*

*

Ads

FB

Senin, 12 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 215

Cong San membunuh banyak sekali pengawal, mengamuk seperti kerbau gila. Dia kini merampas sebuah golok besar. Sebagai murid Siauw-lim-pai tentu saja dia bukan hanya ahli menggunakan sepasang pit yang telah lenyap terampas musuh. Delapan belas macam senjata dapat dia pergunakan dengan mahir. Dengan golok rampasan itu dia lalu membantu Keng Hong, menerjang Cui Im dengan nekat. Golok besar di tangannya menjadi lingkaran sinar terang dan mengeluarkan bunyi bercuitan.

"Trakkk...........!"

"Cong San, mundur.........!" keng Hong berteriak.

Terlambat. Golok itu patah ketika bertemu dengan Siang-bhok-kiam, dan sinar merah dari pedang Cui Im menyambar ke arah leher Cong San. Murid Siauw-lim-pai ini cepat melempar diri ke samping, namun tetap saja ujung pedang merah menyerempet pundaknya sehingga terluka kulitnya dan berdarah. Cong San melempar diri ke belakang, terus ke atas lantai dan bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, tangannya sudah menyambar sebatang pedang lain, pedang pengawal yang banyak berserakan di lantai, lalu dia maju lagi.

Karena mengkhawatirkan suaminya, Yan Cu menyerbu ke depan, dibantu Biauw Eng dan kedua orang wanita ini sudah mengeroyok Cui Im. Biarpun dengan maju bersama mereka merupakan dua orang lawan yang tidak ringan bagi Cui Im, namun karena mereka hanya memegang senjata rampasan biasa saja, sedangkan Cui Im bersenjata pedang merah dan Siang-bhok-kiam, maka keduanya tidak dapat melawan dengan leluasa dan terpaksa menghindarkan bertemunya senjata mereka dengan sepasang pedang pusaka ampuh itu. Hal ini membuat mereka selalu terdesak.

Keng Hong menghadapi Go-bi Thai-houw yang agaknya hendak memonopoli pendekar ini, selain dengan penasaran dia hendak mengalahkan Keng Hong yang bertangan kosong, juga ia hendak mencegah orang muda itu membantu yang lain menghadapi Cui Im. Sepasang kebutannya merupakan sepasang tangan maut yang setiap saat siap merenggut nyawa Keng Hong, namun pemuda itu selalu dapat mengelak, bahkan pada saat dimana dia tidak sempat mengelak lagi, dorongan tangannya yang penuh tenaga sinkang masih dapat menyelamatkannya dan membuat sinar kebutan menyeleweng.

Cong San sudah maju lagi dengan pedangnya. Bukan karena hendak membantu Biauw Eng dan Yan Cu kalau dia kini menyerang nekat ke arah Cui Im, melainkan terutama sekali karena kebenciannya terhadap Cui Im membuat matanya merah dan seluruh keinginannya hanya untuk membunuh orang yang telah menimbulkan malapetaka hebat kepada rumah tangganya itu. Dengan bantuan Cong San, kini Cui Im dikeroyok tiga dan mulailah keadaan mereka berimbang.

Beberapa kali Biauw Eng melirik ke arah suaminya dan alisnya berkerut. Hatinya mulai khawatir. Ia maklum betapa lihainya Go-bi Thai-houw dengan sepasang kebutannya. Kalau suaminya memegang Siang-bhok-kiam, dia tentu tidak perlu khawatir lagi. Suaminya kehilangan pedang pusaka itu yang kini berada di tangan Cui Im, dan suaminya juga tidak dapat menggunakan Thi-khi-i-beng, ilmu mujijat yang menyedot tenaga sinkang lawan, karena selain Go-bi Thai-houw memiliki sinkang yang tinggi, juga nenek ini sudah tahu akan bahayanya ilmu itu sehingga senjata kebutannya tidak dapat dipergunakan Keng Hong sebagai jembatan untuk menyedot sinkang lawan yang lihai itu.

Memang benar bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimiliki suaminya dapat membentuk gaya pertahanan yang amat kuat, namun akan sukarlah bagi suaminya untuk dapat mengalahkan lawannya.






Kekhawatiran Biauw Eng ini agaknya dapat dilihat oleh Cui Im. Kekhawatiran yang banyak menurunkan daya serang Biauw Eng sebagai lawan terlihai di antara tiga orang pengeroyoknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cui Im dengan baiknya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang amat nyaring, menggetarkan jantung lawan dan tiba-tiba sinar pedang merah dan hijau itu berubah bentuk lingkaran yang menyambar dari kanan kiri, dalam arah yang berlawanan seolah-olah kedua pedang itu akan saling beradu! Hal ini mengejutkan dan mengacaukan tiga orang lawannya.

"Siuuuuuttttt..........sing-singgg........!!"

Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San berteriak kaget dan meloncat mundur sampai beberapa meter jauhnya. Pedang mereka patah semua, bahkan sinar pedang merah dan hijau telah menyerempet tubuh mereka. Bahu kiri Biauw Eng berdarah, mengalir dari bajunya yang robek. Paha Yan Cu juga tergurat pedang, berdarah, sedangkan Cong San hampir saja celaka karena ujung pedang Siang-bhok-kiam telah menggurat punggungnya sampai sepanjang dua puluh sentimeter lebih! Pucatlah wajah tiga orang ini dan Cui Im tertawa terkekeh-kekeh sambil menggerakan kedua pedangnya.

"Yan Cu, pinjamkan sabukmu!"

Tiba-tiba Biauw Eng berteriak. Yan Cu mengerti bahwa Biauw Eng membutuhkan senjata yang cocok, maka tanpa ragu-ragu lagi ia melepaskan libatan sabuk suteranya yang berwarna merah muda.

Melihat ini, Cui Im meloncat dan menusuk Yan Cu.
"Trang-trakkk!"

Pedang yang tinggal sepotong di tangan Cong San terbabat patah lagi, tinggal gagangnya saja sedangkan tubuhnya terpental mundur, akan tetapi dia telah dapat memberi kesempatan kepada isterinya melolos sabuk suteranya. Gagang pedang itu dia lontarkan ke arah muka Cui Im yang dapat dielakkan dengan mudah.

Biauw Eng menerima sabuk sutera merah muda dan kini dia meloncat maju, didahului sinar merah muda yang panjang dari sabuk di tangannya. Yan Cu telah mengikat pinggangnya dengan robekan baju luarnya sendiri yang ia sambar dari dipan, kemudian ia memungut sebatang pedang. Cong San juga sudah mengambil sebatang pedang dari lantai.

"Jangan serang! Lindungi saja aku!"

Biauw Eng berteriak kepada kedua orang itu. Yan Cu dan Cong San membatalkan gerakan mereka, dan kini mereka mengikuti gerakan Biauw Eng dari kanan kiri, siap menjaga dan melindungi kalau-kalau Biauw Eng terancam oleh sepasang pedang Cui Im yang amat berbahaya itu.

Dengan senjata yang jauh lebih cocok ini, biarpun tidak selemas sabuknya sendiri yang memang dibuat khusus untuk senjata, kini Biauw Eng seolah-olah merupakan seekor harimau yang diberi sayap! Tentu saja, biarpun selama ini dia telah digembleng oleh suaminya sendiri, dia masih belum dapat menandingi tingkat Cui Im yang selama ini juga memperdalam ilmunya di bawah asuhan Go-bi Thai-houw, namun dengan senjata sabuk ini Biauw Eng dapat melakukan perlawanan gigih, dapat pula membalas dengan totokan-totokan ujung sabuknya yang cukup berbahaya bagi Cui Im.

"Biauw Eng, sekali ini kau akan mampus di tanganku!"

Cui Im membentak dan sepasang pedangnya bergerak cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap terbungkus dua gulung sinar hijau dan merah. Biauw Eng juga menggerakkan sabuknya. Wanita ini maklum bahwa kalau suaminya tidak cepat menerima kembali Siang-bhok-kiam, keadaan mereka berempat akan berbahaya sekali. Tidak saja Cui Im dan Go-bi Thai-houw merupakan dua orang lawan yang amat berbahaya, juga ia melihat bahwa kini semua pasukan pengawal telah mengurung tempat itu. Tentu kepala daerah marah sekali menyaksikan kematian puteranya, Coa Kun, dan mantunya, Mo-kiam Siauw-ong dan akan menangkap atau membunuh empat orang itu.

Dengan gerakan pergelangan tangannya yang terlatih, tiba-tiba sinar merah muda bergulung-gulung membentuk lingkaran lebar dan tahu-tahu ujung sabuknya yang menangkis sinar hijau Siang-bhok-kiam berhasil membelit pergelangan tangan dan pedang! Biauw Eng mengerahkan seluruh tenaganya.

"Haiiiiittttt!!"

Teriakannya melengking nyaring dan ia tidak mempedulikan sinar merah menyambar ke arahnya karena seluruh tenaga dan perhatiannya dipusatkan untuk merampas Siang-bhok-kiam!

"Cring-cring........ krekk-krekkk!!"

Dua batang pedang Yan Cu dan Cong San yang menangkis sinar merah itu patah semua, dan sinar merah masih membabat ke depan.

Biauw Eng menjerit, leher dan pundaknya kena serempet sinar merah dan berdarah, juga Yan Cu dan Cong San terhuyung ke belakang, lengan kanan mereka berdarah, akan tetapi Biauw Eng berhasil merampas Siang-bhok-kiam dengan ujung sabuknya.

"Hong-ko, terimalah Sing-bhok-kiam!"

Biauw Eng berseru dan pedang di ujung sabuknya itu meluncur ke arah Keng Hong. Pendekar sakti ini gembira akan tetapi juga terkejut, menyaksikan isterinya terhuyung dan terluka. Ia cepat menyambar pedangnya dan memutar pedang untuk menghalau desakan Go-bi Thai-houw sambil menoleh ke arah istrinya dan dua orang kawannya.

Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San cepat berloncatan ke belakang karena mereka telah menderita luka-luka. Biarpun tidak terlalu berat, namun banyak darah keluar dan terasa perih. Yan Cu dan Cong San sudah menyambar senjata dari lantai dan siap menghadapi terjangan Cui Im yang marah sekali. Biauw Eng sudah siap pula dengan sabuknya.

Akan tetapi Cui Im yang melihat betapa Keng Hong telah mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam, menjadi marah dan khawatir. Tiga orang itu tidaklah terlalu berbahaya. Kalau Keng Hong dapat dirobohkan, tidak akan sukar baginya merobohkan tiga orang itu. Maka dengan kemarahan meluap ia melompat ke arah Keng Hong yang kini menghadapi Go-bi Thai-houw dengan Siang-bhok-kiam di tangannya.

Begitu dia mainkan Siang-bhok-kiam, Go-bi Thai-houw terkejut bukan main. Hebat sekali sinar pedang itu dan mengeluarkan hawa mujijat di tangan Keng Hong. Dia menggerakkan sepasang kebutannya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Keng Hong.

"Cring-cringgg........!"

Tangkisan Siang-bhok-kiam mengenai gagang kebutan dari baja, dan tampaklah banyak bulu-bulu kebutan merah dan biru membodol, beterbangan seperti kelopak-kelopak bunga tertiup angin.

"Trangggg.........!!"

Sinar pedang di tangan Cui Im yang datang menusuk, di terima oleh Siang-bhok-kiam dan kedua pedang itu saling melekat karena dialiri tenaga sinkang mereka.

"Mampuslah!"

Cui Im menggunakan tangan kirinya menampar ke arah dada Keng Hong, sedangkan pada saat itu, kebutan merah Go-bi Thai-houw yang tinggal separuh bulunya itu menotok ke arah mata Keng Hong!

Keng Hong menggerakan tangan kiri, menyambar kebutan merah, mencengkeram bulunya, membetot dan langsung melontarkan bulu-bulu yang tercabut itu ke arah muka Go-bi Thai-houw, sedangkan dorongan telapak tangan Cui Im ke dadanya dia terima begitu saja.

"Aihhhhhh........!!"

Go-bi Thai-houw memekik dan terjengkang ke belakang, mukanya, mata dan hidungnya tertusuk bulu-bulu kebutannya sendiri. Ia berkelojotan di atas lantai, berusaha bangun dan jatuh lagi.

"Ayaaaaa.........!”

Cui Im terkejut bukan main ketika tiba-tiba tangannya melekat pada dada Keng Hong dan merasa betapa sinkangnya membanjir keluar melalui tangannya ke dalam tubuh lawan.

"Celaka.........!"

Cui Im mengeluh dan berdaya sekuatnya untuk menarik kembali tangannya, namun makin keras ia berusaha, makin banyak sinkangnya molos keluar.

Go-bi Thai-houw yang sudah sekarat karena bulu-bulu kebutan itu menusuk muka sampai ke dalam kepalanya, mendengar teriakan Cui Im tiba-tiba bangkit dan kebutan biru di tangannya menotok ke arah leher Keng Hong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga mujijat untuk mengalahkan Cui Im

"Cukkk....... ahhhh........!"

Keng Hong terhuyung dan otomatis tangan Cui Im terlepas. Cui Im meloncat ke belakang, terpaksa meninggalkan pedangnya yang masih menempel di pedang Siang-bhok-kiam. Secepat kilat otaknya mencari akal untuk menyelamatkan diri karena dia melihat betapa dengan gerakan tangan kanannya, pedang merah rampasan itu meluncur lepas dari Siang-bhok-kiam dan menusuk leher Go-bi Thai-houw sampai tembus.

Nenek iblis itu roboh dan tak bergerak lagi, kepalanya tidak menyentuh tanah karena ujung pedang merah menancap di lantai, mengganjal kepalanya dengan leher tertembus! Cui Im tidak menyerang lagi, melainkan meloncat cepat ke sebelah dalam gedung.

"Anak kita........!!!"

Biauw Eng menjerit. Dia cerdik dan maklum akan niat hati Cui Im, maka bagaikan seekor harimau terluka, ia lupa akan luka-luka di tubuhnya dan melesat ke depan, mengejar. Keng Hong yang masih setengah lumpuh ketika mendengar teriakan isterinya ini, juga cepat melesat dan mengejar Cui Im.

Cong San dan Yan Cu kini dikurung dan mengamuk dikeroyok banyak sekali pengawal. Pedang rampasan mereka bergerak dan membentuk dua gulungan sinar membuat setiap orang pengeroyok roboh jika terlalu dekat.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: