*

*

Ads

FB

Sabtu, 02 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 027

“Yang kutahu bahwa engkau pun kurasa tidak begitu jijik untuk bercinta, buktinya pinggulku yang tidak tertutup ini masih terasa panas karena kau pegang-pegang dengan telapak tanganmu yang halus. Nah, mukamu menjadi merah. Semua orang melihat belaka betapa tadi engkau memegang-megang pinggulku. Hayo katakan, mau apa kau pegang-pegang pinggul orang?"

"Cih, laki-laki cabul.....!!"

Wanita murid Hoa-san-pai itu menjerit lalu membalikan tubuhnya dan lari, diikuti oleh tiga orang suheng-suhengnya.

"Heh-he-hi-hi-hik, mulutmu benar lihai sekali!"

Cui Im kembali bertepuk tangan, bahkan Biauw Eng juga tersenyum sedikit, akan tetapi alisnya yang hitam melengkung panjang itu berkerut. Terlalu tajam mulut pemuda ini, pikirnya.

Kini tinggallah sembilan orang anggauta Kong-thong-pai dan mereka itu merasa ragu-ragu untuk membuka mulut, karena mendapat kenyataan bahwa selain ilmunya tinggi, juga pemuda itu mulutnya lihai sekali. Melihat keadaan mereka, Keng Hong sudah mendahului dengan ucapan yang serius.

"Cui-wi enghiong adalah orang-orang gagah dari Kong-thong-pai yang tentu saja berpemandangan luas. Seperti Cui wi tentu telah mendengar penuturan orang-orang tua, urusan yang timbul antara mendiang suhu dengan Kong-thong-pai adalah karena dahulu suhu pernah menewaskan lima orang anak murid Kong-thong-pai. Sebab daripada bentrokan itu adalah karena kedua fihak berbantahan dalam sebuah rumah judi, sehingga urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak menyangkut perkumpulan. Apalagi kalau diingat bahwa suhu telah meninggal dunia, demikian juga lima orang angguta Kong-thong-pai itu. setelah kedua fihak yang bermusuhan sudah tewas semua, apakah kita yang tidak tahu apa-apa harus terseret ke dalam permusuhan? Apakah yang kita perebutkan?"

Para murid Kong-thong-pai dapat mengerti alasan ini dan diam-diam mereka ini kagum juga mendengar ucapan Keng Hong yang membayangkan pendapat yang dalam dan pandangan yang luas.Akan tetapi karena mereka itu seperti juga yang lain hanya merupakan pelaksana-pelaksana tugas, maka seorang tosu yang tertua di antara mereka segera berkata.

"Persoalannya tidaklah begitu sederhana, orang muda. Pula, kami hanyalah murid-murid yang melaksanakan perintah guru...."

"Hemmm, agaknya Kong-thong Ngo-lojin yang menurunkan perintah itu. baiklah, kalau begitu harap Cu-wi sampaikan kepada Kong-thong Ngo-lojin bahwa kalau mereka itu menginginkan barang-barang pusaka peninggalan suhu, suruh mereka pergi mencari sendiri karena hal itu merupakan keinginan pribadi mengapa membawa-bawa nama perkumpulan? Betapa banyaknya di dunia ini, manusia-manusia yang sebetulnya bercita-cita untuk kepentingan pribadi namun mempergunakan kedok demi perkumpulan mempergunakan anak buah dan para murid untuk berjuang demi perkumpulan, padahal sesungguhnya yang menjadi pamrih adalah kepentingan dan kesenangan pribadi!"





Sembilan orang anak murid Kong-thong-pai itu marah sekali karena nama baik guru-guru mereka dicela terang-terangan oleh pemuda yang masih ingusan ini, akan tetapi karena mereka mengerti bahwa melawan takan ada gunanya, mereka lalu membalikan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu sambil membantu kawan-kawan yang terluka.

“Bagus-bagus, Keng Hong! Engkau telah memberi tamparan dengan kata-kata kepada orang-orang yang mengaku sebagai golongan bersih, golongan suci, dan golongan pendekar-pendekar itu, hi-hi-hik!" Cui Im berkata girang sambil merangkul pundak pemuda itu dengan sikap manja memikat.

"Cukup, Suci! Kita lanjutkan perjalanan!" terdengar Biauw Eng berkata, suaranya dingin dan sikapnya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Kereta sudah hancur oleh setan-setan itu, semua kuda binasa oleh Keng Hong. Wah, kita harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, padahal masih amat jauh!" kata Cui Im dengan wajah jengkel. Akan tetapi gadis ini lalu tertawa memandang Keng Hong. "Keng Hong, perjalanan masih jauh dan kita harus berjalan kaki. Mempergunakan ilmu lari cepat memang tidak kalah dengan berkuda atau berkereta, akan tetapi amat melelahkan. Bagaimana kalau kita saling gendong? Bergantian, kan enak? kalau sumoi mau, biarlah aku mengalah dan kau lebih dulu menggendong sumoi...."

"Suci, diam! Bukan waktunya untuk main-main!" bentak Biauw Eng dengan suara dingin dan ketus sehingga Cui Im tidak berani lagi membuka mulut.

"Nona berdua tidak perlu repot-repot karena perjalanan bersama kita hanya sampai di sini. Aku tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi," kata Keng Hong dengan suara tenang. "Sudah cukup aku mendatangkan kerepotan dan bahaya bagi kalian, karena aku tahu bahwa selama nona berdua melakukan perjalanan bersamaku, tentu akan menghadapi bahaya serangan orang-orang kang-ouw yang kini seolah-olah memperebutkan aku."

"Ahhhh.....!!"

Cui Im mengeluarkan suara kecewa dan gadis ini lenyap pula sikapnya yang manis tadi, bahkan tangan kanannya bergerak mencabut pedangnya.

"Cia Keng Hong, engkau harus ikut bersama kami menghadap ibuku, Lam-hai Sin-ni, mau atau tidak, hidup atau mati!"

Suara Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng terdengar tegas dan mengandung ancaman yang mengerikan. Berbeda dengan Cui Im yang telah mencabut pedangnya, gadis berpakaian putih ini masih berdiri tenang, belum mengeluarkan senjata, bahkan sikapnya masih biasa, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar penuh ancaman maut.

Keng Hong menggeleng kepalanya.
"Tadinya memang aku berniat untuk menghadap Lam-hai Sin-ni dan niat itu terdorong oleh rasa terima kasihku kepada Sie-siocia yang telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman pedang Cui Im. Akan tetapi, tadi ketika nona dikeroyok, aku telah membantumu dan berarti aku telah pula menyelamatkanmu, dengan demikian hutangku telah kubayar lunas. Karena itu, kini aku telah bebas dan aku tidak berniat untuk ikut bersama Ji-wi menghadap Lam-hai-Sin-ni!"

Setelah berkata demikian, Keng Hong mengangkat tangan ke depan dada memberi hormat, kemudian membalikan tubuhnya melangkah pergi meninggalkan dua orang gadis yang tertegun penuh kekecewaan.

"Keng Hong, pertama-tama kau mempermainkan aku, kini berani mempermainkan sumoi! Kau kira kami tak mampu menawanmu dengan kekerasan?" terdengar Cui Im membentak dan sinar merah berkelebat ketika gadis ini menerjang Keng Hong dari belakang.

Pengalaman-pengalaman pahit telah membuat Keng Hong hati-hati sekali menghadapi Cui Im. Mendengar desing senjata yang menyerangnya, Keng Hong cepat miringkan tubuh sehingga sinar merah meluncur lewat di samping lehernya dan mengangkat tangannya dikibaskan ke arah pedang dan tangan yang memegang pedang. Hawa pukulan yang amat kuat mendorong pedang dan tangan Cui Im dari bawah.

Gadis itu maklum akan lihainya tangan Keng Hong, cepat menarik tangannya namun masih saja tangannya terdorong ke samping begitu kerasnya sehingga tubuhnya ikut terdorong dan hampir dia terpelanting kalau tidak cepat meloncat menjauhi Keng Hong ke sebelah kiri.

"Kau tahu, aku tidak ingin bermusuhan denganmu, Cui Im," kata Keng Hong. "Harap kalian suka membiarkan aku pergi."

Akan tetapi dengan muka merah karena marahnya, Cui Im sudah siap menerjang lagi, kini tangan kirinya mencabut keluar sehelai saputangan merah, saputangan yang mengandung bubuk beracun dan yang pernah merobohkan Keng Hong. Sambil berteriak keras Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im menerjang lagi, pedangnya diputar menjadi sinar pedang merah bergulung-gulung seperti seorang penari selendang sutera merah, kemudian ia menerjang Keng Hong dengan bacokan bertubi-tubi mengikuti perputaran pedang.

Keng Hong sudah siap dan waspada karena maklum bahwa bahaya besar mengancamnya, bukan dari pedang itu melainkan terutama sekali dari saputangan merah. Maka dia segera menghindarkan diri dari terjangan pedang itu dengan meloncat cepat ke kanan.

Cui Im sudah menduga akan hal ini, bahkan sudah siap-siap, begitu tubuh Keng Hong berkelebat ke kanan tangan kirinya bergerak dan tiga batang jarum menyambar dari dalam saputangannya ke arah sepasang mata dan tenggorokan Keng Hong. Pemuda itu berilmu tinggi namun belum banyak pengalamannya dalam pertandingan ini terkejut, cepat merendahkan tubuhnya setengah berjongkok sambil mengibaskan tangan kirinya ke atas sehingga tiga batang jarum itu terlempar entah ke mana. Akan tetapi pada saat yang memang sengaja diciptakan Cui Im ini sinar merah dari saputangan sudah menyambar ke arah muka Keng Hong. Didahului asap kemerahan dari bubuk racun berwarna merah.

Semenjak menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong, Keng Hong setiap hari diberi minuman racun sedikit demi sedikit oleh Kiam-ong sehingga dari mulut sampai ke perutnya, Keng Hong mengenal segala macam racun bahkan menjadi kebal.

Akan tetapi menghadapi hawa beracun berupa asap atau bubuk yang tersedot melalui hidung dan menyerang paru-paru, dia tidak kebal. Pengalamannya ketika dia roboh oleh racun saputangan merah itu membuat dia waspada. Biar saat itu dia baru saja lolos dari cengkraman maut yang dibawa jarum-jarum itu sedangkan posisi tubuhnya setengah berjongkok sehingga sukar baginya untuk mengelak, dia masih ingat akan bahaya ini maka dia telah menyedot napas dalam-dalam kemudian menutup saluran pernapasannya dan begitu gadis itu menubruk sambil mengebutkan saputangan ke arah mukanya, dia meniup ke arah saputangan itu dengan pengerahan tenaga lweekang.

Saputangan itu tiba-tiba saja membalik ke arah Cui Im sendiri tanpa dapat dicegah lagi oleh gadis ini yang menjadi terkejut dan menjerit. Tentu saja dia sudah memakai obat penawar dan saputangannya itu tidak akan meracuninya, akan tetapi karena saputangannya itu tiba-tiba menyerang ke arah mukanya, sejenak dia tidak dapat melihat apa-apa dan secara tiba-tiba pergelangan tangan kanannya terasa nyeri sekali sampai menjadi lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan. Kiranya pergelangan tangan kanannya telah kena disentil oleh telunjuk kiri Keng Hong.

Melihat betapa dia berhasil membuat gadis yang ganas itu sementara tidak berdaya, Keng Hong cepat meloncat untuk lari pergi dari situ. Akan tetapi selagi tubuhnya masih melayang di udara, tiba-tiba kaki kirinya dilibat sesuatu, kemudian kakinya tertarik ke belakang sehingga tanpa dapat dia cegah lagi tubuhnya terjungkal dan terbanting jatuh ke atas tanah!

Keng Hong cepat meloncat bangun dan seperti yang telah dia duga, Biauw Eng telah berdiri di hadapannya dengan senjatanya yang aneh, yaitu sabuk sutera putih yang kini ujungnya telah melibat kaki kirinya seperti ekor ular. Biauw Eng mengerahkan tenaganya menarik lagi untuk membuat Keng Hong terjungkal, akan tetapi pemuda itu telah mengerahkan tenaga ke kaki kirinya sehingga biarpun gadis yang lihai itu membetot-betot sedikit pun tubuhnya tidak bergeming!

Biauw Eng menjebikan bibirnya dan mendengus, sabuk yang melibat kaki itu tiba-tiba terlepas dan sinar putih berkelebat ketika sabuk itu bagaikan bernyawa telah meluncur ujungnya dengan kecepatan mengagumkan, kini menyerang seperti ular mematuk ke arah mata Keng Hong!

Pemuda ini terkejut sekali, cepat dia miringkan kepala dan berusaha untuk mencengkeram sinar putih itu. Akan tetapi ujung sabuk putih itu amat cepat gerakannya, tahu-tahu telah meluncur ke bawah dan tanpa dapat dielakan lagi oleh Keng Hong, ujung sabuk itu telah menotok jalan darahnya di tiga bagian secara bertubi-tubi. Sungguh lihai nona itu, gerakan sabuknya amat cepat sehingga dalam waktu sedetik saja ujung sabuk telah menotok jalan darah di kedua pundak disusul totokan di atas ulu hati!

Kalau hanya pendekar biasa saja terkena totokan berantai itu yang dilakukan dengan cepat dan keras karena tenaga lweekang tersalur melalui sabuk membuat ujung sabuk menjadi kaku, tentu roboh lemas tak mampu berkutik lagi. Untung bagi Keng Hong bahwa biarpun suhunya belum cukup menggemblengnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi, namun pemuda ini memiliki sumber tenaga sinkang yang amat kuat sehingga begitu tubuhnya disentuh pengaruh dari luar, otomatis sinkangnya bergerak dan hawa sakti ini cepatnya melebihi segala macam gerakan yang dapat dilakukan manusia, maka totokan-totokan itu sedikit pun tidak mempengaruhi jalan darah di tubuh Keng Hong, bahkan hampir tidak terasa olehnya. Sebaliknya, tangan Biauw Eng yang memegang sabuknya tergetar hebat karena tenaga totokan-totokan itu membalik dan menyerang tangannya sendiri!

Namun Biauw Eng yang merasa penasaran itu menerjang terus, kini ia memegang cambuknya di bagian tengah dan cambuk itu bergerak-gerak sedemikian rupa, kedua ujungnya menyerang cepat sehingga seolah-olah telah berubah menjadi ratusan banyaknya. Hebatnya, kini ujung cambuk tidak lagi menotok jalan-jalan darah yang diketahui gadis itu takkan ada hasilnya, melainkan menotok ke arah bagian-bagian berbahaya seperti kedua mata, telinga, tenggorokan, pusar dan bawah pusar, pergelangan tangan, siku, dan lutut.

Tentu saja Keng Hong menjadi sibuk sekali, selain mengelak ke sana ke mari juga dia mengibaskan kedua tangannya untuk menghalau sinar putih yang mengeroyoknya secara hebat itu. Selagi dia terdesak, tampak sinar merah berkelebat dan kiranya Cui Im telah pula membantu sumoinya!

"Cia Keng Hong menyerahlah kalau tidak ingin kami seret ke depan subo sebagai mayat!" bentak Cui Im yang di dalam hatinya masih merasa sayang kalau seorang pria seperti Keng Hong harus mati.






Tidak ada komentar: