*

*

Ads

FB

Sabtu, 10 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 202

Biauw Eng masih terisak.
"Aku tak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apapun yang terjadi, betapapun dia diracuni cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu. Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar, anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan mengijinkan, kita bersama pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!"

"Baiklah, Eng-moi."

Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu. Kalau benar Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoinya itu? Kalau saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentu dia sudah lari ke Leng-kok untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya, apalagi kalau hal yang menyangkut suaminya yang tercinta.

Apapun yang terjadi, yang paling penting adalah keselamatan dan kesehatan isterinya, Biauw Eng dan anak yang dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan semenjak saat itu, biarpun hanya diam-diam dan dia menyembunyikan dari isterinya, batinya tertekan dan penuh keperihatinan akan nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoinya yang amat disayangnya seperti adik sendiri itu.

Beberapa bulan lewat tanpa peristiwa yang penting, baik dalam kehidupan Keng Hong dan Biauw Eng maupun dalam kehidupan Cong San dan Yan Cu. Hanya bedanya, suami isteri Cong San dan Yan Cu kini kebahagiannya terselubung awan hitam, dan hal ini dirasai oleh Yan Cu.

Sikap suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu. Sikapnya kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk akal.

Yan Cu maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan mengingat bahwa dia telah dikeluarkan dari Siauw-lim-pai.

Lahirnya seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati Yan Cu prihatin sekali.

Akhir-akhir ini Cong San tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali meninggalkan rumah dengan alasan hendak berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan diam-diam dia prihatin sekali. Dilimpahkan cinta kasihnya lebih daripada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan dingin dan tidak sewajarnya!

Pada suatu hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sehabis menyusui bayinya lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantunya merawat bayi, yan Cu duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak. Apakah cinta kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka? Aihhh, tidak mungkin! Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan lahirnya anak yang mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya nyaring, mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar biasa dan sepasang matanya bersinar-sinar, seorang calon manusia yang bertulang kuat berdarah bersih.






Akan tetapi mengapa suaminya kadang-kadang melamun seperti orang hilang ingatan kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh dalam tidurnya seperti orang berduka dan menyesal dan ada kalanya pula seperti orang yang dibakar api kemarahan hebat?

Yan Cu menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenanglah ia kepada suhengnya, Keng Hong, dan Biauw Eng dan timbul rindunya. Mengapa mereka tidak datang berkunjung atau memberi kabar? Kalau mereka datang berkunjung, agaknya suhengnya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia tidak akan ragu-ragu untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng Hong akan dapat membantunya. Agaknya mereka itu sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng?

Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega? yan Cu menjadi makin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali dia mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, agar suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, namun selalu Cong San menjawab tidak apa-apa!

Seorang laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya kembali dari dunia lamunan.

"Ada keperluan apa, Lopek?" tanyanya halus.

"Apakah Yap-sinshe ada? Saya hendak berjumpa dengannya."

"Ah, dia sedang keluar. Ada keperluan apakah? Memeriksa orang sakit? Atau hendak membeli obat? Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek."

"Benarkah Toanio dapat menolong saya? Saya datang dari kota Koan-ciu dan saya pernah diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru."

"Hemmmm, obat apa saja yang ditulisnya?"

"Mana saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri."

"Hemmmm, begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?"

"Yang sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Setelah makan obat Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan resepnya hilang."

Penyakit biasa saja, pikir yan Cu.
"Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk isterimu."

Setelah berkata demikian, Yan Cu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah selesai, ia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata,

"Nah, ini obatnya tiga macam. Aturannya sudah kutulis, tentu toko obat akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?"

"Nanti di kota saya saja, Toanio, karena..... eh, saya tidak membawa uang."

"Terserah kepadamu, Lopek."

"Berapa saya harus bayar, Toanio?"

"Tidak usah, itu hanya pengganti resep yang hilang."

Kakek itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih lalu pergi dengan wajah girang.

Yan Cu sudah melupakan karena telah tenggelam lagi dalam lamunannya. Kegelisahan hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini seringkali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil minum arak dan menulis sajak atau membaca buku!

Makin yakinlah hatinya bahwa ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya, bahkan dirahasiakan dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu? Bagaimana ia akan dapat memecahkannya?

Beberapa hari kemudian, ketika wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka berdua menghadapi meja makan siang, yan Su menggunakan kesempatan ini untuk berkata dengan suara halus,

"San-koko, ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu."

Cong San memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara tentang sikap suaminya, karena toh takkan dijawabnya.

"San-koko, aku ingin sekali pergi mengunjungi Cin-ling-san. Sudah hampir setahun....."

Tiba-tiba Cong San bangkit berdiri, mukanya berubah dan kata-katanya singkat ketus ketika dia memotong,

"Sudah sangat rindukah engkau?"

Yan Cu heran menyaksikan sikap suaminya, akan tetapi ia berkata dengan wajah berseri,

"Benar, suamiku. Aku sudah sangat rindu kepada mereka! Marilah kita pergi berkunjung ke sana, sekalian kita berpesiar. Kita singgah di dalam hutan pek yang ada telaganya, milik Siauw-lim-si itu dan....."

"Tidak! Aku tidak mau pergi!" Tiba-tiba Cong San membalikkan tubuhnya dan keluar dari rumah.

"San-koko......!!”

Teriak Yan Cu ini mengandung rasa kaget, heran dan juga marah. Akan tetapi suaminya sudah pergi dan ketika ia mengejar keluar, Cong San sudah lenyap dari depan toko. Yan Cu masuk kembali untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran agar tidak tampak orang lain.

Ia menjatuhkan diri di atas kursi, bersembunyi di belakang lemari toko dan menangis terisak-isak. Hanya ketika ia mendengar tangis bayinya saja ia menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan menekan batinnya, kemudian memanggil Chie-ma untuk membawa puteranya.

Chie-ma datang menggendong anak kecil itu.
"Toanio, puteramu lapar, sudah waktunya minum susu."

Tanpa menjawab karena takut suaranya akan terisak, Yan Cu menerima puteranya yang menangis itu. Tangis anak itu segera berhenti dan mulutnya mulai menghisap susu ibunya. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah anak itu berhenti menangis.

"Toanio....."

Chie-ma berkata lirih sambil duduk berlutut di atas lantai, di depan nyonya majikannya yang sedang menyusui Kun Liong. Yan Cu mengangkat muka memandang pelayannya.

"Toanio, maaf, bukan sekali-kali hamba hendak berlancang mulut mencampuri urusan Toanio. Akan tetapi hamba merasa kasihan dan sebagai seorang tua yang lebih berpengalaman dalam hal kekeluargaan, maka hamba ingin memberi nasihat."

Tak terasa lagi dua titik air mata menitik turun ke atas pipi Yan Cu. Tidak ada gunanya disembunyikan, pelayan tua ini sudah tahu.

"Bicaralah, Chie-ma."

"Tanpa disengaja hamba melihat majikan lari keluar dengan muka penuh kemarahan, dan hamba melihat Toanio habis menangis. Tentu Toanio bertengkar dengan majikan. Aihhh, Toanio, apakah Toanio tidak melihat betapa majikan mengandung penderitaan batin yang amat hebat? kasihan sekali dia, Toanio, dalam keadaan seperti itu, seorang suami amat membutuhkan kebijaksanan isterinya untuk dapat menghiburnya, untuk ikut memikul beban yang memberatkan hatinya. Biarpun hamba tidak tahu apa urusannya, akan tetapi dengan jelas dapat hamba lihat bahwa majikan menderita batin yang menyedihkan."

"Chie-ma, aku pun bukan seorang yang buta. Aku tahu, akan tetapi ahhh, soalnya dia tidak mau menceritakan apa yang menyusahkan hatinya itu. Kalau aku tidak tahu persoalannya, bagaimana aku bisa membantu? Dia sering berduka, marah-marah, dan setiap hari pergi minum arak di telaga. Aku cinta kepadanya, Chie-ma, dan aku ingin sekali menanggung penderitaannya, akan tetapi dia tidak pernah mau berterus-terang."

Chie-ma menarik napas panjang.
"Kalau majikan tidak pernah mau berterus terang, itu hanya berarti bahwa dia sengaja hendak merahasiakan urusan itu, karena khawatir kalau-kalau Toanio menjadi berduka pula. Seorang suami yang mencinta isterinya memang kadang-kadang menyembunyikan hal-hal yang tidak menyenangkan dari isterinya, agar isterinya tidak ikut menderita."

"Ah, sikap demikian itu salah sama sekali, Chie-ma. Justeru karena diam saja tidak menceritakan persoalannya, membuat hatiku tertindih dan lebih sengsara daripada kalau tahu persoalannya. Menghadapi persoalan, kita dapat mempergunakan akal bagaimana untuk mengatasinya, akan tetapi menghadapi rahasia begini, benar-benar membuat hati gelisah tidak karuan, menduga yang bukan-bukan."

"Aihhh..... persoalan orang-orang muda. Dahulu ketika suami hamba masih hidup sering kali hamba cekcok dengannya. Cekcok kecil-kecilan dalam rumah tangga merupakan bumbu penyedap penghidupan suami-isteri, kadang-kadang bahkan dapat menjadi pembangkit cinta. Akan tetapi kalau terjadi pertengkaran besar, hemmm, tidak ada kesengsaraan yang lebih berat dirasa daripada pertengkaran antara suami isteri. Sikap majikan mengingatkan hamba dahulu ketika suami hamba mencemburukan hamba dengan seorang tetangga. Aihhh, gila dia...........!"

Yan Cu tersentak kaget.
"Cemburu.......?"

Dia berkata lirih dan selanjutnya dia tidak mendengar suara Chie-ma yang bercerita tentang cemburu suaminya itu. Otaknya diputar, mengingat-ingat. Itulah yang mengganggu hati suaminya? Cemburu? Akat tetapi, apa yang dicemburukan dan mengapa? Tiba-tiba ia teringat percakapan mereka tadi. Cong San marah sekali ketika ia mengajak pergi ke Cin-ling-san. Begitulah kiranya? Mencemburukan dia dengan suhengnya? Tiba-tiba wajah Yan Cu menjadi merah.

Tak mungkin. Ini timbul dari hatinya sendiri yang harus mengaku bahwa dahulu, sebelum bertemu dengan Cong San, memang ada perasaan cinta di hatinya terhadap Keng Hong. Akan tetapi cintanya berubah setelah ia bertemu dengan Cong San, berubah menjadi cinta saudara. tak mungkin suaminya cemburu karena Keng Hong yang tak pernah dijumpainya semenjak dia menikah, bahkan tak pernah berkirim berita. Tidak ada alasan sedikit juga bagi Cong San untuk mencemburukan dia dengan Keng Hong atau dengan laki-laki lain yang manapun juga.

"Laki-laki kalau sudah cemburu memang seperti gila," dia mendengar lagi omongan Chie-ma, "seperti mendiang suami hamba dahulu. Dia hanya menyangka tanpa bukti, dan karena tidak ada bukti dia tidak berani menuduh terang-terangan kepada hamba. Akan tetapi sikapnya sejak itu, minta ampun! kelihatan marah, berduka, dan sinar matanya penuh penghinaan. Kalau malam, ampun, dia manjanya setengah mampus, inginnya hamba bersikap seperti di waktu malam pertama pengantin!

Kalau hamba bersikap dingin sedikit saja, seolah-olah hatinya yang dibakar cemburu itu disiram minyak dan dia marah-marah kepada diri sendiri tidak karuan! baru setelah terbukti bahwa cemburunya itu kosong, dia minta-minta ampun sampai berlutut di depan kaki hamba! Coba, siapa tidak mendongkol? Untung tidak ada palang pintu dekat dengan hamba, kalau ada tentu akan hamba gecek kepalanya!"

Yan Cu tersenyum juga mendengar cerita pelayannya. hatinya agak lega. Setidaknya, ada bahan baru baginya untuk berusaha menyingkap tabir rahasia sikap suaminya. Siapa tahu, mungkin suaminya cemburu kepadanya. Dan kalau hal ini benar, dia akan bertanya terus terang. Sekali suaminya terpancing dan suka bicara terus terang, dia yakin bahwa semua persoalan akan dapat ia atasi dan bereskan, karena suaminya bukanlah seorang yang tidak memiliki kecerdikan dan kebijaksanaan.

**** 202 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: