Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, biarpun hatinya gemas bukan main, Li Hwa terpaksa membuka belenggu dengan kunci belenggu, akan tetapi begitu belenggu terputus, tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke lambung pemuda itu.
Kun Liong melirik pedang, memandang wajah dara itu dan tersenyum lebar, menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seperti mengulur waktu.
“Hayo, cepat!” Li Hwa menghardik.
Setelah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.
“Nah, sekarang katakan di mana bokor itu.”
“Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?”
“Enak saja! Kalau aku sudah mendapatkan bokor itu, baru kau akan kubebaskan.”
“Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang berkumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh...”
“Lekas katakan dimana!” Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut.
“Aduhh, galak benar, kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi-eng-pang...”
“Apa? Kwi-eng Niocu?”
“Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan ditambah empat orang kakek yang tak kukenal, mengurungku dan karena aku merasa tidak sanggup menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepadanya.”
“Kau sengaja?” Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kemarahan. “Mengapa kau berikan dia?”
“Karena aku menggunakan ini!” Dengan kedua tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya.
“Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!” Li Hwa mengomel. “Hayo katakan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?”
“Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah mencuri dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai. Karena itu, biar sementara kutitipkan bokor itu kepadanya.”
“Kau titipkan? Tolol! Bodoh sekali! Kalau dia ketahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!”
“Memang aku tolol, habis mengapa?”
“Huh!”
Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, memerintahkan perwira itu untuk mengumpulkan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.
“Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!” dia memerintah.
“Wah, galaknya, Li Hwa, jangan khawatir, aku tidak akan lari darimu, apalagi karena aku belum membalas perbuatanmu tadi.”
Kun Liong tertawa ketika melihat belasan orang perajurit pemerintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus.
Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk membantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidaklah sukar karena pemberontak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri.
Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya mengalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama-sama pasukannya yang menanti, mereka lalu menyerbu perkampungan pemberontak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang dibantu oleh orang-orang asing itu.
Karena kini jumlah pasukan pemerintah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa perang itu tidak berlangsung terlalu lama dan pasukan pemberontak dipukul hancur, banyak jatuh korban, banyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersama Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan mengumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.
Setelah perang selesai dan anak buahnya sibuk mengurus korban, karena pakaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan, menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih pengganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu.
Sambil merendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci seluruh tubuhnya, merasa segar dan gembira. Akan tetapi sambil menggosok-gosok tubuhnya, dia termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini.
Terbayang di depan matanya wajah tiga orang pemuda yang amat mengesankan hatinya dan yang menimbulkan bermacam perasaan. Wajah Hendrik yang telah menawannya, menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang besar dan diam-diam mengharapkan agar pemuda asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan!
Wajah ke dua adalah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah, Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan amat mesra, akan tetapi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, melainkan ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama!
Wajah ke tiga adalah wajah pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong, dan wajah ini menimbulkan kegemasan di hatinya, geram kecewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.
Kalau teringat akan bokor emas, hatinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor sudah terdapat, diserahkan kepada Kwi-eng Niocu! Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu betapa akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya merupakan orang satu-satunya di dunia ini, pengganti orang tuanya yang telah tiada.
Li Hwa telah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhunya, telah meninggal lebih dahulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu.
Karena dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya. Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhunya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri karena suhunya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong!
Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu telah diambil murid oleh The Hoo. Biarpun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat yang mempergunakan tenaga Im-yang-sin-kang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai.
Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa makin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa mewakili gurunya dalam urusan besar seperti menumpas kaum penjahat dan pemberontak.
Ketika The Hoo menerima laporan Pendekar Sakti Cia Keng Hong tentang pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sendiri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho!
Tio Hok Gwan pengawal kepala yang lihai itu pun mengepalai pasukan sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to selain dipimpin panglima-panglima perang yang berpengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas permintaan Panglima Besar The Hoo!
Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, sedangkan para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.
Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan...
“Ihhh...!”
Dara itu menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!
“Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!” Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu.
“Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!”
Li Hwa menjerit-jerit sambil merendam tubuhnya makin dalam. Dia berjongkok ke dalam air sehingga air sampai ke lehernya, baru dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti.
“Lho, kenapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?”
“Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!”
“Heh-heh-heh...” Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam kepada dara yang telah beberapa kali menghinanya itu. “Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho.”
“Apa... apa maksudmu?”
Li Hwa membentak dengan kedua tangan menutupi dada, seolah-olah air yang menutupi dadanya masib belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.
“Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!”
“Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!”
“Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di situ atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku.”
Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengambil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel,
“Bagaimana ya rasanya baju dirobek-robek, orang?” Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.
“Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!”
Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.
Kun Liong melirik pedang, memandang wajah dara itu dan tersenyum lebar, menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seperti mengulur waktu.
“Hayo, cepat!” Li Hwa menghardik.
Setelah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.
“Nah, sekarang katakan di mana bokor itu.”
“Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?”
“Enak saja! Kalau aku sudah mendapatkan bokor itu, baru kau akan kubebaskan.”
“Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang berkumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh...”
“Lekas katakan dimana!” Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut.
“Aduhh, galak benar, kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi-eng-pang...”
“Apa? Kwi-eng Niocu?”
“Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan ditambah empat orang kakek yang tak kukenal, mengurungku dan karena aku merasa tidak sanggup menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepadanya.”
“Kau sengaja?” Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kemarahan. “Mengapa kau berikan dia?”
“Karena aku menggunakan ini!” Dengan kedua tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya.
“Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!” Li Hwa mengomel. “Hayo katakan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?”
“Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah mencuri dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai. Karena itu, biar sementara kutitipkan bokor itu kepadanya.”
“Kau titipkan? Tolol! Bodoh sekali! Kalau dia ketahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!”
“Memang aku tolol, habis mengapa?”
“Huh!”
Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, memerintahkan perwira itu untuk mengumpulkan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.
“Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!” dia memerintah.
“Wah, galaknya, Li Hwa, jangan khawatir, aku tidak akan lari darimu, apalagi karena aku belum membalas perbuatanmu tadi.”
Kun Liong tertawa ketika melihat belasan orang perajurit pemerintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus.
Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk membantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidaklah sukar karena pemberontak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri.
Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya mengalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama-sama pasukannya yang menanti, mereka lalu menyerbu perkampungan pemberontak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang dibantu oleh orang-orang asing itu.
Karena kini jumlah pasukan pemerintah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa perang itu tidak berlangsung terlalu lama dan pasukan pemberontak dipukul hancur, banyak jatuh korban, banyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersama Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan mengumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.
Setelah perang selesai dan anak buahnya sibuk mengurus korban, karena pakaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan, menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih pengganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu.
Sambil merendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci seluruh tubuhnya, merasa segar dan gembira. Akan tetapi sambil menggosok-gosok tubuhnya, dia termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini.
Terbayang di depan matanya wajah tiga orang pemuda yang amat mengesankan hatinya dan yang menimbulkan bermacam perasaan. Wajah Hendrik yang telah menawannya, menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang besar dan diam-diam mengharapkan agar pemuda asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan!
Wajah ke dua adalah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah, Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan amat mesra, akan tetapi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, melainkan ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama!
Wajah ke tiga adalah wajah pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong, dan wajah ini menimbulkan kegemasan di hatinya, geram kecewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.
Kalau teringat akan bokor emas, hatinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor sudah terdapat, diserahkan kepada Kwi-eng Niocu! Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu betapa akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya merupakan orang satu-satunya di dunia ini, pengganti orang tuanya yang telah tiada.
Li Hwa telah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhunya, telah meninggal lebih dahulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu.
Karena dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya. Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhunya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri karena suhunya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong!
Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu telah diambil murid oleh The Hoo. Biarpun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat yang mempergunakan tenaga Im-yang-sin-kang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai.
Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa makin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa mewakili gurunya dalam urusan besar seperti menumpas kaum penjahat dan pemberontak.
Ketika The Hoo menerima laporan Pendekar Sakti Cia Keng Hong tentang pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sendiri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho!
Tio Hok Gwan pengawal kepala yang lihai itu pun mengepalai pasukan sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to selain dipimpin panglima-panglima perang yang berpengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas permintaan Panglima Besar The Hoo!
Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, sedangkan para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.
Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan...
“Ihhh...!”
Dara itu menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!
“Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!” Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu.
“Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!”
Li Hwa menjerit-jerit sambil merendam tubuhnya makin dalam. Dia berjongkok ke dalam air sehingga air sampai ke lehernya, baru dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti.
“Lho, kenapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?”
“Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!”
“Heh-heh-heh...” Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam kepada dara yang telah beberapa kali menghinanya itu. “Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho.”
“Apa... apa maksudmu?”
Li Hwa membentak dengan kedua tangan menutupi dada, seolah-olah air yang menutupi dadanya masib belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.
“Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!”
“Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!”
“Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di situ atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku.”
Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengambil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel,
“Bagaimana ya rasanya baju dirobek-robek, orang?” Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.
“Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!”
Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar