*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 110

Tiga orang itu saling pandang, lalu saling bicara ramai dalam bahasa yang bagi telinga Kun Liong seperti kicau burung yang tidak karuan artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang agaknya sudah dapat “memungut” sepatah dua patah kata-kata dalam bahasa pribumi, menunjuk ke arah air di tong air itu sambil berkata kaku,

“Mandi...! Mandi...!”

“Mandi...!” Dua orang gadis lainnya bersorak dan menunjuk-nunjuk ke tong air.

Kun Liong terbelalak,
“Mandi...?”

Dia bertanya dan memandang bingung. Jadi dia disuruh mandi? Dipandangnya pakaiannya yang basah kuyup dan robek, dan hidungnya memang mencium bau amis air laut. Dilihatnya seorang di antara tiga pelayan wanita muda itu menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil dan terciumlah bau wangi sekali ketika isi botol itu memasuki air di tong.

“Mandi...!” Tiga orang dara itu berkali-kali mendesaknya.

Kun Liong makin bingung. Ah, lebih baik diturut saja kehendak tiga siluman cantik ini, pikirnya, kalau tidak tentu mereka tiada akan sudahnya mengganggunya.

“Baiklah. Aku akan mandi. Nah, kalian keluarlah dari kamar ini!” Telunjuknya menuding ke arah pintu kamar itu.

Tiga orang gadis itu saling pandang dan kelihatan bingung. Mereka kelihatan menjadi hilang sabar dan mendekati Kun Liong, mendorong-dorongnya dengan halus sambil menunjuk-nunjuk ke arah tong air dan bibir mereka berkata dengan kaku dan sukar,

“Mandi... mandi... mandi...!”

Celaka, pikir Kun Liong. Kalau dia menolak dan memaksa diri lari keluar untuk membebaskan diri dari desakan tiga orang gadis itu, tentu dia akan menghadapi keadaan yang membuatnya tidak enak dan canggung. Begitu pun aneh dan asingnya, jelas bahwa pihak tuan rumah bersikap hormat dan baik kepadanya. Agaknya karena mereka tadi melihat pakaiannya kotor basah dan robek, dia dipersilakan mandi lebih dulu. Akan tetapi mana mungkin mandi dijaga oleh tiga orang gadis pelayan yang cantik-cantik, genit-genit, dan cerewet akan tetapi tidak dia mengerti ucapannya itu?

“Baiklah! Mandi ya mandi...!” Akhirnya dia berkata kesal dan serta merta dia meloncat ke dalam tong air!

“Byuuurrr...!” Air itu sungguh sejuk menyegarkan dan berbau harum!

Seperti induk-induk ayam berkotek, petok-petok dengan sikap yang sibuk sekali, tiga orang gadis pelayan itu mengelilingi tong air. Mereka berteriak-teriak tanpa dimengerti oleh Kun Liong, kemudian seorang di antara mereka agaknya ingat akan hafalannya dan berkata,

“Pakaian... pakaian...!”






“Hehh? Apa? Pakaian...?”

Kun Liong tidak mengerti dan tiba-tiba tiga orang gadis pelayan itu menyerbunya, menarik-narik baju dan celananya dengan paksa untuk menanggalkan pakaiannya!

“Heiii... eh-eh, heeiiittt... aduh bagaimana ini...?”

Kun Liong berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang wanita muda itu tertawa-tawa dan tidak mau melepaskan lagi pakaiannya sehingga akhirnya baju dan celananya terlepas dan ditarik lolos dari tubuhnya.

“Wah, kalian rusuh...! Kalian melanggar susila...! Wah, bagaimana ini...?”

Kun Liong yang kini telanjang bulat itu merendam tubuh di dalam air dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi bawah pusar. Hanya kepalanya yang gundul itu tampak di atas permukaan air, kepalanya menjadi merah mengikuti warna mukanya, merah karena jengah, malu, dan juga bingung dan ngeri!

Akan tetapi tiga orang gadis pelayan itu tidak mempedulikan semua protesannya. Mereka melemparkan pakaian kotor itu di sudut kamar, kemudian dengan senyum manis mereka menyerbu Kun Liong dan mulailah mereka memandikan pemuda itu. Ada yang menyabuni tubuhnya, ada yang menggosok-gosok kepala gundulnya, dan ada yang menggunakan air harum itu menyiram mukanya.

Sabun itu pun wangi sekali dan kini mengertilah Kun Liong bahwa mereka itu ternyata benar-benar sedang memandikannya! Digosok-gosok dan dipijit-pijit pundaknya, terasa nyaman sekali sehingga dia tidak meronta lagi. Hanya bersandar kepada pinggiran tong itu dengan kedua tangan masih melindungi anggauta rahasianya dan matanya merem melek, bukan karena keenakan saja melainkan karena kadang-kadang terasa pedas kemasukan air sabun. Mulutnya mengomel panjang pendek, sungguhpun bukan omelan marah lagi.

“Ihh, kalian ini apa-apaan sih? Apakah aku ini dianggap bayi? Mentang-mentang kepalaku gundul... masa ada bayi sebegini besarnya? Sudahlah, sudah... aku bisa mandi sendiri!”

Akan tetapi tentu saja tiga orang gadis itu tidak mengerti ucapannya dan terus memandikannya sambil bicara sendiri dalam bahasa mereka, tersenyum-senyum dan kadang-kadang, seorang di antara mereka yang termanis dan tergenit, menggunakan telunjuk dan ibu jari tangannya mencubit paha Kun Liong.

Menghadapi tiga dara yang berwajah cantik manis, bersikap lincah dan genit, mencium bau harum dari air tong, sabun, dan yang keluar dari rambut dan pakaian tiga orang pelayan itu, merasakan betapa jari-jari tangan yang halus itu memijit-mijitnya dengan mesra, mendengar suara mereka bersendau-gurau biarpun dia tidak mengerti artinya, semua ini mendatangkan perasaan aneh pada dirinya.

Debar jantungnya makin keras, menggedur-gedur seperti akan memecahkan dadanya, tubuhnya panas dingin dan tegang. Keadaan dirinya ini membuat Kun Liong menjadi makin bingung dan akhirnya dia maklum bahwa kalau tiga orang pelayan itu tidak segera pergi, dia takkan kuat bertahan dan entah akan apa jadinya!

“Sudah! Sudah... cukup! Aku bisa mandi sendiri. Pergilah kalian, pergilah...!” katanya sambil menggunakan sebelah tangan menepuk-nepuk air sehingga air memercik ke arah muka tiga orang pelayan itu, sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap dipergunakan untuk menutupi tubuh bawah.

Karena Kun Liong mempergunakan sin-kang, maka tepukannya itu mengandung tenaga kuat sekali sehingga percikan air itu terasa pedas dan panas ketika mengenai muka tiga orang pelayan itu. Mereka menjerit dan mundur kemudian bicara dalam bahasa mereka dan seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk pakaian yang ditaruhnya di atas bangku.

“Keluar! Keluarlah kalian!”

Kun Liong berkata sambil menuding ke arah pintu. Tiga orang pelayan itu mengangkat pundak, menggerakkan kepala untuk memindahkan gumpalan rambut yang terurai itu ke belakang, kemudian sambil tersenyum dan tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu.

Bukan main lega hati Kun Liong. Cepat sekali, takut kalau mereka kembali, dia meloncat keluar dari tong air. menyambar handuk dan menyusuti tubuhnya yang basah, kemudian mencari-cari pakaiannya. Celaka, pakaiannya tidak ada lagi, tentu diambil oleh gadis-gadis itu!

Karena takut mereka itu kembali sebelum tubuhnya yang telanjang itu tertutup pakaian, dia lalu menyambar pakaian yang ditinggalkan oleh mereka di atas bangku. Ternyata pakaian itu adalah sepotong celana dan sepotong baju yang bersih dan aneh karena selain jubah berlengan panjang terdapat pula baju berlengan pendek dan kain pembungkus atau pelindung leher.

Terpaksa dia memakai pakaian itu dan diam-diam dia mengeluh ketika dia melihat tubuh bawahnya yang sudah bercelana. Celana itu potongannya sempit sekali sehingga biarpun seluruh pakaiannya tertutup, dia merasa seperti masih telanjang! Betapapun juga, ini jauh lebih baik daripada tidak berpakaian sama sekali. Maka, sambil mengingat-ingat cara Yuan de Gama berpakaian, dia lalu memakai rompi dan jubahnya, sedangkan pelindung leher itu hanya dia kalungkan saja di lehernya. Di ujung kamar itu terdapat sebuah cermin. Ketika Kun Liong melihat bayangannya sendiri di cermin itu, dia menyeringai. Betapa lucu keadaannya!

Daun pintu kamar terbuka, dan terdengar suara halus,
“Sudah selesaikah Tai-hiap mandi? Kami telah menunggu-nunggu Tai-hiap untuk makan malam.”

Kun Liong cepat membalikkan tubuh dan memandang Yuanita. Sejenak dia terpesona. Dara ini agaknya sudah bertukar pakaian. Pakaian dari sutera biru yang panjang sampai ke kaki, rambutnya disanggul indah dan dihias permata. Teringatlah dia akan keadaannya sendiri dan tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Dara ini demikian cantik jelita, sedangkan dia seperti badut!

“Maaf... aku... aku tentu kelihatan seperti seorang badut wayang!” Akhirnya dia berkata ketika dia melihat betapa dara itu pun memperhatikannya.

Yuanita tertawa. Tertawa dengan bebas lepas, tidak malu-malu atau menutupi mulut yang tertawa dengan tangan seperti kebiasaan dara-dara pribumi. Akan tetapi anehnya, kebebasan dara ini tidak membayangkan kekasaran, padahal tertawa seperti itu kalau dilakukan oleh seorang gadis pribumi, tentu akan kelihatan kasar dan tidak sopan!

Kun Liong makin kikuk, mengira bahwa dara itu tentu mentertawakan keadaan pakaiannya yang lucu dan tidak cocok untuknya itu.

“Aku seperti badut dan... dan Nona... begitu cantik seperti bidadari...!”

Yuanita menghentikan tawanya dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh kagum.

“Yap-taihiap, engkau mengingatkan aku kepada seorang panglima muda di Thian-cin yang menjadi utusan Kaisar menemui Ayah. Aku amat kagum kepada panglima muda itu, tampan, gagah perkasa dan... seperti engkau. Hanya bedanya, dia angkuh sedangkan engkau begini rendah hati. Hal ini membuat aku makin kagum kepadamu, Tai-hiap. Engkau telah memperlihatkan kegagahan, menolong kami, engkau begini gagah dan tampan akan tetapi engkau merendahkan diri dan memuji-muji orang lain.”

Kata-kata ini membuat Kun Liong makin merasa canggung.
“Ahhh, aku... aku orang biasa saja... seorang gundul yang...”

Kembali Yuanita tertawa dan melangkah maju, menggandeng lengan Kun Liong sambil berkata,

“Sudahlah, kalau engkau merendah terus seperti itu, aku bisa menjadi bersedih dan menangis! Ayah sudah menanti kita di ruangan makan. Hayolah!”

Jantung Kun Liong berdebar tidak karuan. Sikap dara ini begini bebas. Mana ada seorang dara jelita yang baru saja dikenalnya telah berani menggandeng-gandengnya seperti itu, lengan mereka saling bergandengan, ketika berjalan kadang-kadang si pinggul yang meliuk-liuk itu menyentuh pahanya.

Ketika mereka memasuki ruangan dimana tampak Richardo de Gama duduk menghadapi meja besar, Kun Liong hendak merenggut tangannya. Apa akan kata ayah dara itu kalau melihat mereka bergandengan tangan seperti itu? Akan tetapi agaknya Yuanita merasa akan gerakannya, maka dara itu menggandeng lebih erat lagi! Hal ini membuat Kun Liong khawatir sekali dan dia memandang ke arah kakek asing itu dengan bingung.

Akan tetapi Richardo bangkit dan menyambutnya dengan tertawa lebar dan wajahnya berseri-seri.

“Aaakhhh... Yap Kun Liong-taihiap, engkau sudah berganti pakaian kering? Kau gagah sekali. Silakan duduk dan mari kita makan bersama.”

Yuanita melepaskan tangannya dan berkata kepada ayahnya, sengaja bicara dalam bahasa pribumi agar tamunya mengerti,

“Ayah, Tai-hiap terlalu merendahkan diri, bikin orang penasaran saja!”

“Ha-ha-ha, begitulah sikap seorang pendekar sejati dari negeri ini, Anakku! Dalam bicaranya merendah sampai tidak kelihatan, akan tetapi sepak terjangnya menonjol tinggi penuh kegagahan.”

Kun Liong duduk bersama ayah dan anak itu dan kembali dia merasa kikuk sekali ketika harus makan dari piring dan menggunakan garpu, pisau dan sendok. Sambil tertawa-tawa Yuanita mengajarinya, akan tetapi karena kikuk sekali akhirnya Richardo menyuruh pelayan mengambil sepasang sumpit.

Barulah lega hati Kun Liong dan dia dapat makan seperti yang dikehendakinya. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan dalam pembicaraan ini Kun Liong mendengar bahwa Richardo de Gama adalah pemimpin rombongan saudagar yang hendak berdagang di Tiongkok. Bahkan setelah pemberontakan yang dibantu oleh beberapa orang asing, hal yang tidak disetujui Richardo itu gagal, Richdrdo yang mengajukan permohonan kepada Kaisar menemui pejabat, akhirnya dapat bicara dengan utusan Kaisar sendiri dan memperoleh ijin untuk berdagang di pantai Teluk Pohai.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: