*

*

Ads

FB

Sabtu, 02 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 022

"Hi-hi-hik, jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, biarpun gurumu sendiri yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?"

"Hah, Ang-kiam Tok-sian-li! kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan baik-baik. akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih unggul di antara kita. Yang unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu Kiam-ong!"

"Bagus, kalian sudah bosan hidup!"

Cui Im meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat dan menerjang, Cui Im mengeluh karena baru teringat ia akan keadaanya, akan tenaga sinkang yang sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi ia bermain cinta dengan Keng Hong. Apalagi sekarang yang dihadapinya adalah dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk Bu-tek Su-kwi!

Kalau dalam keadaan normal sekalipun, tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua orang ini dan mungkin hanya akan dapat mengalahkan seorang di antara mereka. Akan tetapi sekarang, dengan sinkangnya habis setengahnya lebih, melawan seorang di antara mereka sekalipun ia takkan menang.

Keng Hong yang kini sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi, melihat betapa Cui Im terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata golok yang berjuluk Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam beberapa gebrakan saja ia akan roboh.

Cui Im mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biarpun ia sama sekali tidak mampu melakukan serangan balasan namun ia masih dapat mempertahankan dirinya dengan gerakan pedang dan juga sambil mengelak ke sana ke mari. Ia terdesak hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai sepuluh jurus lagi gadis itu tentu akan roboh.

"Sumoi, tidak lekas membantuku, menunggu apa lagi?" Cui Im yang repot itu akhirnya berteriak-teriak.

Keng Hong hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, kemudian berkelebat segulung cahaya putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah dua orang kakek yang mendesak Cui Im dan mereka cepat menangkis dengan pedang.

Namun mereka berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu telah terluka mengeluarkan darah. Yang melukai mereka adalah dua butir bola putih yang halus permukannya namun mempunyai duri-duri runcing dan ketika dua bola tadi berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan melukai lengan mereka. Ketika dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai, mereka terkejut dan cepat menjura ke arah kereta.





"Kiranya Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga hadir di sini. Maafkan kelancangan kami!" setelah berkata demikian, kakek kembar itu lalu membalikan tubuh dan berlari pergi.

"Heiii, kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah lari, pengecut!" Cui Im berteriak-teriak menantang.

"Suci, jalan terus!" terdengar gadis baju putih yang kini dikenal julukannya oleh Keng Hong berkata halus.

Kereta berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong merebahkan diri telentang lagi, diseret-seret kereta. Ia bergidik kalau mengingat julukan gadis baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung). Mengapa berkabung? Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai, sabuk yang kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola itu pun putih!

“Cepatlah, suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainya akan muncul pula."

"Untung engkau berada di sini , sumoi, kalau tidak ..... wah berabe juga. Aku..... aku kehilangan sebagian besar sinkang di tubuhku, karena ..... bocah setan itu!"

"Apa? Mengapa dan bagaimana?" Song-bun Siu-li bertanya heran.

"Benar, aku disedot habis olehnya, keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana aku pun tidak tahu. Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku..... tersedot habis..... uhhh....."

"Suci, diam! kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!"

Kereta berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka itu. Dia sendiri pun tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya? Ia teringat akan peristiwa di Kun-lun-san, di mana tanpa dia sadari dia pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain. Akan tetapi ketika itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam tadi dengan Cui Im...... ah., dia tetap tidak mengerti. Diam-diam dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu. Hanya dengan dua butir bola saja dia mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi amat lihai ilmu goloknya.

Lewat tengah hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan jauh di depan menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya karena dari jauh sudah tampak genteng-genteng rumah yang kemerahan.

Keng Hong yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga debu yang mengebul dari roda kereta itu seolah-olah dilemparkan kepadanya semua, membuat rambut dan alisnya menjadi putih, juga mukanya menjadi putih semua. Bernapas pun sukar di dalam kepulan debu yang tebal ini. tiba-tiba Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyambar dua batang anak panah yang menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu menjadi kagum.

"Jalan terus, suci. Biar aku yang melayani mereka!" berkata Song-bun Siu-li dengan suara dingin.

Kini berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu telah berdiri di atap kereta, lalu minta pinjam cambuk kuda yang tadi dipegang Cui Im. Cambuk ini cukup panjang dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kananya memegang gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tak bergerak, hanya matanya saja yang memandang tajam ke depan.

Tiba-tiba dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui im dan yang ke dua ke arah Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini, biarpun warnanya juga hitam seperti tadi, namun mengandung kecepatan dan tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing.

Cui im tidak mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan mencurahkan seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya dan dibalapkanya cepat. Ia sudah percaya penuh akan penjagaan sumoinya dan kepercayaan ini pun tidak disia-sia. Terdengar bunyi cambuk meledak-ledak, dan.....tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan dibelit ujung cambuk.

Keng Hong melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu menggerakan cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri dan..... terdengar jerit-jerit mengerikan disusul terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon. Ternyata nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada pemiliknya masing-masing dan secara kontan keras telah membalas mereka!

Tiba-tiba terdengar suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara raksasa yang sakit, padahal suara itu adalah suara banyak orang yang mengucapkan sebuah kalimat secara berbareng,

"Atas perintah Pak-san Kwi-ong, kami mohon tawanan murid Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di hutan ini!"

"Suci, berhenti sebentar," kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.

Kereta berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang mengurung kereta itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam gerombolan-gerombolan.

Terdengar suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan, suaranya masih tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan tenaga khikang sehingga menjadi nyaring dan bergema lebih dahsyat daripada suara banyak orang tadi.

"Murid Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li yang melindunginya, siapapun tidak boleh mengganggu tawanan!"

Keng Hong yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia tidak tahu siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan kelihatan galak-galak itu, akan tetapi yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan rebutan! Dijadikan rebutan di antara tokoh-tokoh kang-ouw, bukan tokoh-tokoh kaum bersih seperti ketika gurunya dahulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat lihai.

Namun, baik tokoh bersih maupun tokoh sesat, semua memiliki pamrih yang sama yaitu menghendaki Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhunya. ini timbullah keinginan hatinya untuk mencari dan mendapatkan pusaka peninggalan suhunya. Kalau semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu, sudah barang tentu amat berharga dan penting.

Kini para pengurung itu ketika mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, menjadi ragu-ragu dan mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih. Tangan masing-masing memegang sehelai rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia!

Melihat rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar berkulit hitam arang yang matanya putih telinganya seperti telinga gajah dan badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong. Kakek itu pun senjatanya sehelai rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya bedanya, empat orang laki-laki ini, rantainya bertengkorak satu.

"Kami Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan perintah suhu. Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian, mengingat akan persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu."

"Hi-hi-hik! Enak saja membuka mulut!" Cui Im tertawa mengejek. "Kami yang susah payah menawan, kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik kalian pergi dari sini dan sampaikan kepada Pak-san Kwi-ong bahwa kalau dia menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya dari tangan guruku!"

"Suci, tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan jangan mengganggu kami. Betapapun juga, kami tidak akan menyerahkan tawanan!" kata gadis baju putih sambil menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tinggi besar itu.

"Hemmm, kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut menjadi pengawal tawanan penting!"

"Bagus, majulah!"

Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun. Cui Im masih belum normal tenaga sinkangnya, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidaklah selemah tadi karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih nafas menghimpun tenaganya yang tercecer. Ia masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Adapun gadis baju putih itu sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring.

Empat orang tinggi besar itu menyambut dua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka dan terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu bertenaga besar sekali dan dari mulut tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih yang beracun!

Pertandingan dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di belakang kereta dapat melihat jelas betapa sesungguhnya Cui Im hanya melawan seorang saja sedangkan yang tiga orang lawan diborong oleh Song-bun Siu-li. Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu.

Tiga rantai tengkorak yang mengepungnya tak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa naga-naga dari Pak-san itu benar-benar berkepandaian tinggi, malah kalau dibandingkan dengan Thian-te Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya masih lebih berat empat orang ini. Namun pecut di tangan Song-bun Siu-li amat lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya.

Asap putih yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun, akan tetapi menghadapi ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah karena guru mereka adalah ahli racun nomor satu di dunia ini! baik Song-bun Siu-lu maupun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai saputangan berwarna kuning yang amat harum, menggosok-gosokan saputangan masing-masing dengan keras ke hidung dan mulut mereka, kemudian menyimpan kembali saputangan itu lalu menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap beracun.






Tidak ada komentar: