*

*

Ads

FB

Rabu, 16 November 2016

Petualang Asmara Jilid 142

“Tetapi, di samping harta, masih ada pusaka yang mengandung ilmu yang mujijat, begitu dikatakan orang, bahkan belum lama Tok-jiauw Lo-mo bersamaku berusaha menyelidiki.”

“Siapa? Tok-jiauw Lo-mo murid Thian-ong Lo-mo?” Wanita itu kelihatan kaget.

“Aihh, jadi Siocia mengenalnya?”

“Tidak, akan tetapi aku sudah mendengar akan nama Thian-ong Lo-mo di kaki pegunungan ini. Kalau kakek seperti dia juga memperebutkan bokor, agaknya memang patut diperhatikan.”

“Tentu saja dia juga ikut memperebutkan. Bahkan dia telah bersekutu dangan Kwi-eng Niocu yang telah tewas di tangan Yap Kun Liong itu...”

“Apa? Demikian lihai Yap Kun Liong itu?”

“Lihai sekali, Siocia. Dia bahkan kabarnya mengalahkan banyak tokoh, biarpun dia tidak pernah bersungguh-sungguh. Bocah itu aneh dan kami sudah berhasil menangkapnya dengan jalan meracuninya, akan tetapi dia diselamatkan oleh nikouw cantik ini!”

Kim Seng Siocia kini memandang Hong Ing penuh perhatian.
“Benarkah ceritanya itu, Pek Nikouw?”

Hong Ing tak dapat membohong, maka dangan tenang dia menjawab,
“Pinni tidak tahu-menahu tentang bokor dan sebagainya, yang pinni ketahui hanyalah bahwa pinni memang telah menolong seorang pemuda yang menjadi tawanan, pemuda yang terkena racun...”

“Di mana dia Yap Kun Liong itu?” Marcus membentak.

Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang nyaring sekali di luar istana, suara yang menggetar dan menggema di seluruh puncak.

“Apakah disini tempat tinggal Go-bi Sin-kouw? Aku minta agar Sin-kouw suka keluar dan kita bicara tentang Pek Hong Ing...”

Semua orang terkejut. Orang yang bicara itu telah berada di depan istana! Mana mungkin ada orang datang tanpa diketahui oleh para penjaga? Akan tetapi yang paling terkejut adalah Hong Ing. Terkejut dan juga girang mendengar suara itu, suara Kun Liong!

“Kun Liong...!”

Dia berseru dan meloncat hendak keluar. Akan tetapi, Acui dan Amoi sudah menghadangnya dan dua orang pelayan yang lihai itu telah menggerakkan tangan untuk menangkapnya.






Hong Ing sudah siap, ketika hendak meloncat tadi, dan karena maklum akan kelihaian dua orang itu, maka dia sudah mendahului, mengirim tendangan kilat dan menotok. Tendangan mengarah pusar Amoi sedangkan totokannya ditujukan ke arah pundak Acui. Gerakannya sungguh tidak terduga dan cepat sekali, maka Amoi hanya dapat miringkan tubuh dan pahanya masih kena tendangan, sedangkan jari tangan Hong Ing dapat menotok tepat di pundak Acui.

“Buukkk! Cuussss!”

Tubuh Amoi yang terkena tendangan itu hanya terhuyung sedikit, sedangkan Acui juga hanya melangkah mundur dan sama sekali tidak terpengaruh totokan yang hanya membuat tubuhnya tergetar. Namun detik ini sudah cukup bagi Hong Ing untuk meloncat dari tempat itu menuju keluar.

“Wuuuiiiit... brusss!”

Tubuh Hong Ing tergelimpang kena disambar oleh angin pukulan dahsyat dari samping yang dilancarkan oleh tangan Kim Seng Siocia! Hong Ing terkejut sekali, akan tetapi pada saat itu, Acui dan Amoi sudah menubruk dan menangkapnya.

“Ikat dia!”

Kim Seng Siocia membentak dan Amoi segera mengikat kedua tangan Hong Ing ke belakang, menggunakan tali yang ulet itu, tali yang dapat mulur seperti karet.

“Kun Liong...!”

Hong Ing berseru nyaring, akan tetapi hanya satu kali itu karena lehernya sudah ditotok oleh jari tangan Acui yang lihai sehingga dia menjadi gagu!

“Hong Ing...! Dimana kau...?” Kun Liong berteriak girang ketika mendengar suara dara yang dikhawatirkannya itu.

Akan tetapi tiba-tiba tampak berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu dia sudah dikurung oleh puluhan orang gadis yang memegang bermacam-macam senjata! Kun Liong mencari akal, akan tetapi semua gadis itu tidak dikenalnya, bahkan Lauw Kim In yang disangkanya tentu akan muncul malah tidak nampak juga. Melihat sikap mereka yang penuh ancaman, dan mereka makin mengurung rapat, Kun Liong berseru,

“Haiiii! Kalian ini mau apa? Aku ingin berjumpa dengan Go-bi Sin-kouw untuk bicara tentang muridnya! Mundurlah kalian!”

Akan tetapi, para gadis itu tidak mundur bahkan kini makin banyak yang datang dan ada yang membawa obor sehingga keadaan di situ menjadi terang sekali. Acui dan Amoi muncul pula, diikuti oleh Marcus.

“Di sini tidak ada Go-bi Sin-kouw, yang ada hanya Siocia kami yang menantimu di dalam.” kata Amoi sambil tersenyum manis. “Hwesio muda yang tampan, kau menyerahlah untuk kami hadapkan kepada Siocia!”

“Amoi, hati-hati! Dia bukan hwesio dan dia lihai sekali!” kata Marcus.

Ketika Kun Liong mengangkat muka memandang, dia mengenal Marcus dan dia tertawa.
“Ah, kiranya Tuan Marcus yang berdiri di balik ini semua. Dahulu engkau menggunakan tentara pemerintah, sekarang engkau menggunakan tentara wanita. Sungguh kau licik sekali, Marcus. Lebih baik kalian lekas bebaskan nona Pek Hong Ing yang suaranya kudengar tadi, dan kami berdua akan pergi dari sini dengan aman karena memang tidak ada permusuhan diantara kita.”

“Tangkap dia! Tetapi jangan membunuhnya!”

Marcus berseru dan wanita-wanita itu yang maklum bahwa tentu perintah Marcus ini telah disetujui oleh Siocia, lalu mulai menyerbu ke depan. Apalagi yang disuruh tangkap adalah seorang pemuda tampan biarpun kepalanya gundul, maka mereka itu sudah menyarungkan senjata masing-masing, kemudian sambil terkekeh genit mereka menyerbu seperti berebut.

Melihat tangan yang berjari halus runcing itu, lengan yang bulat dan padat demikian banyaknya hendak meraihnya, Kun Liong bergidik. Betapa pun bagusnya tangan dan lengan itu, kalau terlalu banyak menimbulkan jijik dan ngeri juga! Dia lalu meloncat ke sana-sini untuk menghindar sambil berteriak-teriak,

“Aku tidak sudi berkelahi dengan kalian! Aku tidak sudi berkelahi dengan wanita!”

Namun tentu saja teriakan-teriakannya tidak dihiraukan, bahkan kini para wanita itu makin penuh gairah mengejarnya ke manapun juga. Ditubruk sana sini, dirangkul dan dicengkeram sampai akhirnya ada beberapa jari tangan yang berhasil mengait bajunya dan baju itu robek di sana-sini.

“Kalian menjemukan! Pergilah!”

Kun Liong berseru dan mengisi kedua lengannya dengan tenaga sin-kang lalu mendorong ke kanan kiri, dan... robohlah enam orang wanita, terpelanting seperti dilanda angin badai yang kuat. Mereka menjerit kaget dan kini Acui dan Amoi baru percaya akan ucapan Marcus tadi bahwa pemuda gundul ini lihai.

“Aihh, kiranya kau mempunyai juga sedikit kepandaian!” kata Acui dan dara ini meloncat maju, tubuhnya melambung tinggi dan dari atas tubuhnya menukik ke bawah, kedua tangan dibentuk seperti cakar setan, yang kiri mencengkeram ubun-ubun kepala gundul itu, yang kanan menotok jalan darah di pundak.

“Hemmm, ganas kau!”

Kun Liong mencela dan cepat dia memutar lengannya ke atas sambil mengerahkan tenaga.

“Bruuukkk...!”

Tubuh Acui terlempar dan hanya berkat keringanan tubuhnya yang lihai saja membuat Acui tidak sampai terbanting. Tentu saja dara ini terkejut bukan main, lalu dia menerjang lagi dibantu oleh Amoi. Melihat dua orang ini maju, maka para anak buah mereka hanya mengurung dengan ketat sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa karena mereka semua kagum dan suka kepada pemuda gundul yang lihai ini.

Kun Liong menjadi bingung dan gemas juga. Sebetulnya dia tidak senang harus menggunakan kekerasan, apalagi kalau disuruh berkelahi dangan wanita-wanita muda itu! Akan tetapi, melihat betapa pukulan dan cengkeraman dua orang gadis itu bukanlah serangan yang boleh dipandang ringan dan benar-benar berbahaya sekali, maka dia terpaksa mengelak dan kadang-kadang menangkis, bahkan di waktu menangkis, dia menggunakan tenaga sin-kang sehingga dua orang gadis itu berkali-kali terdorong mundur dan menjerit kesakitan ketika beradu lengan.

Mereka makin kagum dan juga terkejut. Acui memberi isyarat dan keduanya mencelat ke belakang, Amoi di belakang dan Acui di depan pemuda itu. Keduanya sudah mengeluarkan tali hitam yang ulet dan paniang, dan di ujung tali-tali itu terdapat lingkaran lasso. Begitu kedua gadis itu menggerakkan tangan, terdengar bunyi bercuitan dan dua batang lasso itu meluncur seperti ular hidup menuju ke arah kepala Kun Liong!

Kun Liong maklum bahwa dia hendak ditangkap dangan lasso, maka kedua tangannya siap. Ketika merasa betapa angin telah meniup kepalanya, tanda bahwa dua tali itu sudah menyambar turun, secepat kilat kedua tangannya menangkap lasso dan dengan gerakan tiba-tiba dia menarik sambil mengerahkan tenaga.

“Aiihhh...!”

Acui dan Amoi menjerit berbareng karena tubuh mereka sudah terbawa oleh tali yang mereka pegang erat-erat, terbawa oleh tarikan Kun Liong sehingga mereka melayang ke atas dan saling bertubrukan di atas. Baiknya keduanya lihai sekali, sambil melepaskan tali, mereka saling berpegang tangan, kemudian meminjam tenaga masing-masing, keduanya sudah melayang turun ke depan Kun Liong. Wajah mereka agak pucat dan Kun Liong tersenyum tenang menghadapi mereka, lalu berkata.

“Nona-nona harap sabar. Aku datang bukan untuk berkelahi, melainkan untuk minta kepada siapa pun yang menahan Nona Pek Hong Ing agar supaya membebaskannya.”

“Pergunakan senjata!”

Acui yang merasa marah dan penasaran membentak.
“Sing-sing-sing! Wuuuttt!” Di antara sinar obor, tampak kilatan banyak senjata yang tercabut.

“Jangan...! Jangan bunuh dia... tangkap saja...!”

Marcus berseru, akan tetapi agaknya seruannya tidak dihiraukan oleh Acui, Amoi, dan anak buah mereka.

Selagi para pengurung itu bergerak dengan senjata di tangan, mengelilingi Kun Liong yang makin bingung dan siap untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba pintu depan istana terbuka dan terdengar seruan halus,

“Tahan dan mundur semua!”

Suara ini berpengaruh sekali karena semua wanita itu serentak mundur dan membiarkan Kun Liong menghadapi orang yang baru datang, seorang wanita gemuk yang bermuka ramah dan tersenyum.

Melihat wajah orang, Kun Liong menjadi lega dan cepat dia menjura.
“Aku Yap Kun Liong mohon agar dapat bertemu dangan Nona Pek Hong Ing...”

Akan tetapi wanita gemuk itu, yang bukan lain adalah Kim Seng Siocia, tidak menjawab, melainkan tetap tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar dan pandang matanya menjelajahi seluruh tubuh Kun Liong, dari sepatunya yang berdebu sampai kepalanya yang gundul kelimis dan berkeringat.

Dipandang seperti itu, Kun Liong merasa malu dan hanya menunduk, akan tetapi matanya diangkat untuk melihat dan mengawasi setiap gerak-gerik orang ini.

“Engkau bukan hwesio?” tiba-tiba Kim Seng Siocia bertanya.

Pertanyaan macam ini sudah terbiasa oleh Kun Liong, maka dia tidak banyak rewel dan menggelengkan kepalanya yang gundul mengkilap terkena sinar obor yang banyak itu.

“Mengapa kepalamu gundul?” kembali Kim Seng Siocia bertanya.

“Terkena penyakit!” jawab Kun Liong tak acuh dan jelas dia mulai kelihatan mendongkol karena kembali kepalanya yang dijadikan persoalan dan bahan percakapan pada saat yang genting itu.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: