*

*

Ads

FB

Selasa, 29 November 2016

Petualang Asmara Jilid 197

Kiranya Kun Liong tadi bukanlah sedang menciumi punggung dan pinggul telanjang, melainkan sedang menyedot racun dari luka-luka di punggung dan pinggul!

“Ahhhh...!”

Dia terkejut dan merasa malu sekali, dan ketika Kun Liong melepaskan kedua tangannya, dia melangkah mundur, mukanya merah dan matanya terkejap-kejap malu.

Kun Liong tersenyum lebar.
“Bagaimana, Bi Kiok? Apakah kau masih hendak menampar lagi mukaku? Aihhh, lama tak jumpa, engkau sekarang menjadi lihai luar biasa, ilmu kepandaianmu maju dengan amat pesatnya dan... dan engkau makin cantik saja, apalagi kalau engkau memandang seperti itu...”

Mata yang berkejap-kejap malu itu seketika mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kun Liong dan melihat betapa mulut dan mata Kun Liong mentertawakannya, dia menjadi malu sekali.

“Ihhh!” dengusnya, tubuhnya membalik dan dia berkelebat lenyap dari situ setelah menyambar pedang pendeknya yang tadi terjatuh.

“Bi Kiok...! Heiii, tunggu dulu!”

Akan tetapi Yo Bi Kiok tidak peduli dan lari terus dengan amat cepatnya dan Kun Liong pun tidak mengejar, hanya berdiri di pintu dengan wajah berseri kemudian menarik napas panjang.

“Hemm, hebat sekali ilmunya berlari cepat, juga sin-kang dan kepandaiannya. Lebih hebat dari tingkat gurunya sendiri, hemm...”

“Kun Liong, engkau tidak pernah dapat menghilangkan watakmu yang nakal dan suka menggoda wanita,” terdengar suara Giok Keng, dan ketika Kun Liong hendak membalik, Giok Keng cepat melanjutkan, “Jangan menengok ke sini! Aku sedang berpakaian!”

Otomatis Kun Liong menarik kembali kepalanya yang hendak menengok tadi, kini berdiri menghadap keluar, bahkan menutupkan daun pintu agar tidak ada orang yang dapat melihat ke dalam kamar.

“Aku sudah selesai, Kun Liong.”

Barulah pemuda itu membuka daun pintu lalu memasuki kamar. Giok Keng sudah berpakaian lagi dengan rapi, dan duduk di atas ranjang. Kun Liong lalu duduk di atas bangku.

“Kun Liong, apakah kau mencinta gadis tadi?”

“Bi Kiok? Ah, tidak, mengapa?”

“Yang jelas, dia mencintamu, Kun Liong.”






“Ehhhh...?” Kun Liong memandang heran tidak percaya.

“Percayalah kepadaku, seorang wanita lebih awas dalam hal itu. Dia mencintamu sungguh-sungguh, Kun Liong, karena itu dapat dibayangkan betapa menyakitkan godaan-godaanmu tadi.”

“Hemm, aku memang seorang yang serba canggung, selalu mendatangkan rasa tidak enak dalam hati dara-dara muda. Bahkan orang yang benar-benar kucinta pun merasa tidak senang dan marah...”

Giok Keng memandang tajam.
“Kun Liong, siapakah wanita yang kau cinta itu dan dimana dia?”

Kun Liong mengangkat muka memandang, lalu menunduk dan menarik napas panjang lagi.

“Hemmm... adalah...”

“Kun Liong, mengapa kau tidak mau bercerita kepadaku? Aku telah berhutang nyawa kepadamu, padahal aku telah menyakiti hatimu ketika memutuskan tali perjodohan. Engkau seorang yang amat baik bagiku, akan tetapi sayang aku tidak cinta kepadamu dan anggaplah aku ini adikmu sendiri, Kun Liong, atau setidaknya, engkau masih terhitung suhengku, bukan? Nah, ceritakanlah semuanya kepada sumoimu ini, siapa tahu aku akan dapat membantumu sebagai pembalasan budimu.”

Terharu juga hati Kun Liong mendengar ini. Memang, dia pernah merasa terhina ketika Giok Keng menyatakan tidak setuju akan perjodohan yang diikat ayahnya, apalagi ketika ternyata bahwa gadis ini malah memilih seorang pemuda iblis Liong Bu Kong. Kini, mendengar ucapan yang tulus dan terus terang dari gadis itu, dia merasa terharu.

“Giok Keng, bukan sama sekali bahwa aku tidak percaya kepadamu, hanya... hal yang tidak menyenangkan perlukah diceritakan? Betapapun juga, mengingat bahwa nasibmu dalam percintaan juga amat buruk, baiklah aku akan bercerita kepadamu tentang gadis yang kucinta itu, yang bernama Pek Hong ing...”

Maka berceritalah Kun liong secara singkat namun lengkap tentang pengalamannya bersama Pek Hong Ing, tentu saja tanpa menyinggung-nyinggung tentang sikap Hong Ing terhadap dirinya ketika dara itu hendak dibawa pergi oleh tiga orang Lama yang amat sakti itu.

“Nah, sebenarnya aku sedang dalam perjalanan mengejar para pendeta Lama yang telah membawa pergi Hong Ing itu, kalau perlu sampai ke sarang mereka di Tibet.” Kun Liong mengakhiri ceritanya.

Giok Keng mendengarkan dengan terharu, lalu berkata dengan penuh kekhawatiran.
“Agaknya tiga orang pendeta Lama itu lihai bukan main, Kun Liong. Bagaimana engkau akan dapat berhasil pergi seorang diri ke sana? Apakah tidak sebaiknya kau minta bantuan Ayah?”

Kun Liong menggelengkan kepalanya.
“Aku akan pergi sendiri, dan aku yakin akan dapat mengatasi mereka. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Giok Keng? Setelah peristiwa menggemparkan di Pek-lian-kauw itu...”
.
Kun Liong menghentikan kata-katanya karena melihat dara itu menangis. Maklumlah dia bahwa dia telah menyentuh bagian yang menyakitkan hati, mengingatkan gadis itu akan aib yang telah menimpa dirinya, maka dia merasa menyesal sekali bertanya tadi.

“Maafkan, Giok Keng. Aku bukan bermaksud...”

“Tidak apa, Kun Liong. Bukan salahmu.... melainkan aku sendirilah yang seakan-akan buta hati, mudah saja terbujuk dan tertipu oleh pemuda yang kelihatan tampan dan baik itu. Siapa mengira bahwa hatinya busuk seperti iblis? Ahh, aku menyesal sekali, Kun Liong... eh, Suheng! Aku harus menyebutmu suheng sekarang! Aku menyesal sekali dan untung bahwa semua malapetaka itu belum terlambat, berkat kedatangan Ayah dan kedatanganmu.”

“Biarlah kesalahan kita yang lalu menjadi pengalaman, Sumoi, menjadi pelajaran bagi kita sehingga kesalahan macam itu tidak akan terulang lagi.”

“Tidak mungkin terulang! Aku tidak akan mencinta siapa pun, dan cintaku yang keliru terhadap iblis itu telah mati. Aku tidak mau sembarangan mencinta pria lagi sungguhpun banyak yang mencintaku. Sebenarnya, dahulu pun aku tidak mudah jatuh cinta. Sejak dahulu, banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, Suheng, dari para murid ayah di Cin-ling-pai sampai banyak laki-laki yang kutemui selama dalam perjalananku. Mereka semua bermuka-muka dan berusaha untuk menguasai hatiku, dan sikap mereka yang palsu dan memikat itu memuakkan hatiku.

Cinta mereka itu semua palsu, sepalsu cinta iblis Liong Bu Kong. Aku muak dengan cinta kaum pria yang berhati palsu. Aku tidak maksudkan engkau, Suheng. Engkau adalah orang jujur dan terus terang mengatakan bahwa engkau tidak mencinta aku. Betapapun juga, nasib kaum wanita memang amat buruk, tidak seperti pria. Dalam soal perjodohan sekalipun, kaum wanita selalu harus tunduk, dalam soal cinta pun, kaum wanita harus menerima dan menyesuaikan diri, tidak berhak memilih seperti pria.

Betapa pun besar cinta seorang wanita terhadap seorang pria, kalau si pria tidak mencintanya akan percuma saja dan tidak mungkin wanita berani mendesak yang berarti tidak tahu malu! Karena itu, aku merasa kasihan sekali kepada Bi Kiok dan kepada Hwi Sian. Mereka berdua benar-benar mencintamu, Suheng, akan tetapi engkau tidak membalas cinta mereka. Betapa sengsara hati mereka.”

Kun Liong menarik napas panjang, apalagi teringat akan Hwi Siang gadis yang telah menyerahkan kehormatannya kepadanya dan yang membuatnya menyesal bukan main kalau teringat akan peristiwa itu.

“Cinta memang hanya mendatangkan duka nestapa belaka ataukah...sebenarnya bukan cinta sejati yang mendatangkan duka itu? Bagaimanapun juga, kalau benar kata-katamu tadi bahwa Bi Kiok mencintaku...”

“Aku berani bertaruh apapun juga, Suheng. Dia pasti mencintamu, dari pandang matanya, kata-katanya, sikapnya, jelas sekali tampak bahwa dia mencintamu. Sayang, akan patah harapannya kalau dia tahu bahwa pria yang dicintanya itu tidak akan membalasnya.”

“Hemm, kalau begitu aku harus mencarinya, akan kuberitahukan secara terus terang agar dia dapat menghapus cinta yang salah alamat itu.”

“Memang sebaiknya begitu, Suheng. Biarpun pahit, namun keterus-terangan itu mungkin akan dapat menjadi obat mujarab, seperti kenyataan yang amat pahit membuat mataku terbuka. Akan tetapi, kemanakah kau hendak mencarinya?”

“Melihat kemunculannya tadi, kurasa tempat tinggalnya tidak jauh dari dusun ini, atau mungkin juga, di dusun ini. Betapa pun, aku akan mencarinya, sekarang juga.”

“Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini, Suheng. Aku juga akan melakukan perjalananku.”

“Kau harus beristirahat dulu...”

“Aku telah sembuh, berkat pertolonganmu.”

“Akan tetapi, kau hendak ke mana?”

“Entahlah, yang jelas aku tidak akan pulang dulu ke Cin-ling-san sebelum aku berhasil membunuh iblis Liong Bu Kong itu!”

“Ahh, dia sudah tewas, Sumoi!”

Baru teringat oleh Kun Liong bahwa dia belum menceritakan akan hal ini dan tentu saja gadis ini tidak tahu akan kematian Liong Bu Kong, karena ketika itu dia masih pingsan.

Giok Keng terloncat dan memandang terbelalak, mukanya agak pucat. Betapapun juga, laki-laki yang pernah dicintanya itu dikabarkan tewas, dan tanpa disadarinva dia terkejut bukan main.

“Tewas...?”

Kun Liong mengangguk.

“Tewas di tanganmu, Suheng?”

“Untung sekali tidak! Aku merasa ngeri kalau sampai membunuh orang. Dia tewas dalam tangan Yo Bi Kiok, dalam waktu hanya dalam belasan jurus sehingga aku merasa terheran bukan main menyaksikan kepandaian Bi Kiok. Padahal dahulu, dia tidak akan mampu mengalahkan Bu Kong.”

Giok Keng termenung.
“Mengapa...? Mengapa Bi Kiok membunuhnya?”

“Mungkin dendam antara guru. Bi Kiok adalah murid mendiang Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tewas di tangan ibu Bu Kong, yaitu Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. Mungkin untuk membalas kematian gurunya, Bi Kiok yang sekarang lihai sekali itu membunuh Bu Kong, dan hal ini menguntungkan kita karena aku sudah payah juga menghadapi pengeroyokan sambil memondongmu.”

Kembali Giok Keng termenung, kemudian menarik napas panjang.
“Begitulah nasib manusia yang tersesat, akhirnya mampus di ujung senjata pula. Kalau begitu, tinggal orang-orang Pek-lian-kauw! Merekalah yang membantu iblis itu sehingga aku hampir saja tertimpa malapetaka hebat, aku harus menghancurkan Pek-lian-kauw, Suheng.”

“Hemm, berhati-hatilah, Giok Keng. Mereka itu lihai sekali, terutama ketuanya.”

“Aku tidak akan gegabah, Suheng. Aku akan pergi ke kota raja, minta bantuan, kalau perlu akan menghadap The-locianpwe.”

“Panglima The Hoo?”

Giok Keng mengangguk.
“Syukur kalau dapat bertemu dengan Ayah, kalau tidak tentu Locianpwe itu akan tertarik dan suka mengirim pasukan, karena Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak.”

“Terserah kepadamu, akan tetapi hati-hatilah, Sumoi. Aku sendiri akan menemui Bi Kiok, kemudian aku akan menyusul dan mencari Hong Ing ke Tibet.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: