“Bocah setan! Siapa bilang aku melanggar janji? Engkau takkan kubunuh sekarang, hal itu tidak akan kulanggar, akan tetapi aku tidak berjanji untuk tidak membuntungi kedua kakimu! Aku akan membiarkan kau hidup, akan tetapi kedua buah kakimu akan kubikin remuk tulang-tulangnya sehingga engkau akan menjadi seorang buntung yang tidak ada gunanya!”
“Aku hanya bisa mengatakan sayang, karena hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak berani menghadapi kenyataan!” jawab Kun Liong dengan sikap tenang, seolah-olah ancaman dibuntungi kedua kakinya hanya seperti mendengar dibuntungi rambut atau kuku jarinya saja!
“Kenyataan apa yang kau maksudkan?”
Kun Liong yang cerdik sudah mendapatkan akal dan dia menjawab tenang.
“Aku sudah pernah bertemu dengan seorang di antara datuk-datuk yang tersohor itu selain engkau.”
“Ihh! Benarkah? Siapa yang kau jumpai?”
“Yang amat sakti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok sendiri, bersama puteranya, Ouwyang Bouw!”
Iblis betina itu benar benar tertarik sekali. Dia tahu akan kelihaian raja ular itu, dan merasa heran bahwa pemuda itu masih hidup setelah bertemu dengan ayah dan anak itu.
“Bohong kau! Hanya mendengar nama mereka dari orang lain saja! Hemm, untuk kebohonganmu itu, bukan hanya kedua kaki, juga sebuah lenganmu akan kubikin buntung!”
Kalau Kun Liong mengenal wanita iblis ini, tentu dia akan menjadi pucat seperti Bi Kiok, karena iblis betina ini tidak pernah mengancam dan selalu akan melaksanakan kata-katanya. Akan tetapi Kun Liong tetap tenang dan menjawab,
“Siapa bohong ? Ban tok Coa ong orangnya tinggi kurus seperti ular, dia mempunyai terompet aneh dan pedang ular, matanya sipit, lehernya paniang dapat berputar-putar.”
Dia lalu menceritakan dengan jelas keadaan kakek raja ular itu dan puteranya. Karena dia memang pernah bertemu dengan mereka, tentu saja dia dapat bercerita dengan tepat sehingga wanita iblis itu percaya.
“Akan tetapi dibandingkan dengan Siang tok Mo li, Si Raja Ular itu masih kalah jauh, kalah kejam, kalah menyeramkan, dan agaknya melihat gerakan-gerakan tadi, dia masih kalah sakti. Hanya aku ingin sekali bertemu dengan para datuk yang lain, Kukira engkau tidak akan sehebat mereka itu terutama Si Bayangan Hantu...”
“Boleh! Aku membiarkan engkau pergi dan boleh kau saksikan sendiri. Kelak masih belum terlambat bagiku untuk mencari bocah gundul macam engkau untuk kuganyang otak dan jantungmu! Bi Kiok, hayo pergi, bocah ini menjemukan sekali!”
Iblis betina itu lalu menggandeng tangan muridnya dan sekali berkelebat dia lenyap. Agaknya dia ingin memamerkan ginkangnya yang luar biasa kepada Kun Liong!
Kun Liong tersenyum seorang diri. Akalnya berhasil. Untung bahwa dia tadi mengintai dan mendengarkan ucapan iblis betina itu terhadap Kiang Ti dan Loan Khi Tosu. Kalau tidak tentu dia tidak akan dapat menggunakan akal itu, karena dia tentu tidak mengenal watak iblis itu.
Dari ucapan iblis tadi dia dapat mengerti di samping kelihaian dan kekejamannya, iblis betina itu memiliki watak angkuh dan tinggi hati, tidak mau dikalahkan. Karena itulah maka dia sengaja membakar hati iblis betina itu yang tentu saja menjadi penasaran dan membebaskan pemuda itu hanya untuk memberinya kesempatan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Siang tok Mo li tidak kalah dibandingkan dengan datuk lainnya!
Akan tetapi Kun Liong juga merasa menyesal sekali mengapa dara seperti Bi Kiok sampai menjadi murid iblis itu.
“Aihh, kasihan engkau, Bi Kiok.”
Kun Liong mengeluh dan memandang ke arah tempat dara itu tadi berdiri seperti arca. Tampak olehnya sesuatu di atas lantai batu depan kuil di mana tadi dara itu berdiri. Cepat dia menghampiri dan ternyata di atas lantai di mana Bi Kiok tadi berdiri terdapat guratan-guratan huruf yang agaknya dibuat dengan kaki dara itu. Menggurat lantai dengan kaki mengukir huruf itu saja sudah membuktikan betapa lihai dara itu, agaknya jauh lebih lihai daripada Lim Hwi Sian, dara remaja pendekar Secuan itu! Kun Liong cepat membaca guratan huruf-huruf itu.
“Jangan bicara tentang bokor kepada siapapun juga agar nyawamu selamat!”
Kun Liong menggaruk kepalanya yang gundul. Dia sudah cukup cerdik untuk mengerti betapa bokor yang dia temukan di dasar Sungai Huang-ho itu dijadikan perebutan orang, dan tentu saja dia tidak mau sembarangan membicarakannya. Bokor itu telah disimpannya dengan aman.
Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Bi Kiok yang tadinya terancam oleh gurunya yang seperti iblis, masih mempedulikan dia bahkan meninggalkan pesan yang berbahaya ini? Tentu saja akan menjadi berbahaya sekali kalau iblis betina itu tahu akan perbuatan muridnya itu. Mengapa Bi Kiok selalu menolongnya?
Teringat dia akan pertanyaan Si Iblis Betina kepada muridnya apakah dara remaja itu mencinta dia! Dan teringat akan ini, Kun Liong melebarkan matanya dan tersenyum kecut. Mana mungkin seorang dara secantik Bi Biok jatuh cinta kepada seorang gundul plontos seperti dia! Akan tetapi mengapa pula Bi Kiok selalu menolongnya, bahkan berani mati meninggalkan pesan itu? Benarkah dia mencinta? Atau setidak-tidaknya kasihan atau suka kepadanya.
“Plakk!” Gundul yang bersih itu kembali dicium tamparan telapak tangannya sendiri. “Wah, gundul! Untungmu besar memang!”
Kun Liong berkata demikian dengan wajah berseri karena dia teringat akan Souw Li Hwa yang bersikap manis dan memuji gundulnya, teringat akan Lim Hwi Sian yang bahkan suka mencium gundulnya, kini teringat akan Bi Kiok yang juga suka kepadanya. Aihhhh, mengapa gadis-gadis cantik melulu yang bersikap manis kepadanya?
Dengan langkah-langkah ringan, seringan hatinya yang mengenangkan wajah tiga orang dara remaja yang cantik-cantik itu, Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju Cin ling san yang tak berapa jauh lagi.
Cin ling san merupakan pegunungan yang tidak berapa tinggi, tidak setinggi Pegunungan Kun lun san, Tang la san, Heng tuan san atau bahkan Ci lian san yang puncak-puncaknya menjulang tinggi memasuki langit, kata orang! Namun justeru karena tinggi puncaknya tidak menembus awan itulah yang membuat Pegunungan Cin ling san merupakan daerah yang selain indah juga amat subur tanahnya, amat sejuk nyaman hawanya.
Beberapa tahun yang lalu, sebelum Cin ling pai (Perkumpulan Cin ling) terbentuk oleh Pendekar Besar Cia Keng Hong dan isterinya, pegunungan ini merupakan daerah angker dan tidak ada orang berani mendaki pegunungan ini yang selain penuh dengan hutan yang dihuni binatang liar itu, juga menjadi sarang kawanan perampok. Apalagi ketika mendiang Nenek Tung Sin Nio tinggal di lereng sebelah timur Cin ling san, tidak ada seorang pun, baik orang berilmu golongan bersih maupun sesat, yang berani mendekati daerah itu. Nenek Tung Sun Nio adalah guru ke dua dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
Memang di seluruh daerah Pegunungan Cin ling san ini, lereng timur merupakan bagian yang paling indah pemandangannya dan paling subur tanahnya. Karena itu, di tempat ini pula, bekas tempat pertapaan Nenek Tung Sun Nio, Cia Keng Hong mendirikan perkumpulan Cin ling pai yang tadinya hanya merupakan kelompok petani yang berlindung di bawah wibawa suami isteri pendekar itu. Kemudian jumlah mereka membesar sehingga terkenallah Perkumpulan Cin ling pai karena Cia Keng Hong menurunkan ilmu silat kepada pemuda-pemuda yang tinggal di situ.
Pemandangan dari lereng timur Cin-ling san mentakjubkan sekali. Memandang ke utara tampak samar-samar seekor ular biru yang panjang, yang bukan lain adalah Sungai Wei ho yang mengalir ke timur. Memandang ke timur tampak pula kaki Pegunungan Ta pa san di mana mengalir Sungai Han shui. Di selatan tampak puncak Pegunungan Ta pa san dan Sungai Cia ling yang airnya agak kuning. Di barat tampak menjulang tinggi puncak Pegunungan Min-san yang terkenal itu.
Yang disebut Cin ling pai adalab sebuah dusun di lereng timur Cin ling san, sedangkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong bersama isterinya yang diangkat menjadi Ketua Cin ling pai, merupakan juga semacam kepala dusun yang disegani dan dihormati, akan tetapi juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini juga menyebut diri mereka anggauta Cin ling pai, dari kanak kanak yang baru belajar bicara sampai kakek-kakek yang sudah pikun!
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati empat puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang dan biarpun sudah mendekati empat puluh tahun, tidak seperti sebagian besar kaum pria setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang.
Baik pakaiannya, sikap maupun tutur sapanya sederhana sekali sehingga dipandang sepintas lalu, tidaklah pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang terkenal oleh setiap orang di dunia persilatan, lebih patut kalau dia itu seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang mengundurkan diri dan hidup sebagai petani sederhana.
Hanya kalau orang memperhatikan sinar matanya dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa dia bukanlah orang biasa dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh.
Isteri pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak dikenal, terutama di kalangan kaum sesat dan namanya pernah membuat setiap orang yang mendengar menjadi ketakutan. Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw Eng dan dahulu di waktu masih gadis berjuluk Song bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena dia adalah murid datuk golongan sesat, mendiang Lam hai Sin ni (Wanita Sakti Laut Selatan)!
Di dalam cerita Siang Bhok Kiam atau Pedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song bun Siu li Sie Bun Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Kini usia Sie Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun. Namun dia masih kelihatan muda dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang dari tiga puluh tahun saja, tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan kulit halus tanpa noda keriput. Sikapnya kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi kalau sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang dewi.
Biarpun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia kang-ouw namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh dunia persilatan yang akan mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya, wanita cantik yang lemah tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada pendekar yang berani mendekatinya!
Suami isteri yang gagah perkasa dan yang hidup rukun saling mencinta ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada waktu itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini cantik seperti ibunya, juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau, persis ibunya di waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan kelihatan dingin, Giok Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai berdebat seperti ayahnya.
Pada pagi hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya pagi-pagi sekali dia telah bangun mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia tidak pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih dan rapi. Rambutnya dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai di depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias anting-anting bermata kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik mungil dara remaja ini, segar bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan mulai mekar.
Akan tetapi pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan alisnya berkerut. Hatinya memag kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia tidak diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke Leng-kok, mengunjungi Yap Cong San.
“Mengapa saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?” dia menuntut manja. “Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat, dan sampai sekarang pun saya belum pemah bertemu dengan mereka?”
“Lain kali saja, manis,” jawab ayahnya penuh kasih sayang. “Kalau kau ikut pergi, siapa yang akan menjaga rumah dan bertanggung jawab di sini? Sekali ini, engkau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga Cin ling pai. Engkau sudah cukup dewasa!”
Jawaban yang cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada pagi hari itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat hatinya mengkal, pagi-pagi dia setelah mandi duduk di ruangan depan rumahnya sambil bertopang dagu dan termenung.
Sementara itu, tak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pagi hari itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk. Dengan susah payah, bertanya-tanya, akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu setelah malam tadi dia melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit.
“Aku hanya bisa mengatakan sayang, karena hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak berani menghadapi kenyataan!” jawab Kun Liong dengan sikap tenang, seolah-olah ancaman dibuntungi kedua kakinya hanya seperti mendengar dibuntungi rambut atau kuku jarinya saja!
“Kenyataan apa yang kau maksudkan?”
Kun Liong yang cerdik sudah mendapatkan akal dan dia menjawab tenang.
“Aku sudah pernah bertemu dengan seorang di antara datuk-datuk yang tersohor itu selain engkau.”
“Ihh! Benarkah? Siapa yang kau jumpai?”
“Yang amat sakti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok sendiri, bersama puteranya, Ouwyang Bouw!”
Iblis betina itu benar benar tertarik sekali. Dia tahu akan kelihaian raja ular itu, dan merasa heran bahwa pemuda itu masih hidup setelah bertemu dengan ayah dan anak itu.
“Bohong kau! Hanya mendengar nama mereka dari orang lain saja! Hemm, untuk kebohonganmu itu, bukan hanya kedua kaki, juga sebuah lenganmu akan kubikin buntung!”
Kalau Kun Liong mengenal wanita iblis ini, tentu dia akan menjadi pucat seperti Bi Kiok, karena iblis betina ini tidak pernah mengancam dan selalu akan melaksanakan kata-katanya. Akan tetapi Kun Liong tetap tenang dan menjawab,
“Siapa bohong ? Ban tok Coa ong orangnya tinggi kurus seperti ular, dia mempunyai terompet aneh dan pedang ular, matanya sipit, lehernya paniang dapat berputar-putar.”
Dia lalu menceritakan dengan jelas keadaan kakek raja ular itu dan puteranya. Karena dia memang pernah bertemu dengan mereka, tentu saja dia dapat bercerita dengan tepat sehingga wanita iblis itu percaya.
“Akan tetapi dibandingkan dengan Siang tok Mo li, Si Raja Ular itu masih kalah jauh, kalah kejam, kalah menyeramkan, dan agaknya melihat gerakan-gerakan tadi, dia masih kalah sakti. Hanya aku ingin sekali bertemu dengan para datuk yang lain, Kukira engkau tidak akan sehebat mereka itu terutama Si Bayangan Hantu...”
“Boleh! Aku membiarkan engkau pergi dan boleh kau saksikan sendiri. Kelak masih belum terlambat bagiku untuk mencari bocah gundul macam engkau untuk kuganyang otak dan jantungmu! Bi Kiok, hayo pergi, bocah ini menjemukan sekali!”
Iblis betina itu lalu menggandeng tangan muridnya dan sekali berkelebat dia lenyap. Agaknya dia ingin memamerkan ginkangnya yang luar biasa kepada Kun Liong!
Kun Liong tersenyum seorang diri. Akalnya berhasil. Untung bahwa dia tadi mengintai dan mendengarkan ucapan iblis betina itu terhadap Kiang Ti dan Loan Khi Tosu. Kalau tidak tentu dia tidak akan dapat menggunakan akal itu, karena dia tentu tidak mengenal watak iblis itu.
Dari ucapan iblis tadi dia dapat mengerti di samping kelihaian dan kekejamannya, iblis betina itu memiliki watak angkuh dan tinggi hati, tidak mau dikalahkan. Karena itulah maka dia sengaja membakar hati iblis betina itu yang tentu saja menjadi penasaran dan membebaskan pemuda itu hanya untuk memberinya kesempatan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Siang tok Mo li tidak kalah dibandingkan dengan datuk lainnya!
Akan tetapi Kun Liong juga merasa menyesal sekali mengapa dara seperti Bi Kiok sampai menjadi murid iblis itu.
“Aihh, kasihan engkau, Bi Kiok.”
Kun Liong mengeluh dan memandang ke arah tempat dara itu tadi berdiri seperti arca. Tampak olehnya sesuatu di atas lantai batu depan kuil di mana tadi dara itu berdiri. Cepat dia menghampiri dan ternyata di atas lantai di mana Bi Kiok tadi berdiri terdapat guratan-guratan huruf yang agaknya dibuat dengan kaki dara itu. Menggurat lantai dengan kaki mengukir huruf itu saja sudah membuktikan betapa lihai dara itu, agaknya jauh lebih lihai daripada Lim Hwi Sian, dara remaja pendekar Secuan itu! Kun Liong cepat membaca guratan huruf-huruf itu.
“Jangan bicara tentang bokor kepada siapapun juga agar nyawamu selamat!”
Kun Liong menggaruk kepalanya yang gundul. Dia sudah cukup cerdik untuk mengerti betapa bokor yang dia temukan di dasar Sungai Huang-ho itu dijadikan perebutan orang, dan tentu saja dia tidak mau sembarangan membicarakannya. Bokor itu telah disimpannya dengan aman.
Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Bi Kiok yang tadinya terancam oleh gurunya yang seperti iblis, masih mempedulikan dia bahkan meninggalkan pesan yang berbahaya ini? Tentu saja akan menjadi berbahaya sekali kalau iblis betina itu tahu akan perbuatan muridnya itu. Mengapa Bi Kiok selalu menolongnya?
Teringat dia akan pertanyaan Si Iblis Betina kepada muridnya apakah dara remaja itu mencinta dia! Dan teringat akan ini, Kun Liong melebarkan matanya dan tersenyum kecut. Mana mungkin seorang dara secantik Bi Biok jatuh cinta kepada seorang gundul plontos seperti dia! Akan tetapi mengapa pula Bi Kiok selalu menolongnya, bahkan berani mati meninggalkan pesan itu? Benarkah dia mencinta? Atau setidak-tidaknya kasihan atau suka kepadanya.
“Plakk!” Gundul yang bersih itu kembali dicium tamparan telapak tangannya sendiri. “Wah, gundul! Untungmu besar memang!”
Kun Liong berkata demikian dengan wajah berseri karena dia teringat akan Souw Li Hwa yang bersikap manis dan memuji gundulnya, teringat akan Lim Hwi Sian yang bahkan suka mencium gundulnya, kini teringat akan Bi Kiok yang juga suka kepadanya. Aihhhh, mengapa gadis-gadis cantik melulu yang bersikap manis kepadanya?
Dengan langkah-langkah ringan, seringan hatinya yang mengenangkan wajah tiga orang dara remaja yang cantik-cantik itu, Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju Cin ling san yang tak berapa jauh lagi.
Cin ling san merupakan pegunungan yang tidak berapa tinggi, tidak setinggi Pegunungan Kun lun san, Tang la san, Heng tuan san atau bahkan Ci lian san yang puncak-puncaknya menjulang tinggi memasuki langit, kata orang! Namun justeru karena tinggi puncaknya tidak menembus awan itulah yang membuat Pegunungan Cin ling san merupakan daerah yang selain indah juga amat subur tanahnya, amat sejuk nyaman hawanya.
Beberapa tahun yang lalu, sebelum Cin ling pai (Perkumpulan Cin ling) terbentuk oleh Pendekar Besar Cia Keng Hong dan isterinya, pegunungan ini merupakan daerah angker dan tidak ada orang berani mendaki pegunungan ini yang selain penuh dengan hutan yang dihuni binatang liar itu, juga menjadi sarang kawanan perampok. Apalagi ketika mendiang Nenek Tung Sin Nio tinggal di lereng sebelah timur Cin ling san, tidak ada seorang pun, baik orang berilmu golongan bersih maupun sesat, yang berani mendekati daerah itu. Nenek Tung Sun Nio adalah guru ke dua dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
Memang di seluruh daerah Pegunungan Cin ling san ini, lereng timur merupakan bagian yang paling indah pemandangannya dan paling subur tanahnya. Karena itu, di tempat ini pula, bekas tempat pertapaan Nenek Tung Sun Nio, Cia Keng Hong mendirikan perkumpulan Cin ling pai yang tadinya hanya merupakan kelompok petani yang berlindung di bawah wibawa suami isteri pendekar itu. Kemudian jumlah mereka membesar sehingga terkenallah Perkumpulan Cin ling pai karena Cia Keng Hong menurunkan ilmu silat kepada pemuda-pemuda yang tinggal di situ.
Pemandangan dari lereng timur Cin-ling san mentakjubkan sekali. Memandang ke utara tampak samar-samar seekor ular biru yang panjang, yang bukan lain adalah Sungai Wei ho yang mengalir ke timur. Memandang ke timur tampak pula kaki Pegunungan Ta pa san di mana mengalir Sungai Han shui. Di selatan tampak puncak Pegunungan Ta pa san dan Sungai Cia ling yang airnya agak kuning. Di barat tampak menjulang tinggi puncak Pegunungan Min-san yang terkenal itu.
Yang disebut Cin ling pai adalab sebuah dusun di lereng timur Cin ling san, sedangkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong bersama isterinya yang diangkat menjadi Ketua Cin ling pai, merupakan juga semacam kepala dusun yang disegani dan dihormati, akan tetapi juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini juga menyebut diri mereka anggauta Cin ling pai, dari kanak kanak yang baru belajar bicara sampai kakek-kakek yang sudah pikun!
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati empat puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang dan biarpun sudah mendekati empat puluh tahun, tidak seperti sebagian besar kaum pria setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang.
Baik pakaiannya, sikap maupun tutur sapanya sederhana sekali sehingga dipandang sepintas lalu, tidaklah pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang terkenal oleh setiap orang di dunia persilatan, lebih patut kalau dia itu seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang mengundurkan diri dan hidup sebagai petani sederhana.
Hanya kalau orang memperhatikan sinar matanya dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa dia bukanlah orang biasa dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh.
Isteri pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak dikenal, terutama di kalangan kaum sesat dan namanya pernah membuat setiap orang yang mendengar menjadi ketakutan. Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw Eng dan dahulu di waktu masih gadis berjuluk Song bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena dia adalah murid datuk golongan sesat, mendiang Lam hai Sin ni (Wanita Sakti Laut Selatan)!
Di dalam cerita Siang Bhok Kiam atau Pedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song bun Siu li Sie Bun Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Kini usia Sie Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun. Namun dia masih kelihatan muda dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang dari tiga puluh tahun saja, tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan kulit halus tanpa noda keriput. Sikapnya kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi kalau sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang dewi.
Biarpun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia kang-ouw namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh dunia persilatan yang akan mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya, wanita cantik yang lemah tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada pendekar yang berani mendekatinya!
Suami isteri yang gagah perkasa dan yang hidup rukun saling mencinta ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada waktu itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini cantik seperti ibunya, juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau, persis ibunya di waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan kelihatan dingin, Giok Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai berdebat seperti ayahnya.
Pada pagi hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya pagi-pagi sekali dia telah bangun mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia tidak pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih dan rapi. Rambutnya dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai di depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias anting-anting bermata kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik mungil dara remaja ini, segar bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan mulai mekar.
Akan tetapi pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan alisnya berkerut. Hatinya memag kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia tidak diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke Leng-kok, mengunjungi Yap Cong San.
“Mengapa saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?” dia menuntut manja. “Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat, dan sampai sekarang pun saya belum pemah bertemu dengan mereka?”
“Lain kali saja, manis,” jawab ayahnya penuh kasih sayang. “Kalau kau ikut pergi, siapa yang akan menjaga rumah dan bertanggung jawab di sini? Sekali ini, engkau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga Cin ling pai. Engkau sudah cukup dewasa!”
Jawaban yang cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada pagi hari itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat hatinya mengkal, pagi-pagi dia setelah mandi duduk di ruangan depan rumahnya sambil bertopang dagu dan termenung.
Sementara itu, tak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pagi hari itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk. Dengan susah payah, bertanya-tanya, akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu setelah malam tadi dia melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar