*

*

Ads

FB

Minggu, 20 November 2016

Petualang Asmara Jilid 159

Berkata demikian, Hong Ing lalu merenggut lepas kain putih penutup kepalanya sehingga tampaklah kepalanya yang gundul dan licin mengkilap, bersih dan bentuknya bulat. Melihat kepala ini, tak dapat ditahan lagi Kun Liong tersenyum lebar dan matanya memandang kepala itu.

Melihat betapa mata pemuda itu ditujukan kepada kepalanya, baru Hong Ing teringat bahwa kepalanya gundul pelontos. Mukanya menjadi merah sekali, dia merasa seolah-olah kepalanya berada dalam keadaan “telanjang”, maka dengan tergesa-gesa ditutupkannya kembali kain putih ke atas kepalanya. Tentu saja gerakan dan sikap dara ini membuat Kun Liong menjadi makin geli dan dia mencela,

“Heii, mengapa ditutup kembali?”

In Hong tentu saja tidak mau mengatakan malu karena kepalanya “telanjang”, dan dengan cemberut dia berkata,

“Siapa melarang aku menutupi kepalaku? Matahari amat teriknya, kepalaku menjadi panas terkena sinar matahari.”

Kun Liong tidak mau menggoda lebih jauh lagi. Dia sudah merasa girang bahwa Hong Ing sudah mau bicara dengan dia. Maka dia berkata,

“Hong Ing, kau maafkanlah semua kata-kataku yang tidak karuan. Harap kau tidak marah lagi kepadaku.”

Hong Ing menjawab tidak acuh,
“Siapa marah? Aku tidak marah.”

“Ahh, kau tadi mengatakan aku pongah dan sombong...”

“Kau juga mengatakan bahwa wanita amat buruk dan hinanya...!”

Kun Liong makin tidak mengerti akan sikap wanita pada umumnya dan dara ini pada khususnya. Akan tetapi karena dia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya kawan seperahu yang senasib sependeritaan dengannya di saat itu, dia diam saja. Dia murung dan betapapun dia menekan perasaannya, tetap saja mulutnya cemberut.

Sampai lama mereka berdiam diri. Kun Liong mengatur arah perahu, terus ke timur dan kemudian membelok ke utara. Dia sengaja tidak mau bicara dan tidak memandang kepada Hong Ing, khawatir kalau-kalau mendatangkan keributan lagi. Heran dia mengapa setelah terlepas dari bencana dan menghadapi bencana baru yang tidak berketentuan ini, dia dan Hong Ing selalu berbantahan. Tiba-tiba terdengar suara dara itu,

“Kun Liong...”

Suaranya begitu merdu dan ketika dia menengok, dia melihat wajah dara itu berseri. Bukan main manisnya!






“Hemmm...?” Kun Liong juga tersenyum, terseret oleh senyum dara itu.

“Lihat ini...”

Tangan kanan dara itu memegang seekor ikan sebesar betis, ikan segar yang masih menggelepar dan berusaha meronta terlepas dari pegangan tangan kecil yang amat kuat itu.

“Aku menyambarnya ketika dia berenang dekat perahu. Kupanggang dia, ya?”

“Wah, tentu enak sekali!” kata Kun Liong dan mereka tertawa-tawa gembira, lupa akan percekcokan mereka tadi. Karena di situ tidak terdapat bahan bakar, terpaksa Hong Ing menggunakan tenaganya untuk mematahkan sedikit ujung tiang layar dan mengambil sedikit kayu dengan menghancurkan pinggir tutup peti, kemudian dengan menggosok-gosokkan kayu kering dia berhasil membuat api dan memanggang ikan itu.

Akan tetapi setelah mereka makan daging ikan yang lezat itu, mereka bingung karena mereka tidak dapat minum. Mereka merasa haus sekali dan memandang sedih ke arah air laut. Demikian banyaknya air di sekeliling mereka, terlampau banyak, namun mereka tidak dapat minum sama sekali!

Air laut berlimpah tinggal ambil namun tiada gunanya, yang mereka butuhkan hanyalah seteguk air tawar! Setelah mengalami hal ini, barulah dengan amat terkejut keduanya sadar bahwa mereka terancam bahaya maut yang mengerikan di tengah laut! Dan mereka tadi sempat bercekcok!

“Hong Ing, kita harus segera dapat mendarat di sebuah pulau yang ada airnya. Kalau tidak, celakalah kita.”

Hong Ing mengangguk dan dara ini lalu membantu Kun Liong memegang tali-temali layar. Angin bertiup kencang dan keduanya melihat-lihat ke empat jurusan, mencari-cari dengan pandang mata disertai penuh harapan akan melihat bayangan sebuah pulau dari jauh. Akan tetapi, di empat penjuru yang tampak hanya air dan air sampai ke kaki langit, air yang tiada tepinya!

Menjelang senja, perahu peti itu sudah berlayar jauh sekali. Angin makin kencang dan tiba-tiba dari langit yang tertutup awan hitam itu turunlah air bertitik-titik besar. Kedua orang muda itu dengan girang dan lega memuaskan dahaga mereka dengan air hujan. Akan tetapi hujan segera turun dengan lebatnya, angin bertiup amat kencangnya sehingga mereka cepat-cepat menurunkan layar. Angin badai mengamuk!

“Celaka...! Kita tutup peti ini...!”

Kun Liong berkata dan dengan cepat mereka berdua menutupkan peti setelah membuang air keluar dari peti. Peti itu mulai diombang-ambingkan gelombang yang dahsyat dan tak lama kemudian, Kun Liong dan Hong Ing terbanting-banting dan saling berpelukan di dalam peti yang kini tidak hanya diombang-ambingkan, melainkan dilempar ke atas dan diguling-gulingkan!

Di dalam peti yang gelap itu, Kun Liong mendengar suara dahsyat dari badai dan di antara suara dahsyat ini, terdengar tangis Hong Ing yang lemah, tangis ketakutan. Dia memeluk tubuh dara itu, mendekapnya dan dengan seluruh jiwa raganya dia berniat melindunginya.

Akan tetapi apa dayanya? Mereka berada di dalam sebuah peti mati tertutup, peti yang kecil sehingga mereka tidak mampu bergerak, peti yang dipermainkan oleh badai dan setiap saat dapat saja peti itu ditenggelamkan atau dihempaskan hancur lebur di batu karang sehingga riwayat mereka akan habis sampai di situ saja.

Hong Ing menangis dan merintih-rintih saking takutnya, sedangkan Kun Liong sendiri yang selama ini tidak pernah mengenal takut, kini merasa ngeri juga sehingga tanpa disadarinya, timbul kembali pengalaman di waktu dia masih kanak-kanak dan tak terasa lagi dia meneriakkan panggilan kepada ayah bundanya seperti seorang anak kecil yang menderita ketakutan.

Tiba-tiba Kun Liong merasa terguncang hebat dan berbareng dengan suara keras sekali tubuhnya terlempar dan keadaan menjadi gelap. Ketika terlempar itu dia seperti mendengar suara wanita memanggil namanya,

“Kun Liong...!”

Akan tetapi dia tidak tahu pasti apakah itu suara ibunya, ataukah suara Hong Ing karena dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Ketika Kun Liong membuka kedua matanya, dia mendapatkan dirinya sudah rebah menggeletak di atas pasir. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, setiap gerakan kaki atau tangan mendatangkan rasa nyeri sekali. Dia mengeluh, akan tetapi begitu teringat akan Hong Ing, dia cepat bangkit dan duduk, sama sekali tidak lagi merasakan rasa nyeri-nyeri tubuhnya.

Malam masih gelap dan suara badai masib menggelora. Akan tetapi dia selamat! Dia telah berada di daratan. Dengan tangan kaki meraba-raba dia bangkit berdiri, melangkah maju. Kiranya dia berada di pantai yang penuh dengan batu-batu karang dan pasir. Untung dia terhempas di pasir, kalau terhempas di batu-batu, tentu tubuhnya sudah hancur lebur. Kembali dia teringat kepada Hong Ing!

“Hong Ing...!”

Dia memanggil dengan pengerahan khi-kangnya. Suaranya dihembus pergi oleh angin badai, akan tetapi dia terus memanggil-manggil sambil meraba ke kanan kiri dalam kegelapan.

Tidak ada yang menjawabnya! Dia berteriak lagi, melangkah maju tersaruk-saruk, kadang-kadang jatuh, bangkit lagi dan memanggil lagi. Akhirnya, setelah suaranya habis dan serak, setelah untuk berjam-jam dia memanggil tanpa ada jawaban, dia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, berpegang kepada batu karang dan menangis!

Baru sekali ini Kun Liong menangis seperti itu, menangis sesenggukan karena terbayang di depan matanya betapa tubuh dara itu tentu hancur lebur dihempaskan di atas batu-batu karang. Baru sekali ini dia merasakan kedukaan yang amat hebat. Merasakan kebimbangan yang membuat hidupnya sekaligus terasa sunyi dan hampa.

Sambil menangis dia akhirnya duduk bersandarkan batu karang. Hatinya mengutuk badai, mengutuk batu karang, mengutuk lautan, mengutuk Kok Beng Lama yang melontarkan mereka ke laut, mengutuk semua orang yang mengeroyok mereka, mengutuk dunia dan mengutuk alam! Dia tidak merasakan lagi tubuhnya yang sakit-sakit.

Namun dia masih belum hilang harapan. Sekali-kali dia memekik memanggil nama Hong Ing tanpa ada jawaban. Dia terus duduk di situ, menanti sampai pagi. Dia menanti sampai cuaca menjadi terang agar dia dapat mencari Hong Ing, hidup atau mati. Sambil menanti, telinganya dibuka lebar-lebar, mendengarkan kalau-kalau ada suara Hong Ing memanggilnya.

Akan tetapi yang terdengar hanyalah lengking panjang suara badai yang mengiuk-ngiuk, diseling suara air berdeburan dan adakalanya air meledak bergemuruh ketika menghantam batu karang, didasari suara air laut yang mendidih dan mengerikan hati. Di dalam semua keributan suara badai, seolah-olah terdengar suara segala macam hantu dan setan yang muncrat dari dalam lautan, suara mereka yang tertawa-tawa dan menangis melolong-lolong bercampur aduk menjadi satu.

Menjelang pagi, badai berhenti, akan tetapi cuaca masih gelap. Betapapun juga, Kun Liong sudah merangkak-rangkak di antara batu karang, telinganya dibuka lebar dan matanya terbelalak dalam usahanya menembus kegelapan malam, mencari-cari Hong Ing. Mulutnya mulai lagi memekikkan nama dara ini dengan pengerahan khi-kang sekuatnya.

“Hong Ing...!”

Sampai matahari terbit, Kun Liong berkeliaran di pantai, merangkak-rangkak melalui pasir dan batu karang yang tajam, mencari-cari. Akhirnya, di bawah batu karang yang menonjol, dia melihat peti mati yang menjadi perahu mereka itu. Sudah hancur dan pecah berantakan!

Cepat dia merangkak mendekati, menuruni batu karang, tidak merasa lagi betapa tangan kakinya yang telanjang itu pecah-pecah kulitnya tertusuk batu karang. Akan tetapi setelah dekat, yang ada hanya pecahan-pecahan peti mati itu saja, berikut layar yang sudah robek-robek. Tidak ada Hong Ing di sekitar tempat itu. Bekasnya pun tidak ada!

Kun Liong lemas dan kembali air matanya bercucuran. Tentu Hong Ing telah dimakan ikan! Betapa ngerinya!

“Hong Ing...!”

Dia mengeluh dan seperti orang gila, kembali dia merangkak ke sana-sini, memanggil-manggil.

Tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke depan. Ada sebuah benda putih terapung di air! Cepat dia menghampiri dan lari ke pantai yang sedalam lutut. Dia menyambar benda itu dan memandang dengan mata terbelalak. Kain penutup kepala Hong Ing!

“Hong Ing...!”

Kun Liong menjerit, kain itu dipeluknya, ditangisi dan diciuminya, terhuyung-huyung dia kembali ke darat sambil menangis, kemudian dia terguling roboh di atas pasir dan pingsan! Kain itu masih dicengkeramnya!

**** 159 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: