*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 118

Sambil mencengkeram tengkuk orang itu, Yuan memaksanya berdiri dan berjalan ke arah pondok Ouwyang Bouw. Yuan menendang pintu, sambil menyeret orang itu dia lari masuk sambil berteriak memanggil,

“Li Hwa...! Li Hwa...!”

“Tuan...!”

Teriakan yang amat dikenalnya ini membuat Yuan hampir bersorak. Ditamparnya leher lawannya itu sehingga roboh terguling dan pingsan, kemudian dia lari masuk, menendang terbuka pintu kamar. Ketika melihat Li Hwa rebah di pembaringan dengan kaki tangan terikat, pakaian cabik-cabik setengah telanjang, rambut awut-awutan dan muka pucat, Yuan menjerit.

“Duhai... Li Hwa... kau...!”

“Yuan! Syukur kau datang...!”

Yuan cepat melepaskan belenggu kaki tangan dara itu dan mereka seperti digerakkan tenaga mujijat saling dekap, saling cium dan keduanya menangis! Akan tetapi Yuan berbisik,

“Tenanglah, kekasihku, dewiku... ah, Li Hwa yang kucinta, kau sudah selamat... mari kau kubawa menyingkir dari tempat terkutuk ini...”

Sambil tersedu menangis, Li Hwa membiarkan dirinya dipondong karena tubuhnya masih lemas sekali. Pergelangan kedua tangan dan kakinya masih luka-luka bekas belenggu yang kuat, dia hanya merangkul leher pemuda yang dicintanya itu, merebahkan dan menyembunyikan mukanya di dada yang bidang sambil berbisik,

“Yuan... aku... aku cinta padamu...”

Ucapan ini membuat Yuan hampir menari kegirangan, akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan, hanya air matanya saja berderai saking terharu dan bahagianya, dan memondong tubuh orang yang dikasihinya itu seperti memondong sebuah benda pusaka keramat yang dipujanya, kemudian lari keluar dari pondok itu dan terus berlari cepat menuju ke pantai, tidak lagi mempedulikan perang yang masih terjadi di situ.

Setibanya di Kapal Kuda Terbang, dia memerintahkan beberapa anak buah yang melayani kapal dan tidak ikut berperang, yaitu orang-orang Han, untuk menggerakkan kapal agak ke tengah akan tetapi melepaskan perahu-perahu kecil di pantai sehingga para anak buahnya dapat menggunakan perahu itu ke kapal kalau pertandingan sudah selesai.

Setelah memondong tubuh Li Hwa ke kamarnya, merebahkan dara itu ke atas pembaringan, memeluk dan menciumnya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas, lalu mengobati dan membalut luka-luka pada pergelangan tangan dan kaki, memberikan seperangkat pakaian Yuan untuk dipakai kekasihnya ini, dan lalu berkata,

“Li Hwa, kau menanti saja di sini dan istirahatlah, aku akan membantu kawan-kawan yang masih bertempur.”






“Jangan...!” Li Hwa memegang lengannya karena dia teringat akan kelihaian Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong dan Ouwyang Bow. “Mereka amat sakti...”

Tahu bahwa dara yang dicintanya itu mengkhawatirkan keselamatannya, hati Yuan membesar, dia membungkuk dan mencium dara yang sudah duduk itu. Maka Li Hwa menjadi merah karena dia merasa betapa setiap ciuman pemuda itu selalu dibalasnya dengan kemesraan dan dengan seluruh cintanya. Teringat ini dia menjadi malu sendiri dan dia ikut turun dan berdiri.

“Jangan khawatir, sayang. Di sana ada Legaspi Selado guruku, ada Hendrik, semua anak buah, dan terutama sekali, disana ada sahabatku yang paling hebat, yaitu Yap Kun Liong.”

“Ohhhh...!”

Sungguh Li Hwa tidak menyangka akan hal ini dan diam-diam diapun girang karena dia tahu bahwa pemuda gundul itu benar-benar lihai, sungguh pun dia masih sangsi apakah mereka semua dapat melawan orang-orang Pulau Ular.

Mereka keluar dari kamar dan menuju ke dek kapal
“Aku harus membantu mereka, dan kau tinggallah di sini, sayang.”

“Tidak, aku akan ikut denganmu!”

“Jangan kau masih lemah.”

“Hanya luka ringan dan sekarang sudah pulih begitu bertemu denganmu. Dan... ahh, lihat, mereka datang...”

Yuan menengok ke arah yang ditunjuk kekasihnya dan benar saja, tampak perahu besat milik pemerintah di tepi pantai dan banyak orang berloncatan dengan sigap ke darat lalu menyerbu ke pulau.

“Mereka itu tentulah anak buah Suhu!” Li Hwa berseru girang.

Mendengar ini Yuan tidak jadi mendarat, hanya berdiri memandang di samping Li Hwa yang menggandeng lengannya, agaknya dara ini khawatir kalau ditinggal pergi. Diam-diam dia melamun penuh kegelisahan hati. Dia mencinta Yuan dan Yuan mencintanya. Cinta yang mendalam. Dia lebih baik mati kalau tidak hidup bersama Yuan. Akan tetapi Yuan, pemuda asing. Bagaimana gurunya yang menjadi walinya akan dapat menyetujui perjodohan ini? Apa pun yang akan terjadi, dia tetap akan hidup bersama Yuan. Kalau perlu dia akan menentang gurunya. Perjodohan merupakan jalan hidupnya, siapa pun tidak boleh mencampurinya, termasuk gurunya sendiri!

Apakah yang terjadi di Pulau Ular setelah ditinggalkan Yuan dan Li Hwa? Ketika itu, Kun Liong sedang mati-matian menghadapi pengeroyokan dua orang datuk kaum sesat yang amat lihai itu. Hampir saja dia tertusuk pedang ular. Untung dia masih sempat mengelak, kemudian melanjutkan lagi elakannya dari sambaran senjata terompet, akan tetapi dari samping, jubah di tangan Toat-beng Hoat-su menyambar dan dia merasa seperti diseruduk gajah, tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya!

Baiknya, sin-kang di tubuhnya yang otomatis itu sudah menyelamatkannya sehingga dia tidak terluka, hanya kepalanya agak pening, tampak bintang-bintang kecil menari-nari. Terlempar sejauh itu menguntungkan Kun Liong, karena dia sempat menyambar sebatang ranting kayu yang dekat dengannya, dan ketika dua orang lawannya menerjang datang, dia dapat menjaga diri dengan ranting itu.

Cepat dia mainkan Siang-liong-pang-hoat dengan dua tongkat di tangan kanan kiri dan kedua orang kakek itu terkejut bukan main karena dalam gebrakan pertama itu, mata kanan Toat-beng Hoat-su hampir buta tertusuk ujung ranting, sedangkan jalan darah pundak kiri Ban-tok Coa-ong tertotok lumpuh sehingga terompetnya terlepas. Mereka kaget dan marah, Ban-tok Coa-ong sudah menyambar terompetnya lagi dan bersama kawannya dia sudah menerjang dengan dahsyat sekali sehingga kembali Kun Liong terdesak.

Akan tetapi sekali ini, dengan kedua ranting di tangan, dia lebih leluasa melawan dan lebih kuat penjagaannya, karena ranting-ranting itu setiap kali menangkis dapat dia serongkan sebagai serangan balasan.

Pada saat itu, terdengar bunyi tambur dan terompet dan menyerbulah pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Panglima Besar The Hoo dan Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Panglima Besar The Hoo sekali ini memimpin sendiri penyerbuan, bukan semata-mata untuk mendapatkan kembali bokor emas pusakanya, akan tetapi terutama sekali karena dia khawatir akan keselamatan murid tunggalnya yang juga seperti puterinya sendiri, Souw Li Hwa.

Kedatangan pasukan pemerintah ini tentu saja membuat keadaan menjadi terbalik sama sekali. Tadinya pihak anak buah orang barat itu terdesak hebat dan banyak jatuh korban di antara mereka. Mereka tinggal sepuluh orang saja yang masih melawan terus.

Para pasukan pemerintah yang melihat orang-orang barat itu menganggap mereka kawan karena bukankah sekarang telah ada semacam “perdamaian” antara orang-orang bule ini dengan pemerintah, karena Kaisar telah memberi ijin mereka berdagang di pantai Pohai? Maka begitu mereka menyerbu, sepuluh orang itu girang sekali dan mundur untuk beristirahat, malah kembali ke pantai. Pihak anak buah Pulau Ular terdesak hebat dan banyak di antara mereka berjatuhan.

Sementara itu, ketika Cia Keng Hong melihat Kun Liong dikeroyok dua oleh dua orang datuk, bersama Panglima The Hoo menonton sebentar. Kedua orang sakti ini kagum bukan main menyaksikan betapa pemuda gundul itu dengan senjata sepasang ranting mampu mempertahankan diri terhadap pengeroyokan dua orang datuk selihai itu. Mereka segera maju dan Keng Hong berseru kepada Kun Liong,

“Mundurlah kau dan mengasolah!”

Kun Liong menjadi girang bukan main melihat munculnya Cia Keng Hong yang sudah menghadapi Ban-tok Coa-ong dan dia baru teringat sekarang mengapa dia tidak melihat Owyang Bouw?

Kemana perginya putera Ban-tok Coa-ong ini? Pemuda itu sedang berada di kamar rahasia, sengaja bertugas menjaga bokor emas, karena dua orang datuk itu takut kalau-kalau musuh menggunakan siasat memancing harimau keluar dari guha, selagi mereka bertempur dapat merampas bokor. Pula, karena mereka sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, tidak perlu kiranya Ouwyang Bouw membantu mereka, lebih perlu menjaga keselamatan bokor emas!

“Supek, teecu hendak mengejar Legaspi, mencari bokor!”

“Hemmm, kalau begitu pergilah!” Keng Hong berkata cepat.

Setelah memandang kagum kepada kakek berpakaian panglima yang ternyata bukan main gagahnya itu, Kun Liong dapat menduga tentu inilah orangnya manusia sakti The Hoo itu! Dia lalu pergi dan meloncat kearah kemana perginya Legaspi dan Hendrik tadi.

Kemana perginya Legaspi Selado dan puteranya? Legaspi cerdik sekali. Dia pun tidak melihat Ouwyang Bouw, dan dia menduga bahwa tentu putera Raja Ular itu yang bertugas menjaga pusaka. Maka dia menangkap seorang anak buah Pulau Ular, mencekiknya dan mengancam,

“Hayo katakan dimana adanya Ouwyang-kongcu!”

Dia tidak menanyakan bokor emas karena menduga bahwa anak buah disitu kiranya tidak ada yang diberi tahu dan memang dugaannya itu tepat.

Karena takut, orang itu lalu memberi tahu dimana kamar pusaka, karena tadi dia melihat putera majikannya itu memasuki kamar pusaka yang berada di tempat rahasia. Dinding itu tidak tampak ada pintunya, akan tetapi ketika orang itu memutar sebuah patung singa di depan, tiba-tiba saja dinding terbuka dan terdapat sebuah pintu! Legaspi menampar pecah kepala orang itu, kemudian bersama Hendrik dia memasuki pintu rahasia!

Ketika Legaspi yang lebih cepat larinya itu melewati sebuah gang, Hendrik melihat berkelebatnya bayangan Ouwyang Bouw. Memang Ouwyang Bouw tentu saja sudah tahu bahwa pintu depan terbuka. Ketika dia mengintai dan melihat Legaspi Selado yang sudah diketahuinya, dia terkejut dan tahu bahwa dia tidak menang melawan kakek botak itu. Maka sambil mengempit bokor dia melarikan diri, dan terlihat oleh Hendrik.

“Heee... berhenti...!” Hendrik mengejar dan mencabut pistolnya.

Melihat ada lawan mengejarnya, Ouwyang Bouw menengok dan dia tertawa mengejek ketika melihat bahwa yang mengejarnya hanyalah seorang pemuda asing dengan senjata api di tangan. Dia maklum akan kelihaian senjata itu dan ketepatan pelurunya, lebih bahaya lagi kalau dia membelakangi lawan. Maka cepat dia membalik, tangannya sudah menggenggam jarum-jarum mautnya.

Melihat orang yang membawa bokor emas itu membalik, Hendrik yang juga tahu bahwa orang-orang di Pulau Ular tentu lihai sekali, cepat mengangkat lengan, membidik dan menarik pelatuk pistolnya.

Semua gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia termasuk seorang penembak ulung di negaranya. Akan tetapi terlalu lambat bagi pandangan Ouwyang Bouw yang telah bergerak lebih cepat lagi begitu moncong pistol diarahkan kepadanya. Dia miringkan tubuh dan gerakan ini hanya membutuhkan waktu seperempat detik saja, sedangkan jalannya peluru yang ditembakkan untuk mencapai sasarannya paling cepat setengah detik. Peluru lewat tanpa mengenai sasaran dan sebelum Hendrik sempat menembak lagi, Ouwyang Bouw sudah meloncat ke atas dan menggerakkan tangannya.

Melihat sinar merah menyambar, Hendrik maklum bahwa dia diserang senjata gelap, cepat dia mengelak, namun dia tidak mengira akan kelicikan lawan.

Hanya tiga perempat saja dari jarum-jarum yang digenggam itu menyerang dan semua ini dapat dielakkan oleh Hendrik, akan tetapi sisa jarum menyusul sedetik kemudian dan sekali ini, biarpun Hendrik masih mencoba mengelak, dia kalah cepat dan sambil berteriak keras Hendrik roboh dengan tiga jarum merah memasuki dadanya!

“Hendrik...!”

Legaspi berteriak. Kakek botak ini sudah keluar dari rumah itu dan mengejar. Terlambat dia melihat puteranya menjadi korban lawan dan dia hanya dapat memanggil nama puteranya. Akan tetapi melihat seorang pemuda berlari pergi dengan cepatnya sambil memondong sebuah bokor emas, kakek ini seketika melupakan puteranya dan terus mengejar.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: