Ia bergidik dan terus berlari terhuyung-huyung. Mukanya sampai ke seluruh kepalanya merah sekali, matanya juga merah, napasnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau marah. Dia merasa seolah-olah dada dan pusarnya akan meledak karena penuh dengan hawa sin-kang yang berputar-putar.
Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah balon karet kepenuhan hawa. Dengan pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah lari kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di tepi Sungai Huang-ho.
Ketika dia tiba di tepi sungai di luar perkampungan itu dia melihat banyak sekali tentara berperang dengan ramainya. Dia menjadi heran karena agaknya yang berperang itu kedua pihak adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai lupa bahwa yang memberontak juga tentara pemerintah. Dasar kepala lagi pening dan bingung. Melihat perang dia malah mendekati untuk menonton!
Delapan orang tentara pemerintah mengenal Kun Liong sebagai bekas tawanan pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di tangan kanan, perisai di tangan kiri.
Kun Liong berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabok ketika delapan orang perajurit itu menyerbunya. Melihat banyak senjata ditujukan kepada dirinya, Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan menangkis. Terdengar suara nyaring berkerontangan, tombak, golok dan perisai beterbangan disusul tubuh delapan orang itu terlempar ke sana-sini.
Ternyata bahwa dalam keadaan penuh dengan hawa sin-kang itu, gerakan kedua lengan
Kun Liong mendatangkan hawa sin-kang yang amat kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain membuat semua senjata terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena hantam hawa sin-kang, terlempar dan roboh pingsan! Kun Liong terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh penyesalan dia lalu menghantam sebatang pohon di kirinya.
"Desss...! Braaakkk...!"
Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh! Kun Liong melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebelah kanannya.
"Desss... krekk!"
Batu itu pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri terdorong penyesalan bahwa kembali dia mencelakai orang dengan pukulannya, pemuda ini terus menghantami pecahan batu sehingga batu-batu itu menjadi hancur berkeping-keping.Anehnya, kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah dia, bahwa itu adalah karena kelebihan sin-kang liar yang memutari sebelah dalam dada dan pusarnya telah tersalurkan keluar.
Akan tetapi masih ada sin-kang yang "kelebihan", sin-kang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang masih berputar-putar di dalam perutnya, mengamuk seperti segerombolan setan mencari tempat tinggal.
"Ihhh, bocah setan...!" Terdengar seruan perlahan dari belakangnya.
Kun Liong membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus menyerangnya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya, dia otomatis menggerakkan kedua lengan menangkis.
"Bressss...! Hayaaaa...!"
Kakek itu terlempar sampai empat meter dan terbanting lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran. Sedangkan Kun Liong sendiri terpelanting.
"Kun Liong, pengkhianat engkau!"
Bentakan halus ini membuat Kun Liong terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri dan menggeleng kepala.
"Hebat sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-sicu yang kujumpai di Siauw-lim-si?"
Dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu rantai baja kuat, Kun Liong menjura kepada kakek itu.
"Harap To-taihiap suka memaafkan saya..."
"Aihhh, aku yang telah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang perajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan main, Yap-sicu... akan tetapi, eh, Nona Souw, mengapa dia dibelenggu?"
"Tio-lopek harap jangan mudah dikelabuhi bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan bokor emas dan dia pula yang menyembunyikannya."
"Ahhh...!"
Tio Hok Gwan, yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo yang mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap dan memandang Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam.
"Hayo katakan dimana kau sembunyikan bokor itu!"
Li Hwa kini membentak dan pedang yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong. Benturan tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi telah membikin normal kembali keadaan Kun Liong. Kini dia berdiri dan memandang dara jelita yang menodongnya dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum mengejek.
"Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong, sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Kalau kau ingin membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?"
Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas.
"Aku tahu bahwa engkau tentu telah mengambil bokor itu dan menyembunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak sebersih kepalamu!"
Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya.
"Masa bodoh, aku baru mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepadaku. Kalau tidak, mau bunuh, mau tusuk, mau bacok, terserah!"
Dia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi gadis itu!
"Bedebah! Kalau kau tidak mengaku dimana kau simpan bokor itu, kau akan kubunuh!"
"Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini..."
"Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerahkan tugas ini kepadaku!" Li Hwa berkata agak kaku.
Kakek itu mengangkat pundak.
"Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi para pemberontak!"
Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat pergi ke medan pertempuran yang berlangsung ramai.
Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan pedangnya.
"Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?"
"Souw Li Hwa, apa yang kau kehendaki?"
"Katakan dimana kau simpan bokor itu!"
"Simpan dulu pedangmu dan bersikaplah manis!"
"Tidak sudi!"
"Aku pun tidak sudi memberi keterangan."
"Kau menantang?"
"Kau yang keterlaluan!"
"Kubunuh kau!"
"Terserah!"
Li Hwa dengan gemas menggerak-gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini mendengar suara kain robek berkali-kali, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian, ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah dan tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali!
Ternyata dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah "mengupasnya" bulat-bulat. Kagum sekali hati Kun Liong karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan telah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa mengenai kulit tubuhnya sedikitpun juga!
Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada mengejek sekali.
"Nah, sudah puaskah, kau? Lihat bentuk tubuhku, baguskah? Li Hwa, setelah engkau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin sekali melihat tubuhmu..."
"Plakkk!"
Pipi kanan Kun Liong ditampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun Liong.
"Laki-laki ceriwis!"
"Ha-ha, memang aku ceriwis. Akah tetapi engkau ini entah apa namanya yang sudah menelanjangi aku. Sekali waktu akan kubalas engkau!"
"Apa? Mau membalas tamparanku?"
"Bukan. Membalas karena engkau menelanjangiku."
Sepasang mata yang bening itu terbelalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke depan.
"Kau... kau... hendak menelanjang... bedebah, manusia kurang ajar kau!"
Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan marah.
"Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!"
Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hoat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya,
“Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tidak mengerti sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?”
Kun Liong menarik napas panjang.
“Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau sikapmu ramah dan halus, pada wajahmu terbayang kecantikan aseli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Seorang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!”
Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju dari tubuh atas pemuda itu.
Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan memerintahkan perwira ini mengambilkan sepotong baju untuk “tawanan” ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum lalu mengambil sepotong baju, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terjadi di luar perkampungan.
“Li Hwa, kau lepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku dapat memakai baju ini?”
Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah balon karet kepenuhan hawa. Dengan pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah lari kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di tepi Sungai Huang-ho.
Ketika dia tiba di tepi sungai di luar perkampungan itu dia melihat banyak sekali tentara berperang dengan ramainya. Dia menjadi heran karena agaknya yang berperang itu kedua pihak adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai lupa bahwa yang memberontak juga tentara pemerintah. Dasar kepala lagi pening dan bingung. Melihat perang dia malah mendekati untuk menonton!
Delapan orang tentara pemerintah mengenal Kun Liong sebagai bekas tawanan pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di tangan kanan, perisai di tangan kiri.
Kun Liong berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabok ketika delapan orang perajurit itu menyerbunya. Melihat banyak senjata ditujukan kepada dirinya, Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan menangkis. Terdengar suara nyaring berkerontangan, tombak, golok dan perisai beterbangan disusul tubuh delapan orang itu terlempar ke sana-sini.
Ternyata bahwa dalam keadaan penuh dengan hawa sin-kang itu, gerakan kedua lengan
Kun Liong mendatangkan hawa sin-kang yang amat kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain membuat semua senjata terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena hantam hawa sin-kang, terlempar dan roboh pingsan! Kun Liong terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh penyesalan dia lalu menghantam sebatang pohon di kirinya.
"Desss...! Braaakkk...!"
Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh! Kun Liong melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebelah kanannya.
"Desss... krekk!"
Batu itu pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri terdorong penyesalan bahwa kembali dia mencelakai orang dengan pukulannya, pemuda ini terus menghantami pecahan batu sehingga batu-batu itu menjadi hancur berkeping-keping.Anehnya, kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah dia, bahwa itu adalah karena kelebihan sin-kang liar yang memutari sebelah dalam dada dan pusarnya telah tersalurkan keluar.
Akan tetapi masih ada sin-kang yang "kelebihan", sin-kang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang masih berputar-putar di dalam perutnya, mengamuk seperti segerombolan setan mencari tempat tinggal.
"Ihhh, bocah setan...!" Terdengar seruan perlahan dari belakangnya.
Kun Liong membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus menyerangnya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya, dia otomatis menggerakkan kedua lengan menangkis.
"Bressss...! Hayaaaa...!"
Kakek itu terlempar sampai empat meter dan terbanting lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran. Sedangkan Kun Liong sendiri terpelanting.
"Kun Liong, pengkhianat engkau!"
Bentakan halus ini membuat Kun Liong terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri dan menggeleng kepala.
"Hebat sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-sicu yang kujumpai di Siauw-lim-si?"
Dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu rantai baja kuat, Kun Liong menjura kepada kakek itu.
"Harap To-taihiap suka memaafkan saya..."
"Aihhh, aku yang telah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang perajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan main, Yap-sicu... akan tetapi, eh, Nona Souw, mengapa dia dibelenggu?"
"Tio-lopek harap jangan mudah dikelabuhi bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan bokor emas dan dia pula yang menyembunyikannya."
"Ahhh...!"
Tio Hok Gwan, yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo yang mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap dan memandang Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam.
"Hayo katakan dimana kau sembunyikan bokor itu!"
Li Hwa kini membentak dan pedang yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong. Benturan tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi telah membikin normal kembali keadaan Kun Liong. Kini dia berdiri dan memandang dara jelita yang menodongnya dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum mengejek.
"Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong, sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Kalau kau ingin membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?"
Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas.
"Aku tahu bahwa engkau tentu telah mengambil bokor itu dan menyembunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak sebersih kepalamu!"
Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya.
"Masa bodoh, aku baru mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepadaku. Kalau tidak, mau bunuh, mau tusuk, mau bacok, terserah!"
Dia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi gadis itu!
"Bedebah! Kalau kau tidak mengaku dimana kau simpan bokor itu, kau akan kubunuh!"
"Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini..."
"Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerahkan tugas ini kepadaku!" Li Hwa berkata agak kaku.
Kakek itu mengangkat pundak.
"Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi para pemberontak!"
Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat pergi ke medan pertempuran yang berlangsung ramai.
Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan pedangnya.
"Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?"
"Souw Li Hwa, apa yang kau kehendaki?"
"Katakan dimana kau simpan bokor itu!"
"Simpan dulu pedangmu dan bersikaplah manis!"
"Tidak sudi!"
"Aku pun tidak sudi memberi keterangan."
"Kau menantang?"
"Kau yang keterlaluan!"
"Kubunuh kau!"
"Terserah!"
Li Hwa dengan gemas menggerak-gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini mendengar suara kain robek berkali-kali, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian, ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah dan tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali!
Ternyata dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah "mengupasnya" bulat-bulat. Kagum sekali hati Kun Liong karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan telah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa mengenai kulit tubuhnya sedikitpun juga!
Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada mengejek sekali.
"Nah, sudah puaskah, kau? Lihat bentuk tubuhku, baguskah? Li Hwa, setelah engkau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin sekali melihat tubuhmu..."
"Plakkk!"
Pipi kanan Kun Liong ditampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun Liong.
"Laki-laki ceriwis!"
"Ha-ha, memang aku ceriwis. Akah tetapi engkau ini entah apa namanya yang sudah menelanjangi aku. Sekali waktu akan kubalas engkau!"
"Apa? Mau membalas tamparanku?"
"Bukan. Membalas karena engkau menelanjangiku."
Sepasang mata yang bening itu terbelalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke depan.
"Kau... kau... hendak menelanjang... bedebah, manusia kurang ajar kau!"
Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan marah.
"Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!"
Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hoat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya,
“Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tidak mengerti sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?”
Kun Liong menarik napas panjang.
“Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau sikapmu ramah dan halus, pada wajahmu terbayang kecantikan aseli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Seorang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!”
Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju dari tubuh atas pemuda itu.
Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan memerintahkan perwira ini mengambilkan sepotong baju untuk “tawanan” ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum lalu mengambil sepotong baju, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terjadi di luar perkampungan.
“Li Hwa, kau lepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku dapat memakai baju ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar