*

*

Ads

FB

Rabu, 19 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 075

“Plakkk!”

Kembali kepala gundulnya menjadi korban tamparannya, agak keras sampai muncul bintang-bintang menari di depan matanya. Tidak boleh! Demikian teriak pikirannya. Ini namanya mencuri! Aku memang ingin menciumnya, akan tetapi hal itu harus terjadi secara terang-terangan. Jika yang punya bibir memperbolehkan dicium, baru dia mau mencium. Memaksa, dia tidak sudi, karena itu merupakan perkosaan yang kotor. Mencuri juga kotor!

Dahulu dengan Giok Keng lain lagi. Bukan mencium namanya karena dia menolong dan pada saat itu pun dia tidak merasa apa-apa. Baru setelah menjadi kenangan menimbulkan kemesraan nikmat. Akan tetapi, kalau terang-terangan mungkinkah Giok Keng mau? Mungkinkah dara ini mau? Mengadu mulut, mengadu bibir merupakan hal yang aneh, tentu dara-dara itu juga merasa aneh. Dia hanya tahu bahwa mencium adalah penyentuhan pipi yang dicium dengan hidung! Demikianlah kalau ibunya dahulu menciumnya. Pikiran ini mengingatkan dia akan ibunya dan ayahnya, dan dia menjadi berduka, lalu merebahkan diri di dekat api unggun dan tertidur!

Malam telah terganti pagi. Kun Liong menggeliat dan menelungkup. Tiba-tiba dia terbangun, akan tetapi tidak berani bergerak karena jalan darahnya di tengkuk telah diancam oleh orang. Jalan darah di tengkuk adalah jalan darah kematian, dan kini ada dua buah jari tangan yang sudah menempel di tengkuknya dan terdengar bentakan,

“Jangan bergerak kalau masih ingin hidup!”

Mengendur kembali urat syaraf Kun Liong mendengar bentakan yang halus merdu ini. Kiranya dara itu yang menodongnya! Tadinya dia hendak bergerak menangkap tangan lawan yang berbahaya itu sambil menggunakan sin-kangnya menutup jalan darah di tengkuk. Akan tetapi begitu mendengar suara dara itu, dia membatalkan niatnya.

“Eh, eh, kau mau apa?” tanyanya tanpa menoleh, mukanya masih tersembunyi di antara kedua lengannya.

“Hayo katakan, engkau hwesio dari mana dan bagaimana aku bisa berada di sini? Engkau tentu kawan pemberontak-pemberontak itu, ya?”

“Hi-hi-hik!” Kun Liong tertawa geli.

“Eh, pendeta ceriwis! Mengapa engkau malah tertawa? Hayo jawab, atau engkau lebih ingin mampus?”

“Mampus ya mampus, mau bunuh ya boleh saja, tapi dengar dulu kata-kataku, Nona galak! Aku tertawa karena engkau telah tiga kali keliru!”

Gadis itu marah sekali, jari tangannya yang menempel di tengkuk itu gemetar sedikit sehingga diam-diam Kun Liong sudah siap dengan sin-kangnya. Kalau perlu, untuk menyelamatkan nyawanya, dia akan menggunakan Thi-khi-i-beng! Akan tetapi agaknya dara itu curiga mendengar ucapan orang yang dianggapnya hwesio itu maka dia mendesak,

“Jangan kurang ajar! Kekeliruan apa yang kulakukan?”

“Pertama, aku bukan anggauta atau kawan para pemberontak itu, kedua, akulah yang melarikanmu ketika engkau pingsan di dalam ruangan rumah Hek-bin Thian-sin dan bahwa ancamanmu di tengkuk ini pun sia-sia belaka, kemudian yang terakhir, kekeliruan mutlak yang tak boleh diampunkan lagi, aku bukan seorang hwesio!”






“Tapi kau gundul... aihhh... engkaukah ini?”

Dara itu membalikkan tubuh Kun Liong sehingga pemuda itu telentang dan... kini dia pun teringat ketika melihat sepasang mata itu.

“Engkau...? Aku... aku seperti pernah mengenalmu, tapi siapa... ya?”

Dia merasa yakin sudah mengenal dara ini, akan tetapi benar-benar tidak ingat lagi siapa dia.

Dara itu tertawa. Bukan main manisnya. Bibir merah itu merekah dan tampak giginya yang kecil dan putih teratur, dan ujung lidah yang merah meruncing tampak sekilas.

“Hik-hik, kau... kau... pemuda gundul itu. Mana aku bisa melupakan kepalamu? Aku Lim Hwi Sian.”

Kun Liong meloncat berdiri dan bertolak pinggang, pura-pura marah.
“Jadi engkau ini, ya? Kesalahanmu makin bertumpuk-tumpuk! Dahulu engkau menghinaku karena kepalaku, sekarang kau ulangi lagi! Benar-benar tidak mau bertobat kau ini!”

Dara itu menahan ketawanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
“Maafkan aku. Aku tadi salah sangka... ah, sungguh aku tidak mengenal budi. Engkau malah yang kembali menolongku dari bahaya maut. Sudah dua kali kau menyelamatkan aku, dan dua kali aku menghinamu tanpa kusengaja. Maafkan aku, Tai-hiap (Pendekar Besar)...!”

Kun Liong sengaja hendak menggoda, akan tetapi juga karena dia gemas mendengar sebutan itu, dia membanting kakinya dan melotot sehingga matanya yang memang lebar itu membulat.

“Kau ini mengangkat atau memembanting! Minta maaf malah menambah penghinaan!”

“Eihhh? Apa salahku?”

“Kau menyebut aku tai-hiap segala macam. Kau mengejek, ya?”

Dara itu menggeleng-geleng kepalanya, alisnya berkerut. Manis sekali!
“Tidak! Tidak! Aku tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi biarpun kau pura-pura... eh, bodoh dan kepalamu kau cukur gundul. Dahulu pun aku sudah menduga. Kalau kau tidak berilmu tinggi, mana bisa menolongku kali ini dari rumah seorang datuk sesat seperti Hek-bin Thian-sin?”

Kun Liong merasa terdesak.
“Ya sudahlah, tapi jangan menyebut aku tai-hiap. Sekali lagi, aku benar-benar akan marah!”

Dara itu tersenyum dikulum, tahulah dia bahwa pemuda gundul ini hanya pura-pura marah tadi. Maka timbul juga kenakalannya.

“Habis, aku harus menyebut situ apa?”

“Kok situ? Situ mana?”

Hwi Sian menggigit bibir bawahnya. Manis sekali!
“Jangan main-main lagi! Tentu saja yang kumaksudkan situ adalah engkau.”

“Hemm, omongan model mana ini? Namaku Yap Kun Liong. Aku menyebutmu Hwi Sian begitu saja, kau pun menyebut namaku, tak usah pakai pendekar-pendekar, ya?”

“Hi-hik. Kau lucu!”

Hwi Sian merasa geli dan tertawa, akan tetapi menggunakan tubuh telunjuknya untuk menutupi bibir. Manis sekali!

“Hwi Sian, ingatkah engkau lima tahun yang lalu kita mula-mula bertemu? Kau masih seorang perempuan yang manis, sekarang...”

“Sekarang apa?”

“Sekarang kau telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita.”

Dara itu mengerutkan alisnya.
“Yap Kun Liong, kalau aku tidak yakin bahwa engkau memang seorang pemuda yang lucu dan aneh tapi baik budi, tentu kau kuanggap ceriwis dengan ucapanmu itu.”

“Terserah penilaianmu. Mungkin aku memang ceriwis. Akan tetapi aku tidak akan pernah melupakan betapa engkau telah mencium kepala gundulku yang kau benci ini sampai tiga kali!”

Seketika wajah Hwi Sian menjadi merah sekali.
“Kun Liong, mengapa engkau berkata begitu? Aku tidak benci kepalamu dan soal itu... ah, itu soal lalu, karena aku merasa menyesal telah menyakitkan hatimu padahal engkau dahulu itu telah menyelamatkan aku.”

“Hemm, kalau sekarang? Aku pun telah mati-matian menolongmu, akan tetapi apa upahnya? Engkau menodongku, hampir membunuhku, dan masih mengnina lagi!”

“Kun Liong, maafkan aku... sungguh mati aku tidak tahu... eh, mengapa kau memandangku seperti itu?”

“Tidak cukup dengan maaf! Kalau dulu kau menyatakan penyesalan dengan mencium kepalaku, sekarang aku akan menghukummu dengan ciuman pula. Akan tetapi aku yang akan menciummu, bukan kau yang menciumku.”

Sepasang mata yang bening itu terbelalak, kedua pipinya bertambah merah.
“Apa... apa maksudmu...? Kau...? Kau... kau mau kurang ajar kepadaku?”

“Terserah kau mau menganggap bagaimana. Pokoknya, kau tadi minta maaf, kan? Dan aku hanya mau memberi maaf kalau kau suka kucium. Dengar baik-baik, aku sudah sejak semalam ingin menciummu, akan tetapi hal itu tidak kulakukan biarpun kau sedang pingsan karena aku tidak sudi melakukan hal kepada orang yang tidak tahu atau tidak suka. Nah, aku hanya akan memaafkanmu dengan menciummu, akan tetapi kalau kau suka, bukan paksaan!”

Muka yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah, agaknya bingung bukan main.
“Kalau... kalau aku tidak mau?”

“Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak akan memaksamu. Akan tetapi terus terang saja, aku pun tidak mau memaafkanmu dan akan selalu mengaggap kau seorang gadis tak tahu membalas budi!”

“Kun Liong...” Suara itu seperti bermohon agar pemuda itu tidak menganggapnya demikian. “Kau tahu betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepadamu. Akan tetapi permintaanmu... sungguh aneh... bagaimana aku dapat melakukannya?”

“Bukan kau yang melakukan, melainkan aku.”

“Maksudku... eh, kau membikin bingung aku. Aku... aku...”

“Dengar, Nona yang baik! Kalau kau merasa jijik kepadaku, kalau kau merasa benci kepadaku karena kepalaku gundul, kalau kau merasa jijik kucium, katakan saja kau tidak mau. Habis perkara.”

“Kau mendesak, seperti memaksa.”

“Sama sekali tidak. Kau harus jujur. Kalau kau tidak suka, katakan tidak mau dan kita berpisah takkan bertemu lagi. Habis perkara, kan?”

“Kun Liong, aku... aku tidak benci kepadamu, akan tetapi... soal itu... eihhh, aku malu, ah!”

“Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang!”

“Kalau di sini tidak ada orang, maka aku adalah siluman hutan dan kau setan...”

“... gundul!” Kun Liong menyambung.

Keduanya tertawa gembira dan sejenak lenyaplah ketegangan di antara mereka karena permintaan Kun Liong yang luar biasa itu.

“Nah, bagaimana?” Kun Liong teringat lagi dan bertanya.

“Bagaimana, ya? Dahulu aku mencium kepalamu tiga kali...”

“Sekarang pun aku akan menciummu tiga kali!” Kun Liong memotong cepat.

“Tiga kali?” Sepasang mata itu terbelalak, tangannya meraba-raba rambutnya. “Bagaimana kalau rambutku bau tidak enak? Sudah beberapa hari aku tidak keramas.”

“Siapa mau mencium rambutmu?”

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga. Kun Liong terpaksa memejamkan matanya. Manis sekali wajah itu!

“Tidak mencium... kepalaku? Habis... ihhh, Kun Liong, jangan main gila kau, ya?”

Kun Liong membuka matanya, tersenyum.
“Siapa main gila. Aku main sungguhan! Tidak perlu banyak berbantahan, Hwi Sian. Hanya tinggal menjawab, mau atau tidak kau kucium?”

“Mau sih... mau, akan tetapi...”

“Kalau sudah mau masih ada tetapinya, namanya bukan mau...”

“Kau sih aneh! Dahulu aku mencium kepalamu, sekarang engkau hendak mencium... apa?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: