*

*

Ads

FB

Jumat, 08 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 036

Biarpun tokoh-tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat seperti tiga orang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tak Terlawan) ini pun menjadi gentar. Mereka itu maklum bahwa kalau seorang di antara mereka menggunakan kekerasan lalu dikeroyok oleh semua yang hadir, biarpun mereka itu ditambah tiga kepala dan enam tangan pun takkan menang! Apalagi kakek ketua Kun-lun-pai itu bersama tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang hadir, merupakan lawan-lawan yang takan mudah dikalahkan. Karena itulah, tiga orang datuk ini mengangguk-ngangguk dan semua menyatakan setuju sambil berteriak-teriak,

"Akur, akur!"

"Syukur kalau Cu-wi sekalian setuju. Nah, sekarang pedang Siang-bhok-kiam berada di tanganku. Jika di antara Cu-wi ada yang mampu mengambilnya dari tanganku, tidak menggunakan penyerangan kasar, hanya menggunakan tenaga untuk merampasnya, berarti pedang ini berjodoh dengannya."

Setelah berkata demikian, tubuh kakek ini melayang turun dari atas batu besar itu, diikuti lima orang muridnya yang lain karena dua orang muridnya sudah turun. Kini kakek ini berdiri di tempat yang luas, dan tujuh orang muridnya, dikepalai oleh Kiang Tojin, siap melindungi guru mereka berdiri di belakang guru ini membentuk setengah lingkaran.

Sikap ini saja sudah memberi tahu kepada semua yang hadir bahwa siapa yang hendak menggunakan kecurangan dan untuk memiliki pedang itu menyerang tubuh Tian Seng Cinjin, tentu tujuh orang tokoh Kun-lun-pai ini sekaligus turun tangan melindungi guru mereka dan menyerang dia yang bermain curang!

"Nah, silakan!" kata pula Thian Seng Cinjin yang sudah memegang gagang pedang kayu itu erat-erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka ditempelkan di pusarnya sendiri, sikap yang amat baik untuk mengerahkan sinkang yang disalurkan ke tangan kanan untuk mempertahankan pedang itu.

Sebagian besar para tokoh kang-ouw yang hadir di situ sudah mengenal, atau setidaknya sudah mendengar akan kehebatan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai ini, seorang di antara para lo-cianpwe yang sukar dicari tandingangannya di waktu itu. maka mereka ini menjadi jerih.

"Maafkan aku!"

Tiba-tiba han-ciang-kun pemimpin pasukan utara sudah melangkah maju dan pada saat yang sama perwira tinggi besar yang memimpin pasukan selatan juga sudah maju. Akan tetapi mereka ini sama sekali bukan bermagsud mencoba kekuatan Thian Seng Cinjin, karena Han-ciangkun berkata,











"Kalau berhasil merampas pedang kayu ini, apakah akan bisa mendapatkan Thai-yang-tin-keng?"

"Kalau bisa, aku pun akan mencoba!" kata perwira selatan tak mau kalah.

Kiang Tojin mewakili suhunya menjawab,
"Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu-menahu tentang kitab itu. Siapa berhasil merebut pedang menggunakan kekuatan hanya akan memiliki pedang Siang-bhok-kiam ini dan selebihnya kami tidak akan mencampuri urusan lainya!"

"Kalau begitu, buat apa pedang kayu bagi kami?"

Perwira selatan berkata kecewa sambil mundur, diturut pula oleh perwira utara yang melihat bahwa tidak akan ada gunanya merampas pedang kayu.

"Nanti dulu, Thiang Seng Cinjin!" Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong berkata dengan suaranya yang keras. "Andaikata aku maju dan berhasil dan merampas pedang Siang-bhok-kiam, pedang itu menjadi milikku?"

"Begitulah yang sudah diputuskan Suhu," jawab Kiang Tojin.

"Dan yang lain-lain tidak boleh merampas dari tanganku?"

"Selama Locianpwe berada di sini, kami akan menjamin bahwa tidak akan ada yang mengganggu tanpa berhadapan dengan kami. Tentu saja mereka berhak pula mencoba merampasnya dari tangan Locianpwe tanpa menggunakan kekerasan. Sudah diputuskan oleh suhu bahwa tidak boleh dipergunakan kekerasan di wilayah Kun-lun-pai. Tentu saja di luar wilayah Kun-lun-pai, bukanlah menjadi kewajiban kami lagi untuk mencampuri urusan siapapun juga."

"Ha-ha-ha, cukup adil! Nah, biar kucoba tenagamu, Thian Seng Cinjin!" sambil tertawa-tawa Pak-san Kwi-ong melangkah maju lalu memasang kuda-kuda di depan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai itu.

Dua orang datuk hitam yang lain tidaklah sekasar tokoh hitam ini. Mereka, seperti Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong, lebih cerdik dan lebih hati-hati. Mereka itu tidak dapat mengukur sampai dimana tingkat kepandaian dan sampai dimana kekuatan sinkang ketua Kun-lun-pai ini. Sebaliknya, mereka ini sudah tahu sampai di mana kekuatan Pak-san Kwi-ong yang kalau dibandingkan dengan mereka setingkat. maka mereka itu merasa lebih "sip" untuk menanti. Mereka baru akan mencoba kalau Pak-san Kwi-ong gagal, atau baru akan berusaha merampas pedang itu dari tangan datuk hitam utara itu andaikata pedang dapat dirampas oleh Pak-san Kwi-ong.

Semua orang memandang dengan penuh ketegangan ke arah dua orang kakek yang kini sudah siap mengadu tenaga untuk memperebutkan pedang kayu itu. Sejenak mereka hanya berdiri saling tatap dengan pandang mata penuh mengeluarkan getaran karena penuh dengan tenaga sinkang.

Kemudian, perlahan-lahan Pak-san Kwi-ong mengangkat tangan kanan dan menggenggam tubuh pedang kayu yang gagangnya dipegang oleh Thian Seng Cinjin, sedangkan tangan kirinya ditumpangkan ke atas sebuah di antar dua tengkorak yang tergantung di pinggangnya.

Dua orang kakek itu kelihatannya hanya diam saja seperti arca, akan tetapi sesungguhnya mereka itu mulai mengerahkan tenaga sinkang yang disalurkan melalui lengan kanan terus ke pedang kayu, saling dorong, dan saling membetot pedang.

Dua tenaga sinkang raksasa yang tak tampak saling bertemu dengan hebatnya, kedua lengan tergetar dan pedang kayu itu tergetar lebih hebat lagi, sampai bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkeretekan, kemudian....."prokkkk....!" pedang itu hancur menjadi berkeping-keping!

Terdengar seruan-seruan kaget dari semua yang menonton pertandingan itu, bahkan muka Thian Seng Cinjin sendiri menjadi pucat. Pak-san Kwi-ong yang biasanya tertawa-tawa itu kini terbelalak memandangi bagian pedang yang atas, yang telah pecah-pecar telah menjadi kepingan kayu-kayu tak berguna di tangannya.

Kiang Tojin, Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong masing-masing telah melangkah maju dan mengambil kepingan kayu yang berhamburan di atas tanah, lalu mereka meneliti kepingan-kepingan kayu itu, menciumnya.

"Ahhhhh.....!"

"Kayu biasa....!"

"Sama sekali bukan kayu mujijat!"

"Tidak harum bagian dalamnya!"

"Bukan Siang-bhok-kiam......!!"

Seruan Kiang Tojin yang terakhir inilah yang membuat semua orang tercengang dan saling pandang. Thin Seng Cinjin sendiri melongo, memandang gagang pedang di tangannya dan baru ternyata olehnya bahwa gagang pedang itu kasar buatannya.

"Bu..... bukan.... Siang-bhok-kiam....?" tanyanya gagap.

Kiang Tojin berlutut di depan suhunya.
"Benar, suhu. Teecu telah kena diakali Cia Keng Hong! Pedang itu tadi sama sekali buka Siang-bhok-kiam!"

"Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa pedang itu bukan Siang-bhok-kiam?" tanya Thian Seng Cinjin dan mukanya menjadi merah karena malu.

Masa dia seorang tokoh besar, ketua Kun-lun-pai, sampai dapat diakali oleh seorang bocah yang masih ingusan seperti murid Sin-jiu Kiam-ong itu? Yang lain-lain, termasuk ketiga orang Bu-tek Sam-kwi para datuk golongan hitam itu mendengarkan penuh perhatian.

"Teecu yakin. Pedang ini terbuat dari kayu pohon yang tumbuh di sini, yang memang agak wangi baunya. Pedang ini tidak mungkin Siang-bhok-kiam karena menurut kabar, pedang Siang-bhok-kiam terbuat daripada kayu yang kerasnya melebihi baja, sedangkan pedang ini terbuat dari kayu biasa. Sekarang mengertilah teecu mengapa bocah itu memberikan pedang ini kepada kita secara demikian mudah!"

"Bocah setan!" Tiba-tiba Lian Ci Tojin memaki. "Sudah kuketahui dia bukan manusia baik-baik! Ilmunya menyedot sinkang saja sudah menunjukkan bahwa dia seorang calon iblis! Dan Twa-suheng begitu percaya kepadanya! Sungguh memalukan sekali!"

"Lian Ci, diam kau!" bentak Thian Seng Cinjin dengan suara nyaring karena malu dan marah.

Di depan orang-orang luar yang begitu banyak, dia tidak senang sekali mendengar muridnya itu menyalahkan saudara sendiri.

Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Para tosu hidung kerbau di Kun-lun-pai sampai kena dikentuti oleh murid Sin-jiu Kiam-ong bocah yang masih ingusan! Betapa lucunya hal ini akan menjadi buah percakapan menggembirakan di dunia kang-ouw. Dan tahukah kalian bahwa bocah yang sudah menipu kalian itu kini bersenang-senang main gila dengan dua orang gadis cantik murid Lam-hai Sin-ni? Ha-ha-ha, benar-benar bocah itu melebihi gurunya dalam segala hal! Kita semua telah tertipu, akan tetapi yang benar-benar makan kotoran yang dilempar anak itu adalah para tosu Kun-lun-pai!"

Wajah Thian Seng Cinjin sebentar merah sebentar pucat. Pukulan batin ini amat hebat dan selamanya baru sekali ini Kun-lun-pai mengalami hal yang benar-benar amat memalukan. Ia pun merasa tak senang kepada Kiang Tojin karena sesungguhnya penipuan ini terjadi karena rasa sayang Kiang Tojin kepada Keng Hong. Andaikata tidak begitu mendalam kasih sayang muridnya itu terhadap Keng Hong, tentu tidak begitu mudah ditipu karena sudah ada kecurigaan. Karena marah, ketua Kun-lun-pai ini lalu berkata kepada Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin, justeru dipilihnya dua orang di antara muridnya yang tadi menentang Kiang Tojin.

"Sian Ti dan Lian Ci! Sekarang juga pinto perintahkan kalian berdua pergi mencari dan menangkap Cia Keng Hong, membawa dia ke sini!"

"Baik, Suhu!" jawab dua orang tosu itu yang segera meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.

Kiang Tojin hanya memandang dengan hati prihatin karena dia sendiri pun tidak mengerti mengapa Keng Hong sampai berani melakukan penipuan seperti itu. Kalau begitu pedang Siang-bhok-kiam tentu masih dipegang anak itu, dan entah disembunyikan di mana karena kalau pedang itu dibawa-bawa, dia merasa yakin bahwa pedang itu tentu telah dirampas tokoh kang-ouw yang sakti.

Akan tetapi seperti telah dilakukan para tokoh kang-ouw yang semua menyerbu ke Kun-lun-pai, hal ini menandakan bahwa mereka tidak berhasil mendapatkan Siang-bhok-kiam dari Keng Hong. Kiang Tojin mengerti bahwa suhunya marah dan kecewa kepadanya, maka dia diam saja, maklum bahwa sekali ini dia memang salah, meleset perhitungannya menilai diri Keng Hong.

Karena kesal hatinya, Kiang Tojin lalu berkata lantang kepada para tamu yang tak dikehendaki itu.

"Cu-wi sekalian membuktikan dengan mata sendiri betapa kami pihak Kun-lun-pai sendiri telah tertipu, bahwa disini sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang menyangkut warisan Sin-jiu Kiam-ong. Harap Cu-wi meninggalkan tempat ini karena di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi!"

Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Sam-kwi berkelebat pergi, diikuti pula para tokoh kang-ouw yang pergi mengambil jalan masing-masing, namun dapat dimengerti bahwa isi hati mereka tak banyak berbeda, yaitu selain kecewa, juga masing-masing tentu mengambil ketetapan hati untuk mencari Cia Keng Hong, satu-satunya orang yang menjadi kunci rahasia dan dapat membawa mereka kembali menuju ke simpanan pusaka warisan Sin-jiu Kiam-ong.

Juga kedua pasukan dari utara dan selatan itu cepat pergi kembali ke asal masing-masing tanpa bertanding. Hal ini memang lucu karena dalam keadaan biasa, dua pasukan yang bermusuhan itu tentu akan berperang mati-matian. Agaknya karena mereka bertemu dengan tokoh-tokoh yang sakti itu, hati mereka menjadi kuncup, takut kalau-kalau orang-orang sakti itu menjadi marah dan membantu salah satu fihak apabila mereka mengadakan perang di tempat itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan perang saudara yang terjadi antara utara dan selatan itu adalah akibat perebutan mahkota setelah kaisar Thaicu meninggal dunia pada tahun 1398. Ketika itu, putera sulung kaisar Thaicu telah lebih dahulu meninggal dunia dan oleh karena itu, maka sebelum dia meninggal, kaisar Thaicu telah mewariskan tahta kerajaan kepada cucunya, anak dari putera sulung itu, yang bernama Hui Ti.

Di bawah perlindungan dan dukungan para pembesar yang mempergunakan kesempatan untuk mengangkat diri sendiri mencapai kedudukan tinggi dan berkecimpung dalam kemuliaan duniawi, setahun kemudian setelah kaisar Thaicu meninggal, Hui Ti naik tahta dan menjadi Kaisar Kerajaan Beng.






Tidak ada komentar: