Akan tetapi Kun Liong tidak memperlambat larinya karena dia teringat akan peristiwa lima tahun yang lalu ketika maling-maling menyerbu Siauw-lim-si dan berhasil melarikan dua buah benda pusaka.
Saat itu, para tokoh Siauw-lim-pai sedang sibuk menghadiri upacara pembakaran jenazah, demikian pula para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh besar. Kuil menjadi kosong, hanya tinggal beberapa orang hwesio pelayan dan kacung-kacung yang hanya mempunyai kepandaian rendah. Agaknya, kekosongan kuil yang sudah diperhitungkan oleh orang-orang jahat itu kini dijadikan kesempatan oleh mereka untuk melaksanakan niat buruk mereka.
Dugaan Kun Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu itu terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggauta Kwi-eng-pang.
Karena telah diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar untuk menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apalagi pada saat sekarang setelah Siauw-lim-si pernah diserbu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang lalu. Maka kaum sesat yang cerdik itu menggunakan siasat yang amat berani ini. Mereka bahkan mengutus orang-orang yang dipercaya, mereka yang berkepandaian tinggi akan tetapi yang belum dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk menggunakan kesempatan selagi banyak tamu datang ke Siauw-lim-si untuk melakukan aksi mereka.
Tentu saja mereka tidak berani berterang. Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara terang-terangan saja mereka merasa jerih, apalagi yang di kuil itu berkumpul banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia persilatan!
Akan tetapi mereka ini cerdik sekali, menggunakan selagi semua hwesio dan para tamu melakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah belakang kuil yang makan waktu sedikitnya dua jam, mereka meninggalkan rombongan tamu dan berpencar lalu menyelundup ke dalam kuil. Jumlah mereka sepuluh orang, dan yang menjadi pemimpin penyerbuan ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tampan dan bermata liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, dia ini bukanlah orang sembarangan, karena dia bukan lain adalah Ouwyang Bou, putera tunggal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara Lima Datuk!
Yang menjadi sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan. Menurut perhitungan para datuk, setelah mereka berunding, kemungkinan besar sekali bahwa bokor emas itu berada di gedung pusaka Siauw-lim-si, karena yang diketahui terakhir oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor emas itu dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San, sedangkan Yap Cong San yang mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai.
Besar kemungkinarmya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap Cong San, dan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu diserahkan kepada Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Inilah yang membuat rombongan kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan pelayatan itu untuk turun tangan!
Ketika Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena telah tertotok! Kun Liong tidak membuang waktu lagi, cepat meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian belakang dan langsung dia lari ke gudang pusaka.
Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah menyambar dari kiri. Kun Liong cepat merendahkan diri berjongkok dan jarum-jarum merah yang kecil halus itu menyambar lewat di atas kepalanya. Ada sesuatu yang mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat dia meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda menyeringai kepadanya.
“Kau...!” Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran itu. “Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!”
Akan tetapi tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan ayahnya bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan pada waktu itu belum gundul. Adapun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah Ouwyang Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi menambah keyakinannya, karena justeru jarum-jarum merah itulah yang menjadi sebagian sebab mengapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut.
“Mau apa kau datang ke dalam kuil?” Kun Liong membentak
Akan tetapi pemuda bermata liar itu berteriak,
“Bunuh dia!”
Dan dari belakangnya muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang, mengepung dan mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok.
“Eh-eh, kalian orang-orang jahat!”
Kun Liong menggunakan kegesitan gerak tubuhnya mengelak ke kanan kiri. Dia tidak merasa khawatir menghadapi pengeroyokan enam orang itu yang biarpun semua mempergunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa gerakan mereka itu masih terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka. Akan tetapi dia terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat dan lenyap dari situ melalui lorong yang menuju ke gudang pusaka!
Dia hendak mengejar, namun enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, Kun Liong belum pernah mempergunakan ilmu-ilmunya itu dalam perkelahian sungguh-sungguh.
Ketika dahulu sebelum digembleng sukongnya di Ruang Kesadaran, dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu melawan Cia Giok Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang dianggapnya main-main saja karena dia tidak menganggap Giok Keng sebagai orang jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia mengadu tenaga dengan utusan Panglima The Hoo, juga pertandingan itu bukan sungguh-sungguh, apalagi ketika melawan Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian Kek Hwesio.
Sekarang dia merasa ragu-ragu. Kalau dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan untuk merobohkan enam orang itu. Akan tetapi, dia sebetulnya paling tidak suka memukul orang, bahkan agak benci akan permusuhan dan perkelahian yang dianggapnya tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam.
Akan tetapi kini dia diserang oleh empat batang pedang dan dua buah golok yang semuanya menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja harus mempertahankan dan melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih ragu-ragu bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa membuat mereka menderita luka berat.
“Kalian orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik lekas pergi melarikan diri sebelum terlambat!” Dia mencoba mengusir mereka dengan kata-kata nasihat!
Tentu saja dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan kepadanya. Pemuda gundul itu hanya mengelak ke sana-sini, biarpun gerakannya cepat sekali sukar diserang, namun hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau yang mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan menghebat sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-gulung menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang berloncatan ke sana-sini.
“Aihhh! Liong-ko...!”
Jeritan Giok Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa dara itu tentu terancam bahaya. Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan teringatlah dia bahwa ketika tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak memberitahu bahwa di dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia untuk menjaga keamanan kuil kalau-kalau dimasuki orang jahat!
Karena mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tidak peduli lagi. Kaki tangannya bergerak dan enam batang senjata itu terlempar beterbangan disusul robohnya enam orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda gundul itu!
Kun Liong tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke arah Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar perpustakaan.
“Maling keparat!” Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu.
Ketika Kun Liong tiba di dalam kamar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang Bouw berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke dalam karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan napas! Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam mengepul dari lubang di tengah ruang perpustakaan itu.
Lubang jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun. Celaka, tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau berpikir lagi, langsung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari mana keluar asap hitam.
Dengan memahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiang Pek Hosiang, Kun Liong menggunakan gin-kang sehingga dengan ringan dia melayang turun ke dalam jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter tertutup oleh lantai yang dipasangi jebakan.
Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi. Diangkatnya tubuh Giok Keng yang tak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia meloncat ke atas sambil mengerahkan sin-kangnya. Tanpa pengerahan sin-kang yang kuat, sukarlah meloncati sumur sedalam empat meter, sempit dan masih memondong tubuh seorang gadis lagi! Pada saat dia melayang naik, terdengar di atas sumur,
“Bakar saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!”
Ketika tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia melihat api membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang yang sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan tendangan-tendangan kakinya sehingga mereka terlempar dan apinya padam.
Melihat seorang penjahat lain lari melalui pintu belakang, dia tidak mengejar melainkan meloncat ke depan dimana seorang penjahat lain sedang berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan didorong menutup dari luar.
“Brakkk! Augghh...!”
Kun Liong sambil memondong tubuh Giok Keng menerjang daun pintu itu. Daun pintu bobol dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga penjahat itu herteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar!
Kun Liong berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa penjahat-penjahat itu tentu merampok gudang pusaka. Maka sambil memondong Glok Keng, larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karana dia mendengar teriakan-teriakan dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa peristiwa itu telah ketahuan dan sebentar lagi tentu bala bantuan datang.
Agaknya hal ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di gudang pusaka yang daun pintunya sudah terbuka besar, dia melihat bayangan-bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil menggendong teman-teman mereka yang terluka.
Dia tidak mempedulikan mereka lagi karena dia sibuk memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat dan matanya terpejam napasnya terhenti!
Kun Liong cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi lemah sekali, seolah-olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu, disentuhnya bibir dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan. Celaka, kalau gadis itu tidak cepat-cepat dapat bernapas kembali, tentu takkan tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dapat diobati kelak, yang terpenting sekarang haruslah diusahakan agar Giok Keng dapat bernapas lagi. Tidak ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima darl ibunya dahulu.
Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok Keng terbuka, kemudian memijat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan dia menunduk. Ditutupnya mulut yang sudah dibukanya itu dengan mulutnya sendiri lalu ditiupnya, mengerahkan hawa murni sehingga tiupannya kuat.
Terasa olehnya betapa dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan dilepaskannya pula hidung dara itu untuk memberi jalan agar hawa yang sudah ditiupkannya itu mengalir keluar. Kemudian diulanginya lagi sampai berkali-kali.
Kun Liong sama sekali tidak tahu saking gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Giok Keng, bahwa pada saat itu, dua sosok bayangan berkelebat dan ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya!
Biauw Eng terbelalak, tubuhnya sudah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong akan tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang.
Saat itu, para tokoh Siauw-lim-pai sedang sibuk menghadiri upacara pembakaran jenazah, demikian pula para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh besar. Kuil menjadi kosong, hanya tinggal beberapa orang hwesio pelayan dan kacung-kacung yang hanya mempunyai kepandaian rendah. Agaknya, kekosongan kuil yang sudah diperhitungkan oleh orang-orang jahat itu kini dijadikan kesempatan oleh mereka untuk melaksanakan niat buruk mereka.
Dugaan Kun Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu itu terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggauta Kwi-eng-pang.
Karena telah diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar untuk menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apalagi pada saat sekarang setelah Siauw-lim-si pernah diserbu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang lalu. Maka kaum sesat yang cerdik itu menggunakan siasat yang amat berani ini. Mereka bahkan mengutus orang-orang yang dipercaya, mereka yang berkepandaian tinggi akan tetapi yang belum dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk menggunakan kesempatan selagi banyak tamu datang ke Siauw-lim-si untuk melakukan aksi mereka.
Tentu saja mereka tidak berani berterang. Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara terang-terangan saja mereka merasa jerih, apalagi yang di kuil itu berkumpul banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia persilatan!
Akan tetapi mereka ini cerdik sekali, menggunakan selagi semua hwesio dan para tamu melakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah belakang kuil yang makan waktu sedikitnya dua jam, mereka meninggalkan rombongan tamu dan berpencar lalu menyelundup ke dalam kuil. Jumlah mereka sepuluh orang, dan yang menjadi pemimpin penyerbuan ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tampan dan bermata liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, dia ini bukanlah orang sembarangan, karena dia bukan lain adalah Ouwyang Bou, putera tunggal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara Lima Datuk!
Yang menjadi sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan. Menurut perhitungan para datuk, setelah mereka berunding, kemungkinan besar sekali bahwa bokor emas itu berada di gedung pusaka Siauw-lim-si, karena yang diketahui terakhir oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor emas itu dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San, sedangkan Yap Cong San yang mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai.
Besar kemungkinarmya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap Cong San, dan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu diserahkan kepada Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Inilah yang membuat rombongan kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan pelayatan itu untuk turun tangan!
Ketika Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena telah tertotok! Kun Liong tidak membuang waktu lagi, cepat meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian belakang dan langsung dia lari ke gudang pusaka.
Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah menyambar dari kiri. Kun Liong cepat merendahkan diri berjongkok dan jarum-jarum merah yang kecil halus itu menyambar lewat di atas kepalanya. Ada sesuatu yang mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat dia meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda menyeringai kepadanya.
“Kau...!” Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran itu. “Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!”
Akan tetapi tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan ayahnya bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan pada waktu itu belum gundul. Adapun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah Ouwyang Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi menambah keyakinannya, karena justeru jarum-jarum merah itulah yang menjadi sebagian sebab mengapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut.
“Mau apa kau datang ke dalam kuil?” Kun Liong membentak
Akan tetapi pemuda bermata liar itu berteriak,
“Bunuh dia!”
Dan dari belakangnya muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang, mengepung dan mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok.
“Eh-eh, kalian orang-orang jahat!”
Kun Liong menggunakan kegesitan gerak tubuhnya mengelak ke kanan kiri. Dia tidak merasa khawatir menghadapi pengeroyokan enam orang itu yang biarpun semua mempergunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa gerakan mereka itu masih terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka. Akan tetapi dia terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat dan lenyap dari situ melalui lorong yang menuju ke gudang pusaka!
Dia hendak mengejar, namun enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, Kun Liong belum pernah mempergunakan ilmu-ilmunya itu dalam perkelahian sungguh-sungguh.
Ketika dahulu sebelum digembleng sukongnya di Ruang Kesadaran, dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu melawan Cia Giok Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang dianggapnya main-main saja karena dia tidak menganggap Giok Keng sebagai orang jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia mengadu tenaga dengan utusan Panglima The Hoo, juga pertandingan itu bukan sungguh-sungguh, apalagi ketika melawan Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian Kek Hwesio.
Sekarang dia merasa ragu-ragu. Kalau dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan untuk merobohkan enam orang itu. Akan tetapi, dia sebetulnya paling tidak suka memukul orang, bahkan agak benci akan permusuhan dan perkelahian yang dianggapnya tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam.
Akan tetapi kini dia diserang oleh empat batang pedang dan dua buah golok yang semuanya menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja harus mempertahankan dan melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih ragu-ragu bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa membuat mereka menderita luka berat.
“Kalian orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik lekas pergi melarikan diri sebelum terlambat!” Dia mencoba mengusir mereka dengan kata-kata nasihat!
Tentu saja dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan kepadanya. Pemuda gundul itu hanya mengelak ke sana-sini, biarpun gerakannya cepat sekali sukar diserang, namun hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau yang mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan menghebat sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-gulung menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang berloncatan ke sana-sini.
“Aihhh! Liong-ko...!”
Jeritan Giok Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa dara itu tentu terancam bahaya. Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan teringatlah dia bahwa ketika tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak memberitahu bahwa di dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia untuk menjaga keamanan kuil kalau-kalau dimasuki orang jahat!
Karena mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tidak peduli lagi. Kaki tangannya bergerak dan enam batang senjata itu terlempar beterbangan disusul robohnya enam orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda gundul itu!
Kun Liong tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke arah Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar perpustakaan.
“Maling keparat!” Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu.
Ketika Kun Liong tiba di dalam kamar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang Bouw berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke dalam karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan napas! Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam mengepul dari lubang di tengah ruang perpustakaan itu.
Lubang jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun. Celaka, tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau berpikir lagi, langsung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari mana keluar asap hitam.
Dengan memahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiang Pek Hosiang, Kun Liong menggunakan gin-kang sehingga dengan ringan dia melayang turun ke dalam jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter tertutup oleh lantai yang dipasangi jebakan.
Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi. Diangkatnya tubuh Giok Keng yang tak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia meloncat ke atas sambil mengerahkan sin-kangnya. Tanpa pengerahan sin-kang yang kuat, sukarlah meloncati sumur sedalam empat meter, sempit dan masih memondong tubuh seorang gadis lagi! Pada saat dia melayang naik, terdengar di atas sumur,
“Bakar saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!”
Ketika tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia melihat api membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang yang sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan tendangan-tendangan kakinya sehingga mereka terlempar dan apinya padam.
Melihat seorang penjahat lain lari melalui pintu belakang, dia tidak mengejar melainkan meloncat ke depan dimana seorang penjahat lain sedang berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan didorong menutup dari luar.
“Brakkk! Augghh...!”
Kun Liong sambil memondong tubuh Giok Keng menerjang daun pintu itu. Daun pintu bobol dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga penjahat itu herteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar!
Kun Liong berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa penjahat-penjahat itu tentu merampok gudang pusaka. Maka sambil memondong Glok Keng, larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karana dia mendengar teriakan-teriakan dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa peristiwa itu telah ketahuan dan sebentar lagi tentu bala bantuan datang.
Agaknya hal ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di gudang pusaka yang daun pintunya sudah terbuka besar, dia melihat bayangan-bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil menggendong teman-teman mereka yang terluka.
Dia tidak mempedulikan mereka lagi karena dia sibuk memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat dan matanya terpejam napasnya terhenti!
Kun Liong cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi lemah sekali, seolah-olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu, disentuhnya bibir dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan. Celaka, kalau gadis itu tidak cepat-cepat dapat bernapas kembali, tentu takkan tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dapat diobati kelak, yang terpenting sekarang haruslah diusahakan agar Giok Keng dapat bernapas lagi. Tidak ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima darl ibunya dahulu.
Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok Keng terbuka, kemudian memijat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan dia menunduk. Ditutupnya mulut yang sudah dibukanya itu dengan mulutnya sendiri lalu ditiupnya, mengerahkan hawa murni sehingga tiupannya kuat.
Terasa olehnya betapa dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan dilepaskannya pula hidung dara itu untuk memberi jalan agar hawa yang sudah ditiupkannya itu mengalir keluar. Kemudian diulanginya lagi sampai berkali-kali.
Kun Liong sama sekali tidak tahu saking gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Giok Keng, bahwa pada saat itu, dua sosok bayangan berkelebat dan ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya!
Biauw Eng terbelalak, tubuhnya sudah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong akan tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar