*

*

Ads

FB

Senin, 05 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 190

Nenek itu tiba-tiba melengking nyaring dan dari kebutannya menyambar sinar-sinar kecil ke arah Keng Hong. Itulah bulu¬bulu kebutan yang hampir separuh dari seluruh bulu kebutan itu meluncur seperti jarum-jarum panjang menyerang Keng Hong. Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian si nenek iblis dan betapa bahayanya bulu-bulu itu, maka cepat pedangnya berkelebat membentuk gulungan sinar meruntuhkan semua senjata rahasia itu.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Go-bi Thai-houw untuk mencelat ke belakang dan sekali sambar ia memegang lengan Mo-kiam Siauw-ong sambil berseru,

"Muridku kita pergi dulu!"

Cui Im yang sudah terdesak hebat itu tertawa, kemudian pedangnya berputar cepat membuat para pengeroyoknya menangkis dan mundur. Ia lalu meloncat ke belakang dan tangannya terayun.

Berhamburanlah jarum-jarum merah ke arah para pengeroyok. Tentu saja para pengeroyok yang terdiri dari orang-orang pandai itu dapat menghindarkan diri dari jarum-jarum ini, bahkan Biauw Eng yang maklum bahwa sekali terlepas akan sukar melepas bekas sucinya, sudah melepaskan senjata-senjata rahasianya yang tidak kalah hebatnya daripada jarum-jarum merah Cui Im, yaitu bola-bola kecil putih berduri dan sebatang tusuk konde bunga bwee.

Terdengar suara berdencingan nyaring dan ternyata semua senjata rahasia itu runtuh disambar kebutan Go-bi Thai-houw yang memberi kesempatan kepada Cui Im untuk lari lebih dulu.

Para pengeroyok Cui Im kini menerjang nenek itu, akan tetapi dengan memutar kebutan, nenek itu dapat menghalau semua pengeroyok kemudian sekali melesat dia telah meloncat jauh sambil menarik tubuh Mo-kiam Siauw-ong.

Keng Hong tidak mengejar karena dia telah berlutut dekat tubuh nenek Tung Sun Nio, memeriksa sebentar kemudian tetap berlutut dengan wajah berduka. Tanpa menoleh dia berteriak,

"Sumoi.....!"

Yan Cu dan Biauw Eng ingin sekali mengejar musuh, akan tetapi mendengar suara panggilan suhengnya, Yan Cu menoleh dan wajahnya berubah pucat. Cepat ia lari menghampiri dan begitu melihat subonya yang masih duduk bersila, dia cepat berlutut dan menangis.

"Subo.....! Subo.....!"

Suaranya tercekik di kerongkongan dan ia tentu roboh pingsan kalau tidak cepat dirangkul oleh Keng Hong yang menghiburnya,

"Sumoi, kuatkan hatimu!"

Biauw Eng juga berlutut di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat itu. Ketika Cong San hendak lari menghampiri, Thian Lee Hwesio berkata,

"Yap-sute.....!"






Cong San tersentak kaget dan menoleh. Suara suhengnya terdengar keras seperti mengandung kemarahan, apalagi ketika dia memandang kelima orang suhengnya dan melihat sikap mereka yang kaku dan dingin.

"Ada apakah.....?" Ia tergagap bertanya.

"Sute, hayo tingalkan tempat ini dan ikut kami menghadap suhu. Tempat dan keluarga ini tidak layak bagimu dan ada urusan besar mengenai kedudukan suhu sebagai ketua Siauw¬lim-pai!"

Cong San makin terbelalak heran dan kaget.
"Akan tetapi.....!" Ia menoleh dan melihat Yan Cu, isterinya, menangis tersedu-sedu dihibur Keng Hong yang merangkulnya. Ada perasaan yang amat tidak enak naik ke hati dan kepalanya, akan tetapi cepat ditekannya dan dia menjawab, "Mana mungkin, Suheng? Aku baru saja menikah dan....dan guru isteriku agaknya meninggal.... biarlah kelak aku menyusul Suheng."

"Yap Cong San! Kalau engkau tidak mau memutuskan hubungan dengan isterimu dan keluarganya, engkau bukan sute kami lagi, bukan murid Siauw-lim-pai lagi!" kata Thian Lee Hwesio dengan sikap dingin dan suara mengandung kemarahan.

Cong San menjadi terkejut sekali.
"Suheng! Ada apakah......? Apa artinya semua ini......?"

Thian Lee Hwesio mengerti bahwa tadi sutenya ini tidak mendengar kata-kata Go-bi Thai-houw dan belum tahu akan rahasia yang amat memalukan dari suhu mereka.

"Mari engkau ikut kami dan akan kami ceritakan semua. Pendeknya, kalau engkau ingin dianggap murid Siauw-lim-pai, engkau harus mentaati kami dan memutuskan hubunganmu dengan mereka itu!"

Cong San mengerutkan keningnya. Apapun yang terjadi, tidak mungkin dia harus memutuskan hubungannya sebagai suami isteri dengan Yan Cu yang dicintanya, dan dia merasa penasaran melihat sikap suheng-suhengnya.

"Suheng tidak adil. Biarlah kelak aku menghadap suhu dan minta pengadilan!"

Lima orang itu menghela napas, kemudian mereka pergi tanpa berkata apa-apa meninggalkan tempat itu, meninggalkan Cong San yang masih berdiri dengan kedua alis berkerut. Setelah menggerakan kedua pundak karena benar-¬benar merasa bingung dan tidak mengerti akan sikap lima orang suhengnya, dia lalu menghampiri Yan Cu yang masih menangis. Tanpa berkata apa-apa dia lalu berlutut di dekat isterinya. Keng Hong melepaskan rangkulannya dan berbisik,

"Cong San, kau hiburlah isterimu," katanya perlahan yang tidak dijawab oleh Cong San, akan tetapi dia lalu merangkul pundak isterinya.

Yan Cu tersedu dan menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
"Aihhh..... Subo..... tewas dalam membela kita......! Si keparat Bhe Cui Im, aku bersumpah hendak membalas kematian Subo!"

Teriak Yan Cu. Baginya, nenekTung Sun Nio bukan hanya merupakan seorang guru, melainkan juga menjadi pengganti ibu karena sejak kecil dia dirawat dan dididik oleh nenek itu.

"Sumoi, tenanglah. Lupakah engkau bahwa kematian adalah kehendak Tuhan? Tangan Cui Im dan Go-bi Thai-houw hanya merupakan alat saja bagi kematian Subo. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada sepuluh Go-bi Thai-houw tak mungkin Subo sampai tewas. Pula, Subo sudah berusia tinggi dan beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa, tewas dalam pertempuran melawan musuh yang memang amat sakti. Lebih baik kita mengurus jenazahnya secara baik-baik."

Pertempuran telah selesai karena para sisa anak buah bajak yang melihat betapa pimpinan mereka melarikan diri, cepat melarikan diri pula. Ada beberapa orang di antara mereka yang tidak sempat dan roboh oleh para tokoh kang¬ouw yang mengamuk.

Ternyata perang kecil itu menjatuhkan korban yang amat banyak, terutama sekali di fihak bajak yang kehilangan lebih dari lima puluh orang yang kini malang melintang menjadi mayat. Belasan orang tamu yang tidak berkepandaian juga menjadi korban, dan enam orang kang¬ouw yang tadinya menjadi tamu, tewas pula. Beberapa orang terluka, di antaranya Ouw Kian ketua Tiat-ciang-pang yang terluka pahanya karena sabetan golok.

Kini mereka sibuk mengobati yang luka dan mengurus mayat-mayat yang memenuhi lereng Gunung Cin-ling-san. Pesta bersukaria menyambut pernikahan dua pasang mempelai kini berubah menjadi perkabungan yang menyedihkan disertai sumpah serapah terhadap para bajak yang datang mengacau, terutama sekali terhadap dua orang tokoh golongan hitam, yaitu Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw.

Biauw Eng dan Yan Cu menangisi jenazah Tung Sun Nio dan setelah mereka mengangkat jenazah itu ke dalam ruangan rumah yang masih belum dimakan api yang keburu dipadamkan oleh para tokoh kang-ouw yang tadi ikut bertanding membantu fihak tuan rumah, kedua orang pengantin wanita ini lalu mencari ganti pakaian untuk mengganti pakaian pengantin mereka.

Ketika Yan Cu bertukar pakaian menanggalkan pakaian penggantinya, baru ia terkejut melihat tanda darah di pakaian dalam yang dipakainya ketika bertanding tadi. Maklumlah ia bahwa tendangan kaki Go-bi Thai-houw tadi biarpun tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun telah mengakibatkan sesuatu di bagian tubuhnya yang membuat ia merasa terkejut dan juga cemas sekali.

Kedua pipinya menjadi pucat, kemudian merah dan dia cepat membersihkan darah dan berganti pakaian, kemudian keluar lagi untuk mengurus jenazah gurunya dengan hati penuh duka.

Sementara itu, Keng Hog dan Cong San sibuk mengurus mayat-mayat para tamu yang menjadi korban dan para sahabat kang-ouw yang juga tewas dalam pertandingan tadi. Setelah senja baru mereka bekerja, dibantu orang-orang kang-ouw dan penduduk di wilayah Pegunungan Cin-ling-san, menyelesaikan tugas mereka mengubur semua mayat termasuk mayat-mayat para bajak.

Jenazah nenek Tung Sun Nio dimasukan peti dan selama sehari semalam mereka mengadakan upacara sembahyang dengan penuh duka. Pada hari kedua, peti itu dikubur, diiringi tangis Yan Cu dan Biauw Eng. Setelah selesai, barulah Yan Cu teringat akan ucapan nenek Go-bi Thai-houw, maka ia menghampiri suaminya yang kelihatannya selalu bermuram sambil berkata,

"Kita harus cepat pergi ke Siauw-lim-si. Aku amat mengkhawatirkan keadaan gurumu, ketua Siauw-lim-pai."

"Hemmm.... mengapa?"

Mendengar suara suaminya, Yan Cu memandang dengan heran. Suara itu demikian kaku dan dingin, sedangkan pandang mata suaminya selalu seperti hendak menghindari pertemuan secara langsung. Semenjak mereka bersembahyang sebagai suami isteri, mereka tidak memdapat kesempatan untuk banyak bicara dan berkumpul berdua saja sehingga pada saat itu dia hanya menjadi isteri dalam sebutan saja.

"Apakah yang terjadi, Sumoi?"

Keng Hong yang mendengar percakapan mereka, bertanya, memandang Yan Cu dengan sinar mata penuh selidik. Juga Biauw Eng menghampiri dan memegang lengan Yan Cu sambil bertanya,

"Mengapa engkau mengkhawatirkan keadaan ketua Siauw-lim-pai?"

Dengan suara tersendat-sendat dan air mata kembali mengalir mengingat akan nasib subonya yang sebelum tewas di tangan Go-bi Thai-houw lebih dahulu harus mendengar betapa rahasia pribadinya yang tidak harum itu dibongkar oleh nenek iblis itu, yang tidak didengar oleh Cong San, Keng Hong dan Yan Cu, lalu menceritakan akan ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw.

"Pembongkaran rahasia Subo yang sudah sama kita ketahui itu didengar pula oleh lima orang hwesio Siauw-lim-pai sehingga mereka itu kelihatan marah. Mereka menghentikan pertandingan dan mendesak kepada mendiang Subo untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Subo mengaku dan.... dan para hwesio itu agaknya menjadi benci dan menyesal, sehingga mereka tidak mau membantu kami, bahkan baru turun tangan membantu mengeroyok Cui Im setelah didesak oleh Subo. Aku khawatir kalau-kalau mereka itu akan membawa perkara ini ke Siauw-lim-pai dan......."

"Ahhh! Begitukah? Pantas saja sikap mereka menjadi murung dan marah-marah kepadaku!" Cong San tiba-tiba berkata.

"Sikap mereka bagaimana, Cong San?" Keng Hong bertanya.

Cong San sejenak memandang Keng Hong dan pendekar muda yang sakti ini, seperti juga Yan Cu, melihat sesuatu yang aneh dalam pandang mata Cong San, seolah-olah pemuda itu menjadi dingin terhadapnya. Cong San membuang muka dan menggeleng kepala.

"Tidak apa-apa, hanya aku........ aku sekarang juga harus menyusul para suheng itu ke Siauw-lim-si! Aku akan berangkat sekarang!"

Sambil berkata demikian, murid Siauw-lim-pai itu bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.

"San-koko......!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat bangun dan menghampiri Cong San yang membalikkan lagi tubuhnya secara acuh tak acuh, "Apakah engkau tidak mengajak aku?"

"Ahhh..... maaf, kusangka kau....... akan mengabungi kematian subomu dan...... dan..... ah, aku menjadi bingung oleh urusan suhu sehingga terlupa........"

"Aku ikut bersamamu!" kata Yan Cu yang memandang suaminya dengan terheran-heran dan juga kasihan karena dia mengira bahwa suaminya benar-benar karena terlalu mengkhawatirkan keadaan gurunya dan karena pukulan batin yang terjadi akibat penyerbuan bajak-bajak itu menjadi seperti linglung!

"Marilah....." jawab Cong San, sikapnya masih dingin.

"Suheng, Biauw Eng cici, aku pergi dulu!" kata Yan Cu.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: