“Hwi Sian, memang agak sukar memberi pengakuan. Pendeknya aku baru suka memaafkan engkau kalau engkau suka kucium tiga kali, kucium di mana saja, terserah aku! Kalau engkau mau, aku akan menciumnya dan tak perlu kukatakan mana yang akan kucium. Pokoknya engkau mau dan kalau mau berarti tidak pilih-pilih dibagian mana... ahh, aku jadi bingung sendiri. Mau atau tidak?”
Sepasang mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena gundul itu. Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepasang mata itu menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu tersenyum aneh! Lalu Hwi Sian menganggukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat bagian tubuh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini!
Kun Liong menjadi girang sekali.
“Kau benar-benar mau?”
Hwi Sian mengangguk.
“Dengan suka rela? Dengan senang hati? Tidak terpaksa?”
Kembali Hwi Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar tidak karuan, mukanya terasa panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa manisnya!
Kun Liong mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu, mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak seperti kelinci ketakutan akan diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri!
“Hwi Sian, kau benar-benar mau?”
Hwi Sian tidak berani menjawab karena jantungnya yang berdebar itu tentu akan membuat suaranya tidak karuan.
Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah tidak karuan, gemetar dan nadanya sumbang! Maka dia hanya mengangguk, kini dia benar-benar ingin dicium, ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang akan dicium!
“Kalau mau...” Suara Kun Liong makin gemetar seperti orang sakit demam. “Kalau mau, kau pejamkan matamu...”
Mata itu malah terbelalak, agaknya heran, kemudian sepasang mata yang indah itu tertutup rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali dia mendekatkan mulutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka itu.
Sentuhan ini mendatangkan getaran hebat sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati, hendak berteriak akan tetapi mulutnya yang baru terbuka sedikit sudah tertutup dan diterkam bibir Kun Liong.
Kun Liong melepaskan bibirnya dan napasnya terengah, kedua lengannya kini tanpa disadarinya telah memeluk pinggang Hwi Sian.
“Satu kali...” bisiknya dan kembali dia merapatkan mulut.
Hwi Sian tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan kagetnya. Ketika melihat muka Kun Liong mendekat lagi, ia menjadi ngeri dan cepat memejamkan matanya. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong.
Sekali ini, setelah melepaskan bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia mencium untuk ketiga kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tidak merasa lagi betapa kedua lengan Hwi Sian sudah merangkul lehernya!
Ciuman yang ketiga kalinya ini amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau melepaskannya lagi. Ketika Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat menahan napas, mereka terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua lengan yang halus itu seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya.
“Eh... eh... kok menangis? Ada apa ini...?”
Pertanyaan itu membuat Hwi Slan makin sesenggukan.
“Wah, jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja. Bukankah kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa? Kenapa sekarang menangis dan... ehhh...”
Kun Liong menghentikan kata-katanya dan terbelalak memandang wajah yang kini diangkat itu. Gadis itu sesenggukan akan tetapi matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka, begitu segar seolah-olah setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air!
“Eh... apa pula ini? Kau ini menangis atau tertawa? Kau marah atau tidak. Senang atau susah?”
“Kun Liong... hemmm... Kun Liong, aku, aku juga cinta kepadamu!”
Kun Liong terkejut seperti mendengar guntur di tengah hari.
“Apa ini? Mengapa kau mengatakan begitu?”
“Artinya, aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku...”
Kun Liong melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat berdiri. Dia memandang dengan alis berkerut dan sikap sungguh-sungguh,
“Hwi Sian, siapa bilang... eh, bagaimana engkau tahu bahwa aku cinta kepadamu?”
Kini gadis ini pun meloncat berdiri, matanya memandang tajam dan alisnya berkerut.
“Tentu saja! Setelah apa yang kau lakukan tadi... tentu engkau cinta padaku... ahhh, tidakkah begitu?”
Kun Liong menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu apakah aku cinta padamu, Hwi Sian.”
“Kun Liong! Apa artinya ucapanmu itu? Setelah kau... kau menciumku seperti itu...”
“Hemmm... tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau mau, agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan tetapi, hal itu bukan sudah berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepadaku!”
Pucat wajah gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarahan.
“Yap Kun Liong! Jadi kau... kau hanya mau mempermainkan aku?”
Kun Liong menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya yang gundul.
“Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapapun juga. Sebelum aku menciummu, bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau melakukannya kalau memang kau mau dan rela? Apa hubungannya itu dengan cinta? Kalau kita berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu sudah menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?”
“Tapi... tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti yang kau lakukan tadi...”
“Apa bedanya kalau kita melakukan-nya dengan dasar sama suka dan rela?”
“Kun Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apalagi seperti yang kau lakukan tadi, hanya patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!”
“Ehh! Siapa bilang begitu? Kita tadi pun telah melakukannya walaupun kita bukan suami isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan? Hwi Sian, apa sih bedanya bersentuhan tangan dengan bersentuhan bibir dan mulut? Apa benar bedanya? Asal saja hal itu dilakukan dengan kerelaan kedua pihak...”
“Tapi aku cinta kepadamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi melakukannya, dengan siapapun juga. Lebih baik aku mati!”
Kun Liong terkejut, memandang dan menggaruk kepalanya yang gundul.
“Kau aneh sekali...”
“Kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak mencintaku, berarti kau menghinaku!”
“Mungkin aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu biarpun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh...”
Kun Liong cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya kalang-kabut! Dia berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot mengelak dan menangkis.
“Nanti dulu... ehhh... heiiittt... luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah engkau sudah gila?”
“Aku memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!” Hwi Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran.
“Waaahhh... celaka! Nah, kau lihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa kau mau mengorbankan dirimu kepada cinta? Heiiittt...!”
Kun Liong terpaksa melempar diri ke belakang dan bergulingan, kemudian melompat bangun dan melihat Hwi Sian benar-benar menyerangnya mati-matian, dia lalu melompat jauh dan melarikan diri!
“Yap Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?” Hwi Sian mengejar.
“Waah, aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka kalau harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih aman!”
Dia mengerahkan gin-kangnya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil mengepal tinjunya. Setelah berlari ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri ke atas tanah dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan.
Gadis itu tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan suara yang sama halusnya berkata,
“Hwi Sian, jangan menangis. Kau maafkan aku kalau memang kau anggap aku bersalah.”
Mendengar suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah datang lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh sekali menyelinap di hatinya melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang kembali, dan tangisnya makin menjadi-jadi!
Kun Liong duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia menarik napas panjang, lalu berkata,
“Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat menggodamu, tidak berniat menghinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu wajar, sama sekali tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi, kalau aku harus mengaku cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa engkau tentu tidak ingin kubohongi, bukan?”
Hwi Sian menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan pipi basah. Kun Liong mengeluarkan saputangannya dan menggunakan saputangan itu menghapus pipi yang basah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun Liong ini seperti meremas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis dan merebahkan kepalanya di atas pundak Kun Liong!
“Sudahlah Hwi Sian,” Kun Liong mengelus kepala gadis itu, “Mengapa engkau bersedih sampai begini macam?”
“Kun Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti tadi... mengapa kau tidak bisa mencintaku? Mengapa?”
“Hwi Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu.”
Gadis itu kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan pemuda itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda ini tidak berniat buruk dan sama sekali tidak menghinanya sungguhpun apa yang dilakukannya amat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya, tentu tidak akan datang kembali!
“Nah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka berbohong apalagi kepadamu, biarpun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?”
Hwi Sian memandang bingung.
“Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu, dan tidak pernah memikirkannya. Hanya ketika aku... tadi... aku merasa bahwa kau mencintaku dan aku...”
“Hemm, jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang merasa suka kepada orang lain. Begitukah?”
“Ya, ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan... eh, baik hati. Aku suka kepadamu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku akan merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya, itulah cinta!”
Sepasang mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena gundul itu. Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepasang mata itu menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu tersenyum aneh! Lalu Hwi Sian menganggukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat bagian tubuh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini!
Kun Liong menjadi girang sekali.
“Kau benar-benar mau?”
Hwi Sian mengangguk.
“Dengan suka rela? Dengan senang hati? Tidak terpaksa?”
Kembali Hwi Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar tidak karuan, mukanya terasa panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa manisnya!
Kun Liong mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu, mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak seperti kelinci ketakutan akan diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri!
“Hwi Sian, kau benar-benar mau?”
Hwi Sian tidak berani menjawab karena jantungnya yang berdebar itu tentu akan membuat suaranya tidak karuan.
Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah tidak karuan, gemetar dan nadanya sumbang! Maka dia hanya mengangguk, kini dia benar-benar ingin dicium, ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang akan dicium!
“Kalau mau...” Suara Kun Liong makin gemetar seperti orang sakit demam. “Kalau mau, kau pejamkan matamu...”
Mata itu malah terbelalak, agaknya heran, kemudian sepasang mata yang indah itu tertutup rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali dia mendekatkan mulutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka itu.
Sentuhan ini mendatangkan getaran hebat sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati, hendak berteriak akan tetapi mulutnya yang baru terbuka sedikit sudah tertutup dan diterkam bibir Kun Liong.
Kun Liong melepaskan bibirnya dan napasnya terengah, kedua lengannya kini tanpa disadarinya telah memeluk pinggang Hwi Sian.
“Satu kali...” bisiknya dan kembali dia merapatkan mulut.
Hwi Sian tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan kagetnya. Ketika melihat muka Kun Liong mendekat lagi, ia menjadi ngeri dan cepat memejamkan matanya. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong.
Sekali ini, setelah melepaskan bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia mencium untuk ketiga kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tidak merasa lagi betapa kedua lengan Hwi Sian sudah merangkul lehernya!
Ciuman yang ketiga kalinya ini amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau melepaskannya lagi. Ketika Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat menahan napas, mereka terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua lengan yang halus itu seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya.
“Eh... eh... kok menangis? Ada apa ini...?”
Pertanyaan itu membuat Hwi Slan makin sesenggukan.
“Wah, jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja. Bukankah kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa? Kenapa sekarang menangis dan... ehhh...”
Kun Liong menghentikan kata-katanya dan terbelalak memandang wajah yang kini diangkat itu. Gadis itu sesenggukan akan tetapi matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka, begitu segar seolah-olah setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air!
“Eh... apa pula ini? Kau ini menangis atau tertawa? Kau marah atau tidak. Senang atau susah?”
“Kun Liong... hemmm... Kun Liong, aku, aku juga cinta kepadamu!”
Kun Liong terkejut seperti mendengar guntur di tengah hari.
“Apa ini? Mengapa kau mengatakan begitu?”
“Artinya, aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku...”
Kun Liong melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat berdiri. Dia memandang dengan alis berkerut dan sikap sungguh-sungguh,
“Hwi Sian, siapa bilang... eh, bagaimana engkau tahu bahwa aku cinta kepadamu?”
Kini gadis ini pun meloncat berdiri, matanya memandang tajam dan alisnya berkerut.
“Tentu saja! Setelah apa yang kau lakukan tadi... tentu engkau cinta padaku... ahhh, tidakkah begitu?”
Kun Liong menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu apakah aku cinta padamu, Hwi Sian.”
“Kun Liong! Apa artinya ucapanmu itu? Setelah kau... kau menciumku seperti itu...”
“Hemmm... tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau mau, agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan tetapi, hal itu bukan sudah berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepadaku!”
Pucat wajah gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarahan.
“Yap Kun Liong! Jadi kau... kau hanya mau mempermainkan aku?”
Kun Liong menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya yang gundul.
“Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapapun juga. Sebelum aku menciummu, bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau melakukannya kalau memang kau mau dan rela? Apa hubungannya itu dengan cinta? Kalau kita berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu sudah menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?”
“Tapi... tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti yang kau lakukan tadi...”
“Apa bedanya kalau kita melakukan-nya dengan dasar sama suka dan rela?”
“Kun Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apalagi seperti yang kau lakukan tadi, hanya patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!”
“Ehh! Siapa bilang begitu? Kita tadi pun telah melakukannya walaupun kita bukan suami isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan? Hwi Sian, apa sih bedanya bersentuhan tangan dengan bersentuhan bibir dan mulut? Apa benar bedanya? Asal saja hal itu dilakukan dengan kerelaan kedua pihak...”
“Tapi aku cinta kepadamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi melakukannya, dengan siapapun juga. Lebih baik aku mati!”
Kun Liong terkejut, memandang dan menggaruk kepalanya yang gundul.
“Kau aneh sekali...”
“Kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak mencintaku, berarti kau menghinaku!”
“Mungkin aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu biarpun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh...”
Kun Liong cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya kalang-kabut! Dia berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot mengelak dan menangkis.
“Nanti dulu... ehhh... heiiittt... luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah engkau sudah gila?”
“Aku memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!” Hwi Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran.
“Waaahhh... celaka! Nah, kau lihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa kau mau mengorbankan dirimu kepada cinta? Heiiittt...!”
Kun Liong terpaksa melempar diri ke belakang dan bergulingan, kemudian melompat bangun dan melihat Hwi Sian benar-benar menyerangnya mati-matian, dia lalu melompat jauh dan melarikan diri!
“Yap Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?” Hwi Sian mengejar.
“Waah, aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka kalau harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih aman!”
Dia mengerahkan gin-kangnya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil mengepal tinjunya. Setelah berlari ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri ke atas tanah dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan.
Gadis itu tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan suara yang sama halusnya berkata,
“Hwi Sian, jangan menangis. Kau maafkan aku kalau memang kau anggap aku bersalah.”
Mendengar suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah datang lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh sekali menyelinap di hatinya melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang kembali, dan tangisnya makin menjadi-jadi!
Kun Liong duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia menarik napas panjang, lalu berkata,
“Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat menggodamu, tidak berniat menghinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu wajar, sama sekali tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi, kalau aku harus mengaku cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa engkau tentu tidak ingin kubohongi, bukan?”
Hwi Sian menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan pipi basah. Kun Liong mengeluarkan saputangannya dan menggunakan saputangan itu menghapus pipi yang basah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun Liong ini seperti meremas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis dan merebahkan kepalanya di atas pundak Kun Liong!
“Sudahlah Hwi Sian,” Kun Liong mengelus kepala gadis itu, “Mengapa engkau bersedih sampai begini macam?”
“Kun Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti tadi... mengapa kau tidak bisa mencintaku? Mengapa?”
“Hwi Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu.”
Gadis itu kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan pemuda itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda ini tidak berniat buruk dan sama sekali tidak menghinanya sungguhpun apa yang dilakukannya amat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya, tentu tidak akan datang kembali!
“Nah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka berbohong apalagi kepadamu, biarpun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?”
Hwi Sian memandang bingung.
“Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu, dan tidak pernah memikirkannya. Hanya ketika aku... tadi... aku merasa bahwa kau mencintaku dan aku...”
“Hemm, jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang merasa suka kepada orang lain. Begitukah?”
“Ya, ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan... eh, baik hati. Aku suka kepadamu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku akan merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya, itulah cinta!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar