*

*

Ads

FB

Senin, 12 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 213

Menjelang pagi, dia mendengar suara laki-laki itu.
"Tidurlah, Sianli. Aku akan kembali ke kamarku sebelum pergi. Ahhh, aku puas sekali, terobatilah rinduku, aku lelah dan mengantuk sekali aaahhhhh........."

Laki-laki itu menguap dan terdengarlah langkah kakinya berat diseret meninggalkan kamar. Cong San tidak mendengar jawaban Cui Im. Tentu iblis betina itu telah tidur pulas.

Dengan mata sipit karena kantuk dan kaki diseret karena lelah pemuda yang bukan lain adalah Coa Kun sampai di lorong yang menghubungkan bangunan belakang dengan bangunan besar, berjalan menuju ke kamarnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Cong San telah berdiri di depannya dengan mata menyinarkan maut dan rambut awut-awutan seperti orang gila!

Coa Kun terkejut dan hendak berteriak, akan tetapi Cong San mendahuluinya, menotok jalan darah di dada membuat pemuda bangsawan itu lumpuh dan tak berdaya diseret ke dalam taman dan dibungkam mulutnya.

"Manusia hina, hayo ceritakan apa yang telah kau lakukan dengan surat-surat palsu itu dan penyamaranmu sebagai Keng Hong!"

Cong San mendesis dekat telinga pemuda itu dan mengendurkan bungkaman pada mulutnya.

Menggigil seluruh tubuh Coa Kun seolah-olah dia mendadak diserang dingin yang luar biasa. Dengan gagap dia menjawab,

"Ampun......., aku........ aku hanya melakukan perintah Cui Im....... aku.......... aku......... aku tidak tahu apa-apa.........."

"Jawab! Apa yang terjadi dengan pesuruh Keng Hong yang mengantarkan surat kepadaku?"

"Dia.......... di.......dibunuh......... aku dipaksa memalsukan suratnya........."

"Dan surat tulisan Yan Cu?"

"Aku........ dipaksa menulis surat palsu........., mencontoh tulisan istrimu......... dari resep obat........"

"Dan dekat telaga itu? Kau dan Cui Im menyamar sebagai Keng Hong dan isteriku? Jawab!"

Coa Kun sudah terkencing-kencing ketakutan sampai celananya basah dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk.

"Prokkkkk!!"

Tangan Cong San menampar dan sekali pukul pecahlah kepala Coa Kun. Cong San masih belum puas dan menghujani tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu dengan pukulan dan tendangan sehingga remuk-remuk tulang tubuh pemuda bangsawan yang menjadi korban nafsu berahinya itu! Kemarahan menimbulkan kebencian hebat di hati Cong San, dan kebencian menimbulkan kekejaman mengerikan.






"Hemmm, akhirnya kau tahu juga, manusia tolol!"

Cong San membalik dan ketika dia memandang kepada Cui Im, matanya seperti mengeluarkan api dan napasnya seperti uap panas.

"Iblis engkau.......! Iblis kejam......!" hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Cong San.

Kemarahan dan kebencian yang terdorong oleh penyesalannya mencekik leher. Dia menubruk maju, menyerang dengan sepasang Im-yang-pit di kedua tangannya.

Tentu saja Cui Im dapat mengelak dengan mudah. Sambil berkelebat kekanan kiri menghindarkan sambaran kedua senjata di tangan Cong San, Cui Im mengejek,

"Engkau tahu atau tidak, aku memang sudah mengambil keputusan untuk membunuhmu pula, kau kira hanya Keng Hong dan Biauw Eng saja yang kukehendaki nyawanya? Hi-hi-hik! Engkau dan Yan Cu juga termasuk hitungan! Kalian berempat adalah musuh-musuh besarku. Hi-hi-hik! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau telah berjasa dan membantuku, Hemmmmm.......... agaknya aku akan dapat mengampuni nyawamu asal engkau suka melayani aku. Engkau tampan, lebih menarik daripada Coa Kun yang telah kau bunuh itu. Bagaimana?"

"Iblis cabul, perempuan hina!"

Cong San menerjang lagi dan terpaksa Cui Im bersikap hati-hati karena biarpun dia memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun Cong San bukanlah seorang pendekar sembarangan, melainkan seorang pendekar perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Siauw-lim-pai.

Betapapun juga, Cong San bukanlah lawan Cui Im. Dalam keadaan tenang saja Cong San masih kalah untuk dapat menandingi Cui Im. Apalagi dalam keadaan marah seperti itu. Kemarahan merupakan pantangan besar dalam setiap pekerjaan dan setiap perbuatan, karena kemarahan menimbulkan kelengahan dan menggelapkan akal.

Di dalam kemarahannya yang meluap-luap itu, serangan Cong San lebih terdorong oleh nafsu membunuh daripada terkendalikan oleh akal, dan boleh jadi serangan-serangannya menjadi lebih berbahaya karena nekat, namun dia menjadi lengah dan tidak lagi mempedulikan segi penjagaan diri.

Keributan itu menarik datangnya para pengawal dan keadaan menjadi geger ketika mereka melihat betapa Coa-kongcu telah menggeletak menjadi mayat sedangkan Yap Cong San yang tadinya menjadi tamu itu bertempur melawan Cui Im.

Melihat datangnya banyak orang, Cui Im membatalkan niatnya mempermainkan Cong San dan ia mencabut pedang merahnya. Tampak sinar merah berkelebat menyilaukan mata tersorot obor-obor yang dibawa oleh para pengawal. Dengan mempermainkan pedangnya yang hebat, ditambah tenaga sinkangnya yang lebih kuat, dalam belasan jurus saja pedang di tangan Cui Im berhasil membabat patah kedua pit di tangan Cong san, kemudian tangan kiri Cui Im menotok dan robohlah Cong San!

Para pengawal yang dipimpin Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang hendak menghujani tubuh Cong San dengan senjata, akan tetapi Cui Im membentak,

"Jangan bunuh dulu! Ikat dia dan seret dalam kamar tahanan bersama dua orang tawanan! Juga Yan Cu seret ke sana, jadikan satu dalam kamar tahanan itu!"

Tidak ada yang berani membantah dan tubuh Cong San segera diikat kuat-kuat dan diseret ke dalam kamar tahanan dalam keadaan pingsan. Cong San roboh pingsan bukan oleh totokan yang melumpuhkan kaki tangannya, melainkan oleh pukulan batin yang menimbulkan penyesalan yang menyesak dada.

Dia tidak melihat betapa Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya, kemudian suami isteri itu saling pandang dengan heran akan tetapi kemudian pandang mata mereka terhadap Cong San masih penuh dengan kemuakan. Juga Cong San tidak tahu betapa tak lama kemudian isterinya, Yan Cu, dalam keadaan terbelenggu erat-erat diseret pula ke dalam kamar itu. Yan Cu menangis ketika melihat Keng Hong dan Biauw Eng, juga suaminya, telah menjadi tawanan di situ.

Cong San mengeluh lirih dan membuka matanya. Ia tidak dapat menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu pada sebuah pilar di dalam ruangan besar itu. Disapukannya pandang matanya ke sekeliling dan matanya terbelalak memandang isterinya yang terbaring di atas sebuah dipan, juga kaki tangannya terbelenggu dan terpentang ke kanan kiri, setiap kaki dan tangan terikat pada empat buah kaki dipan dan tubuhnya dalam keadaan terlentang.

"Isteriku.........!" Naik sedu sedan dari dadanya.

Yan Cu menoleh. Hanya kepalanya saja yang dapat ia gerakkan. Ia memandang suaminya dengan pandang mata penuh cinta kasih dan kedukaan, pandang mata yang lebih runcing daripada ujung sebatang pedang pusaka, yang langsung menusuk jantung Cong San.

"Suamiku........"

Yan Cu berkata lirih dan dalam sebutan ini terkandung semua perasaan hati yang mencinta yang menyediakan beribu kali maaf terhadap suaminya.

"Yan Cu....... aku........ aku berdosa padamu...... aku........ aku........!"

Cong San tak dapat melanjutkan kata-katanya dan air matanya bercucuran membuat matanya tak dapat melihat lagi.

"Sudahlah, Koko. Syukur bahwa di saat terakhir engkau telah sadar. Kita bersama menghadapi kematian........ tidak ada apa-apa yang kusesalkan.........."

"Yan Cu........!" Ucapan isterinya yang penuh maaf dan kerelaan itu seperti meremas hati Cong San.

"Hanya menyesal sekali bahwa suheng dan isterinya terbawa-bawa........" kata pula Yan Cu.

Mendengar ini, baru sekarang Cong San melihat bahwa Biauw Eng juga berada dalam keadaan seperti isterinya, terlentang di atas sebuah dipan dan terbelenggu kaki tangannya yang terpentang. Keng Hong berdiri tak jauh dari situ, terikat pula kaki tangannya pada pilar, seperti dia. Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.

“Keng Hong........ aku berdosa besar padamu. Aku minta ampun karena dosaku tak mungkin dapat diampuni. Terlalu besar, terlalu hina dan aku rela kalau isteriku, engkau dan isterimu mengutukku. Tak mungkin kalian dapat mengampuniku, juga tidak Tuhan sendiri! Aku sendiri tidak dapat mengampuni dosaku......" Cong San terisak-isak seperti seorang anak kecil.

"Cong San, perbuatanmu terhadap aku tidak ada artinya bagiku. Engkau melakukannya dalam keadaan gila oleh cemburu. Aku dapat memahaminya, karena aku pun pernah menderita penyakit cemburu yang amat berbahaya itu. Akan tetapi yang amat menyakitkan hatiku adalah perbuatanmu terhadap Sumoi. Engkau benar-benar telah melakukan sikap yang amat keji dan kejam terhadap Sumoi. Engkau patut dihajar!"

"Keng Hong......." Cong San mengguguk, "Kalau engkau dapat melepaskan diri..... kau...... aku bunuhlah aku........ aku akan rela........."

"Cukup semua sikap dan ucapan kosong ini! Apa artinya penyesalan diri setelah terlambat? Kita semua mengalami kembali seperti dulu, berada dalam cengkeraman maut di tangan si iblis betina. Perlu apa banyak cakap lagi akan hal yang bukan-bukan? Heiii, Cui Im, lekas bunuh kami, tunggu apalagi?" Biauw Eng berteriak.

"Hi-hi-hik!"

Cui Im tertawa dengan wajah berseri gembira sekali. Dia duduk di atas sebuah kursi dan di sampingnya duduk Go-bi Thai-houw yang hanya termenung, seolah-olah dia tidak melihat atau mendengar semua itu, atau sama sekali tidak mengacuhkannya, seperti semua itu merupakan pertunjukan yang tidak menarik sama sekali. Mo-kiam Siauw-ong juga duduk di sebelah kiri Cui Im dan tampak pula belasan orang pengawal tinggi besar menjaga di pintu.

"Kalian ingin lekas mati agar segera terbebas dari siksaan lahir batin. Akan tetapi aku justeru menghendaki sebaliknya, agar kalian mati sedikit demi sedikit, agar kalian tersiksa lahir batin sehebat-hebatnya. Betapa benciku kepada kalian berempat!"

"Bhe Cui Im, perempuan rendah! Engkau telah mempermainkan aku, engkau manusia terkutuk! Engkaulah yang membuat aku menjadi gila dan berdosa. Ahhh, biarpun aku sudah mati nanti, aku akan menjadi setan dan selamanya akan kukejar engkau!"

Cong San berteriak dan meronta, namun tubuhnya yang tertotok lemas sedangkan tali-tali yang melibat tubuhnya amat kuat.

Kembali Cui Im tertawa, kini memandang Keng Hong.
"Keng Hong, manusia keras kepala. Sampai saat terakhir engkau tidak mau menyerahkan ilmu-ilmu itu kepadaku. Baiklah, sekarang engkau dan Cong San lihat dan dengar baik-baik betapa isteri kalian yang tercinta itu ditelanjangi, diperkosa berganti-ganti sampai mati! Lihat nanti betapa mereka menggeliat tersiksa, dengar betapa mereka merintih dan mengeluh, hi-hi-hik, dan saksikan nyawa mereka pergi sedikit demi sedikit dan tubuh mereka mengalami penghinaan yang paling hebat bagi seorang wanita!"

"Cui Im! Yang terhina bukanlah kami, melainkan engkau sendiri. Lakukanlah sesukamu terhadap tubuh kami. Apa sih tubuh ini? Hanya daging darah dan tulang, hanya tanah! Engkau bisa merusak dan mengotori tubuh kami, akan tetapi jangan harap untuk memperkosa dan mengotori jiwa kami, jangan harap untuk melenyapkan cinta kasih kami terhadap suami kami masing-masing! Engkaulah yang akan tersiksa, Cui Im, tersiksa oleh iri, karena di dalam hidupmu tiada cinta, kosong dan hanya penuh oleh kotoran menjijikkan, penuh nafsu berahi dan engkau lebih hina daripada binatang, lebih sengsara daripada iblis! Kami tidak akan sengsara, karena kami berempat bahwa segala penderitaan badan akan berakhir, namun cinta kasih kami takkan ikut berakhir. Tertawalah selagi engkau masih dapat tertawa, Cui Im, namun di balik tawamu itu hanyalah tangis kesengsaraan hati yang terselubung kepalsuan!" Biauw Eng berteriak dengan lantang.

Mendengar ini, wajah Cui Im berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah karena apa yang diucapkan bekas sumoinya itu tepat sekali seperti apa yang ia rasakan.

"Lekas mulai dengan siksaan!" Ia berseru kepada Mo-kiam Siauw-ong. "Hayo lakukan, siapa saja boleh lebih dulu, aku tidak peduli lagi!"

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: