*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 109

Beberapa sosok bayangan orang tampak di langkan pinggir perahu, menjenguk ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak segulung tambang dilontarkan ke bawah.

Melihat ini, Kun Liong cepat menyambar tambang itu dan dengan girang dia merasa betapa tubuhnya diseret. Kemudian ditarik naik ke tubuh perahu. Beberapa pasang tangan membantunya naik. Kun Liong duduk terengah-engah di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang yang datang membawa lampu perahu yang bergoyang-goyang. Dia mengerahkan hawa di perut untuk mendorong keluar air laut yang membuat perutnya membusung.

Beberapa kali dia muntahkan air laut sampai perutnya kosong kembali. Terlalu kosong sampai lapar! Barulah dia memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya. Muka-muka yang asing berkulit putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya terpikat dan melekat pada sepasang mata biru indah yang... bukan main!

Bulu matanya panjang, alisnya melengkung dan hidungnya mancung sekali di atas sepasang bibir yang... bukan main! Baru sekarang Kun Liong menyaksikan kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh dan... khas. Tahulah dia bahwa wanita muda yang memandangnya dengan mata setengah terpejam itu adalah seorang wanita sebangsa dengan Yuan de Gama, akan tetapi cantik bukan main.

“Engkau siapakah? Mengapa malam-malam begini naik perahu kecil seorang diri? Apakah kau seorang nelayan?” Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan.

Kun Liong tidak menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-kadang memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah.

“Ahh, apakah bahasaku tidak jelas? Aku baru belajar bahasa pribumi, maafkan kalau kaku...”

“Aku mengerti semua, Nona. Bahasamu baik sekali... terima kasih... aku bukan nelayan, aku... aku sedang melancong...”

“Ha-ha-ha, melancong di malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main anehnya bangsa pribumi!”

Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu bergelak seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang. Kun Liong menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, namun rambutnya yang keemasan sudah mulai memutih di atas kedua telinga. Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar matanya lembut.

Tiba-tiba terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing disusul jeritan beberapa orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu menjadi kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perempuan lainnya berlari-larian memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah tadi mengeluarkan suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari belasan orang laki-laki asing yang berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas perahu.

Kun Liong merasa heran. Kesehatannya telah pulih kembali dan dia bangkit berdiri. Keadaan di atas perahu itu kini terang benderang karena para anak buah perahu menyalakan banyak lampu yang digantungkan di sekeliling perahu.

Kiranya di dekat perahu besar itu kini tampak muncul enam buah perahu kecil yang seperti iblis bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu kecil itu berdiri orang-orang yang memegang senjata golok dan pedang. Setiap perahu terdapat tiga orang sehingga semuanya ada delapan belas orang.






Setelah perahu-perahu kecil menempel pada perahu besar seperti sekumpulan lintah, tampak tali-tali melayang dari bawah, ujungnya ada kaitannya dan orang-orang itu memanjat ke atas, bahkan ada yang langsung meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali.

“Hemmm, bajak-bajak laut,” pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju.

Cepat sekali para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu pun ikut berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk. Seorang bajak menyerangnya dengan golok, kakek asing itu mengelak, akan tetapi bahu kirinya terserempet golok sehingga terluka.

Tanpa mempedulikan lukanya, kakek itu menghantam dada bajak itu dengan kepalan tangan kanannya, membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk. Bajak ke dua sudah datang menyerbu dengan pedang diputar-putar di atas kepala, langsung membacok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku karena dari belakang dia telah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu, sekali dia mengayun tangan, tubuh bajak itu terlempar ke luar perahu besar!

Kun Liong tidak mempedulikan seruan girang kakek berkumis melintang yang agaknya menjadi pemilik perahu besar itu, terus dia menyerbu ke depan. Seorang bajak menyambutnya dengan bacokan golok. Kun Liong miringkan tubuhnya, menampar lengan yang memegang golok. Orang itu berteriak kesakitan, goloknya terlepas, akan tetapi dia nekat dan menerjang Kun Liong dengan tangan kanan mencengkeram leher, Kun Liong menyambut tangan itu dengan tangkisan, kemudian kakinya menendang.

“Desss!” Tubuh bajak ini pun terlempar keluar dari perahu besar.

Kun Liong tahu bahwa pada saat itu ada golok menusuk dari belakang mengarah punggungnya.

“Saudara muda, hati-hati belakangmu...!”

Kakek itu berseru, akan tetapi Kun Liong yang sudah menangkap seorang bajak lain, tidak mempedulikan tusukan itu melainkan mengerahkan sin-kangnya. Ujung golok itu mengenai punggungnya, merobek bajunya sampai terbuka lebar akan tetapi ketika mengenai kulitnya yang terlimdung sin-kang dari dalam, golok itu meleset.

Kun Liong melemparkan orang yang ditangkapnya, membalik dan tendangannya membuat orang yang menusuknya tadi terjungkal, kemudian dia pun melemparkan orang ini ke luar perahu.

Amukan Kun Liong membuat para bajak yang terdiri dari orang Nepal berambut panjang dan orang-orang Han yang kasar itu menjadi jerih. Mereka bersuit panjang dan seorang demi seorang melompat keluar dari perahu besar. Para anak buah perahu besar menjenguk keluar, melihat betapa para bajak yang pandai berenang itu saling bantu menyelamatkan diri dengan perahu-perahu kecil mereka dan sebentar saja perahu-perahu itu lenyap ditelan kegelapan malam.

Kun Liong dirubung semua orang. Kakek asing itu memerintahkan agar perahunya mengambil arah ke utara, menjauhi sebuah pulau yang sore tadi nampak, karena dia menduga bahwa agaknya bajak-bajak itu datang dari pulau itu, daratan yang terdekat dari situ.

Kun Liong menghapus peluh dan air laut yang membasahi muka, leher dan kepalanya yang gundul. Dia dihujani pertanyaan oleh orang-orang yang merubungnya, akan tetapi karena pertanyaan itu ditujukan dalam bahasa asing, dia hanya tersenyum, tak tahu apa yang mereka maksudkan.

“Kalian telah menolong aku dari laut, sudah semestinya aku membantu kalian mengusir bajak-bajak jahat itu,” katanya berkali-kali karena dia menduga bahwa agaknya mereka itu menyatakan terima kasih mereka.

Makin bingunglah Kun Liong ketika muncul dara jelita bermata biru tadi bersama tiga orang wanita muda lain yang agaknya adalah pelayan-pelayannya. Tiga orang wanita muda yang rambutnya memakai kerudung dan wajahnya manis-manis, sikapnya genit-genit itu pun menghujaninya dengan pertanyaan, senyuman dan kerling mata penuh kagum, membuat Kun Liong tersenyum meringis dengan kemalu-maluan sambil memandang ke arah dara jelita yang sejak tadi memandangnya dengan senyum dan pandang mata kagum.

“Ahhh, ternyata engkau sebangsa pendekar yang sering kudengar diceritakan kakakku. Dan engkau memang hebat, pendekar gundul...!” kata dara jelita itu.

Kun Liong tersenyum-senyum dan menggerak-gerakkan kepalanya yang gundul. Baru sekarang gundulnya tidak dipergunakan orang untuk mengejek atau dianggap pendeta, melainkan dijadikan sebutan pendekar gundul!

“Aaaah, aku... aku biasa saja, Nona...!” katanya agak gagap karena sinar mata biru itu benar-benar mempesona.

“Heiiii, jangan dirubung seperti ini! Minggir, minggir!”

Tiba-tiba kakek asing itu datang dan sambil tertawa girang dia menyodorkan tangannya kepada Kun Liong. Tentu saja Kun Liong tidak mengerti dan memandang tangan yang disodorkan, bahkan otomatis sin-kangnya bergerak ke arah perut dan dada karena dia mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya!

Sebetulnya kakek asing itu mengajaknya bersalaman, tanda menghormat bagi bangsanya. Akan tetapi persangkaan Kun Liong lain lagi. Melihat tangan yang besar dan kelihatan kuat itu diacungkan miring seperti hendak menyodoknya, otomatis dia “memasang” sin-kangnya melindungi perut dan memandang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik!

“Perkenalkan, saya adalah Richardo de Gama. Siapakah nama Tuan Muda yang gagah perkasa dan yang telah menolong dan menyelamatkan kami dari serbuan bajak laut?”

Mendengar ucapan yang kaku namun jelas itu barulah Kun Liong mengerti bahwa dia salah sangka, maka ketika tangan itu menjabat tangannya, dan mengguncang-guncang, dia diam saja tidak menarik tangannya dan balas tersenyum ramah. Apalagi mendengar nama itu, teringatlah dia akan Yuan de Gama!

“Nama saya Yap Kun Liong dan harap Tuan jangan bicarakan tentang pertolongan. Bajak-bajak itu memang jahat dan pantas diusir. Mendengar nama Tuan, apakah Tuan masih ada hubungan dengan Yuan de Gama?”

“Yuan...?” Terdengar seruan halus dan ternyata dara bermata biru tadi yang berseru dan memegang lengan Kun Liong, memandangnya penuh perhatian. “Yuan adalah kakakku. Apakah engkau kenal dengan Yuan?”

Berseri wajah Kun Liong. Kiranya dara jelita ini adalah adik perempuan Yuan de Gama. Dengan mata terbelalak dan terpesona menatap wajah cantik dan mata biru itu, dia menggumam,

“Engkau... Adik Yuan?”

Gadis itu mengangguk. Manis sekali ketika senyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih mengkilap.

“Aku Yuanita... Yuanita de Gama.”

“Yuanita...!”

Nama yang terdengar aneh, lucu dan indah bagi telinga Kun Liong, dan ketika dia menyebut nama itu, logat lidahnya juga terdengar aneh dan lucu bagi Yuanita, lucu akan tetapi menyenangkan sehingga dia tertawa geli.

“Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan dia, seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa,”

Kun Liong melanjutkan kata-katanya dengan setulusnya karena memang dia menyaksikan sikap Yuan de Gama yang pernah bertanding dalam beberapa jurus dengannya dan pernah dilihatnya ketika pemuda itu menyelamatkan Li Hwa.

“Ha-ha-ha! Kiranya sahabat Yuan! Pantas saja begini hebat. Tuan Muda, ternyata engkau adalah seorang tamu kehormatan, seorang sahabat baik. Terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dengan engkau!”

“Ayah, pakaian Yap-taihiap (Pendekar Besar Yap) basah semua dan robek-robek. Selayaknya seorang tamu agung disambut dengan hormat dan baik,” kata Yuanita.

“Ha-ha-ha! Saking girang hatiku, aku sampai lupa. Terserah kepadamu!” kata kakek itu.

Yuanita lalu memberi aba-aba kepada tiga orang pelayannya. Tiga orang gadis yang genit-genit itu tertawa, lalu mereka memegang kedua lengan Kun Liong dan menarik-narik pemuda itu memasuki ruangan perahu di bawah.

“Eh-eh... apa ini...? Kemana...? Eh, mengapa menyeret saya...?”

Kun Liong membantah, akan tetapi dia pun tidak tega untuk menggunakan kekerasan, maka dia membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh tiga orang pelayan muda itu, diikuti suara ketawa bergelak dari Richardo de Gama dan anak buahnya serta senyum lebar yang manis dari Yuanita.

Kun Long yang tersenyum-senyum masam karena malu dan bingung itu ditarik oleh tiga orang pelayan wanita muda dan genit-genit yang tertawa-tawa itu ke dalam sebuah kamar di perahu itu.

“Eh, kalian ini mau apa?” Berkali-kali Kun Liong bertanya.

Akan tetapi tiga orang wanita itu mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing yang sama sekali tidak dimengerti oleh Kun Liong. Mereka menunjuk-nunjuk ke sebuah tong kayu besar bundar yang terisi air jernih. Karena tidak mengerti, Kun Liong menghampiri tong air itu dan menjenguk ke dalam. Airnya jernih sekali, akan tetapi tidak ada apa-apanya yang aneh, maka dia tersenyum menyeringai, memandang tiga orang gadis pelayan itu berganti-ganti dan mengangkat pundaknya.

“Ini air... dalam tong, airnya jernih sekali, tapi ada apa?” Kun Liong bertanya.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: