*

*

Ads

FB

Sabtu, 02 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 026

Ia mengusahakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, akan tetapi senyumnya berubah menjadi menyeringai menakutkan, dan pandang matanya menjadi liar sehingga Cui Im dan Biauw Eng yang amat lihai itu pun sampai mudur-mundur ketakutan!

"Heh-heh-heh, terima kasih..... terima kasih Ji-wi Siocia (Nona Berdua) yang telah membebaskan diriku dari.... hemmm..... lintah-lintah itu....!"

Biauw Eng memandang tajam dan berkata halus,
"Keng Hong, kau simpanlah kembali ilmumu menyedot sinkang itu."

Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya.
"Tidak bisa.... tidak bisa....., disimpan bagaimana? Terlalu penuh tubuhku.... dadaku sakit, kepalaku mau meledak...., tenaga ini, mendorong-dorongku..... ahhh.....!"

Ia memegangi kepalanya dan meramkan kedua matanya. Ingin dia memukul, menendang, ingin dia merobohkan apa saja, dan keinginan ini timbul secara serentak, mendesak kepadanya menjadi seorang liar yang memuaskan nafsu untuk merobohkan dan membunuh, apa saja.

Enam belas orang yang telah terluka semua itu, akan tetapi tidak ada yang tewas karena kedua oang gadis itu memang tidak bermaksud membunuh mereka agar jangan mendatangkan bibit permusuhan kini juga memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Keadaan pemuda itu memang menyeramkan. Tidak saja mukanya menjadi merah seperti udang direbus, dan matanya jelalatan seperti mata setan, akan tetapi bahkan rambut kepalanya seperti berdiri satu-satu. Tanpa disadari dan dimengerti oleh Keng Hong sendiri, setelah kini tidak ada sinkang orang lain yang membanjiri tubuhnya, otomatis daya sedotnya lenyap dan kini sebaliknya berubah menjadi daya serang yang amat luar biasa.

Memang sebetulnya ketika Sin-jiu Kiam-ong mengoper sinkangnya kepada Keng Hong, kakek ini tidak sempat lagi untuk memberi pelajaran tentang menguasai sinkang yang kelebihan di dalam tubuh muridnya. Karena paksaan ini, terjadilah salah susunan salah kerja sehingga sinkang yang membanjiri ke dalam tubuh pemuda itu menjadi liar, ibarat ia ditampung tanpa ada pintu untuk memasukan dan mengeluarkan air, datangnya membanjiri secara liar.

Kalu saja Keng Hong sudah dapat mengusai dirinya sendiri, tentu dia akan dapat mengatur sehingga hawa yang masuk disesuaikan dengan tempatnya, dan dapat pula mengatur bagaimana untuk membuka pintu mengeluarkan sinkang dalam penggunaan sesuai dengan keperluannya.





Kini, setelah secara liar hawa sinkang membanjiri masuk, keadaannya menjadi terbalik. Pintu masuk tertutup dan pintu keluar sukar dibuka kalau tidak dipaksa dengan pukulan dan tendangan, tidak dipaksa untuk bertanding! Maka hawa pun mendesak-desak dan membuat tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terlalu penuh diisi hawa, siap untuk meletus setiap saat.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Belasan ekor kuda mendatangi dari depan menuju ke tempat itu. Binatang-binatang itu adalah binatang tunggangan para murid ketiga partai persilatan itu yang tadi meninggalkan kuda mereka di dalam hutan sebelah agar mereka dapat mengepung kereta tanpa mengeluarkan suara.

Kini belasan ekor kuda itu berlari-larian karena dikejutkan oleh serangan seekor harimau, dan dalam keadaan panik belasan ekor kuda itu lari menerjang ke arah orang-orang yang sedang terheran-heran memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak.

Biarpun mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun pada waktu itu mereka sedang menderita luka dan sebagian besar hampir habis tenaga sinkangnya tersedot oleh Keng Hong, maka kini menghadapi pasukan kuda yang menerobos liar ini mereka tak sempat untuk menghindarkan diri. Dan jangan dianggap remeh rombongan kuda yang sedang panik dan ketakutan ini. Mereka akan menerjang apa saja dan akan menginjak-nginjaknya sampai lumat!

Keng Hong dapat melihat keadaan bahaya ini. Biarpun dia sedang tersiksa oleh hawa sinkang yang memenuhi badannya, melihat keadaan bahaya mengancam orang-orang itu, dia lalu cepat meloncat.

Tubuhnya bagaikan sebuah bola karet penuh gas, begitu digerakan lalu meluncur cepat sekali menghadang rombongan kuda. Pemuda ini secara aneh sekali telah menjadi buas dan ingin sekali menghancurkan atau menbunuh apa yang merintang di depannya. Hal ini adalah disebabkan dorongan sinkang yang berlebihan itu sehingga dia tersiksa dan ingin melampiaskan rasa marah yang timbul akibat siksaan ini.

Keadaannya itu tiada bedanya dengan seorang yang diserang sakit gigi mnjadi marah-marah dan ingin mengamuk. Maka kini melihat betapa rombongan kuda itu mengancam keselamatan orang-orang yang mederita luka akibat dirinya, dia lalu mendorong-dorongkan kedua lengan dan kakinya sambil mengeluarkan seruan-seruan yang aneh bunyinya karena suara ini digerakan sinkang yang padat, dikeluarkan untuk mengimbangi gerakan-gerakan pukulan dan tendangan itu.

Akibatnya hebat sekali! Belasan ekor kuda itu seperti diamuk angin taufan, roboh dan terbanting ke kanan kiri, berkelojotan sambil mengeluarkan suara meringkik-ringkik kesakitan. Di antara suara hiruk-pikuk ini, Keng Hong sudah menerjang maju terus dan terdengarlah gerakan dahsyat.

Dalam waktu beberapa menit saja, belasan ekor kuda sudah menggeletak tak bernapas lagi, dan paling belakang tampak seekor harimau besar berkelojotan sekarat! Adapun Keng Hong sendiri berdiri tegak, mukanya penuh peluh, mukanya masih merah sekali akan tetapi jalan prnapasannya sudah tenang dan kini wajahnya tidak beringas seperti tadi, melainkan tenang, bahkan kelihatannya lega.

Memang kini telah lapang dadanya, sinkang yang menggelora di dalam tubuhnya telah dia salurkan keluar melalui pukulan dan tendangan yang mengakibatkan tewasnya enam belas ekor kuda ditambah seekor harimau besar!

Biauw Eng dan Cui Im terbelalak, terpesona dan penuh kekaguman mereka memandang Keng Hong. Kini mereka berdua maklum bahwa kalau Keng Hong menghendaki, pemuda itu tentu dapat membebaskan diri dari mereka dan jika mereka menggunakan kekerasan, mereka takan dapat menangkap pemuda aneh itu.

Namun pemuda itu tidak pernah melawan dan menurut saja menjadi orang tangkapan mereka berdua! Teringat akan ini, Cui Im dan Biauw Eng bergidik. Pada saat itu, terjadilah hal yang sama dalam hati dua orang murid Lam-hai Sin-ni, yaitu bahwa cinta kasih mereka jatuh terhadap Keng Hong!

Cui Im yang telah berhasil merayu Keng Hong sehingga pemuda yang mewarisi ilmu kepandaian juga mewarisi pula sifat mendiang Sin-jiu Kiam-ong itu pernah melayani bermain cinta, kini benar-benar menghendaki pemuda itu menjadi kekasihnya untuk selamanya. Bukan hanya karena Keng Hong seorang pemuda yang tampan dan gagah, pula seorang yang masih jejaka sebelum bertemu dengannya, juga terutama sekali karena Keng Hong memiliki ilmu kepandaian mujijat, di samping ini menjadi pewaris pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Kalau dia dapat memiliki pemuda ini sampai selamanya, atau setidaknya sampai dia dapat mengoper semua ilmu dan pusaka itu, alangkah akan senang hatinya!

Adapun perasaan cinta kasih yang mulai bersemi di hati Biauw Eng adalah cinta kasih yang wajar dari seorang gadis yang selamanya belum pernah jatuh cinta terhadap seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Biauw Eng melihat adanya sifat luar biasa pada diri Keng Hong ini, sifat kegagahan yang aneh dan sukar dicari keduanya. Hatinya jatuh, akan tetapi sesuai dengan sifatnya yang pendiam dingin dan keras, tentu saja tidak ada sesuatu pun terbayang pada wajah atau pandang matanya, berbeda dengan Cui Im yang memandang Keng Hong penuh nafsu menyala yang terbayang pada wajahnya yang menjadi kemerahan dan sinar matanya yang bersinar-sinar.

Enam belas orang murid-murid partai persilatan besar itu kini merasa putus harapan untuk dapat merampas murid Sin-jiu Kiam-ong seperti yang mereka harapkan semula, sesuai dengan tugas yang mereka terima dari guru-guru mereka. Tadinya menghadapi dua orang murid Lam-hai Sin-ni, mereka masih mempunyai harapan untuk berhasil. Biarpun mereka itu terdiri dari empat orang murid Hoa-san-pai, tiga orang murid Siauw-lim-pai, dan sembilan orang murid Kong-thong-pai, namun karena ketiganya dari partai-partai persilatan yang bersahabat, mereka telah bersatu untuk merampas Keng Hong agar semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dapat ditemukan dan mereka selain dapat mengambil benda-benda pusaka yang dulu dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong, juga mendapat bagian pusaka-pusaka lain sebagai "bunganya".

Akan tetapi setelah mereka menyaksikan betapa murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi tawanan kedua orang murid Lam-hai Sin-ni itu turun tangan dan ternyata memiliki ilmu yang mengerikan dan amat lihai seperti iblis sendiri, bahwa pemuda aneh itu membantu dua orang nona yang menjadi penawannya, mereka kehilangan harapan untuk melanjutkan perampasan dengan kekerasan. Dengan hati penuh kemarahan mereka berpendapat bahwa tentu murid Sin-jiu Kiam-ong ini berwatak seperti mendiang gurunya dan kini tergila-gila kepada dua orang murid iblis betina yang cantik itu sehingga malah membantunya.

"Amitohud......, mendiang Sin-jiu Kiam-ong memiliki dua sifat, yaitu sifat pendekar besar yang gagah perkasa dan sifat kenakalan lain yang amat buruk sehingga beliau mempunyai banyak musuh. Kini muridnya agaknya tidak mewarisi sifat yang baik itu melainkan mewarisi sifat buruknya!" kata seorang di antara tiga murid Siauw-lim-pai yang berpakaian pendeta dan berkepala gundul.

Keng Hong tersenyum, akan tetapi hatinya panas. Gurunya adalah seorang yang amat dihormat dan disayangnya, merupakan orang satu-satunya yang amat baik terhadapnya. Kini gurunya sudah mati namun masih saja dipercakapkan orang! Ia lalu memandang hwesio itu dan menjawab.

"Losuhu, sudah jamak bahwa manusia itu mempunyai dua sifat, baik dan buruk. Baik dan buruk yang hanya disebut mulut manusia dan menurutkan penilaian manusia pula disesuaikan dengan sifat ingin enak sendiri. Yang menguntungkan bagi dirinya disebut baik, yang merugikan disebut buruk. Aku tidak akan menyangkal, seperti juga suhu, bahkan aku pun tentu memiliki sifat-sifat buruk di samping sifat-sifat baik. Setidaknya, orang-orang seperti mendiang suhu dan aku masih berterus terang, mengakui kelemahan sendiri. Sebaliknya, Losuhu dan anak murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang tergolong sebagai pemeluk-pemeluk dan pemimpin agama yang berkewajiban membimbing manusia ke arah kebaikan. Sekarang Sam-wi Losuhu (Bertiga Bapak Pendeta) bukan membawa-bawa kitab suci untuk meberi wejangan, sebaliknya membawa-bawa toya untuk menghantam dan membunuh orang! Apakah pakaian pendeta dan dibuangnya rambut kepala itu hanya untuk kedok belaka?"

"Omitohud.....! Juga mulutnya jahat seperti gurunya!" teriak pendeta Siauw-lim-pai ke dua.

Cui Im tertawa terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan.
"Bagus sekali, Keng Hong! Memang mereka itu monyet-monyet berbulu berkedok ular! Kepalanya gundul akan tetapi hatinya berbulu, hi-hi-hik!"

Wajah Keng Hong menjadi merah. Ucapan dan sikap Cui Im tidak menyenangkan hatinya. Dia tadi mengeluarkan ucapan dari hatinya untuk membela gurunya, bukan seperti Cui Im yang semata-mata mengejek. Maka dia lalu menjura kepada tiga orang hwesio itu dan berkata.

"Aku tahu bahwa mendiang suhu mempunyai hutang kitab-kitab Seng-to-cin-keng dan I-kiong-hoan-hiat kepada Siauw-lim-pai. Aku berjanji, kalau kelak aku berhasil mendapatkan kitab-kitab itu, pada suatu hari aku akan mengembalikannya kepada Siauw-lim-pai."

Tiga orang hwesio itu hanya mendengus dan seorang di antara mereka berkata,
"Pinceng bertiga hanya memikul tugas, kesemuanya akan pinceng laporkan kepada suhu."

Setelah berkata demikian, mereka membalikan tubuh dan melangkah pergi dengan kepala tunduk.

"Ihhh, kenapa begitu bodoh, Keng Hong? Dari pada kedua kitab penting itu diserahkan kepada setan-setan gundul itu, lebih baik kau berikan kepadaku!" kata Cui Im pula dengan sikap genit, sama sekali tidak peduli bahwa di situ masih ada tiga belas orang lain.

Dia sama sekali tidak menyembunyikan sikapnya yang terang-terangan merayu pemuda itu dengan senyum bibir dan kerling mata memikat.

Wanita cantik baju hijau, murid Hoa-san-pai melihat ini lalu mengeluarkan suara mendengus tanda jijik dan berkata,

"Murid Sin-jiu Kiam-ong memang tidak ada bedanya dengan gurunya! Gurunya laki-laki cabul muridnya mana bisa berhati bersih? Kalau dia ini seorang bersih dan gagah, tentu menginsyafi kebiadaban gurunya terhadap Hoa-san-pai, sedikitnya tentu akan mengembalikan pedang pusaka Hoa-san-pai yang telah dicurinya. Akan tetapi, dia malah bersahabat dengan murid iblis betina Lam-hai Sin-ni. Mengharapkan apa lagi? Burung gagak takkan berkawan dengan burung hong, orang jahat tentu memilih kawan kaum sesat! Lebih baik kita pergi dan melaporkan kepada suhu!"

Kalau saja murid perempuan Hoa-san-pai itu hanya memaki-makinya, Keng Hong tentu tidak akan mengambil pusing. Akan tetapi gadis itu membawa-bawa nama gurunya, bahkan memaki-maki gurunya. Keng Hong memandang dengan mata marah, kemudian dia tersenyum sindir dan berkata.

"Nona yang baik, kalau aku tidak salah sangka, bibi atau bibi tuamu yang bernama Cui Bi dan yang lari dari Hoa-san-pai karena cintanya kepada mendiang suhu, tentu jauh lebih manis dari padamu, baik mukanya maupun budinya! Kalau tidak begitu, mana suhu mau membalas cintanya? Tentang pedang Hoa-san-pai, jangan khawatir, kalau aku mendapatkannya, pasti kukirim kembali ke Hoa-san-pai! Aku bersahabat dengan siapapun juga, adalah hak kebebasanku dan tentang kaum bersih dan kaum sesat, aku tidak tahu.”






Tidak ada komentar: