*

*

Ads

FB

Jumat, 02 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 206

“Ibu kenapa Ayah belum juga pulang?” anak laki-laki berusia lima tahun itu merengek kepada ibunya.

Wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan masih amat cantik itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan nada suara yang merasa kesal hatinya.

“Gara-gara encimu! Akan tetapi kurasa tak lama lagi dia akan pulang Bun Houw!”

Wanita itu adalah Sie Biauw Eng atau Nyonya Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, sedangkan anak laki-laki itu adalah Cia Bun Houw, anak ke dua atau putera tunggal suami isteri pendekar ini. Cin-ling-pai yang mempunyai banyak anggauta atau anak murid itu kelihatan sunyi setelah Cia Keng Hong pergi, apalagi setelah lebih dulu Giok Keng lolos dari tempat itu.

“Akan tetapi aku sudah rindu kepada Ayah dan Cici, Ibu.”

“Sabarlah, Houw-ji (Anak Houw). Seorang calon pendekar harus memiliki kesabaran yang besar, dan pula, ayahmu tentu baru akan pulang kalau sudah bertemu dengan encimu Giok Keng.”

“Dasar Enci yang nakal, pergi saja kerjanya! Ibu, kalau aku sudah besar, apa aku juga boleh merantau seperti Enci Keng?”

“Tentu saja boleh, akan tetapi engkau harus sudah dewasa dan kepandaianmu untuk menjaga diri sudah cukup kuat. Karena itu kau harus rajin berlatih, Houw-ji. Mari kita ke tempat latihan, pasangan kuda-kudamu yang kau latih kemarin itu masih belum baik benar, juga gerakan langkah kakimu masih kurang tepat.”

Ibu dan anak itu lalu pergi ke kebun belakang dimana mereka biasanya berlatih silat. Sebagai putera suami isteri pendekar yang berilmu tinggi itu, tentu saja sejak kecil Bun Houw telah dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh orang tuanya dan ketika ayahnya pergi sampai berbulan-bulan lamanya, ibunyalah yang melatihnya. Tentu saja di samping pelajaran ilmu silat yang baru dilatih dasar-dasarnya, anak itu pun diberi pelajaran membaca dan menulis.

Selagi ibu yang memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat ini memberi petunjuk kepada puteranya, di luar rumah tempat tinggal Ketua Cin-ling-pai itu terjadi pula hal yang menarik.

Lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang dikepalai oleh Kwee Kin Ta, berhadapan dengan dua orang pendeta gundul yang berjubah kotak-kotak merah. Lima orang itu tentu saja menyambut kedatangan dua orang pendeta itu dengan sikap hormat, apalagi melihat bahwa dua orang itu sudah tua dan kelihatan saleh. Yang seorang memegang sebatang tongkat untuk membantunya jalan mendaki puncak, yang ke dua sambil melangkah tiada hentinya mempermainkan biji-biji tasbihnya seperti membaca doa.

Setelah menyambut dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan, Kwee Kin Ta bertanya,

“Bolehkah kami mengetahui siapa nama Ji-wi Losuhu (Dua Bapak Pendeta) yang terhormat, dari kuil mana dan ada keperluan apakah mengunjungi Cin-ling-pai?”






Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Hun Beng Lama yang membawa tasbih dan Lak Beng Lama yang memegang tongkat. Dengan sikap dan suara halus Hun Beng Lama menjawab,

“Apakah Sicu sekalian ini murid-murid Cin-ling-pai?”

“Benar, Losuhu.”

“Kedatangan kami adalah untuk mencari seorang yang bernama Yap Kun Liong,” kata pula Hun Beng Lama.

Lima orang murid Cin-ling-pai itu memandang heran dan beberapa orang anak murid yang melihat dari jauh kini datang mendekat karena ingin tahu. Maklumlah tempat yang sunyi dan tenteram itu jarang menerima kunjungan orang luar. Tentu saja Kwee Kin Ta dan para sutenya sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong itu, nama yang dipuji-puji guru dan ibu guru mereka.

“Dia tidak berada di sini, Losuhu,” jawab Kwee Kin Ta tanpa ragu-ragu lagi.

“Kalau begitu di mana dia?”

Tiba-tiba Hun Beng Lama bertanya dan pandang matanya tajam penuh selidik. Melihat sinar mata yang amat tajam berpengaruh itu, Kwee Kin Ta menjadi terkejut, juga curiga.

“Kami tidak tahu dia berada dimana,” jawabnya.

“Kalian tidak tahu apa-apa, baiklah pinceng hendak menemui Ketua Cin-ling-pai saja!”

Kedua orang pendeta itu terus melangkah hendak memasuki pintu depan rumah tinggal Cia Keng Hong

“Eh, nanti dulu, Ji-wi Losuhu! Guru kami juga sedang tidak ada, akan tetapi kalau hanya urusan derma untuk kuil saja cukup dapat diselesaikan dengan kami sebagai wakil ketua kami.”

“Hemm, pinceng tidak membutuhkan dermaan, hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai...!” kata pula Hun Beng Lama dan bersama sutenya dia terus saja masuk ke dalam rumah.

“Tahan...!” Kwee Kin Ta berseru marah. “Harap Ji-wi Losuhu sebagai orang-orang beribadat tahu sedikit aturan dan tidak menyelonong masuk begitu saja tanpa ijin! Biarlah kami laporkan kepada Subo (Ibu Guru) kami!”

Dua orang pendeta itu berhenti dan saling pandang, kemudian mereka mengikuti Kwee Kin Ta dan para sutenya yang pergi menuju ke taman bunga di belakang rumah, dimana ibu guru mereka biasanya sedang melatih puteranya.

Melihat betapa dua orang pendeta tua yang aneh itu mengikuti mereka, mereka tidak dapat melarang dan cepat-cepat memasuki taman.

“Heii, ada apakah kalian datang ke sini, Kin Ta?” Sie Biauw Eng menegur tak senang karena merasa terganggu.

“Maaf, Subo. Ada dua orang pendeta yang ingin berjumpa dengan Kun Liong, setelah teecu beri tahu tidak ada, lalu memaksa hendak bertemu dengan Suhu.”

Sie Biauw Eng mengangkat muka dan melihat dua orang pendeta tua itu memasuki taman. Sekelebatan saja mengertilah nyonya ini bahwa dua orang pendeta yang kelihatan lemah dan halus itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan agaknya merupakan orang-orang yang biasa diturut kehendaknya sehingga kini mereka berani memasuki taman tanpa ijin.

“Kalian minggirlah!” katanya kepada para anggauta Cin-ling-pai yang memenuhi taman, kemudian dengan langkah tenang nyonya ketua ini maju menyambut kedatangan dua orang pendeta itu.

Melihat pakaian mereka, Sie Biauw Eng dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan pendeta-pendeta Lama dari barat, maka dia bersikap hati-hati karena maklum bahwa pendeta-pendeta Lama banyak yang memiliki kepandaian tinggi.

Setelah berhadapan, Sie Biauw Eng yang berpemandangan tajam itu dapat melihat dari sinar mata kedua orang pendeta itu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki sin-kang kuat sekali, maka diam-diam dia terkejut dan cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat yang dibalas oleh mereka.

“Selamat datang di Cin-ling-san, Ji-wi Losuhu. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah Ji-wi hendak menemui suamiku?” tanya Sie Biauw Eng dengan suara lembut namun pandang matanya penuh selidik.

“Maafkan pinceng, Toanio. Kedatangan kami berdua ini adalah untuk mencari seorang bernama Yap Kun Liong karena urusan pribadi. Kami tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai.”

“Silakan Ji-wi duduk di ruangan tamu dimana kita dapat bicara dengan sebaiknya.”

Hun Beng Lama menggerakkan tangan kirinya digoyang-goyang.
“Tidak usah, Toanio. Terima kasih atas kebaikanmu. Disini pun sama saja.”

“Losuhu, disini tidak ada orang yang bernama Yap Kun Liong.”

Kedua orang pendeta itu memandang dengan tajam penuh selidik.
“Benarkah demikian? Bukankah ada hubungan antara Ketua Cin-ling-pai dengan pemuda bernama Yap Kun Liong itu?”

“Tidak salah. Dia memang murid keponakan suamiku, akan tetapi pada saat ini Yap Kun Liong tidak berada di sini. Sebagai Bibi Gurunya, bolehkah aku mengetahui apa maksud Ji-wi mencari Yap Kun Liong.”

“Kami hendak menangkapnya,” jawab Hun Beng Lama dengan tenang.

Pendeta ini terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri maka dia merasa tidak perlu menyembunyikan niatnya dari siapa pun yang toh tidak akan dapat menghalanginya.

Jawaban ini tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Akan tetapi kalau para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenang-tenang saja.

“Ibu...,kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, kenapa dua orang ini hendak menangkap orang? Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?”

“Hushhh, Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur.”

Sie Biauw Eng kaget mendengar kelancangan mulut puteranya. Dua orang pendeta itu menjadi merah mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam mereka terkejut dan kagum melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah nampak memiliki tulang baik dan bakat untuk menjadi seorang pandai!

“Ji-wi Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia saja karena yang dicari tidak ada. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia dan dari golongan manakah?”

“Pinceng adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari jauh sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk menangkap pemuda yang bernama Yap Kun Liong. Kalau dia tidak ada, biarlah kami bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena sebagai paman gurunya tentu akan tahu dimana adanya pemuda itu.”

“Sayang sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung, sudah beberapa bulan belum pulang, dan aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan suamiku pada saat ini.”

Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama menarik napas panjang.

“Huhhh... sungguh tidak kebetulan sekali...!” Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya. “Ada jalan baik! Toanio, urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang terjadi di dunia ini, Yap Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia tidak ada, suamimu tidak ada dan engkau tidak tahu dimana adanya mereka, maka suamimu sebagai paman gurunya harus bertanggung jawab. Karena itu, sebagai gantinya, pinceng akan membawa puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke Tibet mengantarkan Yap Kun Liong, kami akan mengembalikan puteramu.”

“Pendeta iblis keparat!”

Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Memang pada dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani dan bahkan agak ganas. Di dalam cerita“Pedang Kayu Harum” digambarkan dengan jelas akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia telah menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, Cia Giok Keng, telah dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar.

Namun begitu tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang mercon yang dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi seekor singa betina!

Begitu mendengar niat pendeta itu akan menculik puteranya untuk kelak “ditukar” dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya terayun tubuh puteranya mencelat ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya,

“Kin Ta, jaga adikmu!” kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya, mengirim pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali ke arah jalan darah di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama!

“Omitohud...!”

Hun Beng Lama terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nyonya cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu. Hanya dengan susah payah, mencelat ke sana-sini sambil menggerakkan tasbihnya, dia dapat menghindarkan diri, lalu tasbihnya diputar mengeluarkan suara berketrik menulikan telinga mereka yang mendengarnya.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: