*

*

Ads

FB

Kamis, 13 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 067

“Di rumah. Di Cin-ling-san. Hemm, aku sampai lupa menceritakan kepadamu keadaan kami seperti dipesan ibu tadi.”

Gadis itu bersama Kun Liong duduk di atas bangku dan mulailah dia menceritakan keadaan keluarga Cia itu dengan singkat.

Mendengar penuturan ini, teringatlah Kun Liong akan keadaan keluarganya sendiri. Seketika lenyaplah kegembiraannya seperti awan tipis ditiup angin. Wajahnya menjadi muram, matanya sayu dan dia mendadak menjadi pendiam.

Perubahan sembilan puluh derajat (bumi langit) ini mengherankan Giok Keng yang telah selesai bercerita.

“Ihh, kau kenapa? Kok suram muram seperti lampu kehabisan minyak?”

Kelakar Giok Keng yang juga memiliki watak lincah gembira itu tidak membuyarkan kedukaan hati Kun Liong.

“Aku teringat akan ayah bundaku. Sudah sepuluh tahun tidak berjumpa. Harapan terakhir disini, akan tetapi mereka tidak juga muncul. Aku khawatir sekali, jangan-jangan ada malapetaka menimpa mereka.”

Giok Keng mengerutkan alisnya, seketika dia pun tidak nafsu main-main lagi karena merasa ikut khawatir dan berduka. Entah mengapa, menghadapi sikap Kun Liong yang tidak pura-pura, wajar dan seadanya itu dia mudah terseret. Kini dia merasa kasihan sekali dan tanpa disadarinya, tangannya memegang lengan Kun Liong sambil berkata,

“Ayah bundamu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, malapetaka apa yang dapat menimpa mereka? Tidak perlu khawatir, Liong-ko.”

“Aihhh, kau tidak tabu, Moi-moi. Baru berurusan dengan pembesar rendah Ma-taijin saja mereka sudah terpaksa harus menjadi pelarian. Dunia sudah kotor dengan polah tingkah manusia-manusia yang menyalah-gunakan kedudukan atau kekuatannya.”

Sampai lama mereka terdiam dan sama sekali tidak sadar bahwa tangan kiri Giok Keng memegang lengan kanan Kun Liong dan ketika menjawab tadi Kun Liong menumpangkan tangan kirinya di atas punggung tangan kiri dara itu!

“Ihhh...!”

Tiba-tiba Giok Keng merenggutkan tangannya dan meloncat berdiri, memandang Kun Liong dengan muka kemerahan.

“Lho, kenapa?” Kun Liong juga kaget, seketika kedukaannya buyar.

“Kenapa kau memegang tanganku?”

“Hehh...?” Kun Liong bengong, lalu teringat dan setelah kedukaannya membuyar, dia tertawa geli dan kembali sifatnya suka menggoda timbul. “Kau juga memegang lenganku sejak tadi tidak apa-apa, kalau aku memegang tanganmu sebentar saja, kau sudah mencak-mencak. Apakah tanganku kotor? Apakah bau?” Kun Liong mencium telapak tangannya sendiri, lalu mengangguk-angguk dan berkata, “Memang bau...!”






“Huh! Pantas! Menjijikkan, tangannya bau...!”

“Wangi! Bau wangi kataku! Tentu saja pantas, dan sama sekali tidak menjijikkan.”

“Bohong! Masa tanganmu bau wangi?”

“Eh, tidak percaya? Boleh cium sesukamu!” Dia mengulur tangannya.

“Tidak sudi! Eh, kenapa kau kaya orang sinting menggoda aku? Bukankah kau mau memperlihatkan kuil ini dan Ruang Kesadaran kepadaku?”

“Wah, sampai lupa kita! Bukan aku saja yang lupa, kau juga, jadi sama-sama. Mari...!”

Mereka berjalan menuju ke bagian belakang kuil. Sunyi di situ karena semua hwesio berkumpul di tempat upacara sembahyang, dan siap-siap untuk melakukan upacara memperabukan jenazah di tempat yang sudah khusus disediakan di sebuah puncak bukit.

Mereka berjalan perlahan dan Kun Liong membawa gadis itu melihat-lihat ruangan perpustakaan, ruangan sembahyang dan lain-lain bagian di dalam kuil besar itu yang memang amat megah dan indah, juga aneh bagi Giok Keng yang belum pernah melihatnya.

Setelah mereka meninjau Ruang Kesadaran yang kini terbuka dan bukan menjadi tempat larangan lagi, hati Kun Liong terharu. Melihat kamar dimana dia hidup selama lima tahun bersama Tiang Pek Hosiang menimbulkan kenangan yang menggores kalbu.

Giok Keng merasa ngeri mengenangkan betapa Kun Liong harus tinggal di dalam kamar itu selama lima tahun, apalagi Tiang Pek Hosiang yang telah bertapa di kamar itu selama dua puluh tahun! Seperti orang hukuman saja! Dia bergidik dan mengajak Kun Liong meninjau tempat lain.

Asap tampak mengebul di atas bukit di belakang kuil.
“Pembakaran jenazah telah dimulai,” kata Kun Liong. “Apakah kau tidak ingin menonton? Ayah bundamu dan semua tamu tentu ikut pergi ke tempat pembakaran.”

Giok Keng menggelengkan kepalanya.
“Apakah itu tontonan? Aku tidak suka melihat hal yang mengerikan itu. Lebih baik kita menunggu saja di sini.”

Kun Liong tidak berani memaksa biarpun hatinya ingin sekali ikut menonton jenazah sukongnya diperabukan, takut kalau-kalau gadis ini marah. Dia merasa senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan dara ini. Hatinya terasa tenang dan sejuk nyaman. Mengapa manusia tidak bisa saling mengasihi seperti dia dan gadis itu dalam saat ini? Mengapa dimana-mana timbul permusuhan dan kebencian, menyebabkan maut seperti yang dialami oleh Thian Le Hwesio?

“Baiklah kalau begitu. Memang benar pendapatmu bahwa pembakaran jenazah bukan tontonan, akan tetapi soalnya manusia selalu ingin melihat dan menonton hal-hal yang tidak bisa mereka lihat. Mari kita ke kebun belakang itu, di sanalah para hwesio menanam sayur dan bercocok tanam.”

Ladang itu luas sekali dan dengan kagum Giok Keng melihat segala macam sayur yang hidup subur gemuk berkat rawatan yang teliti. Mereka duduk di atas sebuah batu besar sambil menyegarkan mata dengan memandang sayur-sayuran yang kehijau-hijauan sedap dipandang mata.

“Keng-moi, berapakah usiamu sekarang?”

“Hemm, menanyakan usia orang mau apa sih?”

“Aih, jangan terlalu galak, Moi-moi. Kita adalah kakak adik misan seperguruan, aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan) dan engkau adalah piauw-sumoiku (adik misan seperguruan), malah oleh ibumu lebih didekatkan lagi sehingga aku menyebutmu adik dan engkau menyebutku kakak. Ape salahnya bagi seorang kakak mengetahui usia adiknya? Aku berusia hampir dua puluh tahun, dan engkau tentu tidak lebih tua dari aku, biarpun dahulu aku ingat ibuku mengatakan bahwa puteri Cia-supek lebih muda beberapa bulan dariku.”

“Kalau sudah tahu begitu, mengapa bertanya lagi? Usiaku hanya lebih muda beberapa bulan, nah, berarti sembilan belas tahun.”

“Wah, sudah sembilan belas tahun! Keng-moi, mengapa engkau belum menikah? Tentu sudah mempunyai tunangan, ya?”

“Wuuuttt... plakkk!”

Kun Liong tidak mau mengelak dan pipinya kena ditampar sampai terasa panas dan ada tanda merah-merah bekas tamparan itu di pipi kirinya. Ia mengelus pipinya dan berkata sambil tersenyum,

“Wah, engkau marah benar agaknya. Tamparanmu tidak seperti lima tahun yang lalu.”

Agaknya Giok Keng menyesal juga setelah menampar pemuda yang sama sekali tidak melawan atau mengelak itu, padahal sebagai seorang ahli silat, dia mengerti bahwa tamparannya yang biasa tadi tentu akan dapat mudah dielakkan kalau Kun Liong mau. Dia cemberut, memandang tajam penuh selidik lalu bertanya,

“Agaknya engkau disuruh Ayah dan Ibu untuk membujukku, ya?”

“Eh, Keng-moi, apa artinya ini? Kau melihat sendiri bahwa mereka tidak berkata apa-apa kepadaku, dan apa yang harus dibujuk? Pertanyaanku adalah wajar, keluar dari hatiku sendiri, apa sih salahnya bertanya begitu?”

Dan tiba-tiba Giok Keng menutupi muka dengan kedua tangan, menangis!

Bingunglah Kun Liong. Sejenak dipandangnya muka yang bersembunyi di balik kedua tangan itu, kemudian tanpa disadarinya dia menggaruk-garuk kepala gundulnya karena tidak dapat menemukan jawaban atas keanehan ini di dalam kepalanya.

“Adik Cia Giok Keng, mari kau tampar lagi aku, malah kau boleh pukul kepalaku akan tetapi jangan menangis! Maafkanlah kalau aku bermulut lancang. Memang aku seorang yang tolol dan kasar dan kurang ajar! Nah, ini, pukullah!” Kun Liong sudah mengulur leher mendekatkan kepalanya yang gundul.

Giok Keng bukan seorang dara cengeng. Sama sekali bukan. Dia memiliki kekerasan hati luar biasa, berani dan galak seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi dia pun lincah gembira dan pandai bicara seperti ayahnya di waktu muda. Sebentar saja dia sudah dapat menguasai dirinya menghapus air matanya dan ketika memandang kepala gundul yang dijulurkan seperti seekor kura-kura menjulurkan kepala itu, dan sikap Kun Liong yang minta maaf dan menyerahkan kepala untuk dipukul, kejengkelannya lenyap dan dia tersenyum, menggunakan telapak tangan dengan halus mendorong kepala Kun Liong.

“Tidak! Satu kali saja menampar kepalamu aku sudah kapok (jera)!”

Mendengar suara yang bening dan hangat itu Kun Liong mengangkat muka dan betapa girangnya melihat wajah itu sudah tersenyum lagi biarpun kedua pipinya masih basah air mata. Benar-benar dia bingung dan tidak mengerti kini.

Giok Keng tersenyum lebar sebagai jawaban, kemudian berkata setelah menghela napas panjang.

“Tadi aku memang menangis. Habis pertanyaanmu membuat aku jengkel sekali sih! Ayah dan Ibu selalu membujuk-bujukku untuk menikah. Betapa menjengkelkan! Mereka marah karena pinangan yang puluhan kali datangnya selama beberapa tahun ini, semua kutolak mentah-mentah!”

Kun Liong mengerutkan alisnya.
“Hemm... kalau boleh aku bertanya, mengapa kau lakukan itu, Keng-moi? Tentu saja menolak pinangan adalah hakmu, akan tetapi kalau berlarut-latut, bukankah engkau menyakitkan hati ayah-bundamu?”

“Yang mau kawin itu aku ataukah mereka?”

Tiba-tiba Giok Keng bertanya dengan nada keras dan pandang mata penuh tantangan, membuat Kun Liong terkesiap dan khawatir kalau-kalau membikin marah lagi.

“Eh, tentu saja engkau!”

“Kalau sudah jelas begitu, berarti ini urusanku dan aku sendiri yang akan menentukan.”

“Engkau benar, Moi-moi. Akan tetapi sampai kapan?”

“Sampai aku mau dan... dan cocok.”

“Apakah belum juga ada yang cocok?”

Giok Keng menunduk dengan muka merah, kemudian mengangkat muka tiba-tiba dan cemberut.

“Sudahlah, perlu apa bicara hal yang bukan-bukan? Kalau kau bisa menyerangku dengan pertanyaan tentang itu, agaknya engkau sendiri sudah kawin atau setidaknya tentu sudah bertunangan.”

“Aku?” Kun Liong terbelalak dan menggaruk kepalanya di belakang telinga kanan, sebuah kebiasaan yang tak disadarinya. “Siapa orangnya yang sudi kepada seorang gundul macam aku?”

“Hemmm... sssttt, Koko, lihat sana itu...!”

Kun Liong mengangkat muka memandang ke arah kuil yang ditunjuk oleh Giok Keng. Tampak olehnya berkelebatnya bayangan beberapa orang di atas atap kuil!

“Ah, tentu bukan orang baik-baik kalau datang melalui atap. Aku harus menyelidik ke sana!” Setelah berkata demikian, Kun Liong meloncat dan berlari cepat sekali.

Giok Keng terkejut, bukan terkejut karena adanya orang-orang yang disangka buruk itu, melainkan kaget menyaksikan gerakan Kun Liong yang demikian cepatnya!

“Liong-ko, tunggu!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: