*

*

Ads

FB

Senin, 12 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 214

Mo-kiam Siauw-ong menyeringai dan memberi tanda kepada seorang pembantunya, seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bermuka buruk sekali. Pengawal ini mengangguk gembira dan melangkah ke arah dipan di mana Yan Cu rebah dengan kaki tangan terpentang, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menghampiri Biauw Eng.

Dua orang wanita itu sudah mematikan rasa mengosongkan hati dan pikiran, memejamkan mata dan tubuh mereka itu biarpun bernyawa, sama halnya dengan sebuah mayat belaka. Dalam saat terakhir mereka telah menerima petunjuk dari Keng Hong tentang ilmu yang berdasarkan sinkang tinggi ini dan apa pun yang akan terjadi dengan tubuh mereka, sedikit pun mereka tidak akan merasakan dengan hati dan pikiran!

Dengan sikap tenang Keng Hong memandang isterinya, sikap untuk menyaksikan hal yang paling hebat, akan tetapi Cong San hampir pingsan, matanya terbelalak, wajahnya pucat dan dia menggigit bibirnya sampai berdarah.

"Cong San, tenanglah dan pandang baik-baik," tiba-tiba Keng Hong berkata. "Yang kau cinta adalah Gui Yan Cu, manusia wanita yang bernama Gui Yan Cu, bukan sekedar tubuhnya! Apapun yang akan terjadi atas tubuh Yan Cu, cintamu tidak akan berubah. Mengertikah engkau? Jangan pedulikan apa yang tampak oleh matamu, dan serahkan segalanya kepada Tuhan setelah kita sendiri tidak berdaya melakukan usaha."

Namun Cong San yang masih dikuasai penyesalan atas dosanya, tidak mungkin dapat bersikap seperti Keng Hong.

"Jangan.....! Cui Im, jangan.......! Siksalah aku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan ganggu dia.......!!!"

Ia berteriak-teriak sekuat tenaga. Keng Hong hanya menggeleng-geleng kepala dan diam saja.

Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu yang sudah menerima pesan dari Cui Im, kini mematuhi perintah. Mereka tidak menubruk kedua orang wanita itu dengan buas, melainkan sengaja hendak menyiksa batin Keng Hong dan Cong San. Dengan perlahan mereka merenggut baju luar Biauw Eng dan Yan Cu.

"Brettttt! Brettttt!!"

Baju luar kedua orang wanita itu robek dan terlepas sehingga tampaklah baju dalam mereka yang tipis, membayangkan dada ibu-ibu muda itu yang masih terlentang dengan mata terpejam tanpa bergerak sedikit pun.

Cong San terisak, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Melihat sahabatnya seperti itu lebih mengganggu hati Keng Hong daripada menghadapi malapetaka yang menimpa dia dan isterinya.

"Cong San, benar-benarkah engkau telah menjadi seorang pengecut dalam menghadapi kematian?"

Suara Keng Hong menggetar penuh teguran dan suara ini berpengaruh sekali karena Cong San tiba-tiba menghentikan tangisnya, bahkan dia membelalakkan mata memandang ke arah isterinya, merelakan semuanya biarpun hatinya seperti ditusuk-tusuk. Tanpa mengalihkan pandang dari isterinya, dia menjawab,






"Kalau saja hatiku tidak penuh perasaan dosa yang begini menekan, mungkin tidak seberat ini penanggunganku, Keng Hong. Semua yang menimpa dia, yang menimpa kalian, karena aku!"

Keng Hong tidak menjawab lagi karena dia pun maklum atau dapat menyelami sendiri ketika dia sadar daripada kesalahannya terhadap Biauw Eng dahulu. Namun, tentu saja dibandingkan dengan kesalahannya dahulu akibat cemburu pula, tidaklah sehebat kesalahan Cong San, tidak sejauh langkah-langkah yang diambil oleh Cong San yang diracuni cemburu!

Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu, dengan ditonton penuh iri dan gairah oleh para pengawal lain yang harus menanti giliran, kini dengan mata berkilat sudah mengulur tangan lagi untuk melanjutkan pekerjaan mereka menelanjangi dua orang wanita muda yang cantik jelita itu.

Tiba-tiba Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu berteriak kaget dan tubuh mereka terhuyung ke belakang, bahkan pengawal itu terus roboh sambil menjerit-jerit kesakitan, mengucek-ucek matanya, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menyumpah-nyumpah dan menggosok-gosok mukanya.

Kiranya, biarpun kaki tangannya tak dapat bergerak sedikit pun, Biauw Eng dan Yan Cu tidaklah mau menyerahkan diri begitu saja kepada nasib. Memang mereka telah mematikan rasa, namun nalurinya sebagai seorang wanita yang hendak dinodai kehormatannya membuat mereka memberontak dan hendak melawan mati-matian sebelum saat terakhir.

Inilah sebabnya maka mereka menggunakan usaha satu-satunya yang dapat mereka lakukan, yaitu meludah ke arah mata orang yang menghinanya. Dengan mengerahkan tenaga dalam ludah yang menyambar dari mulut mereka tak boleh dipandang ringan. Mo-kiam Siauw-ong dapat menyelamatkan matanya dan hanya mukanya yang terasa panas seperti tertusuk benda runcing, akan tetapi pengawal itu merasa sebelah matanya seperti ditusuk-tusuk dan bukan main nyerinya, membuat dia mengaduh-aduh.

"Omitohud........, kesesatan sekejam ini dilakukan manusia, bagaimana pinceng dapat membiarkannya saja?"

Semua orang menjadi terkejut ketika melihat di situ telah berdiri seorang hwesio tua yang entah kapan dan dari mana datangnnya, tahu-tahu telah berada di situ dan hwesio ini sudah melangkah maju mendekati Keng Hong.

"Tiong Pek Hosiang.......!" Bhe Cui Im berteriak kaget sekali ketika mengenal hwesio tua itu. "Engkau sudah bukan ketua Siauw-lim-pai, mau apa engkau datang dan mencampuri urusan kami?"

"Omitohud, Ang-kiam Bu-tek, berkali-kali engkau menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Pinceng datang dan mencampuri bukan karena kedudukan atau hubungan. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan kedudukan, hubungan atau alasan lahir lainnya adalah perbuatan palsu. Pinceng datang dan menyaksikan perbuatan manusia yang kejam terhadap manusia lain, tak mungkin pinceng ikut mendiamkannya saja karena hal itu berarti pinceng ikut membantu perbuatan kejam. hentikanlah kesesatanmu, Ang-kiam Bu-tek, masih belum terlambat bagi semua manusia yang tersesat untuk menjadi sadar akan kesesatannya dan kembali ke jalan benar."

"Heh-heh-heh, Ouwyang Tiong, kau manusia sombong! Tidak ingatkah engkau, betapa dahulu engkau telah mengganggu isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong? Dan engkau masih berani membuka mulut memaki orang lain tersesat?" Tiba-tiba Go-bi Thai-houw berteriak mengejek.

Tiong pek Hosiang berpaling kepada nenek itu dan merangkap kedua tangannya ke depan dada.

"Omitohud....... siapakah yang tidak ingat akan kesesatan yang pernah dilakukannya? Namun, penyesalan saja tidaklah cukup. Oh Hian Wi, kesesatan hanya dapat di atasi oleh kesadaran akan kesesatannya. Orang yang sedang sesat adalah orang yang sedang sakit, bukan badannya yang sakit melainkan batinnya. Pinceng tidak memaki, tidak membenci, hanya menaruh kasihan karena segala kesesatan hanya akan menimbulkan kesengsaran bagi dirinya sendiri.”

"Kalau begitu, mengapa kau menentang kami?" Cui Im menuntut.

"Bukan pribadimu yang pinceng tentang, Ang-kiam Bu-tek, melainkan perbuatanmu yang sesat. Sudah menjadi kewajiban pinceng untuk mencegah perbuatan kejam dari siapa pun juga terhadap siapa pun juga tanpa memandang bulu." Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri Keng Hong.

"Berhenti!!"

Go-bi Thai-houw berteriak dan sekali ia menggerakkan tangannya, kebutan merah di tangannya tergetar dan belasan helai bulu kebutan itu meluncur seperti anak-anak panah kecil menyambar ke arah tubuh bekas ketua Siauw-lim-pai itu.

Namun kakek ini dengan tenang menggunakan tangan kirinya yang berlengan baju lebar mengebut sehingga semua bulu kebutan itu runtuh, sedangkan tangan kanannya meraba ke arah tali pengikat kedua lengan Keng Hong, merenggutnya dengan pengerahan tenaga sakti sehingga putuslah tali yang kuat itu!

"Locianpwe, terima kasih!" kata Keng Hong yang cepat menggunakan kedua tangannya mematahkan semua tali yang membelit-belit tubuhnya, kemudian dia meloncat dengan cekatan, pertama-tama dia membebaskan ikatan isterinya, kemudian membebaskan Yan Cu.

"Kakek yang bosan hidup!" Cui Im berseru nyaring dan menerjang Tiong Pek Hosiang dengan pedang merahnya.

Kakek itu mengelak dan mengebutkan lengan bajunya, melangkah mundur. Pada saat itu, Go-bi Thai-houw sudah melayang dari kursinya, sepasang kebutannya menyambar-nyambar dengan serangan maut ke arah Tiong Pek Hosiang. Kakek ini tidak melawan, hanya mengelak sehingga dia terdesak oleh nenek itu dan Cui Im. Ujung kebutan biru yang menyambar ganas masih mengenai pundaknya, membuat kakek itu terhuyung, namun dia sama sekali tidak balas menyerang.

"Mampuslah!" Go-bi Thai-houw berteriak dan kembali sepasang kebutannya menyambar.

"Plakkk!"

Kursi di tangan Keng Hong hancur terpukul kebutan, akan tetapi Tiong Pek Hosiang terbebas dari bahaya maut. Kakek ini segera mundur dan menarik napas panjang sambil berkata,

"Pinceng sudah bersumpah tidak akan bertanding lagi dengan siapa pun juga. Selamat tinggal, mudah-mudahan kalian berhasil, orang-orang muda yang berada di fihak benar. Pinceng menanti di Siauw-lim-si!"

Tubuhnya berkelebat keluar. Beberapa orang pengawal berusaha menyerangnya, namun mereka itu terpental ke belakang karena seolah-olah ada hawa yang luar biasa melindungi tubuh kakek itu yang meloncat tenang keluar dari gedung itu.

Keng Hong dan Biauw Eng sudah mengamuk, menandingi Go-bi Thai-houw dan Cui Im, sedangkan Yan Cu cepat menghampiri suaminya dan membebaskan tali-tali yang mengikat tubuh Cong San.

Yap Cong San hanya dapat memandang isterinya dengan mata basah, kemudian setelah dia terlepas, dia pun mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau terluka dan dengan nekad dia membantu Keng Hong dan Biauw Eng menerjang Cui Im dan Go-bi Thai-houw.

Yan Cu tidak mau ketinggalan dan begitu ia maju, sekali pukul saja ia telah merobohkan pengawal yang tadi hendak memperkosanya dengan kepala pecah. Biauw Eng juga menerjang Mo-kiam Siauw-ong yang amat dibencinya karena tadi Mo-kiam Siauw-ong telah menghinanya, merobek baju luarnya dan meraba-raba tubuhnya.

Mo-kiam Siauw-ong melawan dengan nekat, memutar pedangnya. Namun Biauw Eng yang biarpun bertangan kosong itu sudah marah sekali. Sambaran pedang lawan itu ia terima dari samping dengan jepitan jari-jari tangan kanannya. Mo-kiam Siauw-ong terbelalak, hampir tak percaya bahwa wanita itu berani menerima pedangnya dengan jari tangannya, ia mengerahkan tenaga hendak menggerakkan pedang agar tangan lawannya itu terbabat putus, namun pada detik itu juga dia mengeluarkan jerit melengking mengerikan karena jari tangan kiri Biauw Eng telah bergerak ke depan dan lima buah jari tangannya itu menembus kulit dada memasuki rongga dadanya sampai ke pergelangan tangan, bahkan jari-jari tangan itu terus mencengkeram jantungnya!

Mo-kiam Siauw-ong roboh berkelojotan dan Biauw Eng dengan tangan kiri berlumuran darah amat mengerikan itu sudah mengamuk lagi, membuat giris hati para pengawal.

Go-bi Thai-houw masih memandang rendah Keng Hong yang bertangan kosong. Dia menyerang dengan kebutannya dari kanan kiri, sedangkan Cui Im yang agak pucat mukanya karena tidak menyangka-nyangka bahwa keadaan akan menjadi demikian, kini menggunakan dua batang pedang. Di tangan kanannya terpegang pedang merahnya, sedangkan tangan kirinya memegang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong ketika orang muda itu tertawan. Sepasang pedang itu digerakkan dengan dahsyat, membentuk dua gulungan sinar hijau dan merah yang indah namun berbahaya sekali.

Keng Hong maklum akan kelihaian dua orang wanita iblis itu, maka beberapa kali dia berteriak menyuruh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mundur setiap kali tiga orang itu berusaha membantunya, namun karena para pengawal telah roboh banyak sekali sedangkan sisanya hanya berani menonton dari pinggiran, tiga orang ini tidak mempedulikan larangan Keng Hong dan tetap saja membantu Keng Hong dengan senjata-senjata rampasan.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: