*

*

Ads

FB

Selasa, 29 November 2016

Petualang Asmara Jilid 199

In Hong juga memandang wajah Kun Liong penuh perhatian. Dia masih terlalu kecil untuk mengenal rasa keharuan karena perjumpaan ini. Sejak kecil dia tidak mengenal lagi ayah bundanya, apalagi kakaknya ini. Pertemuannya dengan Kun Liong hanya berkesan sebagai pertemuan dengan seorang laki-laki yang aneh dan asing.

Biarpun dia dipondong, namun ketika dia membuka mulut bicara, dia menujukan kata-kata itu kepada Bi Kiok,

“Subo, apakah benar dia ini kakak kandungku seperti yang seringkali Subo ceritakan itu?”

“Benar, In Hong. Dialah kakak kandungmu,” jawab Bi Kiok yang biarpun wajahnya tidak membayangkan sesuatu dan tetap dingin, namun di dalam hatinya dia merasa terharu juga menyaksikan pertemuan antara kakak dan adiknya yang selamanya belum pernah jumpa itu, pertemuan yang amat ganjil. Dia terharu karena teringat kepada dirinya sendiri yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini.

“Tapi... tapi dia...”

“Dia kenapa, In Hong? Dia kakakmu!”

Bi Kiok agak kecewa menyaksikan sikap muridnya yang seperti tidak senang hatinya itu.

“Kalau dia kakakku, kenapa begini jelek?”

Kun Liong tertawa dan Bi Kiok mengerutkan alisnya.
“Jelek? Mengapa kau bilang jelek?”

“Rambutnya begitu sih...”

Kun Liong makin keras tertawa dan mencium pipi anak perempuan itu.
“Kau genit, ya?” Dia menggoda dan mau tidak mau Bi Kiok tersenyum juga menyaksikan adegan itu. “Bi Kiok, aku makin berhutang budi kepadamu dengan perjumpaan dengan adikku ini. Bagaimana engkau bisa bertemu dengan In Hong?”

“Mari kita ke pondokku dan akan kuceritakan kepadamu, Kun Liong.”

Dengan memondong adiknya Kun Liong mengikuti Bi Kiok yang membawa pula bangkai anjing bulu putih yang terbunuh tadi. Mereka memasuki hutan kecil dan di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok kecil dari kayu dan bambu. Amat sederhana akan tetapi cukup mungil dan menyenangkan karena dikelilingi oleh bermacam bunga yang sengaja ditanam oleh Bi Kiok sehingga pondoknya itu lebih menyerupai sebuah pondok taman yang sedap dipandang.

Setelah membantu In Hong mengubur bangkai anjing Pek-pek dan menghibur anak itu yang menangisi lagi kematian anjingnya, mereka masuk ke dalam pondok. In Hong yang masih kecil itu telah pandai menghidangkan minuman dan makanan, kemudian atas perintah gurunya dia disuruh ke kebun belakang untuk memetik sayur dan mempersiapkan masakan untuk siang nanti.






“Liong-ko, aku sudah pandai masak!” katanya sebelum pergi, memamerkan kepandaiannya kepada kakaknya yang kini sudah tidak begitu asing lagi baginya.

“Wah, ingin aku mencoba masakanmu, In Hong!” kata Kun Liong dengan sikap memuji.

“Tunggu saja! Akan kubuatkan masakan sayur yang amat lezat untukmu. Akan tetapi...”

“Hemm, mengapa? Teruskan!”

“Lain kali rambutmu jangan dipotong seperti itu lagi, ya? Biarkan panjang dan bagus!”

Kun Liong mengangguk-angguk dan memandang dengan gembira betapa adiknya itu berlompatan meninggalkan mereka berdua, menuju ke belakang pondok.

Dia termenung dan sambil tersenyum-senyum dia teringat akan semua pengalamannya. Tanpa disadarinya dia meraba kepala dan rambutnya yang masih pendek, rambut yang kusut dan kacau, tersembul ke sana-sini.

Bi Kiok yang melihat semua itu tersenyum lagi, agaknya dapat mengikuti jalan pikiran Kun Liong.

“Agaknya memang sudah nasib kepala dan rambutmu yang selalu menjadi sasaran celaan orang, Kun Liong.”

“He...? Ohhh, agaknya begitulah.”

“Dahulu engkau berkepala gundul kelimis, mengingatkan orang kepada seorang pendeta.”

“Memang ke mana-mana aku disangka pendeta. Bi Kiok, sekarang ceritakanlah bagaimana engkau dapat berjumpa dengan adikku dan dengan Pek-pek.”

“Perjumpaan itu secara kebetulan saja, Kun Liong. Pada suatu hari, tiga bulan yang lalu, aku melihat orang berkerumun di sebuah pasar kota tak jauh dari sini. Ketika aku mendekat, kiranya orang-orang itu mengerumuni seorang nenek tua yang sedang sakit payah. Yang menarik mereka adalah karena nenek ini menawarkan seorang anak perempuan dan seekor anjing putih, menawarkan kepada siapa yang merasa dirinya ahli silat untuk mengambil murid anak itu dan memelihara anjingnya. Tentu saja hal ini mengherankan semua orang. Mengapa nenek itu hendak memberikan anak kecil yang diaku sebagai cucunya itu kepada orang yang pandai ilmu silat?

Nah, terjadilah keributan karena anak perempuan kecil, yaitu adikmu, menarik hati beberapa orang laki-laki yang kulihat sikapnya ceriwis dan agaknya mempunyai niat buruk terhadap adikmu yang biarpun masih kecil sudah kelihatan cantik itu. Terjadilah adu kepandaian karena nenek itu kukuh dengan tuntutannya bahwa siapa yang terpandai ilmu silatnya, dialah yang berhak memiliki anak dan anjing itu.”

“Siapakah nenek tua yang menawarkan In Hong dan Pek-pek itu?”

“Nanti dulu, kulanjutkan ceritaku. Karena aku tidak ingin melihat anak perempuan itu terjatuh ke tangan seorang di antara laki-laki yang kasar dan saling berebutan, yang mengeluarkan kata-kata kotor mengenai diri In Hong, aku lalu turun tangan merobohkan dan mengusir mereka semua. Kemudian aku membawa Nenek Phoa itu bersama In Hong dan Pek-pek ke pondokku. Sayang Nenek Phoa hanya dapat hidup sepekan lamanya, namun sebelum dia meninggal dunia, dia telah menceritakan semua riwayat In Hong sehingga tahulah aku bahwa Yap In Hong adalah adik kandungmu.”

“Aduh, untung ada engkau, Bi Kiok. Andaikata adikku terjatuh ke tangan orang jahat, betapa mungkin aku dapat bertemu dengannya?”

“Ah, belum tentu! Dari cerita Phoa Ma aku mendengar kematian ayah bundamu yang dikeroyok oleh para datuk...”

“Aku sudah tahu pula tentang hal itu, dan semua pembunuh ibuku telah tewas, sungguhpun bukan tewas oleh tanganku, terima kasih kepada Thian untuk itu! Akan tetapi harap kau ceritakan riwayat In Hong setelah kedua orang tuaku itu tewas di Taigoan.”

“Menurut penuturan Phoa Ma, ketika ayah bundamu tewas bersama semua keluarga Theng yang budiman, adikmu berhasil dibawa lari oleh Phoa Ma dan Pek-pek yang oleh ayahmu diam-diam dibawa pula ke Taigoan secara sembunyi dari kota Lengkok, mengikuti pelarian ini. Dengan susah payah Phoa Ma menyembunyikan adikmu itu dan merantau sampai jauh. Namun karena dia sudah tua, maka tentu saja dia dan adikmu menjalani hidup yang serba kekurangan dan amat sukar, bahkan akhirnya, setelah adikmu berusia empat tahun lebih, Phoa Ma sering jatuh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagai tukang cuci pakaian. Karena merasa bahwa tak mungkin dia dapat hidup lebih lama lagi, dia mencari akal dan menawarkan adikmu itu dan Pek-pek kepada orang-orang di pasar itu.”

“Aihh, budi Phoa Ma terhadap adikku sukar dapat dibalas, apalagi dia telah meninggal dunia. Akan tetapi, Bi Kiok. Mengapa dia menawarkannya kepada orang yang pandai ilmu silat?”

“Menurut pengakuan Phoa Ma ketika kutanya, dia berkata bahwa adikmu itu adalah keturunan ayah ibu pendekar, sudah sepantasnya kalau adikmu itu menjadi murid orang pandai pula agar kelak dapat membalaskan kematian orang tuanya. Pula kalau yang melindungi seorang ahli silat yang lihai, tentu keselamatannya terjamin.”

“Aduh, sungguh luhur budi Phoa Ma itu.” Kun Liong menarik napas panjang dan merasa terharu sekali.”

“Memang benar, padahal dia hanyalah seorang pelayan di rumah keluarga Theng di Taigoan.”

Kun Liong menarik napas panjang.
“Kebajikan tidak memilih kedudukan maupun keadaan harta seseorang, bahkan biasanya, makin tinggi kedudukan seseorang dan makin banyak jumlah harta seseorang, makin jauhlah dia dari kebajikan. Orang yang tidak pernah merasakan kemiskinan, betapa mungkin menaruh rasa belas kasihan kepada orang miskin? Orang yang tidak pernah merasakan kelaparan, betapa mungkin merasa iba kepada orang kelaparan? Budi yang dilimpahkan Phoa Ma terhadap In Hong berdasarkan kasih tanpa mengingat lagi akan kepentingan dirinya sendiri. Sungguh budi yang sukar ditemukan di antara seribu orang!”

“Aku yakin bahwa ayah bundamu yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw tentulah merupakan orang-orang gagah yang sudah tak terhitung banyaknya menolong manusia lain, maka biarpun mereka sendiri mengalami nasib buruk, namun puterinya selalu dilindungi oleh bintang penolong.”

“Dan engkau adalah seorang di antara bintang-bintang penolongnya.”

“Hemm, aku tidak masuk hitungan.”

“Engkau terlalu merendahkan diri. Entah sudah berapa kali engkau menolongku. Seingatku, ketika aku hanyut di sungai, engkau pula menolongku dengan peringatan tentang bokor setelah engkau bersama gurumu menyelamatkan aku dari tangan Kwi-eng Niocu, betapa engkau menyembunyikan aku di guha dan...”

“Sudahlah, semua itu tidak ada gunanya dibicarakan kembali. Engkau pun telah menyelamatkan aku ketika aku hendak disiksa dan mukaku hendak dirusak oleh Toat Beng Hoatsu, kemudian engkau menyelamatkan aku dan malah mengorbankan diri menyerah ketika kita bersembunyi di dalam guha sehingga engkau menjadi tawanan pasukan pemerintah.”

Kun Liong tersenyum.
“Memang diantara kita, siapa yang terancam babaya harus ditolong oleh yang lain. Kalau kita tidak saling tolong-menolong, betapa akan lebih sengsaranya hidup ini. Kalau seluruh manusia di dunia ini saling menolong dan saling membantu, tentu dunia ini sudah berubah menjadi sorga! Akan tetapi, satu hal membuat aku kagum bukan main dan terheran-heran, Bi Kiok. Bagaimana engkau sekarang bisa begitu lihai? Kulihat ilmu kepandaianmu meningkat sepuluh kali lipat! Bahkan aku berani bertaruh bahwa ilmumu telah mencapai tingkat lebih tinggi daripada tingkat yang dimiliki gurumu dahulu.”

Pada saat itu dengan suara nyaring gembira, In Hong memberitahukan bahwa masakannya telah matang. Mereka bertiga lalu makan dan dengan setulus hati Kun Liong memuji masakan sayur yang dibuat adiknya. Karena selama beberapa bulan hidup berdua dengan gurunya In Hong diajar masak, dan memang suka masak, maka anak kecil ini benar-benar sudah pandai membuat masakan sayur yang bumbunya sedap.

Sehabis makan, Bi Kiok memberi kesempatan kepada In Hong untuk ikut bercakap-cakap, akan tetapi dia melihat bahwa muridnya itu masih belum dapat membiasakan diri menghadapi seorang kakak maka biarpun dia sudah ramah sekali, tetap saja masih kaku terhadap Kun Liong.

Rasa kasih sayang antara saudara sekandung terjalin karena kebiasaan hubungan sehari-hari, sedangkan kedua orang kakak beradik ini selama hidup mereka baru sekarang saling bertemu. Kemesraan di hati Kun Liong hanya terdorong oleh keharuannya mendapat kenyataan bahwa anak itu adalah adiknya, adik kandung satu-satunya!

Namun perasaan seperti ini belum terasa oleh In Hong, maka dia pun hanya menganggap Kun Liong sebagai seorang laki-laki yang manis budi, yang menganggapnya sebagai adiknya.

Setelah mereka duduk bercakap-cakap berdua lagi, Kun Liong mengulangi pertanyaannya tentang kelihaian Bi Kiok yang dalam waktu singkat memperoleh kemajuan yang amat luar biasa itu.

“Kun Liong, percayalah, kalau bukan engkau, sampai mati pun aku tidak akan membuka rahasia ini. Engkaulah satu-satunya orang yang akan mendengar rahasiaku ini.”

Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara dan sikap sungguh-sungguh itu, tak disadarinya lagi saking herannya Kun Liong bertanya,

“Mengapa aku?”

“Yaaah... justeru karena engkaulah...”

Kun Liong tersenyum.
“Terima kasih, Bi Kiok. Ini menunjukkan bahwa engkau amat percaya kepadaku. Nah, aku siap mendengar rahasia besar itu.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: