*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 119

Owyang Bouw tidak berani melawan Kakek Botak itu. Dia sudah mendengar dari para datuk kaum sesat betapa lihainya kakek asing bule ini, maka dia tidak mau membahayakan dirinya sendiri. Dia mengerahkan tenaga gin-kangnya, dan berlari lebih cepat lagi masuk keluar hutan dan naik turun gunung di tengah pulau itu.

Namun kakek itu tetap dapat mengejarnya makin lama makin dekat sehingga Ouwyang Bouw menjadi panik sekali. Sebentar lagi, dia tentu akan tersusul. Dia meloncati jurang, namun pengejarnya dapat meloncatinya lebih cepat lagi. Akhirnya dia mendengar suara kakek itu dekat di belakangnya.

“Serahkan bokor itu kepadaku, kemana pun kau lari tentu akan terdapat olehku!”

Mendengar suara ini tanpa mendengar jejak kakinya, maklum pula Ouwyang Bouw betapa tinggi ilmu gin-kang pengejarnya. Ia makin panik dan terjadilah perang di dalam pikirannya. Bokor atau nyawa? Dia memilih nyawa dan tiba-tiba dia melontarkan bokor emas itu sekuatnya ke dalam jurang!

Perhitungannya tepat sekali. Melihat bokor emas itu dibuang, tentu saja Legaspi cepat mengejar benda itu dan tidak lagi mempedulikan Ouwyang Bouw. Baginya yang terpenting adalah bokor itu dan dia tidak butuh Ouwyang Bouw. Andaikata tidak ada bokor itu, tentu saja dia akan bunuh pemuda itu karena telah merobohkan puteranya.

Mendapatkan bokor itu di tangan, Legaspi Selado tertawa bergelak, kemudian berlari kembali. Kelika melihat tubuh puteranya terkapar, dia berlutut dan membalikkan tubuh itu telentang. Sebentar saja memeriksa tahulah dia bahwa jarum-jarum beracun yang amat jahat telah memasuki dada puteranya dan tidak dapat lagi dia menolong.

“Ayah... tolonglah saya...”

Legaspi Selado bangkit berdiri.
“Percuma, kau tentu akan mati tak lama lagi. Dan lebih baik begini, kau tidak akan bermain gila dengan Nina.”

Setelah berkata demikian Legaspi lari dari situ, membawa bokor menuju ke pantai. Dia sudah mendapatkan bokor, dia tidak mempedulikan pertempuran yang masih berlangsung, apalagi menolong Souw Li Hwa seperti yang direncanakan. Bokor sudah didapat, lebih lekas pergi meninggalkan tempat itu lebih baik! Apalagi, dia melihat dari jauh betapa dua orang kakek datuk kaum sesat itu sedang bertanding dan terdesak oleh dua orang yang lihai bukan main.

Yang seorang dia tidak mengenalnya, akan tetapi yang melawan Toat-beng Hoat-su yang dia tahu amat sakti, adalah seorang yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri, karena dia mengenal orang itu sebagai Panglima Besar The Hoo yang namanya tidak saja menggemparkan seluruh Tiongkok, akan tetapi juga terkenal jauh di negara-negara di luar Tiongkok!

Maka dia makin cepat lari dari situ, tidak tahu bahwa dari jauh ada bayangan orang berkelebat mengejarnya. Bayangan ini bukan lain adalah Kun Liong. Dari jauh dia tidak melihat apakah kakek itu sudah menemukan bokor, akan tetapi karena dia tahu bahwa Legaspi Selado dan puteranya tadi meninggalkan gelanggang pertandingan tentu untuk mencari bokor, dia mengejar terus.






Di jalan tadi dia melihat Hendrik sudah mati dengan tanda-tanda keracunan jarum merah milik Ouwyang Bouw. Akan tetapi tidak tampak Ouwyang Bouw atau mayatnya di situ. Apakah kakek di depan itu masih sedang mengejar Ouwyang Bouw? Dia tidak tahu maka dia mempercepat larinya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek itu benar-benar lihai dan larinya cepat sekali biarpun dia sudah tua dan tubuhnya gendut.

Legaspi sudah meloncat ke sebuah perahu yang disediakan di situ, terus mendayung kuat-kuat ke arah Kapal Kuda Terbang yang berjajar dengan Perahu Ikan Duyung di tengah laut, dalam jarak yang tidak terlalu jauh.

Kun Liong yang datang terlambat melihat kakek yang dikejarnya itu sudah sampai di kapal dan meloncat ke atas kapal itu. Maka dia pun cepat menggunakan sebuah di antara perahu-perahu itu untuk menuju ke kapal Kuda Terbang. Akan tetapi sengaja dia mengambil jalan memutar.

Sementara itu, Yuan de Gama yang melihat Legaspi datang sendiri berperahu, maklum bahwa penyerbuan itu gagal. Maka dia cepat-cepat memerintah Perahu Ikan Duyung yang ditumpangi ayah dan adiknya untuk memasang layar mengangkat sauh (jangkar) dan berlayar lebih dulu ke utara. Adapun dia dengan Li Hwa yang memiliki kepandaian tinggi, menanti di Kapal Kuda Terbang untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan yang lain untuk kembali ke kapal.

Dan benar saja, dia melihat dari pantai ada tujuh orang temannya yang tergesa-gesa naik perahu, menuju ke kapalnya. Akan tetapi Legaspi Selado sudah meloncat lebih dahulu ke kapal dan tampaklah oleh Yuan de Gama dan Li Hwa betapa bokor emas itu telah dibawa oleh kakek ini, disembunyikan di balik jubahnya!

“Guruku telah berhasil merampas bokor!” kata Yuan gembira karena memang menurut rencana bokor itu harus dirampas untuk dikembalikan kepada The Hoo agar perhubungan antara para pedagang dan kerajaan menjadi makin erat yang hasilnya tentu saja menguntungkan pihak pedagang asing.

Souw Li Hwa menghadapi Legaspi dan berkata,
“Kembalikan bokor emas itu kepadaku.”

Akan tetapi Legaspi memandang dengan mata terbelalak dan melotot marah.
“Kau! Bukankah kau wanita yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pasukan sahabatku? Kau harus mati!”

Sambil berkata demikian, Legaspi sudah mengeluarkan cambuknya yang lihai, mengayun cambuk di atas kepala sampai terdengar ledakan-ledakan, kemudian cambuk menyambar turun ke arah tubuh Li Hwa!

Biarpun Li Hwa masih lemah, namun dengan ringannya dia dapat menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri. Dia telah kehilangan pedangnya ketika ditawan, maka kini dia siap menghadapi lawan tangguh itu dengan tangan kosong.

“Tuan Legaspi Selado, jangan serang dia!” Yuan de Gama membentak, “Dia adalah murid Panglima The Hoo! Kita sudah berjanji akan mengembalikan bokor...”

Cambuk itu menyambar, pemuda itu terpelanting dan terbanting di atas dek.

“Ha-ha, kau hendak melawan gurumu, ya?”

Legaspi kini kembali menghadapi Li Hwa. Cambuknya bertubi-tubi menyerang dan biarpun Li Hwa dapat mengelak ke sana-sini, namun dara ini tidak dapat balas menyerang. Tubuhnya masih lelah dan dia tidak bersenjata, sedangkan ilmu kepandaian Legaspi bermain cambuk amat dahsyat. Ujung cambuk sudah mematuk dua kali di pundak dan pinggulnya, membuat dua bagian tubuh ini berdarah dan pakaiannya robek.

“Tuan Legaspi, berhenti menyerang. Kalau tidak kutembak!”

Mendengar ini, Legaspi menghentikan serangannya dan menoleh ke arah Yuan de Gama. Dia maklum akan kemahiran Yuan menembak, maka dia ragu-ragu.

“Saya adalah kapten kapal ini, biarpun Anda guru saya, harus tunduk kepada perintah kapten!”

Pada saat itu, tujuh orang asing yang melarikan diri dari pulau telah tiba dan mendarat di atas dek kapal. Yuan de Gama menoleh kepada mereka dan terkejut melihat mereka itu adalah kaki tangan Legaspi. Gerakannya menoleh yang sebentar itu cukup bagi Legaspi. Cambuknya menyambar dan Yuan de Gama berteriak kaget ketika pistolnya direnggut ujung cambuk dari tangannya!

“Ha-ha-ha! Tangkap mereka!”

Legaspi Selado berteriak dan kembali dia menyerang dengan cambuknya. Yuan dan Li Hwa mencoba untuk melawan, akan tetapi ketika dua orang di antara tujuh kaki tangan Legaspi mengeluarkan pistol dan mengancam, terpaksa mereka menghentikan perlawanan. Mereka tahu bahwa melawan terus berarti mati, maka sementara ini lebih baik menyerah.

“Ikat mereka di tihang kapal. Kita jadikan mereka sebagai sandera!” kata Legaspi. “Angkat sauh dan kembangkan layar, cepat kita pergi dari sini!”

Di dalam kesibukan itu, mereka semua tidak melihat Kun Liong yang menyelinap dan tahu-tahu pemuda ini sudah berada di belakang tihang di mana Li Hwa dan Yuan dibelenggu. Mudah saja Kun Liong mematahkan belenggu kaki tangan mereka dan membebaskan mereka dari totokan yang tadi dilakukan Legaspi agar dua orang tawanannya itu tidak mungkin lolos.

“Terima kasih, Kun Liong...”

“Ssst, kalian lawan tujuh orang itu dan aku menghadapi Legaspi!”

Kun Liong cepat meloncat ke luar dan gegerlah tujuh orang itu dan Legaspi ketika melihat pemuda gundul ini muncul seperti setan saja. Dua orang awak kapal mencabut pistol, hanya mereka yang masih bersenjata, lainnya sudah kehabisan senjata ketika melarikan diri dan meninggalkan banyak mayat kawan mereka, tapi dari belakang mereka meloncat keluar lima orang pelayan pribumi yang langsung menyergap mereka.

Terjadi perkelahian cepat dan lima orang itu tewas seketika oleh cambuk Legaspi, akan tetapi Kun Liong yang bergerak seperti kilat sudah dapat pula membuat dua buah pistol terlempar ke laut, Li Hwa dan Yuan muncul dan mengamuk, menghadapi tujuh orang anak buah Legaspi Selado, dan kakek botak itu sendiri, dengan bokor emas dirangkul oleh lengan kiri dan cambuknya dipegang tangan kanan, terpaksa menghadapi serbuan Kun Liong!

Adapun Li Hwa mengamuk berdampingan dan tujuh orang itu tentu saja bukan lawan mereka. Apalagi Li Hwa yang tegang hatinya melihat bokor emas berada di tangan kakek botak yang lihai itu, dia menggerakkan semua tenaga yang masih ada dan berkat ilmu silatnya yang tinggi, sebentar saja dia dapat merobohkan mereka, dibantu Yuan, seorang demi seorang.

Sementara itu, pertempuran antara Legaspi dan Kun Liong juga berlangsung seru. Cambuk itu meledak-ledak dan Kun Liong yang bertangan kosong menggunakan ilmu gin-kangnya, selalu dapat mengelak dan balas menyerang dengan pukulan jauh menggunakan sin-kang.

Tentu saja karena pemuda ini merasa pantang untuk membunuh orang, menghadapi Legaspi sekalipun dia tidak pernah bermaksud membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal inilah yang membuat dia belum juga dapat merobohkan lawan. Andaikata dia tidak berpantang membunuh, dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, dengan sin-kangnya yang hebat dan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dia tentu sudah berhasil membunuh lawan.

Legaspi menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi yang melawan mati-matian. Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan pemuda gundul yang lihai seperti setan ini, biarpun hanya bertangan kosong. Tiba-tiba ia berseru keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat tihang induk. Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat peledak. Begitu meledak, timbul kebakaran di tempat itu, karena angin bersilir dan api menjilat layar, sebentar saja kapal itu sudah berkobar-kobar.

Melihat ini, Yuan dan Li Hwa cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian keduanya mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya sedikit itu mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dahsyat?

Kun Liong penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar, dia sengaja menubruk dan melindungi tubuh dengan sin-kangnya.

“Tarrr!” cambuk menghantamnya dan membelit tubuhnya, akan tetapi Kun Liong mencengkeram ke arah tangan kanan yang memegang cambuk.

“Augghh!”

Legaspi berteriak dan terpaksa melepaskan gagang cambuk dan menarik tangannya. Pada saat itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang besar ke arah dada Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini dengan dadanya menggunakan Thi-khi-i-beng dan... telapak tangan itu melekat pada dadanya, terus saja sin-kang dari tubuh Legaspi mengalir seperti air membanjir ke tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat ril dek, di pinggir kapal.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa bahwa tangannya disedot, makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawan dari Thi-khi-i-beng dan mendorongnya ke belakang.

Dengan jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, melalui ril dan jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke bawah dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu tengkuknya berdiri. Dia tidak sengaja membunuh orang, akan tetapi orang itu betapapun juga mati tenggelam di laut karena bertanding dengan dia!

“Gara-gara benda tertutuk ini!” Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan korban.

“Kun Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!” kata Li Hwa.

“Aku tidak membunuhnya dan...”

“Hem, mengapa mengobrol saja?” teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya yang kekar itu penuh keringat. “Lebib balk lekas bantu memadamkan api kalau tidak ingin dibakar hidup-hidup!”

Kun Liong dan Li Hwa segera membantu dengan ember, menguras persediaan air, bahkan menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang hebat itu. Namun usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam, di lain bagian sudah mendapatkan bahan bakar yang lebih banyak.

**** 119 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: