*

*

Ads

FB

Rabu, 16 November 2016

Petualang Asmara Jilid 147

Dia maklum bahwa tanpa mengurangi hawa yang disedotnya dari Kim Seng Siocia itu, dia seperti orang mabuk dan sukar menguasai tenaga yang berlebihan, maka dia lalu meloncat, menerobos melalui langit-langit yang jebol tadi, menggunakan gin-kangnya yang menjadi berlipat ganda itu berkelebat keluar dari istana.

Dia memasuki hutan yang gelap dan setelah merasa yakin di situ tidak terdapat orang lain, mulailah dia menghamburkan tenaga kelebihan dari tubuhnya itu untuk memukul batu dan pohon besar. Dalam waktu singkat, lima buah batu besar hancur dan tujuh batang pohon besar tumbang! Barulah terasa enak tubuhnya, ringan dan tidak mabuk seperti tadi. Dia lalu melesat kembali menuju ke istana hendak menolong Hong Ing sebelum Kim Seng Siocia dapat melepaskan diri atau sebelum para pembantu wanita itu ada yang tahu.

Kalau dia mengenangkan pengalamannya dalam kamar Kim Seng Siocia tadi dia bergidik ngeri. Memang dia bukanlah perjaka lagi, dan dia sudah berenang di lautan cinta dengan Hwi Sian, akan tetapi hal itu dilakukan oleh keduanya atas dasar suka rela. Akan tetapi tadi? Bukan main ngerinya! Dan dia tidak dapat membayangkan apa akan jadinya dengan dirinya kalau saja dia tidak memiliki Thi-khi-i-beng!

Dengan tergesa-gesa namun hati-hati sekali Kun Liong memeriksa seluruh bagian istana dan akhirnya dia dapat menemukan tempat rahasia dimana Hong Ing ditahan. Tempat itu merupakan bagian belakang istana, rapat terkurung dinding baja dan dibagian depan terjaga oleh belasan orang wanita.

Dengan sigap dan cepat sekali Kun Liong meloncat tanpa diketahui mereka ke atas genteng tempat tahanan itu, kemudian membuka atap dan mengintai ke bawah. Dilihatnya pemandangan yang mengherankan.

Hong Ing masih seperti tadi, dibelenggu kaki tangannya dengan tali hitam yang dapat mulur dan sukar dipatahkan itu, dijaga oleh Acui yang memegang pedang dan menodongkan pedang itu ke tubuh Hong Ing, siap sewaktu-waktu untuk menusuk tubuh tawanan itu apabila majikannya memberi tanda!

Benar-benar amat berbahaya keadaan Hong Ing karena andaikata tadi Kim Seng Siocia sempat mengeluarkan jeritan mencurigakan sedikit saja tentu pedang di tangan Acui itu sudah menembus jantungnya!

Selagi dia yang bersikap hati-hati itu mencari-cari dimana adanva Amoi, dia mendengar suara tertawa pelayan genit itu dan muncullah Amoi bersama Marcus bergandeng tangan dari sebuah kamar di samping tempat tahanan itu. Wajah Amoi berseri kemerahan dan rambutnya kusut.

“Enci Acui, sekarang giliranmu. Biarlah aku menjaganya!”

Acui tersenyum, memberikan pedangnya kepada Amoi dan dia sendiri lalu dirangkul oleh Marcus dan keduanya memasuki kamar sebelah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kun Liong. Cepat dia menyambar turun sebelum Amoi yang nampak kelelahan itu sempat menodongkan pedangnya kepada Hong Ing.

Amoi terkejut mendengar suara angin bertiup dari atas. Dia membalik namun terlambat karena tubuh Kun Liong yang menukik turun sudah menyambar, sekali tangannya bergerak pedang itu telah terampas olehnya dan sebuah tamparan perlahan ke pundak Amoi membuat gadis ini menjerit dan terguling.






Mendengar jeritan ini, Acui bertanya dari dalam kamar,
“Amol, ada apakah?”

“Enci Acui, tolong...!”

Acui dan Marcus berloncatan kcluar dari kamar dalam keadaan setengah telanjang. Melihat betapa Kun Liong telah menyambar dan memondong tubuh Hong Ing, Acui cepat menubruk dan memukul.

Akan tetapi sekali ini Kun Liong tidak menaruh sungkan atau kasihan lagi karena keadaan Hong Ing terancam. Dia mendahului gadis itu dengan sebuah tendangan yang mencium lutut kiri gadis ini sehingga Acui terkejut, berteriak dan terjungkal. Kun Liong tidak mempedulikan lagi, lebih-lebih karena Acui dan Amoi sudah mulai berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya.

Dia memondong tubuh Hong Ing dan meloncat melalui atas atap. Baru saja tubuhnya muncul ke atas genteng, dia telah disambut oleh lima orang gadis penjaga yang bersenjata tombak. Lima buah mata tombak menusuknya dari lima penjuru. Namun tubuh Kun Liong sudah mencelat ke atas, menukik cepat sekali ke kiri dan menyambar sebatang tombak sebelum pemiliknya sempat melihat jelas apa yang terjadi.

“Krekkk!”

Ujung tombak yang runcing dipatahkan oleh Kun Liong, kemudian dengan jurus Ilmu Tongkat Siang-liong-pang, akan tetapi hanya mainkan sebatang tongkat saja karena lengan kirinya mengempit tubuh Hong Ing, dia menyerang. Terdengar empat kali suara nyaring dan empat batang tombak pengeroyoknya patah semua.

Kun Liong membuang tongkatnya dan meloncat turun, bukan ke atas tanah di bawah di mana telah menanti puluhan orang gadis bersenjata lengkap, melainkan meloncat ke sebuah pohon dan dari situ, menggunakan gin-kangnya yang bertambah karena penyedotan sin-kang dari Kim Seng Siocia tadi, dia meloncat lagi ke atas pohon di depan, kemudian menghilang ke dalam gelap.

Sampai lama sekali Kun Liong melarikan diri dengan hati-hati karena malam itu gelap sekali dan hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit. Dia menuruni puncak dengan hati-hati, kadang-kadang harus meraba-raba dulu dengan kakinya, sampai dia jauh meninggalkan istana Kim Seng Siocia.

Akan tetapi dia maklum bahwa anak buah Kim Seng Siocia terus melakukan pengejaran, maka dia tidak mau berhenti berjalan dan mulai menuruni puncak dengan hati-hati. Di tengah jalan dia melepaskan ikatan kaki tangan Hong Ing dan tiba-tiba dara itu berkata,

“Lepaskan aku! Aku bukan bayi yang harus dipondong. Aku bisa jalan sendiri!”

Kun Liong terkejut dan heran. Susah payah dia menolong gadis ini, bahkan melalui pengalaman yang mengerikan ketika dia dihimpit oleh gumpalan daging menggunung, dan sekarang begitu bisa bicara, Hong Ing mengeluarkan kata-kata yang keras! Akan tetapi dia menurunkan gadis itu dan mereka lalu bergerak perlahan melanjutkan perjalanan mereka menjauhi istana Kim Seng Siocia.

Makin bertambah keheranan hati Kun Liong ketika dia melihat betapa Hong Ing melakukan perjalanan dengan sikap diam, tak pernah bicara, dan kadang-kadang kalau dia dapat memandang wajah itu di bawah sinar bintang yang remang-remang, dia melihat wajah itu cemberut. Ingin sekali dia bertanya mengapa gadis itu menjadi tak senang hati, bahkan seperti orang marah, akan tetapi karena mereka sedang melarikan diri dari kejaran anak buah Kim Seng Siocia, dia pun tidak banyak bertanya.

Ketika mereka dipaksa berhenti oleh keadaan jalan yang amat berbahaya, selain cuaca makin gelap karena halimun menutupi cahaya bintang yang hanya sedikit itu, dan banyak jurang melintang di depan menghadang perjalanan mereka, dan mereka telah berlindung di bawah sebuah bukit batu yang berlubang merupakan guha kecil dengan api unggun menghangatkan badan mereka, barulah Kun Liong bertanya.

“Hong Ing, kenapa kau kelihatan seperti orang berduka dan tidak senang hati?”

Sambil duduk membelakangi Kun Liong, kemudian malah merebahkan diri miring, Hong Ing menjawab dengan sikap acuh tak acuh dan suara yang datar,

“Mengapa aku harus tidak senang hati? Aku telah ditolong, bukan? Tidak, aku tidak apa-apa, hanya ingin tidur karena lelah.”

Jawaban ini tentu saja tidak memuaskan hati Kun Liong, akan tetapi dia pun mengeraskan hatinya. Kalau tidak mau mengaku, sudahlah, bukan urusannya. Maka dia pun menjawab datar,

“Kalau begitu, kau tidurlah, biar aku yang menjaga disini sampai pagi.”

Mendongkol juga hati Kun Liong karena dara itu tidak menjawab, melainkan menggeser tubuhnya lebih dekat dengan api unggun agar hawa dingin tidak terlalu mengganggunya. Hemm, sikapnya begitu tidak acuh, begitu sombong! Sombongkah Hong Ing? Seingatnya tidak, tetapi mengapa sekarang...? Hemm, dan mengapa pula dia menjadi tidak enak hati, tidak senang melihat sikap dara itu tidak pedulian kepadanya?

Kun Liong duduk termenung. Malam telah tua. Sunyi sekali sekeliling itu, sesunyi hati Kun Liong. Akan tetapi pikirannya mulal mengaduk kesunyian dan dia mengingat-ingat semua pengalaman yang telah dialaminya. Terutama sekali hal-hal yang baru saja terjadi, yang amat berkesan di hatinya.

Kematian ayah bundanya yang telah impas karena lima orang datuk kaum sesat yang membunuh mereka itu telah terbunuh semua. Usul ikatan jodoh antara dia dan Cia Giok Keng yang tidak disetujui oleh dara itu. Kematian Souw Li Hwa dan Yuan yang amat mengharukan hatinya dan yang mulai merubah pandangannya tentang cinta kasih antara pria dan wanita. Kemudian pengalamannya bersama Lim Hwi Sian yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya. Dan yang terakhir pengalaman mengerikan dengan Kim Seng Siocia sampai saat ini.

Mengapa jalan hidupnya selalu melintasi persoalan cinta? Mengapa banyak benar gadis yang dijumpainya dan dikenalnya, dan yang menimbulkan rasa suka di hatinya? Akan tetapi, cintakah semua itu? Tidak, dia yakin itu bukan cinta seperti yang disebut-sebut orang!

Dia suka kepada Yo Bi Kiok, kepada Souw Li Hwa, Cia Giok Keng, Lim Hwi Sian, Yuanita, karena mereka adalah dara-dara yang cantik jelita dan memiliki daya tarik masing-masing yang khas sehingga dia merasa suka dan tertarik. Akan tetapi itu bukan cinta! Bahkan apa yang dilakukannya bersama Hwi Sian malam itu, sama sekali bukan karena dorongan cinta bagi dia, melainkan karena rangsangan dan dorongan nafsu berahi. Entah bagi Hwi Sian. Cintakah itu?

Dan apa yang dilakukan Kim Seng Siocia terhadapnya itu, jelas bukan cinta karena Kim Seng Siocia memaksanya menjadi suami dengan tujuan untuk mengajaknya membantu dalam usahanya membalas dendam kepada Cia Keng Hong.

Dan bagaimana perasaannya terhadap Hong Ing? Dia menundukkan muka memandang tubuh yang meringkuk membelakanginya itu. Cintakah dia kepada Hong Ing? Ah, tentu saja tidak. Kalau kepada yang lain dia tidak pernah mencinta, mengapa kepada Hong Ing ada kecualinya? Dia hanya suka kepada Hong Ing, suka dan merasa kasihan mendengar riwayat dara yang terpaksa menjadi nikouw untuk menghindarkan diri dari pernikahan paksaan ini. Mengapa dia harus jatuh cinta kepada Hong Ing?

Kemudian terbayanglah peristiwa di atas kapal yang terbakar. Terbayanglah dua orang mahluk muda yang dengan rela suka mati bersama. Yuan dan Li Hwa! Mereka saling berpelukan sampai pada saat terakhir, sampai kapal yang terbakar itu membawa mereka tenggelam. Itukah cinta? Agaknya itulah! Saling membela, siap untuk berkorban diri sampai mati! Itukah cinta? Kalau perlu membasmi siapa saja dengan kekerasan, membasmi mereka yang hendak menghalangi hasrat mereka untuk hidup bersama. Inikah cinta antara pria dan wanita? Membawa kekerasan, pertentangan, bahkan kematian yang begitu mengerikan? Agaknya itulah cinta yang disanjung-sanjung manusia, cinta antara pria dan wanita dan segala sesuatu yang tercakup di dalamnya. Cemburu, iri hati, nafsu berahi, kesenangan, kekecewaan, kepuasan, kemarahan, kedukaan dan kebencian. Semua ini tercakup di dalam perasaan yang disebut cinta!

“Hemmm, kalau begitu aku tidak mau jatuh cinta!”

Kun Liong mengepal tinjunya dan kembali pandang matanya menimpa punggung Hong Ing.

Kalau bukan cinta, lalu apakah itu yang mendorong dia melakukan segala pengorbanan demi untuk menyelamatkan Hong Ing? Hanya karena kasihan begitu saja? Ataukah ada udang di balik batu, ada sesuatu di balik semua itu? Mengapa dia bersusah payah menyusul Hong Ing ke Go-bi-san sampai dia kesasar ke istana Kim Seng Siocia akan tetapi yang malah merupakan suatu kebetulan karena ternyata orang yang dicarinya, Pek Hong Ing, memang berada di situ? Bukankah itu cinta namanya?

“Tidak! Aku tidak mau jatuh...!”

Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ini. Ternyata diluar kesadarannya, dia telah meneriakkan suara hatinya ini sehingga dia melihat Hong Ing bergerak, agaknya terbangun oleh kata-katanya tadi. Betapa tololnya dia! Dan dara ini kelihatan begini angkuh! Kalau dia memperlihatkan bahwa dia agaknya hampir jatuh cinta, tentu dara ini akan menjadi makin angkuh saja! Tidak, dia tidak akan merendahkan diri sedemikian rupa, hanya karena dia suka dan kasihan kepada dara ini”

Karena merasa mengkal hatinya terhadap dirinya sendiri, Kun Liong melempar tubuhnya ke belakang, untuk rebah di dekat api unggun dan agar dia tidak dapat melihat lagi kepada Hong Ing.

“Dukkk!”

Hampir dia berteriak namun ditahannya, hanya jari-jari tangannya saja yang mengusap-usap kepala gundulnya yang tadi membentur batu ketika dia merebahkan diri terlentang. Kulit kepala itu berdenyut-denyut. Lumayan juga nyerinya!

Kun Liong membuka matanya, akan tetapi cepat menutupkannya kembali dan melindungi mata dengan tangan kiri dari sinar matahari yang amat menyilaukan dan menggunakan tangan kanan untuk menggaruki kepalanya yang terasa gatal-gatal.

Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinar matahari yang tepat sekali menimpa kepalanya itu menggigiti kulit kepalanya dan menyilaukan matanya. Setelah dia bangkit duduk dan terbebas dari sinar matahari yang tadi langsung menimpanya, dia baru berani membuka mata dan melihat Hong Ing sudah duduk di depannya dengan muka segar dan mulut tersenyum! Manisnya! Sepagi itu telah kelihatan segar dan jelas sekali bahwa dara ini tentu telah mandi, entah di mana!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: