*

*

Ads

FB

Jumat, 02 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 205

“Susiok, aku tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!”

Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan Hong Ing yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi.

“Mengapa, Hong Ing? Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini? Bukankah kami memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua anggauta bersikap hormat kepadamu?” tanya Sin Beng Lama.

“Benar Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus dosa ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan disakiti hati orang. Maka, aku hendak menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti ibuku. Karena ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah mengutuknya dan aku sebagai puterinya tentu akan mereka kutuk pula.”

“Omitohud... engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang dara yang suci dan bersih hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa.” kata Sin Beng Lama dengan pandang mata penuh kagum.

“Aku memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam aku telah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan enam bermuka tiga...”

“Siancai...!”

“Omitohud...!”

Tiga orang pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut mereka berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong Ing, pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali!

“Keponakanku yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan sudah semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena ayahmu pasti akan mengamuk kalau mendengar engkau akan mengorbankan dirimu kepada Dewa.”

“Ayah sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Dan urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang membuat aku mengambil keputusan ini. Ibu telah berdosa kepada Dewa, juga Ayah telah berdosa, maka terlahir aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan mengorbankan diri kepada Dewa.”

“Bagus, bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat menjadi kekasih Dewa, Hong Ing.”

“Akan kuusahakan agar Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita ini...”






“Omitohud...!” Tiga orang itu berseru dengan girang sekali.

“Akan tetapi,” Sin Beng Lama berkata lagi, meragu. “Kami telah berjanji kepada ayahmu untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan mengganggumu...”

“Susiok, urusan ini tidak ada pihak yang mendesak atau didesak. Susiok sekalian telah memperlakukan aku dengan baik, Susiok sekalian tidak melanggar janji kepada Ayah. Aku mau mengorbankan diriku kepada Dewa atas kehendakku sendiri, secara suka rela. Biarlah kalau sudah tiba masanya, aku sendiri yang akan memberi penjelasan kepada Ayah dan aku tanggung dia tidak akan dapat melakukan apa pun kecuali menyesali dosa-dosanya dahulu.”

“Ahhh, engkau hebat dan baik sekali, Anakku...”

Sin Beng Lama sampai harus mengusap dua titik air matanya saking terharu hatinya. Tentu saja apa yang diusulkan oleh dara itu amat besar artinya bagi mereka. Bayangkan saja. Keponakannya akan menjadi kekasih Dewata! Menjadi kekasih Dewa Syiwa yang maha sakti dan hal itu tentu akan mengangkat kedudukan rohani mereka! Dengan jadinya seorang keponakan mereka menjadi kekasih Dewa, maka sorga dan nirwana sudah berada di telapak tangan mereka!

“Bukan aku yang baik, Susiok, karena itu hanyalah merupakan kewajibanku menebus dosa orang tua. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan dari Susiok untuk memenuhi permohonanku yang terakhir yang juga merupakan syarat tunggalku untuk melakukan pengorbanan diri.”

“Permohonan terakhir seorang perawan suci merupakan perintah! Katakanlah apa yang harus kami lakukan?”

Hun Beng Lama berkata penuh semangat karena dia yakin berdasarkan kepercayaannya bahwa kelak dia pun akan menerima anugerah dan ikut memperoleh sepercik berkah dari Dewa.

“Aku mendengar bahwa seorang yang dengan setulusnya hati hendak berbakti kepada Dewa haruslah dengan hati bersih dari segala perasaan dendam, benci dan kemarahan.”

“Benar sekali! Memang Dewa menghendaki seorang anak perawan yang suci dan bersih lahir batin.”

“Itulah yang menjadi penghalang, Susiok. Aku pernah mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia telah memarahkan hatiku, membuatku menaruh dendam dan merubah cintaku menjadi kebencian. Oleh karena itu, sebelum melihat dia diseret ke depan kakiku, perasaan itu akan terus berada di dalam hatiku, membuat aku kurang bersih jika kelak menghadap Dewa yang agung. Maka, aku mohon kepada Susiok agar suka turun gunung dan menangkap pemuda yang menyakitkan hatiku itu. Setelah melihat dia tertangkap di sini, barulah aku dengan hati lapang dan bersih akan mengorbankan diri dengan suka rela dan biar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sebagai hukumannya.”

“Pemuda itu... yang menemanimu di pulau kosong itu?” tanya Sin Beng Lama.

“Benar dialah orangnya. Bagaimana Susiok dapat menduganya demikian tepat?”

“Pinceng sudah mendengar kata-katanya ketika membelamu, dan melihat engkau menampar mukanya...”

“Memang dia amat menyakitkan hatiku, Susiok. Karena itu, kalau Susiok sekalian dapat memenuhi permintaanku, yaitu menangkap pemuda itu dan membawanya ke sini, maka siaplah aku untuk mengorbankan diri kepada Dewa.”

“Benarkah kata-katamu itu?”

“Aku berjanji dan janji lebih berharga daripada mati!”

“Baik, kalau begitu, biarlah kedua Sute Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memenuhi permintaanmu itu, menangkap pemuda yang kau maksudkan dan menyeretnya ke depan kakimu. Hun Beng Sute dan Lak Beng Sute, pemuda itu cukup lihai akan tetapi pinceng yakin bahwa Sute berdua akan mampu membekuknya.”

“Baik, Suheng,” jawab Hun Beng Lama. “Hong Ing, siapakah nama pemuda itu dan dimana adanya dia? Apakah masih di pulau kosong itu?”

“Bukan, bukan di sana. Kami berdua hanya menggunakan tempat itu sementara saja, Susiok. Setelah aku pergi ikut dengan Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) dia pasti segera meninggalkan tempat itu.”

“Habis, dimana kami harus mencarinya?”

“Aku tahu dimana adanya pemuda itu. Yap Kun Liong, nama pemuda itu, sekarang pasti berada di puncak Cin-ling-san. Dia adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai dan dia bermain cinta dengan puteri ketua yang menjadi paman gurunya itu. Karena itulah aku bersakit hati. Maka harap Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) suka mencarinya di Cin-ling-san.”

Tiga orang Lama itu sama sekali belum pernah mendengar nama Ketua Cin-ling-pai, maka mereka tidak menaruh curiga apa-apa. Karena sudah pernah bertemu dengan Yap Kun Liong, maka Sin Beng Lama merasa yakin bahwa kedua orang sutenya sudah cukup untuk menangkap pemuda itu. Maka berangkatlah kedua orang pendeta Lama itu meninggalkan Tibet dengan hati penuh semangat dan kegembiraan karena mereka menganggap perintah dari “perawan suci” ini merupakan tugas yang mulia bagi mereka.

Tentu saja semua itu adalah siasat yang amat cerdik dari Hong Ing. Dara ini tentu saja tidak betah tinggal di tempat itu, dan biarpun dia mulai menerima gemblengan ayahnya yang sakti, namun ayahnya tidak mau melanggar janji dan tidak mau pergi bersamanya meninggalkan tempat itu, bahkan ayahnya sudah mengambil keputusan untuk menghabiskan sisa hidupnya di tempat hukuman itu!

Karena maklum bahwa sia-sia saja untuk membujuk ayahnya, Hong Ing lalu mencari akal. Dia tahu dengan pasti bahwa Kun Liong tentu berusaha menyusul dan mencarinya, maka dia lalu mempergunakan siasat untuk menghubungi Kun Liong, bahkan dengan cerdik dia memberikan alamat Cin-ling-pai dengan maksud menarik perhatian Ketua Cin-ling-pai yang amat sakti sehingga Kun Liong memperoleh bala bantuan yang amat kuat.

Kalau ada Lama mencari Kun Liong di Cin-ling-pai, tentu Pendekar Sakti Cia Keng Hong akan tertarik dan tentu akan ikut turun tangan, apalagi karena dua orang Lama yang mengandalkan kepandaiannya itu tentu akan berterus terang untuk menangkap Kun Liong.

Setelah kedua orang Lama itu berangkat, legalah hati Hong Ing dan dia hanya menanti dengan sikap gembira. Membayangkan Kun Liong akan tiba di tempat itu memberi kekuatan yang ajaib kepadanya, membuatnya gembira sekali karena andaikata siasatnya gagal dan Kun Liong benar-benar ditangkap dan dibawa ke situ, dia akan rela menderita atau mati sekalipun asal berada di dekat pemuda itu.

Dalam kegembiraan yang didorong harapan bertemu kembali dengan pemuda yang dicintainya itu, Hong Ing mulai tekun mempelajari dan melatih ilmu yang diajarkan oleh ayahnya yang sama sekali tidak tahu akan siasat yang dijalankan oleh puterinya.

**** 205 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: