Kini, menghadapi jurus Siang-in-twi-san, kakek muka merah cepat-cepat membuang diri ke samping dan balas menyerang dari samping. Namun, jurus Siang-in-twi-san telah dilanjutkan sebagai jurus bertahan, tangan yang tadinya mendorong itu membalik ke bawah, lengannya dipergunakan untuk menangkis pukulan tangan kakek yang selalu meninggalkan tanda telapak tangan hitam itu.
“Plakkk!”
Kakek Muka Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia terhuyung mundur, biarpun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka segera bertanding kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati-hati, maklum bahwa lawan amat tangguh.
Demikian pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan di antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggauta Cin-ling-pai yang muda telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka itu tidak boleh dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu suheng-suheng mereka, melainkan menolong enam orang teman yang masih pingsan, ada pula yang segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih pandai dan ada pula yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.
“Siocia... Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau, melukai enam orang anggauta kita...!”
Cia Giok Keng yang berlatih seorang diri, kaget mendengar laporan ini. Dia cepat meloncat dan lari ke luar setelah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai untuk berlatih.
Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa dua orang saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sutenya, masih juga belum dapat mendesak dua orang kakek itu, apalagi merobohkan. Merah wajah Giok Keng. Sungguh memalukan sekali. Murid-murid kepala Cin-ling-pai sampai harus mengeroyok dua orang kakek itu! Dan ada enam orang murid yang terluka.
Dengan sudut matanya dia melihat betapa anggauta Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan dan ada tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan pukulan yang mengenai pundak atau dada membuat baju hangus terbakar dan kulitnya juga ternoda hitam berbentuk telapak tangan. Diam-diam dia terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan beracun, kalau bukan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.
“Paman Kwee berdua mundurlah!”
Teriakan Giok Keng ini membuat hati Kwe Kin Ta dan empat orang sutenya dan mereka segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik dan memandang Giok Keng penuh perhatian.
Mereka itu lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya,
“Apakah Nona ini Cia-siocia (Nona Cia) yang terhormat? Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua Setan Tua) dari...”
“Tidak peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka, kalian sudah bosan hidup. Mampuslah!"
Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan kedua tangannya dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua orang kakek itu.
Dua orang kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar merah muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan main, kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah jalan darah kematian di leher kedua orang kakek itu.
Dari angin sambaran ujung sabuk itu mengertilah mereka bahwa kalau totokan ujung sabuk itu mengenai sasaran, mereka benar-benar terancam bahaya maut! Cepat keduanya meloncat dan mengelak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kedua sinar merah muda itu seolah-olah hidup dan mengejar mereka, tetap menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi!
Dengan kaget sekali terpaksa mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah membuat totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran. Melihat ini, dalam kegemasannya, Giok Keng merobah serangan, kini menggunakan kedua ujung sabuknya bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi karena kedua orang kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut!
Sabuk sutera merah muda itu dipegang di bagian tengah dan gerakan kedua tangannya membuat kedua ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara ledakan-ledakan keras.
“Tar-tar-tat-tar...!!”
Kedua orang kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena hujan cambukan, membuat pakaian mereka robek-robek dan kulit tubuh mereka luka-luka. Walaupun hanya luka di bagian luar yang ringan, namun mengeluarkan darah dan rasanya cukup nyeri dan pedih!
“Tar-tar... wuuuuttt! Aihhh!”
Giok Keng berteriak kaget dan marah ketika tiba-tiba ujung sabuk suteranya terhenti di udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu telah dipegang oleh seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia terkejut.
Sabuk sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang ia pelajari dari ibunya. Ibunya terkenal sekali dengan Ilmu Pek-in-sin-pian (Cambuk Lemas Awan Putih) yang dimainkan dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih seperti ibunya, melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biarpun ilmu cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, namun menurut ibunya, sudah cukup untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu-tahu kedua ujung sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini tentu amat lihai!
Pemuda itu sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintan,
“Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!”
Setelah kedua orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan suara halus.
“Saya mohon dengan hormat sudilah Cia-siocia memaafkan kedua orang paman ini. Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan niat buruk. Saya Liong Bu Kong dan bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin-ling-pai yang Mulia Cia Keng Hong Locianpwe...”
“Cukup!” Giok Keng memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring. “Tidak membawa niat buruk akan tetapi melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai. Ditebus nyawa pun masih belum impas!”
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri dara itu menggulung sabuknya dan menyimpannya, tangan kanannya bergerak mencabut pedang.
“Singggg!”
Sinar putih menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari perak murni itu tercabut. Itulah pedang Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak), terbuat dari perak yang diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biarpun dia tidak suka akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada pedangnya ini.
“Eiiitt, Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh...”
“Wuuuuttt... singggg!!”
Sinar putih itu menyambar laksana kilat dan andaikata tidak dielakkan cepat-cepat oleh pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah leher itu akan terbabat putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari tubuhnya!
Liong Bu Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan dan kiri, ke atas dan dua kali terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, terus dikejar sinar putih menyilaukan mata itu.
“Nanti dulu, Nona... brettt!”
Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat buntung. Nyaris tangannya yang buntung!
“Srattt!”
Pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan terpaksa menggunakan pedangnya menangkis.
“Tringgg... cranggg... tranggg!”
Bunga api berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang pedang itu bertemu di udara. Giok Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan pedangnya tergetar, tanda bahwa selain lawan memiliki sin-kang yang kuat, juga pedangnya yang bersinar biru itu adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.
“Nona... sabarlah, saya tidak ingin bertanding...”
“Singgg... trangggg!”
Kembali pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan terasa panas telapak tangannya.
“Tak usah banyak cakap!” bentak Giok Keng yang kembali telah menerjang dengan ganas.
Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang pusaka pula, Giok Keng menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia terkejut dan diam-diam kagum sekali karena pemuda itu selain memiliki tenaga sin-kang amat kuat, juga memiliki kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya dapat dihindarkan dengan tangkisan atau elakan.
Para anggauta Cin-ling-pai dan dua orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh kagum menyaksikan betapa dua gulung sinar pedang putih dan biru saling belit, saling desak dan saling dorong. Demikian terang sinar kedua pedang itu sehingga menyelimuti bayangan kedua orang yang memainkannya.
“Tahan senjata!”
Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik dan gerakan mereka tertahan. Detik-detik ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang memegang pedang dan mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke belakang.
Selagi pemuda itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya, jari-jari tangannya menangkap ujung pedang bersinar kebiruan tenaga sin-kang mujijat dia keluarkan, jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.
“Krakkk!” Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!
Pemuda itu terbelalak dengan muka pucat sekali. Matanya memandang pedang di tangannya yang telah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang itu sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Diam-diam dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuatnya jari-jari tangan orang setengah tua yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi ketika mendengar suara Cia Keng Hong yang halus dan penuh kesabaran dan ketenangan, namun juga penuh wibawa,
“Orang muda, siapapun adanya engkau, seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus tentu bukan seorang yang beriktikad baik!”
“Engkau masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan harap engkau masih dapat bernapas!”
Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita yang usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan gagah perkasa. Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya itulah isteri Ketua Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu berjuluk Song-bun Siu-li!
Dengan jantung berdebar dan keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu cepat menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sambil berkata,
“Mohon Ji-wi-locianpwe (Kedua Orang Tua Sakti) sudi mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya bernama Liong Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini bersama kedua orang Paman Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song.”
Cia Keng Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan hormat. Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang usianya sudah enam puluh lebih, dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu berjuluk Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk golongan hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,
“Plakkk!”
Kakek Muka Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia terhuyung mundur, biarpun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka segera bertanding kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati-hati, maklum bahwa lawan amat tangguh.
Demikian pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan di antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggauta Cin-ling-pai yang muda telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka itu tidak boleh dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu suheng-suheng mereka, melainkan menolong enam orang teman yang masih pingsan, ada pula yang segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih pandai dan ada pula yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.
“Siocia... Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau, melukai enam orang anggauta kita...!”
Cia Giok Keng yang berlatih seorang diri, kaget mendengar laporan ini. Dia cepat meloncat dan lari ke luar setelah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai untuk berlatih.
Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa dua orang saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sutenya, masih juga belum dapat mendesak dua orang kakek itu, apalagi merobohkan. Merah wajah Giok Keng. Sungguh memalukan sekali. Murid-murid kepala Cin-ling-pai sampai harus mengeroyok dua orang kakek itu! Dan ada enam orang murid yang terluka.
Dengan sudut matanya dia melihat betapa anggauta Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan dan ada tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan pukulan yang mengenai pundak atau dada membuat baju hangus terbakar dan kulitnya juga ternoda hitam berbentuk telapak tangan. Diam-diam dia terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan beracun, kalau bukan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.
“Paman Kwee berdua mundurlah!”
Teriakan Giok Keng ini membuat hati Kwe Kin Ta dan empat orang sutenya dan mereka segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik dan memandang Giok Keng penuh perhatian.
Mereka itu lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya,
“Apakah Nona ini Cia-siocia (Nona Cia) yang terhormat? Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua Setan Tua) dari...”
“Tidak peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka, kalian sudah bosan hidup. Mampuslah!"
Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan kedua tangannya dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua orang kakek itu.
Dua orang kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar merah muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan main, kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah jalan darah kematian di leher kedua orang kakek itu.
Dari angin sambaran ujung sabuk itu mengertilah mereka bahwa kalau totokan ujung sabuk itu mengenai sasaran, mereka benar-benar terancam bahaya maut! Cepat keduanya meloncat dan mengelak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kedua sinar merah muda itu seolah-olah hidup dan mengejar mereka, tetap menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi!
Dengan kaget sekali terpaksa mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah membuat totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran. Melihat ini, dalam kegemasannya, Giok Keng merobah serangan, kini menggunakan kedua ujung sabuknya bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi karena kedua orang kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut!
Sabuk sutera merah muda itu dipegang di bagian tengah dan gerakan kedua tangannya membuat kedua ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara ledakan-ledakan keras.
“Tar-tar-tat-tar...!!”
Kedua orang kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena hujan cambukan, membuat pakaian mereka robek-robek dan kulit tubuh mereka luka-luka. Walaupun hanya luka di bagian luar yang ringan, namun mengeluarkan darah dan rasanya cukup nyeri dan pedih!
“Tar-tar... wuuuuttt! Aihhh!”
Giok Keng berteriak kaget dan marah ketika tiba-tiba ujung sabuk suteranya terhenti di udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu telah dipegang oleh seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia terkejut.
Sabuk sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang ia pelajari dari ibunya. Ibunya terkenal sekali dengan Ilmu Pek-in-sin-pian (Cambuk Lemas Awan Putih) yang dimainkan dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih seperti ibunya, melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biarpun ilmu cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, namun menurut ibunya, sudah cukup untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu-tahu kedua ujung sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini tentu amat lihai!
Pemuda itu sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintan,
“Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!”
Setelah kedua orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan suara halus.
“Saya mohon dengan hormat sudilah Cia-siocia memaafkan kedua orang paman ini. Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan niat buruk. Saya Liong Bu Kong dan bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin-ling-pai yang Mulia Cia Keng Hong Locianpwe...”
“Cukup!” Giok Keng memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring. “Tidak membawa niat buruk akan tetapi melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai. Ditebus nyawa pun masih belum impas!”
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri dara itu menggulung sabuknya dan menyimpannya, tangan kanannya bergerak mencabut pedang.
“Singggg!”
Sinar putih menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari perak murni itu tercabut. Itulah pedang Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak), terbuat dari perak yang diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biarpun dia tidak suka akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada pedangnya ini.
“Eiiitt, Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh...”
“Wuuuuttt... singggg!!”
Sinar putih itu menyambar laksana kilat dan andaikata tidak dielakkan cepat-cepat oleh pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah leher itu akan terbabat putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari tubuhnya!
Liong Bu Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan dan kiri, ke atas dan dua kali terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, terus dikejar sinar putih menyilaukan mata itu.
“Nanti dulu, Nona... brettt!”
Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat buntung. Nyaris tangannya yang buntung!
“Srattt!”
Pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan terpaksa menggunakan pedangnya menangkis.
“Tringgg... cranggg... tranggg!”
Bunga api berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang pedang itu bertemu di udara. Giok Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan pedangnya tergetar, tanda bahwa selain lawan memiliki sin-kang yang kuat, juga pedangnya yang bersinar biru itu adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.
“Nona... sabarlah, saya tidak ingin bertanding...”
“Singgg... trangggg!”
Kembali pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan terasa panas telapak tangannya.
“Tak usah banyak cakap!” bentak Giok Keng yang kembali telah menerjang dengan ganas.
Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang pusaka pula, Giok Keng menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia terkejut dan diam-diam kagum sekali karena pemuda itu selain memiliki tenaga sin-kang amat kuat, juga memiliki kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya dapat dihindarkan dengan tangkisan atau elakan.
Para anggauta Cin-ling-pai dan dua orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh kagum menyaksikan betapa dua gulung sinar pedang putih dan biru saling belit, saling desak dan saling dorong. Demikian terang sinar kedua pedang itu sehingga menyelimuti bayangan kedua orang yang memainkannya.
“Tahan senjata!”
Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik dan gerakan mereka tertahan. Detik-detik ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang memegang pedang dan mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke belakang.
Selagi pemuda itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya, jari-jari tangannya menangkap ujung pedang bersinar kebiruan tenaga sin-kang mujijat dia keluarkan, jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.
“Krakkk!” Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!
Pemuda itu terbelalak dengan muka pucat sekali. Matanya memandang pedang di tangannya yang telah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang itu sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Diam-diam dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuatnya jari-jari tangan orang setengah tua yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi ketika mendengar suara Cia Keng Hong yang halus dan penuh kesabaran dan ketenangan, namun juga penuh wibawa,
“Orang muda, siapapun adanya engkau, seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus tentu bukan seorang yang beriktikad baik!”
“Engkau masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan harap engkau masih dapat bernapas!”
Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita yang usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan gagah perkasa. Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya itulah isteri Ketua Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu berjuluk Song-bun Siu-li!
Dengan jantung berdebar dan keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu cepat menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sambil berkata,
“Mohon Ji-wi-locianpwe (Kedua Orang Tua Sakti) sudi mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya bernama Liong Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini bersama kedua orang Paman Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song.”
Cia Keng Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan hormat. Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang usianya sudah enam puluh lebih, dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu berjuluk Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk golongan hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar