciap-taihiap, betapa aku akan dapat membalas budimu yang amat besar? Biarlah aku dan adikku akan selalu berdoa untuk kebahagianmu....."

"Ihhh, Nona, mengapa begini sungkan? lupakan saja apa yang telah kulakukan semua karena itu tak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban seorang manusia yang haru membantu manusia lain yang sedang tertimpa kemalangan."

"Engkau gagah dan bijaksana, taihiap...."

Gadis itu memandang dan sejenak pandang mata mereka saling melekat. Keng Hong dapat menangkap sinar kemesraan memancar dari pandang mata di balik bulu mata lentik itu, akan tetapi hanya sebentar karena gadis itu sudah cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari sebelah dalam kuil. Keduanya cepat melesat ke dalam kuil seperti berlumba, dan berbareng mereka memasuki ruangan di mana tadi Lai Sek rebah dan tidur. Kini pemuda remaja itu sudah bangun, akan tetapi masih rebah dan kelihatan gelisah sekali, mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan marah seperti orang sedang berkelahi, kaki tangannya bergerak-gerak tapi matanya meram. Keng Hong menarik napas lega. Kiranya pemuda itu hanya mengigau saja.

"Dia diserang demam!"

Seru Ciang Bi khawatir ketika meraba leher adiknya itu. Keng Hong meraba dahi pemuda itu dan ternyata pemuda itu diserang demam panas.

"Biar kucari obat di dusun itu untuk melawan demamnya," kata Keng Hong dan tanpa menanti jawaban dia sudah berkelebat lari menuju ke dusun itu.

Pemilik toko obat dengan senang hati memberikan obat penolak demam yang disebabkan luka, dan pemuda ini cepat kembali lagi kedalam hutan .

Dapat dibayangkan betapa marah hatinya ketika melihat bahwa di depan kuil itu telah penuh dengan orang-orang yang dia kenal adalah orang-orang yang tadi mengeroyok enci dan adik itu. Jumlah mereka kini tidak kurang dari tiga puluh orang dan paling depan berdiri seorang laki-laki tinggi besar bermuka merah yang membawa golok besar. Laki-laki tinggi ini sedang bicara dengan Ciang Bi, menuding-nudingkan goloknya ke arah gadis itu yang bersikap tenang dengan pedang di tangan, siap untuk melayani pengeroyokan. Keng Hong mempercepat larinya dan dengan gerakan indah dia meloncati kepala mereka yang mengurung, langsung turun di dekat Ciang Bi. Gadis ini berseri wajahnya melihat datangnya penolongnya.

Keng Hong tidak mempedulikan si tinggi besar , bahkan memberikan bungkusan obat kepada gadis itu sambil berkata,

"Nona, kau serahkan tikus-tikus ini kepadaku. Lekas masak obat ini dan minumkan kepada adikmu."

Gadis itu meragu, menyapu para penjahat itu dengan matanya. Agaknya ia merasa berat meninggalkan pemuda penolongnya itu seorang diri saja menghadapi sekian banyaknya penjahat, apalagi yang kini dipimpin oleh kepala mereka yang kelihatannya kuat dan lihai.

"Akan tetapi......"

"Jangan membantah, lebih baik lekas tolong adikmu. Aku sanggup melayani mereka....."

"Taihiap, pakailah pedangku......."

"Terima kasih. Tidak usah. Menghadapi segala macam tikus busuk, perlu apa menggunakan pedang?"

Sejenak gadis itu memandangnya, memandang dengan sinar mata mesra seperti tadi, akan tetapi kini lebih lama lebih jelas sehingga Keng Hong-lah yang lebih dulu menundukkan muka karena tak tahan menghadapi pemandangan yang mengguncang perasaannya ini. Gadis itu lalu berlari masuk membawa obat dan pedangnya, sedangkan Keng Hong lalu menghadapi kepala penjahat sambil berkata.

"Kalian ini mau apakah? Puluhan orang laki-laki tinggi besar mendesak dan menggangu seorang gadis muda dan adiknya yang sedang sakit, sungguh perbuatan yang amat gagah!"

Kepala penjahat itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya membayangkan tenaga yang amat kuat dan goloknya amat besar dan kuat, sikapnya menyeramkan. Mukanya merah seperti wajah kwan Hong pahlawan di jaman Sam-kok, dengan kumis dan jenggotnya hitam lebat, sepasang matanya yang lebar itu kemerahan. Dengan gerakan goloknya dia menudingkan ke arah Keng Hong dan suaranya serak ketika bertanya kepada anak buahnya.

"Inilah pemuda usilan itu?"

"Benar dia, Twako!" kata seorang di antara mereka yang tadi dihajar Keng Hong.

Kepala penjahat itu kembali memandang Keng Hong penuh perhatian, seolah-olah tidak dapat percaya bahwa pemuda itu usianya paling banyak sembilan belas tahun ini mampu merobohkan dua belas orangnya!

"Siapa namamu?" bentaknya, sikapnya sombong dan memandang rendah.

"Namaku Cia Keng Hong."

"Kamu orang Hoa-san-pai juga?"

Pertanyaan ini menyadarkan Keng Hong bahwa enci dan adik itu tentulah murid Hoa-san-pai. Pantas saja ilmu pedangnya demikian indah. Ia menggeleng kepala dan menjawab,

"Aku bukan dari partai mana-mana, aku seorang yang kebetulan lewat dan tidak tahan melihat belasan laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang wanita. Mengapa kalian tidak insyaf akan perbuatan pengecut dan memalukan itu, bahkan kini datang lagi mengganggu? Lebih baik kalian sadar dan pergi saja, karena perbuatan kalian ini hanya akan membuat kalian tercela dan ditertawai orang gagah sedunia."

"Bocah sombong! Bocah usilan! Kami mempunyai urusan sendiri dengan orang Hoa-san-pai, ada sangkut pautnya apa denganmu? Engkau sudah bosan hidup!"

Kepala penjahat itu sudah menerjang dengan goloknya dan terdengar suara mendesing ketika golok itu menyambar ke arah kepala Keng Hong. Pemuda ini belum sempurna mempelajari ilmu silat dan yang sudah dipelajarinya hanyalah delapan jurus ilmu serangan dan ilmu pedang yang belum matang, maka dia kaget dan cepat meloncat mundur.

Loncatannya ringan dan cepat sekali, namun gerakannya mengelak kaku. Hal ini dilihat oleh kepala penjahat yang ilmu silatnya lumayan juga, maka sambil berseru keras dia maju lagi menubruk sambil membacokkan goloknya. Namun sekali ini Keng Hong yang maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, sudah mendahuluinya dengan pukulan atau dorongan kedua tanganya ke depan. Ia menggunakan telapak tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang. Terdengar penjahat tinggi besar itu menjerit dan roboh terjengkang, muntahkan darah segar, matanya mendelik dan nyawanya melayang di saat itu juga!

Melihat robohnya pemimpin mereka, orang-orang kasar itu menjadi marah sekali dan sambil berteriak-teriak memaki mereka sudah menerjang maju, mengeroyok Keng Hong dengan senjata mereka,. Keng Hong yang belum banyak pengalamannya dalam pertempuran, apa lagi kalau dikeroyok tiga puluh orang yang memegang senjata tajam, menjadi bingung sekali.

Akan tetapi untung baginya bahwa gemblengan mendiang gurunya ditekankan kepada sinkang dan ginkang sehingga tubuhnya yang mengelak dan meloncat ke sana-sini itu jauh lebih cepat daripada gerakan para pengeroyoknya sehingga mereka menjadi bingung karena bagi mereka, tubuh pemuda itu seperti lenyap dan berkelebatan seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi sesosok bayangan yang sukar diserang.






Tidak ada komentar: