Tubuhnya penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, ada pula yang terobek kulitnya dan mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering dan menghitam. Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia melarikan diri itu seperti seorang anak pengemis.
Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut. Betapa kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seolah-olah merupakan tungku berisikan api panas yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang mendekatinya. Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas. Ah, lebih buruk dan lebih jahat lagi.
Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk menyakiti, membalas dendam, atau karena marah, melainkan karena membutuhkan mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan. Akan tetapi manusia, karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, menjadi marah, sakit hati dan siap untuk membunuh!
Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena tanpa disengajanya menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah sekali kepadanya. Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu dibunuh mereka. Dan kalau dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tak bernyawa lagi! Hanya karena rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak disengaja. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih kembali! Betapa kejamnya manusia!
Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat. Dia sudah rindu kepada ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman.
Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan marah besar kalau mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran dan hampir saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang dusun! Kesalahan terhadap ayah bunda sendiri, ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan membuat ayahnya marah bukan main.
Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi seorang anak baik, rajin dan pandai agar kelak dia menjadi seorang pendekar budiman! Pendekar budiman, sebutan itu sampai hafal dia! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong yang biasa saja!
Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya untuk mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan tetapi segera dilawannya pikiran ini. Dia akan bekerja, apa saja membantu orang sebagai pengganti nasi pengisi perutnya!
Karena melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia jatuh menelungkup. Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah. Bau tanah yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang dan nyaman sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun lagi!
Rasa lapar di perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia merasa seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak terasa dua titik butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia kepada ibunya.
“Ibu…” dia berbisik, memejamkan mata menahan isak.
Tiba-tiba dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia rebah dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki. Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar dari dalam dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan orang.
Penglihatan ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong ketika iring-iringan itu lewat di depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di lereng sebuah bukit. Dia melihat beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis sesenggukan. Ada pula yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang, akan tetapi ada pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi mulut tertawa tanpa mengeluarkan suara.
Sering pula Kun Liong menyaksikan keadaan serupa itu di kota. Dalam iring-iringan kematian, memang sanak keluarga si mati ada yang menangis, entah menangis sungguh-sungguh ataukah hanya menangis buatan, akan tetapi banyak pula, di antara para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau, sungguhpun suara ketawa mereka selalu mereka tahan.
Tiba-tiba Kon Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling akhir. Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan biarpun sudah penuh keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan sedang mengiringkan kematian, melainkan mengiringkan mempelai!
Lupa akan rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian, terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan kaki, melangkah maju mengikuti iringan yang menuju ke tanah kuburan di lereng bukit itu.
Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat sebagaimana biasanya penduduk dusun dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar meninggalkan tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang masih tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan gundukan tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh.
“Aihh, Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?”
Si Kakek itu melangkah maju mendekati laki-laki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan baru, menegur dengan nada suara mengejek.
Orang yang bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat dan sepasang matanya yang merah karena terlalu banyak menangis itu memandang Si Kakek tak senang, akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu maka jawabnya,
“Paman Lo, orang menangis adalah tanda berduka, dan seorang anak yang kematian ayahnya, tentu berduka. Apa anehnya kalau aku menangisi kematian ayahku? Paman hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya.”
Kakek itu meraba-raba jenggotnya yang panjang dan berwarna dua.
“Heh-heh-heh, sebetulnya siapakah yang kau kutangisi, itu Akian!?”
“Tentu saja Ayah yang kutangisi, Paman!” jawabnya penasaran karena dia merasa betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu.
“Benarkah? Kalau ayahmu yang kau tangisi, mengapa kau tangisi?”
Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah terlalu tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab,
“Dia kutangisi karena dia mati!”
“Hemm, kalau dia mati, mengapa ditangisi?” kakek itu mendesak.
Kun Liong menjadi penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak ini menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran dan membuatnya merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan bodoh atau ngawur, melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki jawabnya.
“Aihhh, Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi? Tentu saja dia mati kutangisi, karena dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk selamanya dan kami takkan saling dapat berjumpa selamanya.”
“Ha-ha-ha-ha! Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kau tangisi bukanlah ayahmu, melainkan engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu mati, bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu sendiri yang ditinggal pergi!”
Mendengar ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan yang sukar dibantahnya ini. Hatinya merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar terhadap ayahnya kalau benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya, melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah untuk membela diri,
“Akan tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan terhadap ayah yang meninggal dunia!”
“Hemmm, benarkah itu? Tahukah engkau bagaimana keadaan ayahmu setelah mati? Apakah engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya? Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tidak dapat melihatnya lagi, tidak akan dapat bicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kau sandari sebagai seorang ayah? Ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia mati, Akian, padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri, setiap hari dia jalan-jalan dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau menangisi kehilanganku, aku bahkan gembira karena sahabat baikku itu telah terbebas daripada hidup yang serba sulit ini, terhindar dari kesengsaraan hidup.”
“Benarkah itu, Paman Lo?” Tiba-tiba Akian membantah dan menyerang. “Bagaimana Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup, terhindar dari kesengsaraan? Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan hal itu maka Paman tertawa-tawa gembira? Ataukah semua itu pun hanya merupakan harapan dan hiburan bagi hati Paman sendiri belaka?”
Mulut kakek yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba kehilangan serinya, matanya terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot dan akhirnya dia menarik napas panjang berulang-ulang.
“Aihhh... aku tidak ingat akan hal itu... hemmm... sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi ayahmu, ataukah hanya demi diriku sendiri...”
Dua orang itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang anak laki-laki kecil melangkah perlahan mendekati mereka. Kun Liong yang mendengar percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya mereka berdua itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan mereka sehingga dia sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba diri, pura-pura dan palsu adanya sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apa yang menyebabkan orang-orang itu bersikap seperti itu.
“Aku hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena gigitan ular berbisa...” Terdengar suara Akian memecah kesunyian.
“Tak perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh gigitan ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan ular-ular itu...”
“Mengapa tidak dilawan saja ular-ular itu?”
Mereka kaget dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan melawan ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas dan pucat.
“Aihh, siapa engkau?”
Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang anak laki-laki yang tidak terkenal di tanah kuburan, di waktu senja larut dan cuaca mulai agak gelap itu.
“Siapa aku tidak penting, Paman. Akan tetapi mengapa sampai ada ular membunuh orang? Mengapa tidak ditangkap ular-ular berbisa itu?”
Kakek itu bangkit berdiri.
“Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani menangkap ular berbisa?”
“Hemm, aku sudah biasa menangkap ular sejak kecil!” Kun Liong berkata, “Dan sudah biasa pula makan daging ular berbisa.”
“Aku tidak percaya!” Akian juga bangkit berdiri.
Tiba-tiba hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis.
“Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian dapat melihat bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang manapun juga!”
Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut. Betapa kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seolah-olah merupakan tungku berisikan api panas yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang mendekatinya. Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas. Ah, lebih buruk dan lebih jahat lagi.
Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk menyakiti, membalas dendam, atau karena marah, melainkan karena membutuhkan mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan. Akan tetapi manusia, karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, menjadi marah, sakit hati dan siap untuk membunuh!
Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena tanpa disengajanya menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah sekali kepadanya. Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu dibunuh mereka. Dan kalau dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tak bernyawa lagi! Hanya karena rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak disengaja. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih kembali! Betapa kejamnya manusia!
Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat. Dia sudah rindu kepada ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman.
Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan marah besar kalau mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran dan hampir saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang dusun! Kesalahan terhadap ayah bunda sendiri, ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan membuat ayahnya marah bukan main.
Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi seorang anak baik, rajin dan pandai agar kelak dia menjadi seorang pendekar budiman! Pendekar budiman, sebutan itu sampai hafal dia! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong yang biasa saja!
Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya untuk mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan tetapi segera dilawannya pikiran ini. Dia akan bekerja, apa saja membantu orang sebagai pengganti nasi pengisi perutnya!
Karena melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia jatuh menelungkup. Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah. Bau tanah yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang dan nyaman sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun lagi!
Rasa lapar di perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia merasa seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak terasa dua titik butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia kepada ibunya.
“Ibu…” dia berbisik, memejamkan mata menahan isak.
Tiba-tiba dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia rebah dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki. Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar dari dalam dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan orang.
Penglihatan ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong ketika iring-iringan itu lewat di depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di lereng sebuah bukit. Dia melihat beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis sesenggukan. Ada pula yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang, akan tetapi ada pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi mulut tertawa tanpa mengeluarkan suara.
Sering pula Kun Liong menyaksikan keadaan serupa itu di kota. Dalam iring-iringan kematian, memang sanak keluarga si mati ada yang menangis, entah menangis sungguh-sungguh ataukah hanya menangis buatan, akan tetapi banyak pula, di antara para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau, sungguhpun suara ketawa mereka selalu mereka tahan.
Tiba-tiba Kon Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling akhir. Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan biarpun sudah penuh keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan sedang mengiringkan kematian, melainkan mengiringkan mempelai!
Lupa akan rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian, terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan kaki, melangkah maju mengikuti iringan yang menuju ke tanah kuburan di lereng bukit itu.
Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat sebagaimana biasanya penduduk dusun dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar meninggalkan tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang masih tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan gundukan tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh.
“Aihh, Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?”
Si Kakek itu melangkah maju mendekati laki-laki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan baru, menegur dengan nada suara mengejek.
Orang yang bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat dan sepasang matanya yang merah karena terlalu banyak menangis itu memandang Si Kakek tak senang, akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu maka jawabnya,
“Paman Lo, orang menangis adalah tanda berduka, dan seorang anak yang kematian ayahnya, tentu berduka. Apa anehnya kalau aku menangisi kematian ayahku? Paman hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya.”
Kakek itu meraba-raba jenggotnya yang panjang dan berwarna dua.
“Heh-heh-heh, sebetulnya siapakah yang kau kutangisi, itu Akian!?”
“Tentu saja Ayah yang kutangisi, Paman!” jawabnya penasaran karena dia merasa betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu.
“Benarkah? Kalau ayahmu yang kau tangisi, mengapa kau tangisi?”
Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah terlalu tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab,
“Dia kutangisi karena dia mati!”
“Hemm, kalau dia mati, mengapa ditangisi?” kakek itu mendesak.
Kun Liong menjadi penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak ini menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran dan membuatnya merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan bodoh atau ngawur, melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki jawabnya.
“Aihhh, Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi? Tentu saja dia mati kutangisi, karena dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk selamanya dan kami takkan saling dapat berjumpa selamanya.”
“Ha-ha-ha-ha! Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kau tangisi bukanlah ayahmu, melainkan engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu mati, bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu sendiri yang ditinggal pergi!”
Mendengar ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan yang sukar dibantahnya ini. Hatinya merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar terhadap ayahnya kalau benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya, melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah untuk membela diri,
“Akan tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan terhadap ayah yang meninggal dunia!”
“Hemmm, benarkah itu? Tahukah engkau bagaimana keadaan ayahmu setelah mati? Apakah engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya? Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tidak dapat melihatnya lagi, tidak akan dapat bicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kau sandari sebagai seorang ayah? Ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia mati, Akian, padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri, setiap hari dia jalan-jalan dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau menangisi kehilanganku, aku bahkan gembira karena sahabat baikku itu telah terbebas daripada hidup yang serba sulit ini, terhindar dari kesengsaraan hidup.”
“Benarkah itu, Paman Lo?” Tiba-tiba Akian membantah dan menyerang. “Bagaimana Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup, terhindar dari kesengsaraan? Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan hal itu maka Paman tertawa-tawa gembira? Ataukah semua itu pun hanya merupakan harapan dan hiburan bagi hati Paman sendiri belaka?”
Mulut kakek yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba kehilangan serinya, matanya terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot dan akhirnya dia menarik napas panjang berulang-ulang.
“Aihhh... aku tidak ingat akan hal itu... hemmm... sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi ayahmu, ataukah hanya demi diriku sendiri...”
Dua orang itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang anak laki-laki kecil melangkah perlahan mendekati mereka. Kun Liong yang mendengar percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya mereka berdua itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan mereka sehingga dia sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba diri, pura-pura dan palsu adanya sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apa yang menyebabkan orang-orang itu bersikap seperti itu.
“Aku hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena gigitan ular berbisa...” Terdengar suara Akian memecah kesunyian.
“Tak perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh gigitan ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan ular-ular itu...”
“Mengapa tidak dilawan saja ular-ular itu?”
Mereka kaget dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan melawan ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas dan pucat.
“Aihh, siapa engkau?”
Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang anak laki-laki yang tidak terkenal di tanah kuburan, di waktu senja larut dan cuaca mulai agak gelap itu.
“Siapa aku tidak penting, Paman. Akan tetapi mengapa sampai ada ular membunuh orang? Mengapa tidak ditangkap ular-ular berbisa itu?”
Kakek itu bangkit berdiri.
“Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani menangkap ular berbisa?”
“Hemm, aku sudah biasa menangkap ular sejak kecil!” Kun Liong berkata, “Dan sudah biasa pula makan daging ular berbisa.”
“Aku tidak percaya!” Akian juga bangkit berdiri.
Tiba-tiba hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis.
“Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian dapat melihat bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang manapun juga!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar